Senin, 25 Maret 2024

The Indonesian Mentality and Development - Koentjaraningrat

Karakteristik mental populasi Indonesia hari ini terbilang kompleks. Oleh karena itu, untuk mendapatkan pandangan dari berbagai karakter mental yang berbeda dari etnis dan kelas sosial dibutuhkan pembahasan ke dalam tiga kategori karakteristik mental: (1) karakteristik mental pribumi, (2) karakteristik mental pada masa penjajahan, (3) karakteristik mental setelah kemerdekaan, yang berkembang sejak Perang Dunia II.

Pada karakteristik yang pertama, berkaitan dengan karakteristik mental pribumi, ini berkaitan dengan nilai budaya, yang berakar secara dalam selama beratus tahun. Hal ini diinternalisasi dengan populasi tahun 1961, yang berdasarkan sensus, terdapat 87.700.000 petani kecil di areal pedesaan atau 85,4 persen. Mentalitas ini disebut sebagai mentalitas petani.

Karakteristik mental kedua, juga berakar dari pemikiran kolektif yang beragam, khususnya yang berpusat pada berbagai kerajaan pribumi di Indonesia, atau area di mana suatu tempat mengalami penjajahan langsung. Di Jawa semisal, terdapat kolektif urban yang berhubungan dengan mereka yang dulunya berada di kerajaan, atau pemerintahan kolonial. Mentalitas ini yang awalnya berasal dari kerajaan pribumi, kemudian dipengaruhi oleh sistem politik kolonial, atau disebut juga dengan mentalitas pelayan publik, atau mentalitas priyayi.

Karakteristik mental ketiga berhubungan dengan sikap yang belum menjadi komponen dari sistem nilai budaya, karena mereka tidak punya waktu untuk diinternalisasikan, karena faktanya mereka ada hanya pada satu generasi. Karakteristik mental ini berkembang pada era perubahan, ketika norma lama dirusak, atau tidak ditempatkan kembali menjadi sesuatu yang baru. Ini juga menjadi era ketidakteraturan dan kehancuran ekonomi. Oleh karena itu, karakteristik-karakteristik ini merupakan refleksi dari suatu keraguan dan ketidakpastian.

Sejak jumlah rakyat Indonesia mayoritas adalah petani, maka tak mengherankan bahwa jalan pikir pribumi merupakan jalan berpikir petani. Pak Koen memandang, petani di sini sebagai masyarakat desa yang mempraktikkan agrikultur dengan teknologi sederhana, dan mereka yang merasa stratanya lebih rendah daripada mereka yang berada di strata atas, khususnya yang tinggal di daerah urban. Sistem ekonomi masyarakat petani berbasis pada tanah, hewan ternak, perikanan. Lalu menurut Prof. JH Boeke, petani di sini tidak suka bekerja, karakter mereka statis, kurang inisiatif, dan berusaha menyamai kehidupan elite urban.

Meski harus disadari pula, struktur sosial petani dan sistem ekonomi pedesaan tidak bisa disatukan menjadi satu tipe ideal. Hari ini, perbedaan antara masyarakat desa dan kota sangat menyolok mata, tetapi masyarakat pedesaan bukanlah sesuatu yang statis. Apa karakteristik dari mentalitas budaya petani ini kemudian? Mentalitas ini sebenarnya telah mendapatkan perhatian dari berbagai ahli. Para ahli ini berbicara terkait keberadaan unsur religius dan mistis yang terjadi pada alur berpikir petani di Indonesia area pedesaan. Hal ini berguna untuk menunjukkan suatu adat ritual, kepercayaan religi, dan hal-hal gaib yang ada di berbagai daerah di Indonesia. Ini juga digunakan untuk menjelaskan pola keseharian masyarakat. Sebagaimana yang diungkap Kruyt dan Ossenbruggen, petani desa ini tidak selalu irasional, tetapi juga rasional.

Tentu sistem budaya petani ini berbeda-beda antara di Aceh, Minangkabau, Jawa Timur, Makassar, Bali, hingga Irian Jaya. Dalam bingkai pemikiran Kluckhohn, petani Indonesia khususnya di Jawa menganggap kehidupan ini sesuatu yang buruk, penuh dosa, kesusahan, dan bahaya. Sehingga mereka harus mengikuti meditasi atau olah kebatinan. Mereka juga melakukan pola hidup prihatin diikuti dengan usaha (ikhtiar). Mereka juga harus bergotong royong yang membantu mereka mendapatkan rasa aman.

Kemudian Pak Koen mananyakan, dapatkah petani bisa berpartisipasi secara penuh dalam proyek pembangunan raksasa hari ini? Berdasarkan kerangka Kluckhohn (1950, 1951), Pak Koen melalukan analisis. Pertama, relasi antara manusia dan alam, usaha menjadi pilar yang penting dalam setiap aktivitas pembangunan. Meskipun budaya kebatinan belum bisa dilepaskan. Kedua, nature of work (karya), nilai buaya bahwa manusia bisa bekerja untuk menghidupi dirinya sendiri tidak cocok bagi pengembangan ekonomi, karena tak mengharuskan adanya motivasi. Seharusnya dia lebih sesuai dengan pembangunan dengan adanya nilai karya, yang memacu kualitas kerja dan menampak kreativitas. Ketiga, dimensi waktu yang signifikan, mentalitas yang berorientasi ke depan, saat ini, dan tidak memikirkan masa depan juga tidak cocok bagi pengembangan ekonomi. Sebab orientasi pada masa depan memotivasi seseorang menjadi lebih hemat dan cermat dalam menggunakan alat, karena kebanyakan ketika bekerja tidak peduli pada alatnya. Keempat, petani menyelesaikan sesuatu biasanya dengan semangat gotong royong. Mentalitas ini berpengaruh pada pembangunan dan memberikan nilai positif. Gagasan bahwa manusia juga tidak bisa berdiri sendiri juga bisa mengikis rasa individualisme.

Kemudian pada periode setelah penjajahan, terjadi kecenderungan berlaku halus yang terjadi pada priyayi, dan berasal dari kalangan bangsawan. Kelompok priyayi ini hidup di area urban dan dulunya merupakan pusat administrasi kerajaan dan kolonial. Jauh sebelum Perang Dunia II, ada sekelompok pebisnis di area urban, tetapi mereka tak memiliki pengaruh yang kuat, karena tak ada kesempatan bagi mereka untuk mengembangkan skill di ranah politik. Mentalitas priyayi ini di Indonesia menunjukkan tujuan kerja yang ingin dicapai dalam posisi tinggi dan mencapai simbol. Ini tentu tidak cocok dalam pembangunan, karena menggunakan hal-hal yang tidak produktif seperti rumah yang besar, berorientasi pada dekorasi, menginginkan titel Haji pada para priyayi. Mereka juga berusaha untuk mendapat gelar akademik, setelah lulus, posisinya kurang menguntungkan bagi pembangunan karena lebih memilih bekerja di belakang meja.

Lalu, untuk dimensi waktu, mentalitas priyayi tampak menaruh perhatian besar pada masa lalu. Priyayi mengkonseptualisasikan Jawa terhadap berbagai pencapaian luhur, tanpa berusaha memahami mengapa pencapaian itu bisa terjadi. Mereka jarang menanyakan alasan para pendahulunya itu sukses. Mental ini tentu tidak cocok bagi pembangunan ekonomi. Lalu mereka juga mengenal konsep nrima, sabar, dan ikhlas yang tentu tidak cocok bagi pembangunan karena sifatnya yang pasif. Mereka juga patuh pada pemimpin, yang karakter ini dinilai positif untuk memobilisasi.

Berikutnya, mentalitas masyarakat Indonesia sejak kemerdekaan, di masa keruntuhan ekonomi muncul setelah Perang Dunia II. Era ini mengalami perubahan yang cepat, karena mengalami periode yang sulit dan menderita. Era ini ditandai oleh kegagalan institusi ekonomi yang berjalan stagnan. Inflasi juga terjadi setelah perang, ini tentu hal yang buruk bagi proses dekolonialisasi.
 
Sejak masa perjuangan Indonesia, masyarakat Indonesia memberanikan diri meninggalkan norma feodal, kolonial, dan neo-kolonial. Terlepas dari pengaruh masa yang berubah, kurangnya penghargaan pada kualitas juga merupakan hasil dari kemiskinan yang dialami oleh masyarakat. Mereka tidak lagi berorientasi pada kualitas terhadap pekerjaan yang mereka lakukan, dan kualitas dari apa yang mereka konsumsi. Adapun dampak dari sikap ini adalah hilangnya kompetisi, tak hanya di ranah produksi, tapi juga berbagai area kehidupan lainnya. Semangat kompetisi ini dalam masyarakat didukung oleh hasrat menjadi lebih baik dari yang lain.

Ada sikap baru yang menurut saya unik, yang disebut sebagai "mentalitas terburu-buru" atau "mentalitas menerabas" sebagai produk dari kurangnya konsentrasi pada kualitas. Ini terlihat dari banyaknya pengusaha yang tengah mencoba memperlihatkan standar kehidupan yang tinggi secepat yang mereka bisa dan menghindari kesusahan saat memulai bisnis. Ada pula junior yang ingin memperoleh jabatan secara cepat, tanpa kualitas kerja yang diimbangi dengan kemampuan. Mentalitas terburu-buru ini juga tampak pada norma yang mencari-cari jalan mudah.
 
Alasan apa yang menjadi sebab mentalitas menerabas ini? Pertama, dalam istilah sosiologi merupakan suatu celah generasi (the generation gap). Fenomena ini dimulai sejak okupasi Belanda, yang pada praktiknya membawa Indonesia mundur, tak peduli seberapa pintar dia, dia akan menjadi pencari kerja berikutnya. Kedua, sikap tidak bertanggungjawab, terlebih pada sektor yang non-tradisional, menggunakan peralatan yang modern. Sikap tidak bertanggungjawab ini juga hasil dari kurangnya pendidikan dan kedewasaan. Orang yang bersosialisasi pada lingkungan yang tidak menekankan pendidikan dan pengembangan karakter moral biasanya memperlihatkan sikap tidak bertanggungjawab. Alasan ketiga, karena kurang percaya diri, karakter ini berakar pada nilai budaya lama yang berusaha melebihi kebiasaan yang dicontohkan oleh pemimpin mereka. Pada masa penjajahan muncul penghargaan yang tidak cukup bagi orang asing, khususnya Eropa, karena mengalami penjajahan. Ini juga memandu pada inferioritas kompleks. Alasan berikutnya adalah apatis, sebagai konsekuensi dari kurangnya kepercayaan diri.

Penelitian lebih lanjut pada daerah yang berbeda dan kelas sosial yang berbeda di Indonesia dibutuhkan, seiring dengan naiknya populasi masyarakat. Pertanyaannya kemudian, apa yang dapat kita ubah? Mentalitas yang seperti apa yang dibutuhkan dalam pembangunan?

Berdasarkan gagasan Jan Tinbergen dalam bukunya "Development Planning" (1967), ada beberapa karakteristik yang harus dikembangkan untuk kemajuan:
1. Sangat menghargai budaya material
2. Menghargai teknologi secara tinggi
3. Berwawasan ke depan
4. Memiliki keberanian mengambil resiko
5. Memiliki tekad
6. Mampu bekerja sama dengan disiplin dan tanggung jawab

Artikel ini merupakan terjemahan bebas Bagian III dan IV dari kerja panjang Pak Koen, di dalam karya "Rintangan-Rintangan dan Pembangunan Ekonomi di Indonesia" (Jakarta: Bhratara, 1969). Artikel diterjemahkan oleh Sharon Siddique dan Leo Suryadinata dengan izin dari Professor Koentjaraningrat.

Dalam pandangan Pak Koen, ada dua hal yang harus menjadi perhatian jika ingin mentalitas pembangunan berubah. Pertama, mereka harus mengubah nilai budaya yang secara jelas menghalangi pembangunan. Kedua, mereka harus mengubah sikap negatif yang ada selama stagnasi ekonomi menjadi sesuatu yang positif.

ABSTRAK:

Pembangunan telah dan dilanjutkan menjadi isu utama setelah kemerdekaan Indonesia. Khususnya pada tahun 1960an, perhatian diberikan terkait bagaimana pembangunan dapat dicapai dan apakah fitur dari budaya Indonesia cocok dengan proses pembangunan. Esai ini, yang aslinya terbit pada tahun 1969, membahas isu ini dalam istilah "karakteristik mental" dan "nilai kebudayaan" sebagai refleksi dari perspektif antropologi. Esai ini merupakan bagian dari desain riset nasional di bawah sponsor Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Di dalamnya terkandung pemahaman yang lebih baik dari masalah yang bernama sikap mental populasi Indonesia yang konduktif bagi pembangunan ekonomi yang diinisiasi oleh Rencana Pembangunan Lima Tahun I (tahun 1969). Studi ini menghasilkan paper yang dikirimkan ke Badan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada tahun 1972-74, yang tidak pernah diterbitkan. Meskipun, studi ini masih digunakan secara luas bagi latar belakang pada Repelita II dan rencana lanjutan lainnya.

Koentjaraningrat. "The Indonesian Mentality and Development." Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast Asia (1988): 107-133.

Link: https://www.jstor.org/stable/41057106

#31daysofindonesianscholars #koentjaraningrat #indonesia #mentalitas #pembangungan #antropologi

PROFIL SCHOLAR:


Koentjaraningrat, lahir di Sleman, Yogyakarta, 15 Juni 1923, dan meninggal di Jakarta, 23 Maret 1999. Beliau dikenal sebagai Bapak Antropologi Indonesia, yang berperan besar dalam mendeskripsikan sejarah dan kebudayaan Indonesia. Mendapat gelar Sarjana Bahasa Indonesia dari UI (1952), Master bidang Antropologi dari Universitas Yale USA (1956), dan Doktor Antropologi dari UI (1958). Pak Koen telah banyak menerbitkan buku berkaitan dengan Antropologi, di antaranya "Pengantar Antropologi", "Sejarah Teori Antropologi", Beberapa Pokok Antropologi Sosial", "Manusia dan Kebudayaan di Indonesia", juga "Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar