Jumat, 23 Mei 2014

Alumni UIN Sunan Kalijaga Menjadi Lulusan Terbaik dan Tercepat dengan IPK 4,00

Kontan tepuk tangan menggema dari ribuan hadirin yang terdiri atas anggota senat, wisudawan/wisudawati, serta tamu undangan di Gedung Prof. Sudarto Tembalang Universitas Diponegoro Semarang pada Selasa siang, 29 April 2014.Tepuk tangan tersebut membahana ketika nama Supadiyanto berhasil meraih gelar Magister Ilmu Komunikasi sebagai lulusan dengan predikat cumlaude (dengan pujian) dan tercepat dengan waktu studi 1 tahun lebih 5 bulan dan terbaik dengan IPK 4,00 disebutkan oleh panitia wisuda.Dalam wisuda yang dipimpin oleh Rektor UNDIP Profesor Sudharto P. Hadi itu, tercatat dari 2.200 lulusan hanya ada tujuhlulusan yang meraih IPK 4,00.
Apa saja rahasia kesuksesan Supadiyanto yang berhasil meraih gelar Magister Ilmu Komunikasi dari Program Pascasarjana Magister Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro Semarang dengan predikat cumlaude? Berikut ini hasil investigasi jurnalistik yang berhasil dilakukan oleh dewan redaksi Harian Online Kabar Indonesia.
Menurut Alumni Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Suka ini, kesuksesannya dalam merampungkan studi pascasarjananya pada Konsentrasi Kebijakan Media Program Studi Magister Ilmu Komunikasi UNDIP adalah dengan menerapkan ilmu 5 T, yaitu tekun (rajin), takon (bertanya), teken (tongkat), tekan (sampai tujuan), theken (tanda tangan). Konsep 5 T di atas diadopsi dari nasihat para rektor maupun guru besar yang memberikan nasihat pada para mahasiswanya.
“Setiap orang yang ingin sukses, maka ia harus mengimplementasikan ilmu 5 T. Tekun, takon, teken, tekan, dan theken. Kombinasi dari lima langkah di atas dijamin mengantarkan kesuksesan bagi siapapun saja,” ujar dosen Akademi Komunikasi Radya Binatama (AKRB) serta pernah menjadi dosen luar biasa di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta ini di Semarang belum lama ini.
Dapat dikatakan, lanjutnya, saya bukanlah mahasiswa yang tekun dalam menghadiri seluruh kegiatan perkuliahan di kelas. Sebab untuk sejumlah mata kuliah tertentu, saya tergolong mahasiswa yang bandel soal presensi (tingkat kehadiran). Bahkan untuk mata kuliah Regulasi dan Kebijakan Media misalnya, tercatat tingkat presensinya kurang dari 50 persen. Bahkan untuk mata kuliah lainnya, bisa lebih rendah lagi. Hal tersebut diakibatkan banyaknya aktivitas luar kampus yang harus dipenuhi. Misalnya dirinya mengaku lebih mendahulukan memenuhi undangan menjadi pembicara sebuah seminar nasional daripada harus mengikuti perkuliahan regular di kelas.
Jika melacak perjuangan hidup dari penulis buku berjudul: Berburu Honor Dengan Artikel, Tip dan Strategi Menangguk Rupiah dari Surat Kabar yang diterbitkan oleh Elex Media Komputindo (Kelompok Kompas Gramedia) ini juga sungguh luar biasa. Sebab latar belakang dua orang tuanya hanyalah sebagai mantan buruh tani, yang kini usianya sudah cukup tua. Dapat dikatakan Supadiyanto merupakan satu-satunya mahasiswa Universitas Diponegoro Semarang yang menjadi kaum penglaju. Sebab hampir tiap hari dirinya menempuh perjalanan sejauh 250 kilometer dari Jogja-Semarang-Jogja dengan mengendarai sepeda motor merek Honda Legenda.
“Ya, saya naik sepeda motor dari Jogja-Semarang. Jarak Jogja-Semarang itu sekitar 125 kilometer. Waktu tempuh normal sekitar 3 jam lebih 20 menit. Ada dua alasan mengapa saya naik sepeda motor. Karena saya tidak punya uang dan karena saya harus melakukan dua pekerjaan sekaligus. Pagi hingga siang harus kuliah di Undip. Sore harinya mesti mengajar di dua kampus berbeda di Yogyakarta. Mirip ilmu setrika,” tutur kolumnis di berbagai surat kabar lokal dan nasional ini.
Berkat kebiasaannya naik motor dari Jogja-Semarang-Jogja itu, lanjutnya, dirinya melahirkan sebuah penelitian fenomenal yang terinspirasi dari slogan-slogan eksentrik yang terpampang pada berbagai bak truk pengangkut pasir yang berseliweran di Magelang-Temanggung-Semarang. Bahkan dirinya sampai hafal titik-titik potensial yang menjadi langganan sumber kemacetan, serta lokasi “favorit” para polisi lalu lintas menggelar razia kendaraan bermotor.
“Kalau dihitung selama masa studi 1 tahun lebih 5 bulan itu, saya telah mengganti ban luar dan dalam sebanyak 2 kali (depan belakang), serta sekali mengganti rantai yang putus beserta girnya yang gundul. Paling parah sewaktu ban motor saya terkena paku payung di depan Mapolda Jateng pada akhir tahun 2014 kemarin,” kenangnya sambil mengingat-ingat suka dukanya selama dalam perjalanan dahulu.Uniknya, diri sama sekali belum pernah terkena razia sepeda motor. Sebab, ketika di depan jalannya ada polisi yang menggelar razia sepeda motor, selalu saja para polisi itu mempersilakan dirinya untuk melanjutkan perjalanan; tanpa menghentikan laju sepeda motornya.
Ketika disinggung sumber biaya perkuliahannya, suami dari Imroatun Fatimah ini membeberkan bahwa segala biaya kuliah S2-nya bersumber dari kegiatan menulis.
“Aktivitas menulis di berbagai media massa, telah menjadi ekonomi politik dalam membiaya seluruh perkuliahan saya. Walaupun saya berangkat dari keluarga miskin, tetapi saya tidak mau membebani negara agar mereka memberikan beasiswa kepada saya. Biarkan orang lain yang lebih membutuhkan mendapatkannya. Saya kira lebih terhormat membiayai kuliah sendiri, daripada mendapatkan “santunan beasiswa” dari negara.,” pungkas dosen sejumlah perguruan tinggi di Yogyakarta yang bercita-cita menjadi guru besar ini.
Dalam tesis berjudul “Implementasi (Teknologi) Internet dalam Kebijakan Redaksional Harian Jogja (Bisnis Indonesia Group of Media/BIG Media) pada Orde Reformasi yang tebalnya lebih dari 500 halaman diungkapkan bahwa Internet mampu melipatgandakan produktivitas sekaligus efisiensi dalam pengelolaan industri media cetak; namun pada satu sisi menyebabkan adanya eksploitasi absolut maupun eksploitasi relatif terhadap eksistensi wartawan/wartawati. (PI-Humas)