Sabtu, 24 Agustus 2019

Buku: Liputan-Liputan Gembira Jurnalis Persma


Halo teman-teman yang baik, buku "Liputan-Liputan Gembira Jurnalis Persma" merupakan dokumentasi dari kumpulan berita online yang pernah saya buat selama berkecimpung menjadi jurnalis pers mahasiswa. Sebenarnya sudah lama saya kumpulkan, tapi baru bisa saya unggah sekarang. Teman-teman bisa mengunduhnya di link: https://drive.google.com/file/d/1ppbHu_kNyq5CbkQuBtNfET07MXWAIRzt/view


Berikut pengantar untuk buku ini: 

Pelajaran Menjadi Jurnalis Kampus

Entah telah berapa banyak orang, tempat, kejadian, alasan, dan pemikiran yang telah saya temui selama berkecimpung menjadi jurnalis mahasiswa—khususnya di LPM Arena. Saya masuk sejak semester satu (2013), dan aktif di ARENA hingga pertengahan semester sepuluh. Hampir lima tahun di ARENA dan merasakan pergantian kepengurusan hingga empat kali. Jika menjadi anggota ARENA lebih lama dari itu, mungkin saya akan terus-terusan. Namun, satu-satu akan pergi juga, regenerasi akan selalu terjadi demi sehatnya organisasi.

Nyaris sebagian besar waktu hidup saya di Jogja saya persembahkan semuanya dengan tulus untuk ARENA. Bagi saya ARENA adalah kesenangan yang tak henti-hentinya saya syukuri seumur hidup. ARENA bagi saya lebih dari sebuah rumah di mana saya mengalami revolusi besar-besaran terkait bagaimana saya memandang dan menjalani hidup. Di ARENA saya belajar apa pun. Bahkan saya lebih merasa jika kuliah saya yang sebenarnya adalah di ARENA daripada di kelas. 

Saya sering mendengar, ARENA dikatakan sebagai martir. Berita-beritanya terlalu keras dan berani; yang selalu mengakibatkan pihak yang kami liput menjadi sangat gerah. Tak jarang setiap kami liputan, beberapa pihak kampus yang tidak terima dengan pemberitaan kami berceramah dan mengomeli kami dulu sebelum melakukan wawancara. Saya sendiri sangat berterima kasih dan berlapang dada jika memang terbuktikami sebenarnya salah dan dievaluasi dengan argumen yang membangun. Sungguh itu pelajaran yang sangat penting. Di mana diskursus telah terjadi.[1]

Atau sudah terlalu sering juga pengurus ditanyai: kenapa ARENA hanya membuat berita dan tulisan yang negatif-negatif saja? Yang jelek-jelek saja? Saya hanya ingin menggarisbawahi bahwa: kami bukan menulis hal-hal negatif atau yang jelek-jelek, kami di kenyataan hanya melihat sesuatu yang tidak benar dan tidak sesuai; lalu kami melakukan kritik atas itu. Tugas kami memantau dan mengabarkan ketimpangan yang terjadi antara apa yang senyatanya dengan apa yang seharusnya—bukan menjelek-jelekkan. 

Nafas kami adalah nafas progresif, konstruktif, dan alternatif. Kami idealis, independen, dan terbelit kepentingan. Bagi saya, itu adalah nafas utama persma. 

***

Saya tak tahu dengan pasti, untuk apa saya membuat buku kumpulan berita ini. Ada beberapa kegelisahan pribadi yang saya rasakan ketika bergelut di persma. Pertama, semakin sedikit anggota persma yang hanya sekedar “mencantumkan nama” dalam organisasi. Kerja utama persma yaitu “menulis” (meski sesederhana apa pun) mulai ditinggalkan. Sebulan sekali menulis tulisan satu saja masih bisa dibilang mending. Bahkan ada yang tak berkarya sama sekali. Apakah itu laku yang tepat sebagai anggota persma? Kedua, tanpa tulisan rutin yang dihadirkan para jurnalis pers mahasiswa, saya khawatir persma hanya sekedar menjadi lembaga kajian yang sering berdiskusi atau alat propaganda gerakan saja. Ketiga, degradasi wacana karena kurangnya tulisan. Orang cerdas bagi saya adalah dia yang paham dan menularkan pemahaman itu melalui tulisan sehingga membuat idenya bisa ditularkan untuk kebaikan bersama.

Setelah saya hitung-hitung, berita saya di web lpmarena.com yang saya kumpulkan dalam antologi ini lebih banyak meliput di luar kampus daripada yang di dalam kampus. Hanya sekitar 1/10 saja dari jumlah tulisan saya yang meliput kampus. Itu pun bukan berita yang mendalam. Hanya tulisan-tulisan di SLiLiT yang murni secara lebih panjang membahas soal kampus—dan jumlahnya hanya empat liputan. Itu kenapa antologi ini saya namai Liputan-Liputan Gembira Jurnalis Persma. Sebab isinya memang kebanyakan liputan-liputan sederhana, biasa, bisa jadi retjeh—yang semua anggota pers mahasiswa saya pikir bisa membuatnya, tapi meliput kesederhanaan ini membuat saya senang/gembira.

Belakangan saya menyesal. Kenapa saya lebih banyak menulis hal di luar kampus? Kenapa seabai ini dengan kampus sendiri? Padahal tugas pers mahasiswa adalah pers yang menjadi pengingat bagi kampusnya sendiri. Isu kampus tak pernah akan selesai digali. Apalagi setiap hari manusia berkembang, kampus juga berkembang, setiap tahun ajaran memiliki kisah sendiri. Satu-satunya majikan pers mahasiswa adalah publik kampus. Masalah dan dinamika kampus adalah jantung pers mahasiswa. Kampus adalah poros. 

Pergeseran perspektif juga, seolah ada trend “liputan di luar” (apalagi liputan konflik) lebih punya bobot, daripada meliput “yang di dalam”. Saya pribadi, kampus berperan sebagai isu primer. Lalu ada isu sekunder semisal isu-isu genting kerakyatan, semisal penggusuran di Kulon Progo, kasus proyek bandara NYIA, atau kasus agraria. Baru terakhir yang paling sunnah sebagai isu tersier adalah yang ringan-ringan. Semisal bedah buku, pameran, atau peristiwa-peristiwa yang sifatnya selingan. 

***

Dari pengalaman liputan dan bertemu dengan banyak subjek di kampuslah saya tumbuh dan melaju lebih cepat. Aktor-aktor kampus telah mengajari saya pelajaran-pelajaran bagaimana menjadi seorang jurnalis persma. Saya ingin merangkum beberapa pelajaran menjadi seorang jurnalis selama saya bergelut dalam dunia pers mahasiswa kampus:

Pelajaran pertama: Jurnalis itu jadi peneliti yang update kejadian setiap hari. Dulu saya berpikir di media mainstream ada tuntutan menulis semisal 5-10 berita per hari. Setelah berpikir lebih panjang, 5-10 kejadian itu tak ada seujung kuku fenomena dunia/Indonesia yang terjadi. Saya harus ingat, dasar jurnalis adalah fakta (peneliti), bukan etika/moral/idealita (penceramah).[2] Journalist must be update in reality. Ingat pesan jurnalis Amarta Loebis: hakikat jurnalis adalah menulis dan mengabadikan sejarah hari ini.

Pelajaran kedua: Melakukan liputan dan bertemu dengan narasumber jika tidak benar-benar paham dengan isu yang diangkat sama saja dengan bunuh diri—yang datang dengan kepala kosong dan tidak berbasis data. Jurnalis-jurnalis serampangan saja yang yang melakukan hal seperti itu, yang melacurkan otaknya sedemikian rendah di depan narasumber. Tak beda jauh sama kepanjangan tangan hoaks, “yang sekedar ingin tahu saja”. Boro-boro bicara dampak. Masalah dasarnya saja tidak tahu. Sangat kelihatan antara ada masalah dan tidak ada masalah. Pernyataannya ini-ini, masalah ini-ini, data ini-ini, baru pertanyaan ini-ini. Kalau bisa nyambung dengan narasumber, dia bakal semangat sekali menjelaskannya.

Pelajaran ketiga: Baca itu mudah, murah, dan tinggal melakukan. Data-data jurnalistik ada di mana-mana sekarang. Kita tinggal mencari dan membacanya. Apalagi sekarang tinggal ketik dan klik.

Pelajaran keempat: Asyiknya liputan jika bertemu dengan seorang whistle blower (seorang yang menceritakan secara blak-blakan akan suatu kejahatan pada isu tertentu). Di sana kepentingan publik rasanya dipecundangi, tapi di sisi yang sama seorang whistle blower tak ingin namanya ditampilkan, karena ada dampak-dampak tertentu secara personal. 

Pelajaran kelima: Apa yang diminta redaksi, LANGSUNG KERJAKAN! SELESAIKAN! Tidak ada hal yang lebih membahagiakan selain melakukan dengan secepat dan sebaik yang redaksi minta. 

Pelajaran keenam: Butuh usaha lebih. Terkait ini, ada seorang narasumber yang bilang dalam WA-nya ke HP saya: “Kalau saya seharusnya Anda bisa dengan mudah ketemu Pak X, seharian tadi dia di kampus, saya yang rapat di luar.” Dari pesan WA itu saya berpikir, “harusnya kamu tuh lebih aktif dan usaha. Tak hanya sekedar mengandalkan HP. Tapi langsung turun ke lapangan.”

Pelajaran ketujuh: Hargai privasi narasumber. Saya pernah melakukan wawancara dengan narasumber yang awalnya defensif ketika ingin mewawancara beliau. Reflek saya diam-diam merekam perbincangan dengan narasumber itu. Hampir satu jam ia menjelaskan. Banyak hal off the record yang narasumber ceritakan. Sekiranya, obrolannya begini:

“Mbak merekamnya?”
“Iya Pak.”        
“Anda diajari kode etik tidak?”
“Iya Pak, diajari.”
“Kenapa dilanggar?” saya hanya diam. “Anda tadi tidak bilang ke saya mau merekam. Anda itu Pimred. Anda bisa saya tuntut.”
“Tadi saya ingin bilang mau merekam, tapi belum sempat bilang,” kata saya pasrah, dalam hati saya mengaku salah, saya khilaf.
“Tadi ada pembicaraan yang penting, nyebutnama, dan saya bisa dipecat gara-gara itu. Saya pernah kerja jadi wartawan. Harusnya tadi kalau saya bilang off the record, rekamamannya di-pause dulu,” kata beliau. Sungguh teknik liputan yang tak pernah saya dapatkan sebelumnya. Lalu Bapak yang saya hormati tersebut meminta saya menghapus rekaman tersebut langsung di depan beliau. Saya tunjukkan rekamannya dan saya hapus. Lalu saya pulang dan mengucapkan terima kasih. Sampai keluar ruangan, saya merasa ini pelajaran berharga yang tak pernah saya dapatkan jika saya hanya duduk manis di ARENA

***

Inti dari semuanya adalah baik atau buruk dari setiap pengalaman liputan itu berharga, aset, dan investasi. Pelajaran di atas akan terus bertambah dan bertambah jika masih mensetiai prosesi sebagai seorang jurnalis. Setiap langkah akan semakin dewasa dan berhati-hati. Saya pernah menulis sebuah caption  di IG: ”Saya sering merasa terpukul dan mengutuki diri sendiri pada setiap berita-berita buruk dan berita-berita salah yang saya buat. Agak lama merenungnya, sampai saya sadar di mana letak salahnya. Dari salah menangkap maksud narasumber, salah ngutip, salah data, salah pengertian, tapi tak ada yang yang separah jika salah konsep. Dari kritikkan berita anak SD, berita hello kitty, berita sampah, sampai saya ngrasa ‘lu becus gak sih Is nulis berita!?’. Jatuh bangun terus, jatuh, jatuh bangun, bangun, dan bangun.”

Saya sebenarnya malu ketika membaca tulisan-tulisan berita saya lagi. Sungguh. Saya sering menghadirkan hal-hal yang tak konkret, yang terlalu wacanais, dan konsep-konsep yang absrak; bukan ciri dari jurnalisme yang baik seperti bisa dipanca-indra, sangat faktais, dan lebih banyak kenyataan. 

Saya sadar, tulisan-tulisan yang saya kumpulkan dalam antologi ini tidak semuanya bermututoh saya mengumpulkan ini terutama untuk kegembiraan saya sendiri. Bagaimana pun rupanya, ini adalah karya yang bisa saya pertanggungjawabkan. Saya hanya berharap tulisan-tulisan di sini memiliki nilai guna juga; bagi siapa pun yang ingin membaca atau belajar menulis berita. Semoga menginspirasi. Tabik.

"Carpe diem, quam minimum credula postero. Memento mori."
"Petiklah hari dan percayalah sedikit mungkin akan hari esok. Ingat pula kematian."

Yogyakarta, 30 Juli 2018


[1] Tapi jangan mengacuhkan kami seperti tidak menggubris kami dengan tidak memberi waktu wawancara. Padahal aktor kampus tersebut menjadi ring satu isu yang ditulis.
[2] Bedakan antara menjadi desainer dan tukang jahit. Antara jadi peneliti dan penceramah. Desainer dan peneliti merdeka secara ide, tukang jahit dan penceramah hanya jadi budak ide. Tukang jahit dan penceramah sudah begitu turah-turah di bumi ini.

Minggu, 11 Agustus 2019

Pekerja Kebudayaan dalam Rantai Kerentanan

Pemajuan kebudayaan tak akan berjalan dengan baik tanpa adanya keberpihakan pada subjek kebudayaan, yakni Sumber Daya Manusia yang diwakili oleh para pekerja kebudayaan. Menelisik lebih lanjut tentang implementasi UU No. 5/2017 tentang pemajuan kebudayaan, pertanyaan mendasar yang saya ajukan: apakah pekerja kebudayaan di Indonesia sejahtera? Dengan menarik peran negara, saya juga mengajukan konsekuensi pertanyaan: sudahkah UU Pemajuan Kebudayaan mengakomodir itu? Sejauh penelusuran saya hingga 61 pasal, naskah UU tersebut tidak mengakomodir kesejahteraan insan-insan yang fokus menjadi seorang pekerja kebudayaan. Hanya dalam pasal 1 ayat 13 yang sedikit “nyerempet” dan disebutkan: “Sumber Daya Manusia Kebudayaan adalah orang yang bergiat, bekerja, dan/atau berkarya dalam bidang yang berkaitan dengan Objek Pemajuan Kebudayaan.”
 
Definisi pekerja kebudayaan sendiri belum begitu jelas. Ini tersandung pula oleh nilai yang dihasilkan oleh pekerja kebudayaan yang kadang juga abstrak. Eleonora Belfiore dalam tulisannya berjudul “Impact”, “value” and “bad economics”: Making sense of the problem of value in the arts and humanities membahas tentang nilai salah satu cabang budaya, yaitu seni. Di mana sustainbilitas keuangan seni sangat rentan untuk ditanyakan. Pertanyaan retorisnya, bagaimana perekonomian kesenian saat ini? Bagaimana menghitung nilai sebuah seni dalam publik? Bagaimana menghitung nilai seni yang dilkatkan dengan ekonomi? Bagaimana mengaudit nilai seni? Pertanyaan-pertanyaan ini jugalah yang ingin saya tanyakan terkait kebudayaan. Di samping peran budaya memberikan dampak transformatif baik kepada individu maupun sosial lewat para pekerja kebudayaan.

Paper ini menggunkan pendekatan “dampak” untuk mengukur seni juga terhadap riset kemanusiaan lainnya. Dibedakan menjadi empat posisi: pragmatis, konseptual, politis, dan etis. Dikatakan bahwa investasi yang diberikan pada penelitian terkait seni dan kemanusiaan akan berdampak sepuluh kali lebih cepat dan lebih banyak terhadap perubahan dan pembangunan sebuah negara. 

Pendapat yang sangat menarik juga dilontarkan oleh John Kay dalam tulisannya di Financial Times berjudul A good economist knows the true value of the arts. Dalam analoginya, orang-orang meremehkan bagaimana sebuah penyakit dapat memberikan nilai ekonomi bagi suatu bangsa. Namun orang-orang membangun ribuan rumah sakit, dengan ribuan doter, ahli bedah, dan perawat, juga farmasi atau obat-obatan. Bahkan di UK, penyakit menyumbang sekitar 10 persen dari perekonomian UK. Padahal pemerintah tak pernah cukup mempromosikan penyakit.  Hal yang sama seharusnya juga berlaku untuk ranah kebudayaan lewat SDM yang berkerja di dalamnya. Bahwa nilai sebuah budaya tidak sekedar diihat dari harga budaya itu sendiri, tapi juga harga lain di sekitarnya.

Pekerja kebudayaan bisa diwakili oleh seseorang yang menghasilkan produk cipta, karsa, dan karya—dan seniman adalah sebagian dari pekerja kebudayaan. Salah satu contoh pekerja kebudayaan adalah tetangga saya sendiri. Dia seorang pria paruh baya yang dikenal sebagai pemain ketoprak. Dia bekerja hanya pada saat ada “panggilan main”. Di luar itu, dia bekerja serabutan dengan pekerjaan yang sangat tidak menentu. Apakah UU Pemajuan Kebudayaan bertanggung jawab dengan kesejateraan tetangga saya tersebut?

Di posisi lain, dapatkah para pengamen ondel-ondel di seantero Jakarta yang berkerja dari jalan ke jalan mendorong sound dan mengais receh itu bisa kita sebut sebagai pekerja kebudayaan? Atau apakah Juno, tokoh utama penari lengger dalam film Kucumbu Tubuh Indahku karya sutradara Garin Nugroho dan kehidupan marjinal kelompok penari lengger yang “ngamen” dari desa ke desa itu bisa disebut juga pekerja kebudayaan? Bagaimana ekonomi mereka? Bagaimana UU Pemajuan Kebudayaan merespon itu?

Alih-alih sejahtera, pekerja kebudayaan yang saya contohkan ini lebih merujuk pada resipien kebudayaan yang menerima saja. Resipien tersebut berada pada posisi yang bisa dikatakan resipien ekonomi payah yang mengejar ganjaran ekonomi untuk sekedar hidup. Jangan tanyakan bagaimana kualitas seninya, saya pikir mereka pelestari budaya yang lebih mulia daripada para seniman salon. Setidaknya para resipien jenis ini mampu membuat suatu nilai guna budaya yang riil bagi dirinya sendiri, keluarga, dan masyarakat yang menontonnya.

Atau disebut sebagai kebudayaan orang miskin yang orientasi budayanya mengacu pada budaya fungsional yang langsung memberi manfaat; budaya komersial yang langsung memberi keuntungan; dan budaya sosial yang berupa kebersamaan dalam taraf ekonomi rendah. Narasi ini seperti kisah para pembuat gerabah di sebuah kampung miskin di Kabupaten Kendal yang bernama Kampung Kunden (Rohidi, 2010).

Masyarakat kelas bawah selalu memiliki kecerendungan untuk patuh dan menerima begitu saja nilai-nilai kebudayaan yang ditawarkan penguasa. Antropolog Mattulada menyebut bahwa kelompok rakyat jelata sejauh yang menyangkut kekuasaan akan mengiyakan dan mengikuti dengan setia. Di samping dirigisme kebudayaan dalam rencana kapitalisme negara yang sesuai dengan alam pikir pemerintah. Saya baru berbicara tentang pekerja kebudayaan di tingkat kelas akar rumput, belum lagi pekerja kebudayaan di kelas menengah dan kelas atas, seperti para seniman galeri tentu akan berbeda lagi dinamika dan masalahnya. Dalam tulisan ini, pekerja kebudayaan dari kalangan grassroot lah yang menjadi titik tekan keberpihakan saya. 

Pekerja kebudayaan sebagian besar tergolong dalam sistem perekonomian informal yang belum diindungi oleh negara. Pekerja ini terkendala modal ekonomi, pengetahuan, keterampilan, relasi, juga hak istimewa lainnya. Mereka bekerja di ranah kebudayaan yang tak terorganisir, dan menjadi angkatan kerja cadangan, bekerja di ranah kapitalisme pinggiran. Ciri-ciri yang nampak modal mereka kecil, biasanya memanfaatkan anggota keluarga, tak memiliki serikat pekerja, dan pendapatannya hanya mencukupi untuk hari itu saja. Di Indonesia, khususnya untuk ranah pekerja kebudayaan jumahnya tak sedikit. Mereka rata-rata adalah orang-orang yang tak memiliki alat produksi sendiri. Kalau pun punya, alat produksinya sangat sederhana. Nilai tambah yang didapatkan pun akan sangat kecil. 

Untuk menjawab masalah ini, salah satunya dengan menggunakan srategi kebudayaan. Menurut Ignas Kleden, strategi kebudayaan pasti akan berhadapan dengan tiga jenis pertumbuhan yang terjadi pada tiga lapis kebudayaannya: (1) pertumbuhan ekonomi pada basis material kebudayaan; (2) pertumbuhan penduduk pada basis sosial kebudayaan; (3) pertumbuhan informasi pada basis mental kebudayaan, juga dinamika dan pengaruh dari tiga lapis kebudayaan ini. Ketiga pertumbuhan ini sangat memiliki dampak yang besar bagi pekerja kebudayaan. Di sini para pekerja berperan aktif sebagai agen kebudayaan, bukan sekedar menerima. Tak sekedar menjadi subjek yang normatif, tapi kreatif. Pekerja kebudayaan tidak sekedar mengatakan tentang apa yang harus dilakukan, melainkan juga apa yang dapat dilakukan.

Sebab itu strategi kebudayaan yang di dalamnya mengandung perangkat keras kebudayaan seperti teknologi, regulasi, sampai institusi; serta perangkat lunak kebudayaan seperti softskill dan etika mesthi mengakomodir kepentingan kelas pekerja kebudayaan. Konkritnya seperti: menyerampakan birokrat kebudayaan dan pekerja kebudayaan; revitalisasi infrastruktur kebudayaan seperti taman budaya, balai lokakarya, sanggar, dan lain-lain; serta mempunyai visi dan wacana yang jelas dalam berbagai kegiatan budaya (berkegiatan tidak sekedar berkegiatan). [Isma Swastiningrum]

Diskusi seniman (Koleksi Lukisan Galnas)
Referensi:

Belfiore, E. (2015). “Impact”, “value” and “bad economics”: Making sense of the problem of value in the arts and humanities. Arts and Humanities in Higher Education, 14(1), 95–110.

Habibi, Muhtar. (2016). Surplus Pekerja di Kapitalisme Pinggiran. Tangerang: Marjin Kiri. 

Kay, John. (2010). A good economist knows the true value of the arts. Financial Times, 10 August. Available at: https://www.ft.com/content/2cbf4e04-a4b4-11df-8c9f-00144feabdc0 (accessed 7 July 2019).

Kelden, Ignas. (1987). Berpikir Strategis tentang Kebudayaan. Jurnal Prisma. Edisi Maret 1987, pp. 3-9.  

Mattulada. (1979). “Kebudayaan Politik dan Keadilan Sosial: Tinjauan Historis” dalam Ismid Hadad (ed). Kebudayaan Politik dan Keadilan Sosial. Jakarta: LP3ES.

Rohidi, Tjetjep Rohendi. (2000). Ekspresi Seni Orang Miskin: Adaptasi Simbolik Terhadap Kemiskinan. Penerbit: Nuansa.