Selasa, 27 Desember 2022

Obituari untuk Najila Tihurua

Ila yang berkerudung putih
Aku perlu menulis ini untuk mengenang kepergian Ila....

Aku masih ingat tahun 2013 lalu, saat pertama Ospek Fisika di UIN Jogja, Ila adalah sahabat sekaligus kenalan pertamaku. Dalam pandanganku saat itu yang masih belum mengenal banyak hal, Ila bagiku masih seperti orang asing, wajahnya berbeda, warna kulitnya berbeda, dan suaranya pun juga. Ila adalah prototype aku mengenal (dalam konsep Levinas) “the other” yang lain di luar diriku.

Saat itu kami berkenalan, Ila bilang dia dari Ambon, Maluku, tapi lebih tepatnya dari Sepa, Amahai, Maluku Tengah. Tak butuh waktu lama, kami dekat karena Ila adalah sosok orang yang bersahabat, dan dia bersahabat dengan siapa saja. Berbeda denganku yang lebih banyak diam dan hanya teman-teman tertentu saja yang sepertinya bisa dekat, Ila tidak, Ila bisa berteman nyaris dengan semua karakter teman-teman di kelas, bahkan dia juga dekat dengan kakak-kakak kelas dan adik-adik kelas angkatan kami.

Faktor yang mendekatkan kami yang lain adalah umur. Kami berdua sadar, kami termasuk generasi yang telat kuliah. Ila kelahiran 92 dan aku 93, sedangkan rata-rata angkatan kami kelahiran 95. Dia berulang tahun pada 21 Agustus (rasi bintang Leo). Salah satu teman lain yang juga umurnya tak jauh adalah Paryanti yang juga kelahiran 92. Jika aku dan Par sering dipanggil Mbak oleh teman-teman yang lain (seolah kami sangat tua, wkwk), Ila tidak, bagiku itu adalah privelege dan keberhasilan dia dalam bergaul dan melebur dengan teman lain sehingga tak ada batas yang dia ciptakan. Secara tidak langsung dia juga ingin bilang jika “kami sebaya.”

Kami sering bermain bersama, tentu gerombolan kami: aku, Ila, Yuli, Mifta, Andri, Huda, dll. Tak jarang, dari beberapa kali Ila pindah kos, aku beberapa kali main ke tempat kosnya dan kadang menginap. Kuberi tahu, kos Ila bersih, rapi, dan tertata. Aku betah di kos Ila, dia juga kadang menyimpan amunisi jajan dan cemilan yang dia bagikan. Dia tipe sahabat yang mudah disukai siapa saja.

Pertemananku dengan Ila juga dekat karena kami satu penjurusan di Geofisika. Beberapa kali juga, bahkan sering, kami satu kelompok dan mengerjakan project geofisika lapangan bersama. Kami juga pernah naik Merbabu bersama, atau panas-panasan, hujan-hujanan ngambil data geolistrik di Gunungkidul dan Piyungan, atau ngamatin batu-batu di Bayat, dll, bersama. Ila adalah teman seperlajalanan yang baik. Dia juga tak pernah mengeluh, seberat apa pun mungkin beban yang dia pikul, tapi dia jarang menunjukkan kesedihannya. Atau mungkin juga kalau dia sakit, dia jarang menunjukkan jika dia sakit.

Ila juga meski tak menonjol di bidang akademik (sama sepertiku), dia rajin. Entah sepertinya Tuhan juga telah mengatur, aku dan Ila menjalani wisuda bersama pada bulan September 2018 lalu. Saat itu di angkatan kami yang diwisuda ada empat: Ila, Sismi, Samsul, dan aku. Meski kami bukan mahasiswa teladan secara akademik, IP kami masih mayanlah wkwk.

Ila adalah sosok pekerja keras. Di sela-sela kuliahnya pada semester akhir, dia bekerja sebagai penjaga booth pakaian di Lippo Plaza Mal (Mal yang letaknya bertetanggaan dengan UIN). Aku perhatikan, semenjak bekerja di sana, Ila berubah menjadi anak yang lebih stylist dan modis. Hobi Ila yang lain adalah mengabadikan moment, ya, selfie dan wefie. Di banyak kesempatan, Ila jadi promotor pemersatu dalam urusan potret memotret. Seolah hobi Ila ini juga menjadi tanda, dia ingin dikenang kawan-kawannya melalui arsip foto. Setelah kepergian Ila, aku barus sadar foto-foto itu punya arti banyak pula dalam mengingat sebuah moment.

Hari ini, Selasa, 27 Desember 2022, usai bangun tidur yang sangat pagi, kabar sedih itu kuterima di WAG Fisika 2013. Lisa memberi kabar melalui status Mbak Maghfirah, jika Ila telah berpulang ke Allah SWT. Ila meninggal pada Minggu, 25 Desember 2022 lalu di umur yang ke 30 tahun. Tidak ada keterangan Ila meninggal karena apa, barangkali sakit, tapi sakitnya pun kami tak ketahui, karena sepengetahuanku Ila tak pernah mengalami penyakit yang serius. 

Kabar itu membuat rasa kehilangan langsung menyelimuti kami.

Dari Ila aku belajar, persahabatan bukanlah satu hal yang besar, tapi kumpulan dari jutaan hal-hal kecil. Dari Ila aku belajar, meski kondisi hidup tak selalu baik, tapi tetaplah tersenyum dan berpikir positif. Dari Ila aku belajar, hal pokok dalam hidup adalah menjaga tali persaudaraan.

Selamat jalan Ila, semoga husnul khatimah. Aku bersaksi jika Ila adalah orang baik.

Selamat berjumpa di lain alam dan kesempatan.

Isma S.

Senin, 26 Desember 2022

Opsi-Opsi

Catatanku dalam relasi dan aku cukup kenyang dengan ini: Jika laki-laki tak sungguh-sungguh denganmu, dia tak akan sebegitu berusahanya, atau kamu memang hanya jadi opsi-opsi. Jadi merdekalah dengan ketegasanmu sendiri. Tak usah berharap dan tinggalkan. Kamu layak dicintai dengan lebih baik, setidaknya oleh dirimu sendiri.

Minggu, 25 Desember 2022

A Little Thing Called Love (2010), You Are The Apple of My Eye (2011), Architecture 101 (2012)

Review Film Thailand: A Little Thing Called Love (2010)

Entah berapa kali nonton film ini sudah, drama antara Shone (Mario Maurer) dan Nam (Pimchanok Leuvisadpaibul) ini kek everlasting gitu. Plotnya klasik, menceritakan tentang anak culun di sebuah sekolah SMP, yang suka dengan kakak kelasnya yang hobi bola dan fotografi.

Si Nam punya gank juga, gank culun, isinya empat orang termasuk dia. Gank Nam ini kocak-kocak. Mereka kek punya dunia mereka sendiri. Kemasan konflik dalam film ini tuh ringan banget. Kek masalah terbesar mereka selain pelajaran Bahasa Inggris, ya kek saing-saingan antar teman, gimana nunjukin rasa suka, ya, gitu-gitu. Almost gak ada masalah yang serius di film ini. Trus guru-guru dan tokoh-tokohnya juga padha gokil.

Ya, kita tahu Nam punya kelebihan bahasa Inggris sehingga dia bisa lanjut sekolah di USA ikut bareng bapaknya trus jadi desainer terkenal sekembalinya di Thailand. Yang unik kok ya si Shone bisa nunggu selama itu ke Nam. Yang sweet lagi si Shone buat buku khusus isinya foto-foto yang nunjukin usaha dia, kalau dia sebenarnya juga suka sama Nam--gak cuman sahabatnya Top (Acharanat Ariyaritwikol) aja yang suka.

Usaha Shone tuh juga sweet,  dari nanam bunga mawar putih, ambil foto-foto Nam diam-diam, kasi mangga dan mengagetkan Nam di jalan. Itu simple tapi ngena.

Sinematografi dan DOP film ini sumpah bagus. Kostum-kostumnya juga sumpah saya suka! Banyak motif-motif baju dalam film ini yang pengen rasanya saya koleksi di lemari, wkwk. Terutama baju-baju yang dipakai sama ibunya Nam dan baju-baju santai Nam sendiri. Rasanya pengen lebih banyak nonton film-film yang kek gini :D

Review Film Taiwan: You Are The Apple of My Eye (2011)

Film yang diangkat dari kisah nyata dan telah dibukukan. Judulnya diambil dari peribahasa Inggris yang kurang lebih artinya seseorang yang berharga. Premisnya lebih ke perseteruan antara anak terpandai di kelas versus anak terbodoh di kelas. Ini masa-masa SMA gitu, dengan adanya drama-drama gank, club, dan guru yang killer.

Anak perempuan pandai itu bernama Shen Chia-yi (Michelle Chen) yang sekelas sama gank anak-anak bodoh dengan si bodoh utama bernama Ko Ching-Theng (Ko Chen-tung). Suatu hari Ching-Teng buat aneka kasus, terus gurunya minta Chia-yi buat jaga Cing-Teng. Gone bygone, akhirnya keduanya naksir gitu. Si cowok sebenarnya yang naksir, tapi akhirnya pas kelulusan sekolah, kuliah mereka mencar-mencar.

Ching-Teng belajar keras sampai dia jadi mahasiswa di sebuah perguruan tinggi. Tapi Ching-Teng terus pedekate sama Chia-Yi. Hingga akhirnya Chia-yi jadian sama teman baik Ching-Teng. Film ini berakhir sedih, karena Ching-Teng pada akhirnya kek jagain jodoh orang lain.

Film yang lucu, karena based on a true story jadi jujur banget sampai hal-hal yang tabu buat dibicarakan kek karakter yang suka ngaceng, galer, coli, dan nudist di rumah ditampilkan, dan mereka menampilkan itu dengan fun, tanpa beban, itu juga sih yang bikin orang yang lihat kek so what? Sebab kalau dipikir-pikir ya begitulah kenyataan.

Review Film Korea: Architecture 101 (2012)

Pertimbangan saya menonton film ini adalah (1) saya suka arsitektur, (2) saya suka film drama, (3) saya suka semenit pertama pas nonton trailernya, ada laut, rumah, musik, dlsb. Nonton film ini serasa nostalgia sama mimpi-mimpi sendiri. Yah, mimpi terbesar pribadi yang terwakilkan adalah ingin bangun rumah yang banyak jendelanya, di dekat laut dan pantai, ada rootof-nya, dan masih di kawasan penduduk. Film ini membangkitkan mimpi saya akan hal-hal itu.

Secara Seo-Yeon muda (Bae Suzy) agak berbeda dengan Seo-Yeon dewasa (Han Ga-In). Meski begitu, dua-duanya, baik muda maupun dewasa memiliki kesedihan yang sama akan kehidupan yang sepi, single parent, dan list kehampaan hidup lain yang akan menyakitkan. Begitu juga dengan Seung-Min muda (Lee Je-Hoon) yang kegelisahannya tak jauh ketika dia telah menjadi Seung-Min (Uhm Tae-Woong) dewasa. 

Secara tema, plotnya berkisah tentang cinta yang belum kelar. Mereka berdua bertemu saat kuliah, Seung-Min anak jurusan Arsitektur dan Seo-Yeon anak jurusan musik. Keduanya punya jalur menuju rumah yang sama. Keduanya saling jatuh cinta meski tak saling mengungkapkan. Hingga akhirnya keduanya berpisah dan bertemu ketika dewasa dalam keadaan berbeda. Seo-Yeon telah menikah dan bercerai, sedangkan Seung-Min akan menikah.

Film ini bukan film yang menyenangkan kalau mencari happy ending. Tapi menarik dinikmati untuk para jiwa melankolis, haha. Satu pelajaran yang kupetik setelah nonton film ini: Setiap orang memiliki tabungan kesedihan masing-masing.

Dan ini kalimat oke dari dosen arsitektur: "Tour around the area you live in. The alleys and buildings, you walked past without you notice. Closely examine them, and take pictures. Liking your neighborhoods and understanding it. That's where architecture starts."

Sabtu, 24 Desember 2022

24 Desember 2022

"Dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan." (QS al-Muzammil [73]: 8)


"Maka Kami singkapkan dari padamu tutup yang menutupi matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam." (QS Qaf [50]: 22)

Selasa, 13 Desember 2022

13 Desember 2022

"Being friends with people is just way better than not. In the grand scheme of things, art just means nothing, and people who take it seriously have really lost the plot, more fun to just make things." (Aaron Rose)

Minggu, 11 Desember 2022

Rabu, 07 Desember 2022

7 Desember 2022

Aku kangen melebur bersama kota, bersama-sama tempat-tempat yang kupijak, bersama-sama bangunan-bangunan dan merasakan suasana urban yang sejati. Ditambah gerimis itu akan sangat syahdu.

Aku kangen mata takjubku melihat sesuatu. Yang sekarang berganti menjadi biasa-biasa saja. Atau aku teringat pada penghakiman seorang teman yang menganggapku kagetan. Yang kurasakan itu lebih seperti cemoohan daripada lontaran kata semata. Setelah aku sadar dengan perjalanan ini, ya, tak apa. Aku bukan temanku itu. Aku punya keajaibanku sendiri.

Aku rindu mendengar lagu-lagu yang mewakili rilisnya hidup. Seperti "Dalam Doaku" musikalisasi puisi Sapardi, "Lembayung Bali" dari Saras Dewi, "Malaikat Juga Tahu" dari Dewi Lestari, "Pulau Laut" - "Rumah Dijual" - "Kartu Pos dari Moskow" dari Jalan Pulang, "Romansa ke Masa Depan" dari Glenn Fredly, "System" dari Komunitas Fragmen, "Firasat" dari Marcell Siahaan.... 

Ya, seliris ini sebenarnya, dan aku menikmatinya.

Rabu, 30 November 2022

30 November 2022

Ya Allah, ajari aku untuk berpikir sederhana dan mengerjakan hal apa pun dengan sederhana.

Jumat, 25 November 2022

25 November 2022

I think, it is true, you born to be real, to be real, to be real; not to be perfect, not to be others that you are not belong.

Rabu, 16 November 2022

Membongkar Lagi Perpustakaan - Homi K. Bhabha

 Homi K. Bhabha merupakan teoritisi budaya yang berasal dari India dan guru besar Sastra Inggris dan Amerika di Universitas Harvard. Dirinya bersama dengan Edward Said dan Gayatri Spivak dipandang sebagai peletak dasar Pascakolonialisme.

Judul dalam jurnal ini Bhabha ambil dari tulisan Walter Benjamin "Unpacking My Library". Dia sekaligus terinspirasi dari Walter terkait dunia buku Walter seputar memori dengan buku-buku. Kemudian Bhabha membongkar perpustakaannya sendiri terkait buku-buku yang dibelinya di Bombay, Oxford, London, Hyberabad, Champaign-Urbana, Jyavaskala, dll. Menurut dia, kekacuanan buku-buku yang kita miliki membuat kita tak dapat menebus “kosmopolitanisme vernakular” terkait apa yang disebut Walter: pembaruan keberadaan.

Dengan menyisipkan dua buku "The Hunger Artists" oleh Maud Ellmann dan "The Fat Man in History" oleh Peter Carey, dia mengajukan dua pertanyaan: Apakah urutan buku menentukan urutan barang, atau dalam konteks ini saya artikan kejadian/kondisi? Seperti apa sejarah diri kita sendiri dengan zaman seseorang yang dikodekan dalam pengumpulan buku? Bhabha mengatakan, "ketidakaturan" buku-buku kitalah yang membentuk kita. Di sini Bhabha menjelaskan, bagaimana buku-buku dia dengan para penulis dan idenya saling berhubungan membentuk "identitas" tertentu. Interaksi ini menimbulkan kecemasan.

Kecemasan itu adalah tanda bahaya yang tersirat di ambang identitas, antara yang identitas dan non-identitas, internal dan eksternal. Kecemasan muncul sebagai respon akan "bahaya kehilangan" yang melekat dan akrab, yang mengandung gambar, situasi, dan representasi. Dalam esai ini, Homi K. Bhabha masih menunjukkan kajian utamanya terkait mimikri dan hibriditas. Di mana di satu pihak seseorang membangun identitas (persamaan), tapi di sisi lain juga mempertahankan perbedaan.

Kondisi pascakolonialisme mencoba melawan universalisme, betapa kecil pun itu. Bhabha memberi analisis baru dan mengisi ruang yang lebih rumit dibanding sekadar menjelaskan jahatnya penjajah dan lugunya pihak yang terjajah. Dari ide itu, pascakolonial Bhabha menunjukkan taringnya.

Nuansa paradoksal dibangun oleh Bhabha ketika mengkritik analisis orientalisme dari Edward Said yang membayangkan identitas penjajah dan terjajah sebagai sesuatu yang stabil. Bhabha membangun ruang ketiga yang menjadi ruang ambang di mana kaum terjajah menemukan strategi perlawanan terhadap dominasi yang dibuat oleh penjajah. Ruang ini disebut ruang hibriditas. Dari sini lahir identitas yang baru.

Dia juga menggunakan konsep mimikri atau proses meniru pihak lain. Mimikri disebut dengan perlawanan subversi, perilaku membela diri, pertahanan hidup, dengan cara kamuflase. Gagasan mimikri Bhabha dikembangkan dari dua tokoh: Frantz Fanon (1925-1961) dan Jacques Lacan (1901-1981). Sepeti dalam kasus budak yang meniru perilaku tuan, tapi tetap mentalnya budak. Budak yang tak berpikir untuk membebaskan diri di ruang ketiga, dengan jalan ninja mimikri.

Dari ruang ketiga ini juga muncul transformasi budaya yang dihasilkan dari kerjasama antara penjajah dan kaum terjajah.

Bhabha, H. (1995). Unpacking My Library Again. The Journal of the Midwest Modern Language Association, 28(1), 5-18.

Link: https://www.jstor.org/stable/1315240

#homibhabha #library #postcolonialism #identitas #mimikri #pascakolonial

Selasa, 08 November 2022

8 November 2022

"Boleh jadi engkau tidur, tapi puluhan doa naik untukmu. Dari si fakir yang pernah engkau tolong, dari si lapar yang pernah engkau beri makan, dari si sedih yang pernah engkau hibur, dan si miskin yang pernah engkau bantu. Maka jangan engkau remehkan setiap perbuatan baik itu."

Ibnul Qoyyim

Jumat, 04 November 2022

Teknik Jurnalisme Kelas Pekerja - Rupert Lockwood

"The difference between a good writer and a bad writer, between a master and a mediocrity, is often the difference between concrete and abstract writing." Rupert Lockwood

Jurnal ini membahas terkait tulisan jurnalis Australia, Rupert Lockwood berjudul "Teknik Jurnalisme Kelas Pekerja" terbit di sebuah majalah dan perkumpulan "Realist Writer" pada 1960. Realist Writer mewadahi para aspiran penulis yang beraliran kiri. Mereka hidup di Melbourne pada 1952. Tulisan Lockwood sesuai dengan misi dari gerakan Realist Writers: melatih dan memberanikan penulis, membobilisasi mereka secara politis, dan menguatkan komitmen mereka terhadap perdamaian dan sosialisme.

Rupert Lockwood (1908-97) adalah seorang jurnalis yang intelek, cerdas, berani, orator, komentator, dan komunis Australia terkenal dalam masa 1940an sampai akhir 1960an. Dia mulai mendalami jurnalisme ketika kecil. Dia bekerja di koran pedesaan kecil milik ayahnya di Victoria barat: The West Wimmera Mail. Pada 1935-8, dia keliling ke Asia Tenggara dan Eropa, bekerja untuk beragam media. Dia juga jadi front line yang melaporkan berita terkait Perang Sipil Spanyol pada 1937.

Karier Lockwood melonjak ketika dia ikut gerakan buruk Australia dan penerbitan komunis. Lockwood menerbitkan buku Guirella Paths to Freedom (1942) dan America Invades Australia (c 1995). Secara umum tulisannya berjumlah 4 ribu hingga 6 ribu kata, dengan ekspedisi riset menggunakan canon teoritis Marxis. Subjeknya terdiri dari sejarah, ekonomi, dan geo-politik. Tahun 1941 dia nerbitin juga 17 pamflet. Sementara untuk pamflet, dia banyak sitasi dari sastra dan sejarah, macam Shakespeare, Injil, Sir Arthur Quiller-Couch, hingga alusi Dickens dalam tokohnya Bill Sykes.

Menurut Lockwood, semua bisa jadi penulis. Poin permulaan adalah ketertarikan. Seseorang harus memahami, kemampuan menulis itu berguna untuk diri sendiri dan orang lain. Tidak dibutuhkan pendidikan formal tinggi untuk jadi penulis yang baik, bahkan kebanyakan penulis yang baik secara pendidikan sangat miskin.

Selain itu, ketika jurnalisme tradisional menyampaikan 'siapa, apa, kapan, di mana', maka Lockwood akan menulis 'bagaimana, mengapa, kapan, di mana, apa'. Hal ini memberikan fakta spesifik terkait situasi.

Lockwood merumuskan teknik jurnalisme kelas pekerja dibuat dengan beberapa pertimbangan, di antaranya:

1. Propaganda kelas pekerja semestinya ditulis dengan gagasan humanis, damai, demokrasi, budaya tinggi, sosialisme.

Lockwood memperhitungkan kapitalisme, media massa, dan peran jurnalis kelas pekerja. Dia menempatkan peran kultural dari seorang jurnalis, di mana humanis dan sosialis dikembangkan di apapun ruangnya atau bagaimana hal itu bisa diciptakan. Kelas kapitalis memiliki monopoli virtual dalam banyak hal, entah itu penerbitan, rumah penerbitan, radio, TV, sinema, teater, dll.

2. Ditulis dengan konkret dan bukan abstrak. Artinya menulis hal yang dapat dirasakan, disentuh, dilihat, didengar, dan mudah dikenali.

Selalu coba tunjukan "gambar" dalam kata-kata, karena rakyat lebih memilih TV dibanding radio karena gambar dan warnanya. Begitu juga ketika akan mencetak manifesto.

Sehingga secara teknis dia memberi saran, penggunaan situasi, kondisi, keadaan, pendidikan, derajat, definisi, dll, yang berhubungan dengan itu sebagainya dihindari sebisa mungkin. Lebih baik menggunakan kata-kata konkret seperti meja, kursi, matahari, bulan, rambut, pohon, dll. Shakespeare menurutnya master dalam hal-hal konkret.

3. Hindari jargon.

Inspirasi Lockwood juga merujuk pada buku Sir Arhtur Quiller-Couch, "On The Art of Writing" khususnya Chapter lima. Berdasarkan Couch, "jargon" menggambarkan tujuan yang hendak dicapai, yakni mencapai hal yang berbelit-belit daripada ucapan langsung dan pendek. Hal itu seperti membungkus pikiran seseorang dengan wol kapas.

4. Tulisan kita mengekspresikan keaktifan bukan kepasifan.

Sebaimana Quiller-Couch, Lockwood mendorong penggunaan suara aktif dalam menulis sebagai jalan untuk menghindari jargon. Dan penggunaan bahasa membingkai alasan penulis sehingga gayanya gaya manusia. Penulisan suara aktif kemudian identik dengan kehidupan politik sehari-hari yang aktif.

"We can all be writers. None of us are apt to be Shakespeares but all can convey ideas to workmates, associates and audiences by the written word. Writing is a trade, but requires more creative effort than most modern trades. Just as some people make better motor mechanics than others, some make better writers." Rupert Lockwood

Cahill, R. (2008). On the technique of working-class journalism. Labour History, (94), 157-166.

Link: https://www.jstor.org/stable/27516275

#rupertlockwood #journalist #journalism #workingclass #labourhistory

Rabu, 02 November 2022

Kamis, 27 Oktober 2022

27 Oktober 2022

 "Train yourself to listen for the key details. It will allow you to keep up with most basic conversations, even if you don't understand every word."

Selasa, 11 Oktober 2022

11 Oktober 2022 (2)

Fokus pada hal-hal yang penting buat kamu.

11 Oktober 2022

Repost status Doel Rohman:

"Yang membuat kita berat itu: drajat, semat, kramat.

Menghendaki sesuatu yang bukan haknya.

Memaksakan sesuatu yang bukan waktunya.

Menyajikan sesuatu yang bukan miliknya."

Psikologi Jawa, Raos Tentrem

Jumat, 30 September 2022

Mika Nakashima – Yuki No Hana

 のびた人陰(かげ)を舗道にならべ
夕闇のなかを君と歩いてる
手をつないでいつまでもずっと
そばにいれたなら
泣けちゃうくらい

風が冷たくなって
冬の匂いがした
そろそろこの街に
君と近付ける季節がくる

 今年、最初の雪の華を
ふたり寄り添って
眺めているこの瞬間(とき)に
幸せがあふれだす

 甘えとか弱さじゃない
ただ、君を愛してる
心からそう思った

君がいるとどんなことでも
乗りきれるような気持ちになってる
こんな日々がいつまでもきっと
続いてくことを祈っているよ

風が窓を揺らした
夜は揺り起こして
どんな悲しいことも
僕が笑顔へと変えてあげる

舞い落ちてきた雪の華が
窓の外ずっと
降りやむことを知らずに
僕らの街を染める
誰かのために何かを
したいと思えるのが
愛ということを知った

もし、君を失ったとしたなら
星になって君を照らすだろう
笑顔も涙に濡れてる夜も
いつもいつでもそばにいるよ

今年、最初の雪の華を
ふたり寄り添って
眺めているこの瞬間(とき)に
幸せがあふれだす

甘えとか弱さじゃない
ただ、君とずっと
このまま一緒にいたい
素直にそう思える

この街に降り積もってく
真っ白な雪の華
ふたりの胸にそっと想い出を描くよ
これからも君とずっと…

Minggu, 25 September 2022

25 September 2022

Aku bahagia Bandung selalu ada orang-orang baik untuk dikunjungi, yang mengajari tak hanya soal sekadar hidup, tapi juga bagaimana menikmati hidup. Kehangatan-kehangatan personal yang tak kutemukan di kota-kota lain. Kebersamaan yang tulus dan melibatkan perasaan yang bersahabat. Sebagaimana syair Kang Mukti-Mukti: "Aku tak ingin memberimu kesedihan, sebab gerimis kini terlalu manis untuk sebuah tangis."

Rabu, 21 September 2022

21 September 2022

"Please practice more often and focus on forming the advanced sentence structures and using the target language without errors. Go through your materials as often as possible to avoid any common mistakes. Practice more." Bhargavi K.

Senin, 19 September 2022

19 September 2022

"Thanks for giving me the opportunity to be your teacher. You’re doing a great job!". -John

Sabtu, 17 September 2022

David Graeber tentang Konsumsi

 Dalam tulisan ini, David Graeber curiga, mengapa sejak tahun 1980-an, para Antropolog dibombardir dengan nasihat yang tak berujung (yang seringkali moralistik) terkait pentingnya "konsumsi". Dalam 2 dekade terakhir, nasihat itu efektif dan menjadi pokok wacana teoritis, meski begitu jarang para antropolog memeriksanya atau bertanya pada diri sendiri: Mengapa hampir semua bentuk ekspresi diri atau kesenangan manusia dianalogikan sebagai “makanan”? 

Graeber tak ingin menawarkan kritik atau praktik konsumsi, dia hanya ingin bertanya, mengapa manusia mengonsumsi? Bagaimana istilah konsumsi berasal dan mengapa kita menggunakannya. Esai ini berusaha menyelidiki, mengapa hal itu terjadi.

Literatur yang disebut Graeber seperti penelitian Etnografer Dick Hebdige (1979) yang meneliti perilaku konsumsi pada pemuda yang menjadi agen aktif konsumsi. Kemudian Arjun Appadurai (1986) tentang “The Social Life of Things: Commodities in Cultural Perspective”, Jonathan Friedman (1994) dalam “Cultural Identity and Global Process Theory”, Colin Campbell (1987) dalam " The Romantic Ethic and the Spirit of Modern Consumerism", serta yang dianggap Graeber penting pula, Daniel Miller dalam “Material Culture and Mass Consumption” (1992). Masing-masing memiliki versi ceritanya sendiri.

Konsumsi berasal dari kata kerja Latin "con sumere" yang berarti "merebut atau mengambil alih sepenuhnya", dan artinya meluas menjadi "memakan, melahap, menghabiskan". Konotasi konsumsi selalu negatif, kata ini muncul di Inggris abad 14. Apa yang diciptakan di suatu bidang tertentu akan dihancurkan atau digunakan di bidang lain.

Seperti petani memproduksi padi dan konsumen memesan dan memakannya, pabrik kimia memproduksi tinta dan konsumen memakainya, dll. Untuk memberi jalan bagi produk baru, maka yang ketinggalan zaman dan tidak relevan dibersihkan, dihancurkan, dibuang. Ini menjadi ciri dari "masyarakat konsumen".

Pencapaian unik dari konsumerisme modern telah membantu penciptaan bentuk hedonisme yang besar. Ini menjadi kompas destruktif , Graeber menjelaskan beberapa komplikasi dalam konsumsi: (1) invividualisasi, (2) pergeseran kelas dan gender.

Lebih lanjut, Graeber menghubungkan konsumsi dengan dorongan kuat akan “keinginan”. Orang yang bekerja menemukan sebagian besar kesenangan hidup dalam konsumsi. Mereka tidak menelan begitu saja seperti robot tanpa pikiran, tapi memilih identitas mode untuk mereka sendiri. Terlihat dari makanan apa yang dimakan, pakaian apa yang dikenakan, musik apa yang didengar, video apa yang ditonton, dlsb.

Secara intuitif, manusia menginginkan apa yang tidak dia miliki. Seseorang merasakan ketidakhadiran, lalu menginginkan bagaimana seseorang mengisinya, tindakan pikiran ini yang disebut sebagai "keinginan". Keinginan sebagai kerinduan akan suatu objek yang tidak ada, tapi juga hal lain yang lebih mendasar: pelestarian diri dan keinginan untuk terus eksis. Keinginan dalam bentuk narsistik ini kadang muncul lebih norak; kita ingin menjadi objek keinginan orang lain.

Keinginan akan uang membuat seorang bekerja. Keinginan tanda kehormatan membuat dia berperilaku terhormat. Keinginan tanda cinta mengilhami perilaku romantis.

Keinginan adalah 'gagasan tentang selera', konstruksi asli imaji yang diletakkan seseorang pada beberapa ketertarikan. Keinginan manusia menyiratkan pengakuan timbal balik. Keinginan (a) selalu berakar pada imajinasi dan (b) cenderung mengarahkan dirinya pada hubungan sosial, baik nyata ataupun imajiner. Keinginan dan kurangnya kepuasan terus menerus inilah yang mendorong konsumsi dan memungkinkan ekspansi produksi tanpa akhir.

Kesimpulan Graeber dari esainya ini:

1/ Keinginan manusia pada dasarnya bukan masalah hubungan antara dia dan orang di luar dia, tapi hubungan antara dia dengan fantasinya.

2/ Hubungan kita dengan individu lain adalah perjuangan tanpa akhir untuk menegakkan kedaulatan dan otonomi, dengan memasukkan dan menghancurkan aspek-aspek di sekitar kita.

3/ Hubungan ‘genuine’ dengan orang lain adalah problematik (karena masalah "The Others")

4/ Masyarakat dilihat sebagai mesin produksi dan penghancuran raksasa, di mana satu-satunya aktivitas manusia yang signifikan adalah membuat barang-barang terlibat dalam penghancuran seremonial, untuk memberi jalan barang lain untuk lebih banyak masuk.

Graeber, D. (2011). Consumption. Current anthropology, 52(4), 489-511.

Link: https://www.journals.uchicago.edu/doi/abs/10.1086/660166

#davidgraeber #consumption #currentanthropoly #konsumsi