Minggu, 31 Maret 2024

Revelation and Misunderstanding - Geger Riyanto

Artikel ini akan memperjelas bahwa pembentukan kerangka interpretasi milenarianisme Buton bukan sekadar karya para ‘inovator budaya’ yang bertujuan menolak penggambaran dan perlakuan dominan dan merendahkan komunitas mereka.

Baik penduduk Buton maupun Seram memainkan peran konstitutif dalam penciptaan kerangka milenarian dengan mengakui keberadaan mitos nenek moyang orang Buton. Terlepas dari kenyataan bahwa sikap pengakuan masyarakat Buton sangat penting dalam memperkuat keyakinan mereka, masing-masing kelompok memiliki pemahaman yang berbeda-beda mengenai representasi Buton dalam kosmologi masyarakat adat.

Bagi suku Seram, dalam kasus yang dibahas di sini, masyarakatnya adalah suku Huaulu dan Wahai, dan mitos tentang Buton adalah cara mereka menggabungkan orang asing dan mempertahankan keutuhan kosmologi mereka.

Paper ini menjelaskan terkait watak milenariamisme masyarakat Buton yang tinggal di Seram Utara, Maluku Tengah. Millenarianisme diartikan sebagai keyakinan bahwa transformasi mendasar dalam masyarakat akan terjadi, yang akan membawa masa keemasan perdamaian dan kemakmuran. Di Maluku sendiri, masyarakat Buton telah lama dianggap sebagai golongan masyarakat kelas bawah. Mereka dianggap masyarakat luar, dikecualikan dari skema budaya lokal, dan rentan baik secara sosial maupun hukum. Geger meneliti, bagaimana masyarakat Buton menafsirkan diri mereka dalam kosmologi asli sejarah masa lalu yang bertalian dengan sejarah masyarakat Seram Utara?

Geger berpendapat, komunikasi yang tidak selaras (misunderstanding)  dari  kosmologis sejarah asal-usul ini penting, dan membentuk kerangka milenarian mereka. Masyarakat Buton memahami kehadiran representasi mitos mereka dalam kosmologi asli, dan mempercayai jika masyarakat Seram menyembunyikan kebenaran dan wahyu tersebut akan membalikkan tatanan yang menindas mereka saat ini. Sementara bagi masyarakat Seram, penyertaan representasi mitos Buton merupakan cara untuk mengasimilasi orang/kelompok asing yang kuat dan berbahaya, serta melestarikan keutuhan kosmologi mereka.  Artikel ini menekankan, produktivitas kesalahpahaman, memperluas kerangka simbolik yang menjelaskan hubungan khusus yang melandasi milenarianisme Buton.

Paper ini menjelaskan watak milenarian masyarakat Buton di Seram Utara, Maluku Tengah, dengan memasukkan kehadiran komunitas tersebut ke dalam sejarah mitos Seram, serta upaya mereka dalam bergulat dengan subordinat masyarakat Seram. Masyarakat Seram yang dimaksud sebagian besar merupakan suku Wahai, atau disebut juga dengan istilah "orang asli" dan "orang negeri".

Paper ini menegaskan, pembentukan kerangka interpretasi milenarianisme Buton bukan sekadar karya para "inovator budaya" yang bertujuan menolak penggambaran dan perlakukan dominan yang merendahkan mereka. Melainkan, masyarakat Buton dan Seram memainkan peran konstitutif dalam penciptaan kerangka milenarian yang berhubungan dengan mitos nenek moyang Buton. Masing-masing kelompok punya pemahaman yang berbeda terkait representasi Buton dalam kosmologi adat.

Bagi suku Seram, mitos tentang Buton merupakan cara mereka menggabungkan orang/kelompok asing dan mempertahankan keutuhan kosmologi mereka. Tetapi bagi masyarakat Buton, mitos tersebut sebagai bukti bahwa mereka sudah sangat lama berada di Pulau Seram dan menjadi fondasi masyarakat Seram dengan mendirikan kerajaan besar sebelum munculnya kerajaan lain. Mitos-mitos ini kemudian memancing sikap milenarian Buton, di mana mereka mempertahankan keyakinan jika suatu hari kebenaran rahasia akan terungkap dan tatanan masyarakat Seram yang sebenarnya akan dipulihkan.

Suatu hari di Talaga, suatu kantong wilayah bagi masyarakat Buton di Seram Utara, Geger sedang duduk di sebuah gubuk kayu kecil di tepi pantai bersama seorang lelaki sesepuh desa yang dihormati, La Ibu. Pembicaraan bergulir, tiga generasi yang lalu, desa tersebut adalah perkebunan kopra yang didirikan oleh kakek La Ibu yang dulunya bekerja di perkebunan Belanda. Ketika dia mengetahui punya kemampuan membeli tanah di Seram Utara untuk bercocok tanam, tapi secara hukum hal itu tak bisa dia lakukan. Lalu, dia memutuskan untuk menetap di daerah terpencil, yang dikenal sebagai rumah para kepala pemburu. "Suatu hari, semuanya akan terungkap," kata La Ibu kepada Geger. Yang La Ibu maksudkan yaitu rahasia tersembunyi dari mereka yang mengaku sebagai masyarakat Seram yang sebenarnya.

Menurut keterangan La Ibu, orang Buton merupakan masyarakat asli tanah tersebut, tetapi telah terjadi peristiwa buruk di masa lalu yang membuat orang Buton diperlakukan sebagai masyarakat kelas bawah. Masyarakat Buton berada dalam posisi genting, juga terus-menerus diancam akan diusir. Seruan untuk mengusir pendatang dari Maluku masih terus disuarakan meski konflik perselisihan komunal telah mereda. La Ibu yang dituakan dikenal di kalangan muda Buton sebagai lelaki tua yang suka mendongeng dan berbicara. Anak-anak muda tertarik ketika La Ibu bercerita terkait kisah-kisah tentang kebenaran tersembunyi masyarakat Buton, janji akan terungkapnya kebenaran tersebut di kalangan seluruh masyarakat Seram. Orang Buton akan mendapatkan haknya kembali seperti semula. Narasi seperti inilah yang ditanamkan oleh banyak orang Buton di Seram Utara, terutama bagi pendatang dari luar yang hadir sebagai penonton. Orang lain akan meresponsnya dengan konfirmasi singkat atau isyarat persetujuan.

Masyarakat Buton yang tinggal di Maluku sendiri berisi kelompok etnis yang heterogen dan berasal dari pulau-pulau pinggiran Kepulauan Buton. Mereka bermigrasi untuk mencukup kebutuhan di luar pulau. Di antara mereka banyak yang tinggal di Ambon atau Seram untuk bekerja di perkebunan, atau mencari peruntungan dengan berdagang. Namun sayangnya, mereka tidak diterima dengan baik, diperlakukan sebagai masyarakat rendahan, dilarang punya lahan pertanian, dan tertekan karena kurangnya rasa aman dalam hidup mereka. Lalu memunculkan perasaan "milenarianisme, yang diartikan sebagai suatu harapan akan masyarakat baru yang berlimpah. Keyakinan ini memberi jalan keluar bagi mereka yang beriman untuk meredakan kecemasan dan rasa tidak berdaya, juga memberi kerangka untuk melakukan perubahan sosio-kultural.

Orang seperti La Ibu sendiri berhubungan dengan dukun dalam gerakan milenarian Amazon Barat. Wright dan Hill (1986) sendiri mempelajari, kemahiran dukun dalam mengimprovisasi mitos dan ritual adat untuk mengatasi kesulitan ekonomi dan politik para pengikutnya sangat penting bagi gerakan ini.

Hal ini memungkinkan masyarakat Buton membentuk basis budaya untuk bertindak sebagai komunitas untuk melawan kekuatan yang merusak tatanan sosial asli atau menimbulkan penderitaan/kecemasan yang berkelanjutan. Masyarakat Seram Utara yang terdiri dari suku Huaulu, Besi, Sawai, Wahai, dan Pasahari mempunyai mitologi mereka sendiri terkait sosok-sosok sakti yang konon berasal dari Kepulauan Buton. Sosok-sosok ini mewakili kekuatan eksternal yang luar biasa untuk menghasilkan kesatuan kosmogenik yang lebih luas.

Pendahulu Buton di Seram Utara, yang mulai muncul pada abad ke-17 bekerja sebagian besar di sektor perkebunan. Sebelumnya mereka tinggal di Ambon, alih-alih Kepulauan Buton. Setelah mereka punya pendapatan yang cukup, dengan seizin pemimpin setempat, membuka perkebunan sendiri dan pindah ke Seram Utara. Sebab kesuksesan itu, mereka mengajak sanak-saudara mereka yang lain untuk menetap. Namun, suku Buton kemudian terlibat sengketa pertanahan dengan masyarakat Maluku. Sengketa yang sering muncul, terkait pembagian keuntungan antara pemilik tanah dan petani Buton. Sengketa ini terjadi salah satunya karena lemahnya posisi masyarakat Buton secara sosial maupun hukum. Konflik etho-agama kemudian semakin meluas menyusul konflik kekerasan komunal di Maluku tahun 1999-2002. Antagonisme antara penduduk lokal dan pendatang semakin dalam ketika terjadi penyerangan antara umat Kristiani dan Islam.

Di Seram Utara, masyarakat Buton hanya diperbolehkan menyewa tanah, bukan memiliki. Terkadang, masyarakat Seram mengklaim jika masyarakat Buton tak mempunyai hak atas tanah di Seram Utara dan mencoba untuk merebut kembali kepemilikan tanah itu secara sah. Masyarakat Buton juga tidak diikutkan dalam program pemerintah, dan tak diberikan status desa administratif untuk mengelola desa dan anggarannya. Kondisi inilah yang menimbulkan semangat milenarianisme Buton.

Pemicu milenarianisme Buton juga didorong oleh latar belakang kosmologi Seram yang berkaitan dengan mitos sejarah. Diceritakan, Buton telah ada di Seram sejak zaman nenek moyang Seram sendiri. Pendahulu Buton merupakan tokoh sejarah penting, seperti pada Perjanjian Supamaraina yang menyebar di kalangan masyarakat Wahai. Dahulu, mereka menyepakat bagaimana klan harus menyebar dan menetap di sekitar pula Seram setelah banjir besar yang menghancurkan segala bentuk kehidupan. Nenek moyang Wahai mengadakan pertemuan dewan di puncak Gunung Maraina, pangeran setengah ular yang berasal dari Kepulauan Buton bernama La Ode Wuna diminta berpartisipasi dalam dewan tersebut.

Pada penelusuran Geger terkait penafsiran milenarianisme Buton di daerah kantong Buton Seram Utara pada tahun 2015, dan antara tahun 2018-2019, secara konsisten Geger menemukan penduduk desa ragu-ragu jika mereka mengetahui sejarah keseluruhan mereka pada masa lalu di Seram. Keraguan-raguan ini Geger percaya datang dari penerimaan mereka terhadap posisi yang lebih rendah sebagai pendatang baru di masyarakat Seram.

Salah satu cerita dari Bachtiar masyarakat Buton di Wahai, dia mendengar bagaimana La Ode Wuna sangat berperan dalam Perjanjian Supamaraina. Namun sayangnya, narasi yang berkembang, yaitu bagaimana masyarakat Buton dijauhkan dari kebenaran sejarah Seram, meski gagasan penduduk Buton dan Seram merupakan saudara kandung diupayakan, semisal pada pertemuan di Bula pada tahun 2016. Sayangnya, pertempuran yang mencoba mengungkap sejarah asli tersebut tidak pernah selesai. Masyarakat Buton sangat percaya pada nilai dan potensi transformatif dari kebenaran sejarah yang mereka harapkan dapat dipelajari masyarakat Seram. Pengakuan dari pihak lain berperan penting dalam mendorong sikap milenarian.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana representasi Buton dipahami dan disalahpahami? Sprenger (2017) berpendapat, kesalahpahaman tidak hanya sebagai hal yang tidak dapat dihindari, tetapi juga produktif karena dapat menciptakan dan memelihara hubungan.

Studi kasus dijelaskan Geger pada kasus Huaulu di Seram Utara, yang dipandang sebagai masyarakat yang sangat tradisional dan menjaga budaya asli Seram. Bagi masyarakat Huaulu, representasi Buton berperan sebagai pihak luar yang kuat dan berbahaya. Dalam mitos mereka, sosok yang mewakili Buton yaitu makhluk gaib mirip burung bernama Sahulau. Mereka juga menganggap orang Buton memiliki ilmu hitam berbahaya untuk menipu penduduk pegunungan. Meski di cerita lain, orang Buton direpresentasikan sebagai saudara perempuan Huaulu di masa lalu. Huaulu merupakan kakak laki-laki mereka (sosialitas batin).

Mitos ini menunjukkan bagaimana orang Buton dianggap sebagai golongan Lain, yang tidak menyenangkan, yang mengancam keselamatan masyarakat dataran tinggi. Nilai tertinggi Suku Huaulu merupakan dominasi dan ekspresi budaya mereka yang paling memuaskan dan terhormat adalah ekspresi yang melambangkan superioritas kelompok mereka dalam kaitannya dengan Yang Lain. Ada rasa takut berkepanjangan di kalangan masyarakat Maluku jika tanah dan mata pencarian mereka akan dirampas oleh masyarakat Buton.

Pada kisah La Ode Wuna semisal, yang digambarkan sebagai makhluk setengah manusia, setengah ular, dan seorang pagneran dari kerajaan seberang laut menjadi atribut-atribut meresahkan, yang tentu mengancam. Mitos lain terkait La Ode Wuna, dia datang ke Seram setelah diasingkan ayahnya dari Pulau Muna di Sulawesi Tenggara. Dia berlayar menggunakan dua batok kelapa untuk sampai di Seram. Menurut masyarakat Sahulau, La Pde Wuna kemudian mendirikan kerjaan di gunung tertinggi Seram. Orang lain di Tumalehu menceritakan pula, La Ode Wuna mengundang rakyatnya dari Buton untuk tinggal di pegunungan Seram setelah dia bersekutu dengan raja setempat. Sementara masyarakat Manusela menganggap, kedatangan La Ode Wuna untuk mewarisi kerajaan dataran tinggi raja setempat. Mitos seiring berjalannya waktu, kemungkinan diubah, dari mitos pengusiran pangeran ular menjadi mitos raja asing.

Menariknya, hampir tidak dapat disangka, masyarakat Buton hampir tidak mempunyai pengetahuan mengenai kosmologi masyarakat Seram. Kesalahpahaman ini menjadi kunci mendasar bagi watak milenarian Buton, yang benar-benar percaya pada sejarah kosmologis yang tersembunyi. Meski demikian, milenarianisme Buton dianggap sebagai penemuan bermotif politik untuk mengaburkan pentingnya hubungan dengan orang lain. Miskomunikasi telah menyebabkan masyarakat Buton tidak bisa saling menguntungkan dengan masyarakat Seram, dan pada akhirnya membentuk kerangka milenarian mereka. Sehingga dapat ditarik gagasan, milenarianisme sebagai kerangka simbolik yang diciptakan untuk mengartikulasikan kesulitan kolektif.


ABSTRAK:

Artikel ini menimbang watak milenariansime di antara masyarakat Buton di wilayah Kecamatan Seram Utara, Maluku. Berfokus khususnya pada bagaimana masyarakat Buton menerjemahkan kesertaan mereka ke dalam kosmologi adat setempat, mengingat keberdaan mereka saat ini yang berbahaya dan memalukan. Di Maluku, orang Buton telah lama dianggap sebagai masyarakat kelas bawah, orang luar yang tidak diikutsertakan dalam skema budaya lokal dan rentan secara sosial dan hukum. Daripada hanya melihat aspirasi mereka untuk tatanan sosial yang baru dan sempurna sebagai sesuatu yang muncul dari keinginan mereka untuk mengakhiri keadaan sulit mereka, dan daripada melihat keyakinan mereka sebagai sesuatu yang diciptakan untuk mencapai tujuan tersebut, saya menyarankan agar komunikasi yang tidak selaras kiasan kosmologis penting dalam pembentukan kerangka milenarian mereka. Masyarakat Buton memahami kehadiran representasi mitos mereka dalam kosmologi asli sebagai bukti tatanan asli, yang menginspirasi mereka untuk percaya bahwa masyarakat Seram menyembunyikan kebenaran dan wahyu tersebut akan membalikkan tatanan yang menindas saat ini. Namun, bagi masyarakat Seram yang sering disebut, penyertaan representasi mitos Buton adalah cara untuk mengasimilasi kekuatan, orang asing yang berbahaya dan mengabadikan keutuhan kosmologi mereka. Penekanan pada produktivitas kesalahpahaman dibandingkan tindakan kreatif dalam memperluas kerangka simbolik membantu menjelaskan relasionalitas khusus yang melandasi milenarianisme Buton.

Riyanto, Geger. "Revelation and misunderstanding: Buton millenarianism and the interchange of cosmological tropes in North Seram, Maluku, Indonesia." Indonesia and the Malay World 48.142 (2020): 323-337.

Link: https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/13639811.2020.1820777

#31daysofindonesianscholars #gegerriyanto #buton #seram #maluku #melenarianisme #communication #intergroup

PROFIL SCHOLAR:

Geger Riyanto merupakan Dosen Antropologi FISIP Universitas Indonesia (UI). Menyelesaikan S1 dan S2 di UI, serta S3 di Universitas Heidelberg Jerman. Minat penelitiannya pada bidang teori sosial, kekerasan, identitas, dan hubungan antarkelompok. Menulis buku di antaranya, "Asal-Usul Kebudayaan" (2018), "Paman Gober Jadi Pahlawan Nasional" (2018), dan "Peter L Berger: Perspektif Metateori Pemikiran" (2009). Disertasi Ph.D-nya berjudul "Being Strangers in Eastern Indonesia: Misunderstanding and Suspicion of Mythical Incorporation among the Butonese of North Seram" memperoleh penghargaan Frobenius Research Award, sebuah penghargaan disertasi antropologi terbaik di negara-negara berbahasa Jerman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar