Senin, 29 November 2021

Rushmore (1998): Come On Max, Tak Perlu Seambisius Itu

Gudangnya tokoh-tokoh eksentrik memang salah satunya dipunyai oleh sutradara Wes Anderson. Di film Rushmore, tokoh unik bernama Max Fischer (Jason Schwartzman) memang sedikit duanya. Di awal film tokoh ini sudah menggebrak dengan deretan aktivitas ekskul yang mirip kereta api panjang. Ekskul dia terlalu banyak hingga saya sulit mendatanya, tak hanya ikut, dia juga adalah pendiri, pelopor, wakil ketua, ketua, hingga jabatan penting lainnya.

Teman dekat Max tak biasa, dia dekat dengan seorang industrialis kaya bernama Herman J. Blume (Bill Muray) dengan beda usia seperti bapak dan anak; Mr. Blume juga tak kalah kacau dengan rumah tangga di ujung tanduk dan membenci dirinya sendiri. Keduanya terjebak cinta segitiga karena mencintai seorang perempuan yang sama bernama Rosemary (Olivia Williams). Dia adalah guru TK, punya anak satu, serta digambarkan sebagai perempuan manis tapi kacau; dia menderita kesepian setelah ditinggal suaminya yang freak dengan dunia aeorplane; hingga dijuluki "perempuan yang mencintai pria mati" (she is in love with dead man). 

Akhirnya persaingan tidak sehat dan kekanakan terjadi antara Max dan Blume. Cara-cara tak masuk akal dilakukan, dari menindas sepeda Max sampai tuduhan lainnya yang membuat Rose semakin depresi. Sampai-sampai yang lucu, Max membuat "dream graveyard" alias kuburan mimpi yang menampung mimpi-mimpi gagalnya. Hingga akhirnya, tak ada satu pun yang mendapatkan hati Rose meski segala pengorbanan telah dilakukan.

Sebenarnya, Max punya fans gadis Asia bernama Margaret Yang (Sara Tanaka) yang hobi dengan dunia sains. Namun Max biasa saja. Puncak film adalah ketika Max memainkan drama bikinannya bersama teman-temannya di sekolah Rusmore. Max sebenarnya siswa yang bodoh, hanya dia begitu aktif dan bisa membuat orang berkesan sehingga dia bertahan di Rushmore yang notebene sekolah untuk orang-orang pinter gitu deh. 

Dibanding dengan film Moonrise Kingdom, bagi saya film ini cukup membosankan. Alurnya klise dan ceritanya mudah ditebak. Alih-alih eksentrik sebenarnya, Max tokoh yang cepat dewasa, ambius, dan menyebalkan di pikiran saya. The Guardian membuat ulasan menyampaikan pujiannya, meski saya kurang sreg. Yah, 5/10 lah ya.

The Devil Wears Prada (2006): Kerja Tak Sebercanda Itu

Judul film ini pertama kali pernah saya baca di sebuah buku fashion. Ceritanya total selain seputar fashion juga kumpulan orang, para perempuan yang workaholic. Terkisah Andrea Sachs (Anna Hathaway) atau yang kerap disapa Andy bekerja di sebuah penerbitan majalah Runaway. Bosnya Miranda Priestly (Meryl Streep) adalah seorang perfectionist yang menuntut kerja keras, kerja cerdas, kerja cepat, dan kerja elegan. Andy yang baru saja lulus dari Universitas Northwestern dengan latar belakang pernah jadi aktivis pers di kampusnya dan berbagai prestasi kepenulisan lain pun bekerja bersama Miranda.

Andy pun melakukan adaptasi dan penyesuaian yang sangat banyak. Dari cara dia berpakaian, cara dia beraksesoris, cara dia dandan, cara dia memilih merk, cara dia ini dan itu berubah sangat cepat. Perubahan di sini saya kira sangat-sangat tidak masuk akal, karena saya meragukan ada manusia yang bisa belajar secepat itu tanpa memperlihatkan proses jatuh bangun dan pergulatan. Andy menyebut itu sebagai "batu loncatan", but how? Karier gak sesederhana itu. Dan tiba-tiba saja Andy menjadi tokoh sempurna yang sesuai dengan karakter Miranda. Untuk pakaian dan tas yang kampungan dikatakan: "Jangan mencemarinya di sana." 

Tapi yah, ini bisnis Bung dan Nona. Kapitalisme tak kenal belas kasihan meski kau pernah menulis terkait pemogokan buruh sekali pun. Pergolakan terjadi, Andy yang berubah membuat teman-temannya tak kenal dengan dirinya. Pacar dan sahabat dekatnya pun protes karena Andy tak menjadi dirinya lagi. Dunia fashion memang dunia serba cepat, bahkan saya tak bisa membedakan gasper dengan warna sama, model sama, tapi dibilang berbeda. 

Andy pun meski kelabakan awalnya bekerja dengan Miranda, toh dia bisa survive. Sedangkan Emily temannya mesti menucapkan mantra "I love my job, I love my job, I love my job" sekian banyak kali kala dia stress untuk bertahan. Aneka tekanan dan deadline yang tak masuk akal dibuat, sedangkan Andy bersikap sebagaimana seloka orang Jawa: "weruh sak durunge winarah." Andy tahu apa yang dibutuhkan Miranda bahkan sebelum bosnya itu mengatakan.

Oh Tuhan, kalau kau benar-benar jadi Andy saya pikir memang hanya akan sedikit yang bertahan, even posisi itu diimpikan jutaan perempuan lainnya. Bayangkan kerja dan aktivitas yang tak masuk akal yang diberikan Miranda, bayangkan bisnis yang selalu menatap simbol, tampilan fisik, dan material duniawi itu. Sehatkah kerja seperti itu? Bagaimana pula dengan pribadi Miranda yang memiliki keluarga tak harmonis meski dikaruniai dua anak kembar? Bagaimana hubungannya dengan suaminya?

Yah, apa pun kritik untuk Miranda ada hal menarik, dia punya wilayah suci terkait mode yang tak bisa diganggu gugat merupakan dunianya. Miranda memiliki karakter ganda antara feminim dan maskulin sekaligus, terlebih dari ketegasannya, sikap tidak basa-basinya, kejujurannya, ambisinya, dll. Hal yang sangat susah dilakukan oleh perempuan yang berkarakter B aja. 

Dari banyak bandrol dominan di ranah fashion, lalu mengapa harus Prada yang dijadikan judul? Mengapa tak Chanel, Calvin Klein, Gucci, LV, atau sebangasanya? Dan lagi-lagi saya serasa diajak kembali ke Italia lagi dari beberapa film terkahir yang saya tonton, meski rumah desain para perancang busana adalah Paris, Prancis. Di kota itulah Miranda melepas jabatannya dengan hormat dan penuh sombong. Ia tak bisa menyangkal untuk digantikan dengan Pemred majalah yang lebih muda.

Dan di akhir film Andy menemukan kemerdekaannya untuk memilih pekerjaan.... David Frankel sebagai sutradara memang jago di hal-hal yang bertema seperti ini. Saya jadi penasaran dengan makna kecantikan menurutnya.

A Little Romance (1979): Tergoda Mewujudkan Legenda Bikinan

Film ini satu genre dengan Flipped di ranah coming age-nya, sepasang remaja sedang jatuh cinta dan kabur ke Venesia hanya untuk membuat legenda cinta mereka sendiri: Berciuman di bawa jembatan di atas gondola dengan lonceng berbunyi kalau sanset dengan golden light-nya menghujani, di Italia. 

Dua tokoh remaja itu: Daniel (Thelonious Bernard) dan Lauren (Diane Lane). Keduanya punya kelas sosial yang berbeda. Daniel anak piatu, hanya memiliki ayah yang seorang sopir taksi yang tak kaya-kaya amat. Berbeda dengan Lauren, anak seorang bos atau raja (king)? Yah, Lauren adalah anak seorang aktor yang kaya raya, yang apa saja punya. Lauren punya IQ tinggi, 146 seingatku. Dia tak punya banyak teman, hanya satu teman yang sering bersamanya, Natalie (Ashby Semple). Lauren lebih banyak menghabiskan waktu dengan membaca-baca buku berat tapi dianggapnya ringan. Misal dia membaca Heidegger sebagai bacaan hiburan, tentu ayahnya yang perhatian itu kaget.

 diane lane | Diane lane, Great films, Dad fashion

Sementara Daniel tak kalah cerdinya dengan pelajaran-pelajaran yang dia dapat dari menonton film-film Hollywood. Berkat menonton film bahasa Inggrisnya jago, dan dia bisa berbicara dan sepik-sepik dengan Lauren. Dia pun kalkulator ulung karena sebagian lotre pacuan kuda dia menangkan, dia tulis hasilnya di belakang sebuah poster.

Suatu hari Daniel dan Lauren bertemu dengan seorang pria pencuri, Julius Edmond Santorin (Laurence Oliver), yang entah memiliki gangguan emosi apa mendongengi keduanya dengan kisah asmara seputar Venice. Ciuman di bawah jembatan saat golden time akan membuat cinta dua insan manusia abadi. Lauren yang hendan pindah dari Paris ke Amerika Serikat pun ingin mencetak sejarahnya sendiri bersama Daniel. 

Berawallah petualangan itu, mereka nekat pergi ke Italia dengan mengajak Julius karena masih anak-anak. Mereka menggunakan dana hasil lotre, meski sebenarnya uang hasil curian Julius, haha. Akhirnya Julius dan Lauren menjadi buronan polisi atas dakwaan penculikan. Di Italia lah petualangan sesungguhnya terjadi, mereka ikut lomba sepeda, dikejar-kejar polisi, nonton film (lagi), dan the best moment terjadi pula: ciuman di bawah jembatan! Itu worth it banget, setelah usaha keras kan ya. Meski jika dikaitkan remaja sekarang, kisah itu hampir too good to be true, haha.

Ada ulasan menarik tentang film ini dari New York Times dan Roger Ebert. Film ini sendiri diangkat dari sebuah buku dan melihat tahun pembuatnya memang cukup keren sinematografinya. Kesan dari film ini adalah hangat. Pesan moralnya: "Biar pun orang lain di luar membual, ini legenda kita, dan legenda kitalah yang valid."

Ziarah (2016): Serasa Pulang ke Batin

Bagi saya, film "Ziarah" adalah film terbaik Indonesia yang saya tonton tahun 2021 ini. Film ini membawa saya menziarahi batin dan seolah menampar saya dengan berbagai pertanyaan. Film ini menghadirkan fakta-fakta menarik akan sesuatu yang transenden, kesetiaan, pernikahan, perjuangan, mistisisme Jawa, local wisdom Gunung Kidul, serta membawa saya kembali pada Jogjakarta.

Kejujuran Akting Ponco Sutiyem di Film Ziarah | kumparan.com

Saya tak tahu harus memulainya darimana. Atau izinkan saya bercerita dulu terkait tokoh Mbah Sri (Ponco Sutiyem), nenek berusia 95 tahun yang dengan gigihnya mencari makam suaminya Pawiro, yang menjadi korban Agresi Militer II, clash saat itu. Saya benar-benar kagum dengan semangatnya, dengan usianya yang tak muda, dengan fisiknya yang sudah lemah, dia berjalan kaki hingga jauh untuk menemukan makan suaminya. Itu dilakukan dengan satu niat: dia mau dikuburkan di samping makam suaminya.

Mbah Sri berjalan dengan memecahkan satu teka-teki satu ke satu teka-teki yang lain. Dari satu orang ke orang lain. Perjalanan itu membawa saya ke Gunungkidul, makam-makam khas di sana yang sering ditutup dengan kain putih, suasana mistis rumah tradisional di sana, juga budaya tutur masyarakat di sana. Mbah Sri juga membawa keris, keris yang bisa bergerak sendiri menunjukkan arah. Sebab ternyata ada sebuah kepercayaan, keris akan menemukan pasangannya.

Tak kalah berharga juga pelajaran yang disampaikan oleh cucu Mbah Sri, Prapto (Rukman Rosadi). Di usia sekarang, obrolan terkait pernikahan menggelitik saya. Dan saat itu ada sebuah dialog yang cukup mengena di ulu hati, kira-kira begini: "yo ra gojek, umurki ki wis ra gojek." Untuk menunjukkan keseriusan Prapto pada calon istrinya Vera Prifatamasari. Saya juga belajar terkait rumah tangga, hal pertama yang perlu dibangun adalah pondasi rumah, bukan printilan macam mesin cuci, TV, dan tetek bengeknya hanya karena barang-barang itu sedang diskon besar.

Film ini membawa saya pulang ke batin juga karena mengingatkan saya akan tanah air saya sendiri. Saya membayangkan betapa susahnya kemerdekaan itu tercapai, melalui perang dlsb, dengan begitu banyak korban. 

Karya sutradara BW Purba Negara ini memang unik, selain mengambil tokoh utama seorang nenek yang sudah sangat tua, tapi juga dengan alur seperti orang mengerjakan teka-teki silang ketika menontonnya. Premis tujuan sederhana: Mencari makam Pawiro. Meski di akhir film berakhir dengan menyedihkan, di samping makam itu sudah ada makam lain seorang perempuan yang berarti istrinya. Dan apalah arti kesetiaan Mbah Sri ini?

Scene-scene yang ciamik dan emosionil juga menyentuh kalbu. Semisal ketika Mbah Sri nyekar di tengah daratan yang telah berubah jadi danau; kala Mbah Sri menyapu makam suaminya; kala Mbah Sri tertidur di pendopo makam; dlsb. Saya membayangkan diri jadi Mbah Sri, betapa mulianya....

Sabtu, 27 November 2021

Flipped (2010): Jungkir Balik Perasaan Cinta Sepasang Bocah

Semakin mendalami dan menonton, makin ke sini saya jadi paham jenis film mana yang benar-benar membangkitkan curious saya dan mana yang tidak. Saya memutuskan nonton film ini dari hasil download-an saya setelah melakukan pencarian banyak film yang "sepertinya cocok" bagi saya. Tak semua film cocok untuk seseorang, itu premis pertama. Sebelumnya saya menghabiskan waktu dengan tidak bersemangat ketika nonton Seven Years in Tibet yang dibintangi Brad Pitt di sepuluh menit awal, ternyata saya tak suka karena alurnya lambat, vibesnya bikin saya tambah sengsara, dan temanya perang. Saya akhirnya pindah ke Flipped dengan cerita yang sebocah itu. Ya, jiwa saya kadang masih sebocah kisah Juli di film ini, haha.

Sinopsis Film Flipped, Ketika Cinta Datang Berbalik | SINDOnews | LINE TODAY

Mengingat ulang, film ini sebenarnya pernah diputar di TV ketika saya masih tinggal di rumah dan ketika saya masih sekolah. Namun saya tak menghabiskannya secara penuh sehingga ingatan saya samar, tapi saya masih ingat beberapa potongannya. Di film ini saya menjumpai tokoh unik perempuan bernama Juli Baker (Morgan Lily) dengan imajinasinya yang hidup, semangatnya yang turah-turah, memahami kondisi hati orang-orang terdekatnya, tak ragu menyatakan perasaannya, dan tak bimbang untuk bertindak. Juli mewarisi bakat seniman sang ayah dan jiwa kelembutan sang ibu, juga dua kakak yang pandai menyanyi.

Tentu ini berbalik belakang dengan Bryce Loski (Callan McAuliffe), crush si Juli, cinta monyet pertama Juli, tetangga dan teman sekolahnya. Tokoh Bryce adalah cerminan anak laki-laki cool yang boleh dibilang cerdas, dingin, peragu, tak bisa mengekspresikan diri, penakut, dengan sisi lembut takut menyakiti perasaan orang lain. Bryce merasa terganggu oleh Juli yang selalu mengejarnya dari kecil hingga mereka masuk SMP. Bryce dikaruniai keluarga yang sebenarnya hangat kecuali si ayah, dia sepertinya punya problem serius dalam hal suka merendahkan orang lain, flawless itu cukup annoying untuk dihadirkan.

Melihat kisah Juli dan Bryce, saya jadi ingat kisah sendiri; pengalaman yang sama adalah saya pernah sepassionate itu mengejar cinta laki-laki yang saya sukai. Dan bisa dibilang, lelaki yang saya suka mirip Bryce. Meski saya tak memiliki ide unik untuk naik ke atas pohon dan memikirkan filosofi "melihat secara keseluruhan lebih baik daripada sebagian", tak hanya menyoal pemandangan, tapi juga perasaan dan cinta. Juli jatuh cinta pada Bryce karena tatapan matanya yang begitu indah, saya jatuh cinta dengan lelaki itu karena perlakuan baik dan selera uniknya. 

Review dan Sinopsis Film Flipped

Namun, usaha-usaha yang dilakukan oleh Juli untuk bersikap independen terhadap Bryce justru menimbulkan serangan balik. Juli setelah mengetahui telur yang diberikannya dibuang ke sampah pun patah hati, padahal telur-telur itu dihasilkan dari ayam-ayam betina yang dirawat dengan setulus hati. Hanya karena diskusi keluarga terkait rumah ortu Juli yang tak mirip halaman. Namaun energi cinta selalu sama, ia merawat dan menumbuhkan. Sebab hinaan halaman itu, Juli bertekad untuk merawat halannya yang sedari dia kecil tak pernah tertata dan dipenuhi ilalang. Sebab isu kepemilikan rumah tersebut yang dimiliki oleh adik ayah Juli yang punya kebelakangan mental membuat keluarga itu setengah hati merawatnya.

Dibantu dengan kakek Bryce, si Chet (John Mahoney), halaman itu pun berubah jadi cantik. Waktu pun berubah, sikap Juli yang menjauhi Bryce membuat Bryce justru mengejar-ejar Juli. Moment yang paling dilematis ketika agenda donasi keranjang dan makan siang itu. Bryce menggeret tangan Juli di depan anak-anak kelas dan hendak menciumnya, karena Bryce cemburu. Akhirnya Juli ngambek, gak keluar kamar, dan itu terluluhkan ketika Bryce menandam pohon sycamore di halaman rumah Juli. Dan kalimat yang begitu menyentuh: Ternyata Juli dan Bryce tak sungguh-sungguh pernah saling bicara. Sebagaimana masalah yang dihadapi pasangan pada umumnya.

Film yang disutradarai oleh Rob Reiner ini sangat cocok ditonton oleh anak-anak SD dan SMP. Tayangan keluarga yang menarik. Film yang menunjukkan suatu proses pengejaran dengan perkembangan karakter yang berkembang. 

Jumat, 26 November 2021

Moonrise Kingdom (2012): Sensasi Berpetualangan di Other-worldly Ala Pasangan Anak 12th

Oh Tuhan, dari awal sampai akhir film ini super menghibur. Saya rela memberi angka 8.5/10 untuk film ini secara keseluruhan: aktor, wardrobe, musik, alur, sinematografi, dll. Sederhana dan indah. Ide Wes Anderson memang harus saya apresiasi dengan memberinya banyak emoticon jempol. Bagaimana dia kepikiran untuk menjadikan anak 12 tahun sebagai simbol kegelisahan orang-orang dewasa yang tak cukup dewasa? Dan jujur, saya benar-benar menemukan diri saya yang lain kala menonton film ini melalui tokoh Suzy Bishop (Kara Hayward) dan Sam Shakusky (Jared Gilman). Saya tak henti mengucap "gila, gila, gila......." pada ceritanya.

Wes Anderson's Moonrise Kingdom: Inspirations Behind the Film | Vanity Fair

Sam adalah seorang anak laki-laki bengal yang barus saja kehilangan orangtuanya. Dia menjadi yatim piatu tapi nekat ikut perkumpulan pramuka yang seharusnya dapat izin orangtua. Namun Sam adalah anak cerdas yang mampu membaca peta, menguasai ilmu pramuka, mahir menggunakan tali, dan terbiasa hidup survival di alam. Sedangkan Suzy tak kalah bengalnya. Anak perempuan yang hobi bersedih, sering membawa teropong, sering memainkan peran aneh, dan suka membaca. Suzy memikili orangtua yang boleh dibilang berantakan, ibu dan Bapaknya tidak baik-baik saja secara relasi. Orangtua yang saling menyalahkan diri sendiri dan sudah lelah dengan komitmen rumah tangga, sedangkan anaknya masih empat: Suzy dan ketiga adik laki-lakinya yang seperti seumuran.

Yang saya tak habis pikir, ketika Sam dan Suzy janjian untuk kabur dari masing-masing kediamannya dan mengeksplorasi pulau, ketika Sam abot membawa tas besar berisi tenda, alat masak, dll-nya; eh Suzy malah membawa koper berisi buku fairytale, alat musik/perekam milik adikya, hingga hal-hal yang semestinya tak perlu kamu bawa ketika akan kabur! Tapi anehnya, semua barang-barang yang saya kira tak berguna untuk dibawa itu justru berguna! Suzy membacakan kisah buku ketika Sam santai di tenda; alat musik berguna saat mereka berdansa di sebuah pantai dengan mengikuti cara-cara orang dewasa ketika france kiss dan pelukan; hingga gunting kidal untuk menyerang musuh, hahaha.

moonrise-kingdom - Broesj Blog

Belum lagi ekspresi Sam yang merupakan paduan antara jiwa polos, cerdas, cerdik, dan rupawan. Dia menguasai jalur New Penzance, New England, Amerika tahun 1965. Saya takjub dengan cara Sam dan Suzy meninggalkan dunia membosankan dan menyedihkan mereka. Membuat sinergi kesepian mereka jadi lebih bermakna. Mereka kalau diibaratkan lirik sebagaimana yang dinyanyikan Alex Turner: "Fingers dimming in the lights/Like you're used to being told that you're trouble/And I spent all night/Stuck on the puzzle...."

Jika saya diberi kesempatan dunia lain atau jam kemana saja, saya ingin mengarungi petualangan serupa Sam dan Suzy dengan parner in crime saya (halah). Begitu indahnya berpetulangan di hutan berdua, mengarungi sungai, berdansa di pantai, membacakan buku cerita favorit, menghadapi tantangan berdua, dan tidur berdua saling berpelukan hingga pagi. Mereka hidup dan berpetualangan dengan cara mereka sendiri.

Dan yang penting pula, film ini mengubah pandangan saya terkait dunia Pramuka yang membosankan. Jujur saya tidak suka ekskul Pramuka yang isinya baris berbaris dengan banyak hal-hal otoriter yang saya benci. Namun melalui film Moonrise Kingdom, dunia Pramuka ditampilkan Wes Anderson dengan sebegitu menariknya.

Jadi ingat kalimat ini: Kalau tersesat baru petualngan, kalau gak tersesat ya itu travelling.

Palo Alto (2013): Cerita Anak-Anak ABG yang Begitulah

Okay, alih-alih melabeli kehidupan para ABG dengan kerumitan, saya lebih suka memakai diksi "begitulah". Ketika melihat masa lalu saya kala ABG--sekarang sudah mau 30, haha, duh, Tua!!!--hidup saya tak sehaip tokoh-tokoh yang ada di film ini yang punya aktivitas yang anak muda banget bro: pacaran, pesta, ikut klub sepak bola, atau sesekali minum amer, ngelinting, dan having sex dengan longgar meski akhirnya depresi kemudian. 

Jack Kilmer | Palo Alto - YouTube

Tokoh dalam film ini yang membuat saya tertarik ada dua. Pertama, Teddy (Jack Kilmer), dia adalah remaja yatim dengan satu adik perempuan berkarakter cukup pendiam, misterius, dan setia membersamai sahabatanya yang kacau secara emosi bernama Fred (Nat Wolff). Teddy gambaran remaja yang dari wajahnya sebenarnya orang yang baik, penurut, dan tentu imut. Dia punya talenta seni yang dibandingkan oleh gurunya dengan seniman Picasso. Tokoh kedua, April (Emma Roberts), remaja perempuan yang cukup impulsif, merokok, seorang striker tim sepak bola, dan suka coba-coba hal-hal baru khas anak ABG. 

Sebenarnya, April dan Teddy saling mencintai, pola rasa suka mereka yang dituturkan secara lambat oleh sutradara membuat saya gregetan. Rasa gregetan ini cukup memberi saya hiburan emosi visual. Cukup menarik di adegan ketika Teddy mengucapkan "I love you"; atau kala mereka saling memberikan pesan melalui ponsel. Meski keduanya dipenuhi kecanggungan dan kecurigaan kala sama-sama menggandeng cowok/cewek lain ke dalam hubungan kamar. Teddy dengan Emily (Zoe Levin), atau April dengan pelatih sepak bolanya, Mr. B (Jamse Franco).

Membaca nama sutradaranya Gia Coppola, film ini sarat dengan pesan-pesan feminis yang menghidupkan elan vital perempuan. Fyi, melihat track record keluarga Coppola di dunia perfilman, memang keluarga ini punya sungai perfilmannya sendiri.

Kalau dibandingkan dengan film Submarine, film ini lebih gelap dengan karakternya yang tersesat, sepi, dan depresi. Melihat latar belakang masing-masing tokoh, masing-masing keluarga memang punya kisah berantakannya sendiri. Kebanyakan dari keluarga mereka menyebalkan, kasih saya yang sepintas, dan pencarian jati diri dalam lautan keombang-ambingan. Score dari saya 5/10. Banyak alur bolong yang saya rasa bisa dirajut dengan lebih baik.

The Big Lebowski (1998): Butuh Lebih Banyak Dude!

Beberapa waktu yang lalu, saya punya kesimpulan sementara: sepertinya saya harus lebih banyak menonton film komedi agar hidup yang menyedihkan ini bisa lebih seimbang. Haha, iya, mungkin karena saya kebanyakan lebih cenderung menekan diri untuk menonton film-film yang mungkin berkategori "berat", sok-sokan nonton film kemiskinanlah, kesenjangan sosial, spiritual, etc. Akhirnya saya menemukan film ini karena tertarik dengan kutipan legendaris Lebowski: "I can't be worried about this shit! Life goes on man!

The Big Lebowski (1998)

Overall, tokoh Dude panggilan Lebowski Pemalas (Jeff Bridges) memang tokoh yang unik, hidupnya begitu tenang dan tatag kala aneka badai hidup mengerikan menggempurnya. Ini sejalan dengan prinsip hidup kawan dekatnya, Walter (John Goodman) dan Donny (Steve Buscemi), yah, meskipun Walter juga memiliki masalah emosi serius karena perang; sedang Donny si innocent yang mayan qanaah dengan kebloonannya.

Diksi-diksi seputar menjadi pasifis, nihilis, dan jew(is) diumbar di sini. Yah, mungkin mewakili nilai yang ingin disampaikan, dan tokoh Dude dengan gaya busana, gaya muka, dan gaya hidupnya memang perlu saya beri emoticon jempol. Terlebih gaya dia dalam menyelesaikan masalah, "Terkadang kamu memakan bar, dan terkadang pula bar memakanmu." Saya pikir, seberat apa pun masalah yang menghampiri Dude, dia akan konsisten untuk menghadapinya dengan tenang sambil terus meracau bersama Walter: fuck, shit, motherfucker, hell! Sial, bangsat, brengsek, anjrit!

Dan kau lihat si pecundang Big Lebowski kaya raya itu, dia adalah antinomi dari Dude. Sok-sokan mencari arti manusia dan kehidupan, orang hidupnya aja sibuk bikin jebakan sana-sini. Meski yang nyentrik tentu adik Big Lebowski yang terobsesi dengan seni vagina itu; atau istri Big Lebowski yang sangat passionate terjun di industri pornografi; juga dengan foundation anak-anak (orphanage), haha. 

Kegilaan lain yang perlu kita perbincangan soal Dude adalah bowling. Tentu Dude punya wardrobe bowling berantakan yang dibenci Jesus serta gaya duduk seenak udelnya. Dari film ini saya jadi paham mengapa bowling menjadi olahraga yang cukup digemari hanya dengan melihat Dude dan kawan-kawannya memainkannya.

Yah, humor besutan Coen Brothers Ethan dan Joel Coen ini memang akan membuatmu tertawa dan memaki berkali-kali kala menontonnya. Yuhu, The Dude yang selalu santai dengan dosa orang-orang.

Eat Pray Love (2010): Narasi Sebuah Pencarian Spiritual

Sudah lama tak nonton film, dan makin ke sini makin paham film-film apa yang saya suka; film apa yang cenderung saya bisa menikmatinya. Sebab dari semua film yang saya tonton sebagaimana makanan, cocok-cocokan. Kesan saya setelah menonton film Julia Roberts (Liz) ini, saya lumayan cocok, score 7/10. Apa yang menarik dari film ini bukan hanya seputar Bali dengan semua keindahan budayanya, tapi juga karakter dari si tokoh Liz, dan sepertinya saya mirip dia. 

Eat Pray Love' Film Hollywood yang Syuting di 3 Negara, Termasuk Indonesia!  Archive Tabloidbintang.com

Liz adalah seorang perempuan dewasa umur 30-an yang overthinking. Dia gagal dalam pernikahan dan cenderung mempermasalahkan hal-hal sepele seperti lagu dansa pernikahan yang tak sesuai dengan kesepakatan. Dia memutuskan untuk bercerai karena tidak bahagia akan pernikahannya, meski suaminya masih sangat mencintainya. Liz adalah prototype dari orang USA kebanyakan: tahu hiburan tapi tak tahu caranya bersenang-senang. Ya, saking workaholic-nya mereka. Dan saya juga sungguh merasakan ini.

Tentu kultur US ini beda sama Italia, negara yang dikunjungi Liz setelah perceraiannya, juga kegagalannya menjalin cinta dengan seorang aktor teater yang lebih muda. Setelah tragedi tidur di bawah tempat tidur itu, Liz merasa dirinya dipenjara. Kata-kata sahabat dekatnya soal kotak yang berisi pakaian bayi (mimpi mempunyai bayi) kalah dengan kotak Liz yang berisi peta dan segala bentuk barang seputar berpetualang.

Di Italia, sebagai seorang penulis script pula, Liz belajar bahasa Italia. Negara pizza dan spageti ini memang menarik dari sisi cara masyarakatnya berekspresi. Tangan mereka selalu bergerak seolah akan melakukan dirijen yang mereka sukai, atau suka-suka mereka. Orang Italia tahu cara bersenang-senang, mereka punya kultur "nikmatnya tidak melakukan apa-apa", yang tentu ini bukanlah Liz yang pikirannya selalu sibuk. Orang Italia juga paham makna cinta, kekeluargaan, dan tentu makanan enak. 

Usai dari Italia, Liz merantau ke India. Negeri yang lebih berantakan daripada Indonesia, di mana kemiskinan dan gelandangan di mana-mana. Meski di negara inilah Liz sebenarnya belajar terkait spiritual. Dia masuk kelas salah seorang tokoh namaste di sana, mengikuti kelas yoga, ikut melakukan aktivitas pelayanan umat, dan mengikuti budaya silence (tidak berbicara apa-apa). Dia bertemu dengan sesama "orang gagal" dari US yang juga bercerai, pria ini yang mengajari Liz untuk memaafkan dirinya sendiri. Dan kalimat yang masih saya ingat: "Urus dirimu sendiri Liz, yang lain, mereka bisa mengurus diri mereka sendiri."

Lalu petualangan Liz sampai juga di Bali. Sebagaimana ramalan Ketut Liyer (Hadi Subiyanto), Liz akan kembali ke Bali dan menemukan cintanya di sini, Liz bertemu dengan pria gagal yang lain bernama Felipe (Javier Bardem). Di Bali, Liz belajar terkait keseimbangan hidup, yoga, dan ilmu-ilmu obat-obatan dari Wayan (Christine Hakim). Wayan memiliki anak bernama Tutti (Anakia Lapae), yang membantu ibunya bekerja.

Secara keseluruhan, film ini cukup menarik. Mungkin karena Liz mewakili saya, saya jadi ingin melakukan perjalanan sebagaimana Liz, yang entah itu kemana... Mungkin saya akan merencanakannya, entah di dalam negeri atau mungkin nanti keluar negeri, tujuannya: kala hidup sudah tak bermakna lagi, jalan paling indah memang pergi, jalan-jalan. Menemukan nilai-nilai baru hidup kembali. Mungkin nilai itu sesimpel: Makan Berdoa Cinta.

Selasa, 16 November 2021

Sikiater

Detik ini, aku merasa sangat padang hati dan pikiran. Kupikir aku akan gila, sering lupa, dan kembali hampa. Atau tak nafsu makan, tak meminati hobi, dan tak ingin apa-apa lagi.

"Kau butuh ke sikiater," katanya. "Setidaknya kau nanti akan diberi obat yang membuatmu lebih tenang."

Meski dalam hati aku ingin berkata, "Bolehkah sikolognya kamu saja? Aku sulit percaya pada orang lain." Namun kata-kata itu tertambat karena aku takut merepotimu. Lalu kujawab, "Iya."

Aku mulai pusing lagi.

Paginya, kamu bilang, "Nggak papa berantakan, nggak papa. Biar sekalian berantakan asal kamu pulih."

"Kamu telah melakukan sebaik yang kamu bisa. It's worth to try," nadamu bersahabat sembari kusimpulkan satu pelajaran berharga hari itu: Nyatanya, orang hanya akan berubah pada moment-moment tertentu saja. Moment yang membuatnya "kesetrum", dan katamu, aku butuh "disetrum". Ha-ha.