Jumat, 20 Desember 2019

Learn the rule, then play it, just play...

Jika suatu hari ada yang bertanya padaku: siapa orang yang berpengaruh dalam hidup? Aku akan menjawab namamu. Kau mempengaruhiku begitu banyak soal pemikiran, perasaan, cara memandang hidup, cara bertahan, berbahasa, penampilan, selera bermusik, hingga hal-hal remeh temeh yang kamu lakukan selalu menarik di mataku. Setelah mencoba untuk mendalamimu hingga sekarang, ternyata aku tak kunjung paham. Kau begitu susah kupahami, kutebak. Keliaran dan jiwa solitermu sering mengejutkanku.

Jika aku butuh teman, pikiranku akan blingsatan kemana-mana. Kau mungkin tahu, aku sangat sulit untuk bercerita pada orang lain. Aku sering merasa gelap sendirian, dan kalau aku menangis tak salah kan ya? Akhir-akhir ini krisis pribadiku kambuh lagi. Ditambah tak punya uang, tanggal muda masih sangat lama. Rasanya lapar. Cuma kepikiran baca ulang buku Knut Hamsun yang judulnya Lapar. Lapar benar-benar membuatmu merasa sensitif.

O ya, tadi aku ditelepon  seorang staf Litbang salah satu koran terkemuka di Indonesia untuk yang ketiga kalinya dalam dua tahun ini kalau aku tak salah hitung. Mbak dalam telepon itu bertanya padaku soal isu politik, hukum, ekonomi, dan disabilitas yang tengah diperbincangkan publik sepanjang tahun 2019, serta spekulasi kepemimpinan presiden-wapres tahun 2020 mendatang. Kebanyakan pertanyaan disediakan pilihan jawaban dan aku tinggal memilihnya. Aku merasa kesulitan menjawab semua. Bacaanku kurang banyak juga ternyata soal isu-isu terkini. Sudahlah, ini intermezo saja. Sebenarnya Mbak Litbang ini sungguh mengganggu kegiatanku mendalamimu ulang dari awal hingga akhir. Kamu lagi-lagi memberiku jawaban terkait makna hidupku sebenarnya. Kamu tunjukkan senter itu lagi di tengah kegelapan dan kebutaanku berbenturan dengan kenyataan hidup. Di mana aku begitu sering kehilangan diri.

Aku membayangkan kini kau tengah duduk di sampingku. Lalu kau tersenyum dengan senyummu yang khas itu. Mengejekku, "tua!" Haha. Itu kata terakhir yang kau tulis di berandaku saat aku ulang tahun yang ke-25. Aku hampir 27 sebentar lagi dan itu tak masalah. Aku punya masa umur-umur panjang dan berpikir bisa selalu muda kala mengingatmu, melihat hidupmu--hei, kau juga lebih tua, ingat. Wkwk! Sekarang mungkin aku tak bisa memperhatikanmu dari dekat karena jalan hidup yang telah kita pilih masing-masing. Kau di sana dan aku di sini. Aku ingin selalu menangis tiap kali baca kalimatmu yang ini: "Ontosoroh, that fictional woman yang senantiasa makan keringat sendiri, creataed by pram, and imagined by me. haha." Ya, kalau dari Pram lewat Nyai Ontosoroh, "Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri, bersuka karena usahanya sendiri, dan maju karena pengalamannya sendiri." Entah kenapa kalimatmu dan kalimat Pram ini begitu berarti dan berenergi sekali untukku. Aku ingin jadi perempuan seperti itu untuk memenuhi kedaulatanku sebagai manusia.
Credit by you.
Suatu waktu kau juga pernah menulis "Einstein+(Marx×Pram)=Isma". Juga teman-teman lain ada yang gabungan dari (Nietzsche:Foucault)+Marx, ada yang Derrida×Marx, ada yang {Marx+Schopenhauer}×Deleuze, ada yang Che Guevara+Muhammad, hingga ada yang teman kita gabungan dari Bakunin+Cobain. Kau sendiri terbuat dari apa? Tapi mungkin aku akan menulisnya begini, kamu adalah gabungan dari (Nietzsche×Hayek)+Foucault+Schopenhauer. Rumusanmu tentang diriku sendiri salah. Aku tak tahu bagaimana tepatnya, tapi jangan pernah lupakan ada Hannah Arendt yang juga mempengaruhiku. Dia perempuan yang sangat berani, cerdas, kritis. Aku terpesona dengan semangat vita activa dia. Terlebih lagi soal natalitas, bahwa manusia lahir adalah hasil terus menerus dari pergulatan dia dengan orang lain. Pergulatan yang dalam hati kecilku sangat ingin kuhindari, karena kadang jika aku benci dengan manusia, perasaan misantrophe-ku akan meronta-ronta. Namun itu memang harus kuhadapi untuk kebaikanku sendiri. Atau dengan kata lain, untuk sampai ke sana aku harus melalui ini.

Halo, sekali lagi terima kasih kuucapkan. Judul dalam artikel ini kudapat dari statusmu dan kalimat yang kau tulis lewat WA beberapa bulan yang lalu saat aku sedang susah-susahnya. Bantuanmu kala itu begitu nyata, dapat kuindera, dan dengan perasaan yang rapuh membuatku menangis (lagi). Kenapa kau paham aku sedang butuh bantuan bahkan tanpa perlu kuceritakan? Kalimatmu itu memberiku arah yang lebih sehat terkait bagaimana aku hidup ke depan. Tulismu pula seperti kata Steve Pavlina, "Complaining may be a compelling addiction, but it needn't be a life sentence."

Banyak orang selainmu yang juga memberiku pengaruh, dan orang itu pernah dekat. Kuceritakan sedikit tentangnya, dia mengajariku merasakan bagaimana indahnya berkomunikasi dan diperhatikan. Dia memang cerdas tak kuragukan, analisisnya bagus, tak suka narsis, tapi kurang pendirian dalam memutuskan sesuatu serta kurang bisa jika diajak berdiskusi terkait masalah hidup nyata dan krisis diri personal yang lebih berat. Dia sering menghindar terkait itu. Mungkin karena usianya masih sangat muda. Kedewasaan tak bergantung usia memang tak selamanya berlaku. Ya sudahlah. Dia mungkin memutuskan ingin jadi orang yang hebat macam Noam Chomsky dengan pilihan-pilihannya sendiri. Dia mungkin juga telah berbahagia dengan perempuan yang bersama dia sekarang. Aku pun selalu berdoa untuk kebaikannya. Bagaimana pun dia juga adalah bagian dari sejarahku, sama sepertimu. Di mana aku pernah merasa sangat dalam dan emosional. Aku sama-sama berusaha memahami kamu dan dia sampai sedalam yang kubisa. Ini baktiku terhadap orang-orang yang aku tak perlu berpikir lagi kenapa aku harus exist di bumi.

Kau pun demikian bersama perempuan yang lain bukan? Salah satu perempuan itu aku kenal dan dia sangat baik, mencintai anak-anak, punya jiwa seni tinggi, keibuan, cantik, satu suku pula. Kau tentu akan punya cerita-cerita yang menarik. Sungguh, aku ingin sekali mendengar cerita itu, kita bercerita di dalam gorong-gorong. Ya, sekali lagi aku tak akan mengkhawatirkanmu dan kau juga tak perlu mengkhawatirkanku. Berbahagialah dengan siapa pun engkau hidup. Just learn the rule, then play it, just play...  

Semarang, 20 Desember 2019

Sabtu, 14 Desember 2019

Cina: Narasi Sebuah Raksasa

One-Belt-One-Road-infographic-excerpt
Sumber ilustrasi: SciVal with data from Scopus
Umar Kayam pernah membuat cerpen berjudul “Istriku, Madame Schiltz, dan Sang Raksasa” yang mengulas tentang kultur masyarakat Amerika kota lewat kacamata orang Timur. Kota dalam cerpen itu digambarkan bisa memakan segalanya, gedung-gedungnya sampai manusia-manusianya. Tidak peduli halal atau haram. Mengingat itu, saya jadi kepikiran mengganti judul yang dibuat Umar Kayam menjadi “Xi Jinping, Cina, dan Negara-Negara Kurcaci”—ya, dengan kisah nyata yang tentu saja berbeda. 

Saat ini tengah tumbuh dengan sehatnya raksasa dunia, sang pemodal besar yang membekengi banyak negara dunia miskin/berkembang. Membawa negara-negara bawah/menengah itu kian patuh pada “bos besar”. Meski secara tak sadar mereka tertindas, juga bungkam terhadap persoalan-persoalan HAM yang dilakukan bos besar. Kenyataan ini semacam mimpi buruk Marxian, frustasi Orwellian, dan kamar pengantin Leviathan. Raksasa itu bernama Cina. Negara yang berpotensi memakan apa saja.
Di tulisan ini saya hendak mengungkapkan pada era sekarang sudah sejauh mana raksasa itu tumbuh dan apa dampak pertumbuhan itu bagi beberapa negara di dunia. Begini saya akan memulai ... 
Pada awal tahun 2019 tepatnya tanggal 3 Januari, biro Administrasi Antariksa Nasional Cina (CNSA) menggebrak dunia dengan mendaratnya wahana ruang angkasa Chang’e 4 ke tempat terjauh bulan. Menggunakan bajak angkasa yang dijuluki Yutu-2 atau Jade Rabbit-2 Cina telah berhasil menjelajah sisi misterius bulan di Kawah Von Karman dalam Cekungan Kutub Aitken-Selatan, zona tumbukan tertua di bulan.[1] Di sana, Chang’e 4 menanam kehidupan Bumi ke Bulan. Membawa materi eskperimentasi yang ditaruh di dalam tabung kecil berisi benih kentang, tumbuhan bunga Arabidophis thaliana, dan telur ulat sutra.[2] Penjelajahan ini juga akan membantu memahami sejarah kuno Bumi dengan lebih baik. Ilmuwan kemungkinan dapat mengintip 50 juta hingga 100 juta tahun setelah Big Bang.
Pencapaian Cina tersebut meramaikan lagi eksplorasi ruang angkasa yang mulai meredup, sebab proyek ini lebih dari sekedar proyek ambisius. Ada hal lain selain akademis yang ingin disampaikan: Cina mulai menyaingi Amerika Serikat dan Rusia dalam eksplorasi ruang angkasa. Kabar itu terjadi saat perkembangan penelitian angkasa AS dan Rusia mengalami stagnasi. Anggaran Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) telah turun dalam beberapa tahun terakhir. Sedangkan Presiden Rusia Vladimir Putin sibuk membiayai operasi militernya di luar negeri.
Pada awal 2000-an, sedikit orang yang percaya Cina akan mampu menjadi pemain ruang angkasa. Beberapa usaha Cina seperti mengirim astronot pada tahun 2003, pengamat Barat menilai itu sebagai hal yang sia-sia dalam mengejar ketertinggalan.[3] Johnson-Freese peneliti teknologi luar angakasa di Naval War College menyebut memang teknologi antariksa AS jauh lebih unggul daripada Cina tapi Cina punya koentji yang sulit dilawan AS: kemauan politik. NASA memiliki program naik turun tergantung siapa yang memerintah negara. Di masa Barack Obama, NASA fokus mengeksplorasi asteroid dekat bumi. Di masa Donald Trump jadi target utama lagi. NASA akan kembali menargertkan pergi ke bulan pada tahun 2020-an.
Misi luar angkasa Cina sulit ditebak. Meski ada yang memberi kisi-kisi Cina bersiap membawa sampel tanah Bulan ke Bumi menggunakan Chang’e 5 TI—tentu ingin mengejek Uni Soviet yang pada tahun 1976 menggunakan misi Luna 24-nya hanya pulang membawa debu Bulan. Baiknya pula, Cina tak terburu-buru hanya demi menyaingi AS. Cina memiliki visi-misi jangka panjang yang salah satunya tertuang dalam Buku Putih Pertahanan Cina. Alih-alih mengirim antariksawan lalu pulang, Cina lebih memberi perhatian pada program antariksa berbasis infrastruktur.
Sebenarnya Cina dan AS bisa bekerja sama dalam misinya menjelajah luar angkasa. Namun tak semudah itu Ferguso, parlemen AS melarang proyek kerjasama dengan badan antariksa Cina karena dugaan spionase. Di sisi lain pada situasi perang dingin yang disebabkan ekonomi dan politik kedua negara membuat kerja sama ini suram terwujud.
Lalu saya bertanya, transformasi apa yang sebenarnya terjadi di Cina?
Negara yang memiliki penduduk hampir 1,4 miliar tersebut di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping menerapkan reformasi di banyak bidang termasuk di bidang sains, teknologi, ekonomi, politik, dan lainnya. Chang’e 4 menjadi bukti berhasilnya Xi menjadikan Cina sebagai salah satu pusat sains dan referensi inovasi dunia.
Xi dikenal sebagai sosok reformis, dia sadar cara lama yang kaku tak punya masa depan. Baginya, reformasi adalah sebuah keharusan. Xi tak akan melakukan reformasi hanya untuk menyenangkan negara lain. Kalau diperibahasakan: hanya pemakai sepatu yang tahu sepatu yang dipakainya pas atau tidak, jangan dikte Cina. Motto Xi: reformasi atau bubar! Tak boleh ada jeda alih-alih mundur.[4]
Sisi penting reformasi ini: meningkatnya kepercayaan diri masyarakat Cina di hadapan dunia. Sekaligus mengilhami negara Timur dan Selatan untuk berjalan ke arah yang berbeda dengan Barat dan Utara. Membuat poros yang unipolar menjadi multipolar.[5] Meruntuhkan superioritas negara maju serta meningkatkan mentalitas sejarah negara miskin/berkembang. Cina tengah membuktikan kemampuan diri dan kebanggaan terhadap budaya bangsa dengan terus membebaskan kekuatan produktif sosial. Berkomitmen pada jalan kemakmuran bersama.
Reformasi Cina juga memberi berkah dunia. Menurut Biro Statistik Nasional, dalam 40 tahun terakhir Cina berkontribusi terhadap pertumbuhan global rata-rata sebesar 18,4 persen per tahun. Terbesar kedua setelah AS. Pada 2017 lalu, bahkan Cina menyumbang 27,8 persen total pertumbuhan global. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan angka kontribusi AS dan Jepang jika disatukan. [6]
Tujuan reformasi Xi ialah menciptakan sistem sosialisme berkarakteristik Cina. Sesuai dengan amanat Deng Xiaoping yang menerapkan reformasi ekonomi terbuka pada tahun 1978, untuk mengentaskan kelaparan massal yang diekseskan Revolusi Kebudayaan era Mao Zedong. Sosialisme wajah baru yang berintegrasi dengan kapitalisme berkembang membentuk sosialisme pasar. Suatu sistem yang mengkombinasikan sosialisme dengan kebijakan ekonomi pragmatis, seperti ramah dengan investasi asing dan aktif dalam perdagangan global. Sebagai jawaban atas eksprerimentasi sosialis menjawab kapitalis yang ekstra-lentur.
Nama lain dari pembangunan ini dinamakan sosialisme ilmiah guna beradaptasi terhadap kondisi objektif yang ada. Cina dianggap telah membawa keoptimisan bagi politik sosialisme yang diragukan, dianggap usang, dan sempat tenggelam pasca runtuhnya Uni Soviet. Meski sosialisme pro Marxis tersebut mencurigakan dan agenda-agenda perjuangan kelas, politik protelatariat masih perlu dipertanyakan ulang.[7]
Xi menyerukan era ekonomi baru bagi Cina. Bahwa sudah saatnya bangsa Cina mengubah diri menjadi kekuatan.[8] Cina bukan hanya salah satu negara yang menjadi pusat kekuatan di Asia Timur, tapi juga seluruh dunia. Tak hanya menyasar Asia, investasi Cina di sejumlah negara Afrika juga mengalami kenaikan yang pesat.
Salah satu proyek tendensius Cina adalah One Belt One Road (OBOR). Merupakan proyek integrasi ekonomi Eurasia melalui perdagangan, telekomunikasi, dan infrastruktur. Strategi pembangunan ekonomi yang mengajak banyak negara terlibat dalam konektivitas jalur darat dan maritim yang menghubungkan Asia, Eropa, Timur Tengah, dan Afrika. Proyek ini banyak menjanjikan keuntungan bagi negara-negara yang terlibat. Proyek ini memakan banyak sekali biaya hingga Cina membuat bank khusus bernama Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB). Bank ini terdiri dari banyak negara di dunia, termasuk Indonesia untuk mendukung pertumbuhan infrastruktur di wilayah Asia-Pasifik. OBOR menjadi kendaraan Cina mengendalikan dunia dengan cara menciptakan hukum-hukum baru dan membangun institusi/aparatus yang mencerminkan kepentingan Cina.[9]
Cina juga aktif dalam berbagai organisasi internasional. Cina menjadi anggota tetap pemegang hak veto dalam Dewan Keamanan PBB yang berhasil menciptakan dilema keamanan bagi negara-negara tetangga seperti Taiwan, Jepang, dan Korea Selatan. AS dan Cina memberi sanki PPB terhadap perdagangan energi, kelautan, tekstil Korea Utara untuk mengekang senjata nuklir Pyongyang. Kim Jong-un setengah mati melakuan perundingan dengan Xi terkait sanksi tersebut. Pertemuan terakhir mereka dilakukan pada 7-10 Januari lalu di Balai Besar Rakyat, Beijing. Sekaligus membicarakan tentang kebijakan-kebijakan Trump.[10]
Di bidang militer Cina memiliki jumlah militer salah satu terbesar di dunia. Pada tahun 2018 terdiri dari 2.183.000 personel aktif dan 510.000 personel cadangan. Personel-personel itu dibagi ke dalam tiga kekuatan: darat, laut, dan. Di mana kekutan darat terbesar dengan dibantu 7.716 tank dan 8.246 artileri.[11] Cina juga menjadi negara pertama yang berhasil mendirikan pangkalan militer pertamanya di luar negeri, yakni di Djibouti. Rencana pembangunan selanjutnya di Pakistan. Kekuatan militer ini digunakan Cina untuk petahananan dari serangan internasional sewaktu-waktu, juga membereskan negara-negara yang tak patuh. Salah satunya Taiwan.
Sekarang ini Taiwan tengah diambang kehancurannya.[12] Sebab tidak mempunyai kedaulatan di dunia internasional dan kurangnya pengakuan dan hubungan diplomatik. Satu-satunya negara Afrika yang setia berhubungan diplomatik dengan Taiwan hanya Eswatini.[13] Xi tengah mengancam Taiwan dari cara halus hingga kasar jika negara itu tetap bandel menolak kebijakan reunifikasi (Tong Yi). Tsai Ing-wen, presiden Taiwan jelas menolak, sebab 23 juta rakyat Taiwan dibangun atas dasar konstitusi, ideologi, dan kultur yang berbeda dengan Cina.
Tsai menyebut tantangan besar yang negaranya hadapi adalah intervensi Cina pada perkembangan politik dan sosial Taiwan. Cina masih menganggap Taiwan sebagai salah satu provinsi yang membangkang. Cina berusahan mengontrol Taiwan dengan kebijakan halus “Satu Negara Dua Sistem”. Jika tetap tak mau, Xi tidak segan-segan mengirimkan militernya.[14] Xi menegaskan tidak ada kemerdekaan untuk Taiwan. Dengan kekuatan militer yang disebutkan di atas, sangat mudah memporakporandakan Taiwan dari tendangan kaki Xi saja.
Kini Tsai tengah meminta bantuan internasional untuk membela demokrasi dan cara hidup di Taiwan. Tsai menyebut jika dunia internasional tidak membantu, akan ada negara-negara lain yang menjadi korban serupa. “Kita mungkin harus bertanya negara mana berikutnya itu?” kata Tsai.[15]
Apa dampak menyakitkan dari fakta-fakta di atas?
Pertama, Xi membatasi ekspresi kebebasan berbicara termasuk di negaranya sendiri. Cina memberantas musuh-musuh pemerintah dan pengkhianat dalam masyarakat adalah jalan untuk memulihkan hukum dan ketertiban. Juga sebagai cara untuk “merapikan negara”. Xi menolak demokrasi terbuka dan konsep kebebasan berbicara ala Barat. Sikap ini secara otomatis pemberlakuan kontrol penuh terhadap masyarakat Cina—dan dunia. Xi melanjutkan kediktatoran sebelum-sebelumnya. Diperkuat dengan isu Xi yang tak mau jabatannya dibatasi dan amandemen konstitusi terkait aturan itu telah dibuat.[16]
Kedua, bungkamnya pemimpin-pemimpin dunia—khususnya pemimpin negara Islam—dalam menyikapi persoalan HAM yang terjadi. Kasus yang santer sekarang adalah menyoal Xinjiang. PBB mengatakan ada sekitar satu juta Muslim berbagai etnis di Xinjiang—termasuk Uighur[17], Hui, Kazakh, Kirgistan, Uzbekistan, dan lain-lainnya—ditahan di kamp tahanan pemeritah Cina.  Juga nasib-nasib perempuan di kamp-kamp itu. Mereka disiksa, disuntik dengan cairan yang tak dikenal, berdiri lama di dinding, kaki dibebani beban berkilo-kilo, hingga mereka dibuat tidak bisa menstruasi karena obat aneh itu.[18] Meski itu mulai diredakan dengan jalan memperbolehkan PBB mengunjungi Muslim Uighur di Xinjiang.[19]
Cina banyak membungkam pemimpin Muslim yang lalim dan melanggengkan penindasan karena struktur kekuasaan ekonomi-politiknya. Dengan gertak memalukan ala Orba seolah ingin menyampaikan kepada semua negara yang bergantung padanya: berhenti mengkritik Cina akan kekerasan HAM.  Pakistan yang dikenal getol membela negara Islam juga keder di hadapan Cina. Pakistan yang pernah mengkritik habis-habisan pembuatan kartun Nabi Muhammad dan protes terkait fatwa Ayatollah Ruhollah Khomeini dari Iran terhadap buku The Satanic Verse karya Salman Rushdie, menyikapi kasus Muslim di Xinjiang seperti kehilangan pita suaranya. Faktor ekonomi-politik menjadi faktor utamanya. Dua negara ini telah membentuk proyek prestisius Koridor Ekonomi Cina-Pakistan (CPEC) yang menjadi jalan sutra yang menghubungkan Cina ke seluruh pelosok Asia. Cina telah membangun proyek seharga 75 miliar dolar untuk itu. Pakistan takut kehilangan investasi besar dari Cina.
Kazakhstan juga sebelas-dua belas dengan Pakistan menjadi mitra penting dalam perdagangan dan infrastruktur. Padahal ada sekitar 1,5 juta etnis Kazakh tinggal di Xinjiang.[20] Kondisi pembebasan etnis ini sangat tergantung kemurahan ekonomi Cina. Negara Asia Tengah yang kaya minyak itu berada di posisi yang buruk untuk mengajukan tuntutan pada Cina. Dilepaskannya 2000 etnis Kazakh tak lain hanya upaya Cina meredakan ketegangan.[21]  
Tidak habis pikir kemudian adalah Turki yang katanya negeri maju pun bersikap pengecut. Padahal Uighur adalah saudara sepupu jauh etnis Turki. Ankara yang dikenal sebagai pembela utama perjuangan Uighur pun tak berkutik dan tampak menyerah.[22] Sebab Cina membantu Turki mengamankan stabilitas ekonomi negara tersebut, tapi dengan syarat kantor berita Ankara berhenti membuat pernyataan yang tidak bertanggungjawab soal Xinjiang.
Hasnet Lais, pakar Politik Islam dalam tulisan bernasnya di The Independent berjudul China’s brutal crackdown on Uighurs shows no sign of slowing down – so why aren’t Muslim leader stepping in?, menyebut tindakan para pemimpin Muslim sebagai pengkhianatan: “Keheningan memalukan politisi Muslim terkait kejahatan Cina terhadap Uighur lebih dari sekedar kisah pengkhianatan. Ini adalah kisah tragis tentang bagaimana globalisasi lebih diagungkan daripada hak asasi manusia.”[23]
Deretan ini bisa diperpanjang lagi dengan menyebut Malaysia, Bangladesh, juga Indonesia. Butuh kalkulasi serius bagi pemerintah Indonesia saat ingin memberikan respon pada kasus Uighur. Di mana Indonesia masih memiliki ketergantungan investasi dengan Cina. Beberapa di antara yang terlihat ialah proyek-proyek tol, kereta api cepat, pembangkit tenaga listrik, dan lain-lain. Apakah Indonesia berani? Saya skeptis, meski bukan tidak mungkin.
 Dan pelan-pelan, raksasa itu memang hendak memakan segalanya.***


[2] SKH KOMPAS edisi Selasa, 8 Januari 2019, hlm. 10.


[4] Lihat lebih lanjut buku A Study of Xi Jinping Thought on Reform and Opening-up.


[6] SKH KOMPAS edisi Minggu, 30 Desember 2018, hlm. 7.


[8] Lihat lebih lanjut buku China Shakes The World: The Rise of a Hungry Nation karya James Kynge.







[15] SKH KOMPAS edisi Minggu, 6 Januarai 2018, hlm. 4.








Kamis, 12 Desember 2019

Sondang Hutagalung dan Jeon Tae-Il, Terbakar Tak Berarti Mati

Tanggal 10 Desember 2011 lalu Sondang Hutagalung meninggal mati membakar diri. Temanku memberi satu judul film "A Single Park". Tentang kehidupan dan perjuangan seorang buruh Korea bernama Jeon Tae-Il. Dia meninggal 11-12 sama Sondang, mati dengan membakar diri. Umurnya pun mereka sama-sama muda. Yang membedakan, setelah Jeon bakar diri, protes di Korea membesar, sedangkan di Indonesia Sondang dilupakan begitu saja. Tanggal 10 kemarin pas kematiannya juga sepi. "Di Indonesia kayanya sibuk ngomongin cara Sondang protes, bukan kenapa dia protes," tulis temenku.



Di sisi lain ingat Sondang aku selalu ingat tulisan Al Fayyadl berjudul Bahasa Perlawanan. Cara Sondang menurutku juga penting sebagai simbol protes dalam mengungkapkan pesan yang ingin dia bangun. Bahwa membakar diri adalah bentuk perlawanan paling jauh sebagai manusia. Beberapa kutipannya:

"[c]aranya memilih membakar diri daripada langsung membunuh diri, yang otomatis akan membawa kematiannya, mengirimkan suatu pesan yang lebih bahwa ia hendak melawan, dan ia tahu bahwa hanya dengan membakar dirinya, ia telah melakukan perlawanan paling jauh yang bisa ia lakukan untuk memprotes keadaan, karena perlawanan itu melumat satu-satunya yang paling berharga dari dirinya: hidupnya. Ia melawan hingga teriakan terakhir yang bisa ia teriakkan; hingga kata-kata terakhir yang bisa ia ucapkan; dan hingga napas terakhir yang bisa ia hembuskan."

Dulu pertama kali baca tulisan Fayyadl itu pengin nangis. Tiba-tiba pas chating sama temanku itu aku sangat sedih, Sondang berani mengorbankan HAM yang dipunyai dirinya sendiri. Terus temanku bilang, "Jangan sedih, dilanjutin (perjuangannya). Kalau nggak ada yang ngelanjutin baru sedih." Ya, dia benar.

Sabtu, 26 Oktober 2019

I'm Mature Too Late

When I walked from my lodge (Jl. Dewi Sartika) to Sam Poo Kong, I looked many things about society. Especially I was looking at the informal worker in the street. Man who take bamboo in his shoulder; man who sold newspaper in traffic jam without slipper on his foot (you know, here's Semarang, where many suns) and he was disability; a woman  with her daughter sold newspaper too along bridge (wherein under bridge there is river or one day it is sea, where Sam Poo Kong's ship sailed there). I think, whether life to be fair from them? How these bastard structures and systems made them like that? They're not lazy, nor rebel to the fucking capitalist who stole their added value.

You know that poverty is inheritance?  A kid, who born in a poor family will be poor for a long time? And they lose many good opportunities. And how this system makes poor mentality too. They lose their confidence, spirit to study and learn. How damn! Eternal poverty because of greedy.

And God, I'm sorry, this morning I knew that I'm mature too late than my age. I don't know what's good or bad in my life. I don't know how to work effectively to increase productivity. I don't know if the economy is a very base and fundamental things to survive. I don't know how to communicate my problem to others. I don't how to make this society more good than before--even in little circumstance my family. I'm too shy (like "woman" did), I lose my confidence from I was a child. With all ideality, you're a success when you have money, you have a masterpiece like the books, you have a big house, you have many education attributes, and so on, and so on.

God, this truth that every day the story and history are born, but still the same messages.

So, I just sing: I didn't know I cared. There was something special in the air. Dreams are my reality, the only kind of real fantasy. Illusions are a common thing. I try to live in dreams. It seems as if it's meant to be...
I really mean to learn. How deep is, how deep....

Senin, 21 Oktober 2019

Puisi "Stasiun Tawang" dan "Kota Lama"

Kota Lama

Kau serupa Mignonne, macan cantik ciptaan Honore de Balzac
Gairah di kota
Kucari-cari kawan di Taman Sri Gunting, seorang pengelana
Meski yang kutemui hanya merpati-merpati Gereja Blenduk,
dan para puan-tuan bergandengan

Kutanam harapan di tanahmu Kota Lama, saudara jauh Kota Tua
Sakit sama rasanya, entah di Jakarta atau Jogjakarta
Lalu kumengembara ke Semarang, mencari uang, tapi malah kurang
Di sini, tiket wisata semurah apa pun tak sanggup kubeli
Padahal kujadwalkan masuk galeri,
seni kontemporer yang bikin imajinasi tambah encer
Cukup juga dengan hanya melihat depan Spiegel dan Gedung Marba
Tanpa bisa masuk ke dalam

Cukup juga dengan hanya sebotol air mineral,
tak cukup buat bayar selera Serikat Dagang Kopi,
atau Filosofi Kopi atau Hero Coffee atau Coffee House lain
Tongkrongan anak muda masa kini

Juga tak sanggup membeli tahu gimbal dan tahu pong kenyal,
atau beli loenpia yang mungkin bisa mengurangi hidup seret,
juga Mie Kopyok, Nasi Koyor, atau sekadar pisang plenet

Sementara kesendirian dan kesepian tak terhindarkan
Orang-orang lalu lalang semakin tak membuat tenang
Diri tumbuh kian asing, di mana diri bahagiaku?

Aku telah jauh, perantauanku belum menghasilkan
Waktu sedikit, aku hanya berusaha bertahan dalam permainan
Oh, Semarang

Minggu, 20 Oktober 2019

Gedung Marba Semarang

Gereja Blenduk

Spiegel













































 --

Stasiun Tawang

Tawang, sungguh jauh kau kukenang
Delapan tahun lalu sampai sekarang
Orangtua memintaku masuk sekolah kedinasan

Tawang, kau bukti aku selalu gagal berbeban,
dengan sakit setengah hidup aku tahan,
dan tak ada pelampiasan

Kini aku datang lagi, menikmati angin dan danaumu
Di hari Minggu, di mana revolusi meliburkan diri
Orang-orang memancing ikan-ikan kecil
Di air danaumu yang hijau gelap

Anak-anak berlari-lari ke barat bermain ayunan
Ada ibu berwajah keriput masih mengisi teka-teki silang
Seorang ibu paruh baya berpunggung bengkok duduk di sampingnya,
dengan sobek di pinggir celana, dia miskin dan stunting

Tawang, dukaku hari ini diledek Gambang Semarang
Kau paham Tawang, aku selalu merasa asing akan orang-orang
Delapan tahun sudah sejak kumenginjakkan kaki,
di sini hidupku tak pernah berganti
Aku bernyanyi:

"Miskin minta kaya, kaya minta uang
Uang minta kerja, kerja minta tenaga
Tenaga minta manusia, manusia minta sejahtera
Sejahtera punya penguasa."

Tawang, kau tempat istirahat para pengembara
Di mana harapan, cita-cita, dan hidup berjumpa
Juga tangis sedu perpisahan dan pertemuan,
tak saling memberi kabar

Minggu, 20 Oktober 219

Danau Tawang

Tawang

Rabu, 11 September 2019

All of My Condolence to BJ Habibie

Hello Grandpa Habibie, how fast time passed away. Did you remember at 19 April 2019 we met at National Heroes' Grave Park Kalibata? You weared white cloth, I was too. You and your entourage read Yassin in Grandma Ainun Habibie's funeral. I waited you few meters back of you. All of my intentions navel to you. Ultimately,  you had done reading and flush the flowers upon Grandma Ainun's tomb. You know Grandpa, at that time, I had been envy with Grandma, why she had very allegiance husband like you. I pray too to God: God, please give me husband like Grandpa. Who always accompany me when I died. And if my husband dies firstly, I want to be like Grandpa Habibie too, every Friday went to funeral for his wife.
Grandma Ainun's tomb
Pray
Flush the flower
After that, I kiss your hand like children kiss their parent's hand. Felt subtle, and I pray anymore, God I want to be discerning like Grandpa too. I still want to meet him after this God. And this day, the information like thunderous in my head. Media reports that you die Grandpa. I have cried. I adore you. Everyone feels losing of you. Many status' in WhatsApp and Instagram tell how lasting you are. From your allegiance, your role as father of reformation, as aerodynamic (physics) scientist, inside to be the third president of Indonesia.
I am beside you Grandpa
Might, this day the world sad, but someone ever read, in other land the creature happy you move your own on their land. Happy meets Grandma, Grandpa. I love you are both.

Semarang, 11 September 2019

Jumat, 06 September 2019

Keane and Their Energy's Song

"Everybody's Changing" teaches me: it's okay changing, don't be afraid, everything changes will make your life more thunderous. Your own land fill of fraud, but it's your whole beautiful land that only have by you. Maybe you will feel aching, breaking, and no one believe on yourself. Or maybe just pain that people look from your eyes. Just enjoy, soon it will be disappeared. If you are feeling fail, just remember your name and awake, there means on your name, there is many struggles how your parent grew you are. Your name will give you more energy than you had felt before. You just have so little time to understand and so little time to stay at this game. It relates with everything around you who are changing too, and this that makes you don't feel the same. Let's hear...

Keane - Everybody's Changing

Lyric:

 You say you wander your own land
But when I think about it
I don't see how you can

You're aching, you're breaking
And I can see the pain in your eyes
Says everybody's changing
And I don't know why

So little time
Try to understand that I'm
Trying to make a move just to stay in the game
I try to stay awake and remember my name
But everybody's changing and I don't feel the same

You're gone from here
Soon you will disappear
Fading into beautiful light
'Cause everybody's changing
And I don't feel right

So little time
Try to understand that I'm
Trying to make a move just to stay in the game
I try to stay awake and remember my name
But…
Keane - Somewhere Only We Know

"Somewhere Only We Know" what the deep it is! God, firstly reflect this song I have cried. I just remember all my simple thing which I have. Something that I only know--and people don't know. People for I am or maybe just I am, feeling that they too arrogant searching for beyond and too stupid understand simple little thing that we have around us. Until getting old and understand nothing. Simple thing is near, simple thing that could be the end, and it's make you complete. Simple thing to rely on. Maybe just one minute to talk, to do, something only we know.

Lyric:

I walked across an empty land
I knew the pathway like the back of my hand
I felt the earth beneath my feet
Sat by the river, and it made me complete

Oh, simple thing, where have you gone?
I'm getting old, and I need something to rely on
So tell me when you're gonna let me in
I'm getting tired, and I need somewhere to begin

I came across a fallen tree
I felt the branches of it looking at me
Is this the place we used to love?
Is this the place that I've been dreaming of?

Oh, simple thing, where have you gone?
I'm getting old, and I need something to rely on
So tell me when you're gonna let me in
I'm getting tired, and I need somewhere to begin

And if you have a minute, why don't we go
Talk about it somewhere only we know?
This could be the end of everything
So why don't we go
Somewhere only we know?

Oh, simple thing, where have you gone?
I'm getting old, and I need something to rely on
So tell me when you're gonna let me in
I'm getting tired, and I need somewhere to begin

And if you have a minute, why don't we go
Talk about it somewhere only we know?
This could be the end of everything
So why don't we go?
So why don't we go?

This could be the end of everything
So why don't we go
Somewhere only we know
Somewhere only we know
Somewhere only we know?

Keane - Sovereign Light Café

"Sovereign Light Café" is getting me so beat more. It makes me like doing far passage but just around yourself. Clueless right? Ha-ha. But it's funny and reflect my memory with someone who I love. I am not disillusioned with him of the far way, switched to who really care me. Where I befriended the deep communication. The memory boarded a steamboat, which took it downriver, forced it in. And it makes me to be better woman than before.

Lyric:

I'm going back to a time when we owned this town
Down Powdermill lane and the Battle grounds
We were friends and lovers and clueless clowns

I didn't know I was finding out how I'd be torn from you
When we talked about things we were gonna do
We were wide-eyed dreamers and wiser too

We'd go down to the rides on east parade,
By the lights of the palace arcade
And watch night coming down on the Sovereign Light Café

I'm begging you for some sign, but you've still got nothing to say
Don't turn your back on me, don't walk away
I'm a better man now than I was that day.

Let's go down to the rides on east parade,
By the lights of the palace arcade
And watch night coming down on the Sovereign Light Café

Let's go down to the bandstand on the pier
Watch the drunks and the lovers appear
To take turns as the stars of the Sovereign Light Café

I wheel my bike off the train,
Up the North Trade Road.
And look for you on Marley Lane
In every building, in every street sign
Oh, why did we ever go
So far from home?

Well, you got nothing to hide, you can't change who you really are,
You can get a big house and a faster car
You can run away, boy, but you won't go far.

Let's go down to the rides on east parade,
By the lights of the palace arcade
And watch night coming down on the Sovereign Light Café

Let's go down to the bandstand on the pier
Watch the drunks and the lovers appear
To take turns as the stars of the Sovereign Light Café

Sha la la la la la la dee lay, yeah,
I'm going where the people know my name

Sabtu, 24 Agustus 2019

Buku: Liputan-Liputan Gembira Jurnalis Persma


Halo teman-teman yang baik, buku "Liputan-Liputan Gembira Jurnalis Persma" merupakan dokumentasi dari kumpulan berita online yang pernah saya buat selama berkecimpung menjadi jurnalis pers mahasiswa. Sebenarnya sudah lama saya kumpulkan, tapi baru bisa saya unggah sekarang. Teman-teman bisa mengunduhnya di link: https://drive.google.com/file/d/1ppbHu_kNyq5CbkQuBtNfET07MXWAIRzt/view


Berikut pengantar untuk buku ini: 

Pelajaran Menjadi Jurnalis Kampus

Entah telah berapa banyak orang, tempat, kejadian, alasan, dan pemikiran yang telah saya temui selama berkecimpung menjadi jurnalis mahasiswa—khususnya di LPM Arena. Saya masuk sejak semester satu (2013), dan aktif di ARENA hingga pertengahan semester sepuluh. Hampir lima tahun di ARENA dan merasakan pergantian kepengurusan hingga empat kali. Jika menjadi anggota ARENA lebih lama dari itu, mungkin saya akan terus-terusan. Namun, satu-satu akan pergi juga, regenerasi akan selalu terjadi demi sehatnya organisasi.

Nyaris sebagian besar waktu hidup saya di Jogja saya persembahkan semuanya dengan tulus untuk ARENA. Bagi saya ARENA adalah kesenangan yang tak henti-hentinya saya syukuri seumur hidup. ARENA bagi saya lebih dari sebuah rumah di mana saya mengalami revolusi besar-besaran terkait bagaimana saya memandang dan menjalani hidup. Di ARENA saya belajar apa pun. Bahkan saya lebih merasa jika kuliah saya yang sebenarnya adalah di ARENA daripada di kelas. 

Saya sering mendengar, ARENA dikatakan sebagai martir. Berita-beritanya terlalu keras dan berani; yang selalu mengakibatkan pihak yang kami liput menjadi sangat gerah. Tak jarang setiap kami liputan, beberapa pihak kampus yang tidak terima dengan pemberitaan kami berceramah dan mengomeli kami dulu sebelum melakukan wawancara. Saya sendiri sangat berterima kasih dan berlapang dada jika memang terbuktikami sebenarnya salah dan dievaluasi dengan argumen yang membangun. Sungguh itu pelajaran yang sangat penting. Di mana diskursus telah terjadi.[1]

Atau sudah terlalu sering juga pengurus ditanyai: kenapa ARENA hanya membuat berita dan tulisan yang negatif-negatif saja? Yang jelek-jelek saja? Saya hanya ingin menggarisbawahi bahwa: kami bukan menulis hal-hal negatif atau yang jelek-jelek, kami di kenyataan hanya melihat sesuatu yang tidak benar dan tidak sesuai; lalu kami melakukan kritik atas itu. Tugas kami memantau dan mengabarkan ketimpangan yang terjadi antara apa yang senyatanya dengan apa yang seharusnya—bukan menjelek-jelekkan. 

Nafas kami adalah nafas progresif, konstruktif, dan alternatif. Kami idealis, independen, dan terbelit kepentingan. Bagi saya, itu adalah nafas utama persma. 

***

Saya tak tahu dengan pasti, untuk apa saya membuat buku kumpulan berita ini. Ada beberapa kegelisahan pribadi yang saya rasakan ketika bergelut di persma. Pertama, semakin sedikit anggota persma yang hanya sekedar “mencantumkan nama” dalam organisasi. Kerja utama persma yaitu “menulis” (meski sesederhana apa pun) mulai ditinggalkan. Sebulan sekali menulis tulisan satu saja masih bisa dibilang mending. Bahkan ada yang tak berkarya sama sekali. Apakah itu laku yang tepat sebagai anggota persma? Kedua, tanpa tulisan rutin yang dihadirkan para jurnalis pers mahasiswa, saya khawatir persma hanya sekedar menjadi lembaga kajian yang sering berdiskusi atau alat propaganda gerakan saja. Ketiga, degradasi wacana karena kurangnya tulisan. Orang cerdas bagi saya adalah dia yang paham dan menularkan pemahaman itu melalui tulisan sehingga membuat idenya bisa ditularkan untuk kebaikan bersama.

Setelah saya hitung-hitung, berita saya di web lpmarena.com yang saya kumpulkan dalam antologi ini lebih banyak meliput di luar kampus daripada yang di dalam kampus. Hanya sekitar 1/10 saja dari jumlah tulisan saya yang meliput kampus. Itu pun bukan berita yang mendalam. Hanya tulisan-tulisan di SLiLiT yang murni secara lebih panjang membahas soal kampus—dan jumlahnya hanya empat liputan. Itu kenapa antologi ini saya namai Liputan-Liputan Gembira Jurnalis Persma. Sebab isinya memang kebanyakan liputan-liputan sederhana, biasa, bisa jadi retjeh—yang semua anggota pers mahasiswa saya pikir bisa membuatnya, tapi meliput kesederhanaan ini membuat saya senang/gembira.

Belakangan saya menyesal. Kenapa saya lebih banyak menulis hal di luar kampus? Kenapa seabai ini dengan kampus sendiri? Padahal tugas pers mahasiswa adalah pers yang menjadi pengingat bagi kampusnya sendiri. Isu kampus tak pernah akan selesai digali. Apalagi setiap hari manusia berkembang, kampus juga berkembang, setiap tahun ajaran memiliki kisah sendiri. Satu-satunya majikan pers mahasiswa adalah publik kampus. Masalah dan dinamika kampus adalah jantung pers mahasiswa. Kampus adalah poros. 

Pergeseran perspektif juga, seolah ada trend “liputan di luar” (apalagi liputan konflik) lebih punya bobot, daripada meliput “yang di dalam”. Saya pribadi, kampus berperan sebagai isu primer. Lalu ada isu sekunder semisal isu-isu genting kerakyatan, semisal penggusuran di Kulon Progo, kasus proyek bandara NYIA, atau kasus agraria. Baru terakhir yang paling sunnah sebagai isu tersier adalah yang ringan-ringan. Semisal bedah buku, pameran, atau peristiwa-peristiwa yang sifatnya selingan. 

***

Dari pengalaman liputan dan bertemu dengan banyak subjek di kampuslah saya tumbuh dan melaju lebih cepat. Aktor-aktor kampus telah mengajari saya pelajaran-pelajaran bagaimana menjadi seorang jurnalis persma. Saya ingin merangkum beberapa pelajaran menjadi seorang jurnalis selama saya bergelut dalam dunia pers mahasiswa kampus:

Pelajaran pertama: Jurnalis itu jadi peneliti yang update kejadian setiap hari. Dulu saya berpikir di media mainstream ada tuntutan menulis semisal 5-10 berita per hari. Setelah berpikir lebih panjang, 5-10 kejadian itu tak ada seujung kuku fenomena dunia/Indonesia yang terjadi. Saya harus ingat, dasar jurnalis adalah fakta (peneliti), bukan etika/moral/idealita (penceramah).[2] Journalist must be update in reality. Ingat pesan jurnalis Amarta Loebis: hakikat jurnalis adalah menulis dan mengabadikan sejarah hari ini.

Pelajaran kedua: Melakukan liputan dan bertemu dengan narasumber jika tidak benar-benar paham dengan isu yang diangkat sama saja dengan bunuh diri—yang datang dengan kepala kosong dan tidak berbasis data. Jurnalis-jurnalis serampangan saja yang yang melakukan hal seperti itu, yang melacurkan otaknya sedemikian rendah di depan narasumber. Tak beda jauh sama kepanjangan tangan hoaks, “yang sekedar ingin tahu saja”. Boro-boro bicara dampak. Masalah dasarnya saja tidak tahu. Sangat kelihatan antara ada masalah dan tidak ada masalah. Pernyataannya ini-ini, masalah ini-ini, data ini-ini, baru pertanyaan ini-ini. Kalau bisa nyambung dengan narasumber, dia bakal semangat sekali menjelaskannya.

Pelajaran ketiga: Baca itu mudah, murah, dan tinggal melakukan. Data-data jurnalistik ada di mana-mana sekarang. Kita tinggal mencari dan membacanya. Apalagi sekarang tinggal ketik dan klik.

Pelajaran keempat: Asyiknya liputan jika bertemu dengan seorang whistle blower (seorang yang menceritakan secara blak-blakan akan suatu kejahatan pada isu tertentu). Di sana kepentingan publik rasanya dipecundangi, tapi di sisi yang sama seorang whistle blower tak ingin namanya ditampilkan, karena ada dampak-dampak tertentu secara personal. 

Pelajaran kelima: Apa yang diminta redaksi, LANGSUNG KERJAKAN! SELESAIKAN! Tidak ada hal yang lebih membahagiakan selain melakukan dengan secepat dan sebaik yang redaksi minta. 

Pelajaran keenam: Butuh usaha lebih. Terkait ini, ada seorang narasumber yang bilang dalam WA-nya ke HP saya: “Kalau saya seharusnya Anda bisa dengan mudah ketemu Pak X, seharian tadi dia di kampus, saya yang rapat di luar.” Dari pesan WA itu saya berpikir, “harusnya kamu tuh lebih aktif dan usaha. Tak hanya sekedar mengandalkan HP. Tapi langsung turun ke lapangan.”

Pelajaran ketujuh: Hargai privasi narasumber. Saya pernah melakukan wawancara dengan narasumber yang awalnya defensif ketika ingin mewawancara beliau. Reflek saya diam-diam merekam perbincangan dengan narasumber itu. Hampir satu jam ia menjelaskan. Banyak hal off the record yang narasumber ceritakan. Sekiranya, obrolannya begini:

“Mbak merekamnya?”
“Iya Pak.”        
“Anda diajari kode etik tidak?”
“Iya Pak, diajari.”
“Kenapa dilanggar?” saya hanya diam. “Anda tadi tidak bilang ke saya mau merekam. Anda itu Pimred. Anda bisa saya tuntut.”
“Tadi saya ingin bilang mau merekam, tapi belum sempat bilang,” kata saya pasrah, dalam hati saya mengaku salah, saya khilaf.
“Tadi ada pembicaraan yang penting, nyebutnama, dan saya bisa dipecat gara-gara itu. Saya pernah kerja jadi wartawan. Harusnya tadi kalau saya bilang off the record, rekamamannya di-pause dulu,” kata beliau. Sungguh teknik liputan yang tak pernah saya dapatkan sebelumnya. Lalu Bapak yang saya hormati tersebut meminta saya menghapus rekaman tersebut langsung di depan beliau. Saya tunjukkan rekamannya dan saya hapus. Lalu saya pulang dan mengucapkan terima kasih. Sampai keluar ruangan, saya merasa ini pelajaran berharga yang tak pernah saya dapatkan jika saya hanya duduk manis di ARENA

***

Inti dari semuanya adalah baik atau buruk dari setiap pengalaman liputan itu berharga, aset, dan investasi. Pelajaran di atas akan terus bertambah dan bertambah jika masih mensetiai prosesi sebagai seorang jurnalis. Setiap langkah akan semakin dewasa dan berhati-hati. Saya pernah menulis sebuah caption  di IG: ”Saya sering merasa terpukul dan mengutuki diri sendiri pada setiap berita-berita buruk dan berita-berita salah yang saya buat. Agak lama merenungnya, sampai saya sadar di mana letak salahnya. Dari salah menangkap maksud narasumber, salah ngutip, salah data, salah pengertian, tapi tak ada yang yang separah jika salah konsep. Dari kritikkan berita anak SD, berita hello kitty, berita sampah, sampai saya ngrasa ‘lu becus gak sih Is nulis berita!?’. Jatuh bangun terus, jatuh, jatuh bangun, bangun, dan bangun.”

Saya sebenarnya malu ketika membaca tulisan-tulisan berita saya lagi. Sungguh. Saya sering menghadirkan hal-hal yang tak konkret, yang terlalu wacanais, dan konsep-konsep yang absrak; bukan ciri dari jurnalisme yang baik seperti bisa dipanca-indra, sangat faktais, dan lebih banyak kenyataan. 

Saya sadar, tulisan-tulisan yang saya kumpulkan dalam antologi ini tidak semuanya bermututoh saya mengumpulkan ini terutama untuk kegembiraan saya sendiri. Bagaimana pun rupanya, ini adalah karya yang bisa saya pertanggungjawabkan. Saya hanya berharap tulisan-tulisan di sini memiliki nilai guna juga; bagi siapa pun yang ingin membaca atau belajar menulis berita. Semoga menginspirasi. Tabik.

"Carpe diem, quam minimum credula postero. Memento mori."
"Petiklah hari dan percayalah sedikit mungkin akan hari esok. Ingat pula kematian."

Yogyakarta, 30 Juli 2018


[1] Tapi jangan mengacuhkan kami seperti tidak menggubris kami dengan tidak memberi waktu wawancara. Padahal aktor kampus tersebut menjadi ring satu isu yang ditulis.
[2] Bedakan antara menjadi desainer dan tukang jahit. Antara jadi peneliti dan penceramah. Desainer dan peneliti merdeka secara ide, tukang jahit dan penceramah hanya jadi budak ide. Tukang jahit dan penceramah sudah begitu turah-turah di bumi ini.