Sabtu, 30 Desember 2017

Berbicara Angkatan dan Persoalan Generasi Iyig-Iyig

"Sama-sama angkatan 2011. Sama-sama SMA 1 beda kota. Sama-sama IPA 3. Sama-sama suram ketika SMP. Sama-sama kecil. Sama-sama fisika. Hasyah." (Status saya yang tidak jelas)

Saat kau tua dan tertinggal dari sekelilingmu, orang yang paling dekat secara personal terkadang adalah teman seangkatan. Semisal saya menyebut diri sebagai angkatan 1993 (angkatan yang lahir dari tanggal 1 Januari-31 Desember 1993). Ketika saya bertemu dengan teman seangkatan rasanya ada motivasi tersendiri, tanpa sekat, barrier, dan tak ada beban saya harus manggil kak atau dek atau apalah. Bagi saya yang lahir sebelum atau sesudah 1993 punya cerita dan kisah sendiri. 

Tonggak sejarah kadang juga dinamai berdasarkan angkatan. Bukan angkatan lahir memang, tapi angkatan kapan suatu karya besar muncul. Seperti dalam sastra ada periodesasi angkatan: Pujangga Lama, Balai Pustaka, Pujangga Baru, 60, 80, sampai angkatan cybernetika. Angkatan dijadikan permulaan di mana inovasi-inovasi segar memulai sejarahnya yang baru. Yang lebih kontekstual dan sesuai zaman. Bahkan saya pernah baca pernyataan Eka Kurniawan yang dengan PD menyiratkan, "generasi sastra terbaik adalah angkatan saya". Penulis angkatan yang sezamannya.

Diksi "angkatan" lekat dengan dunia permiliteran. Angkatan bisa diartikan pasukan; bala tentara; atau sederhananya suatu kelompok/gank. Kayak Angkatan Laut, Angkatan Darat, Angkatan Udara, dan Angkatan Kerja. Angkatan di sini bermakna pula sekelompok manusia yang memiliki kesamaan nasib, kesamaan zaman, kesamaan blok, sampai kesamaan persoalan. 

Di balik angkatan yang sukses, saya yakin ada penggerak sejarah yang mengawali. Yang datang dengan segenap kemampuan par exellence-nya. Membangunkan segenap ledakan yang dimiliki pada setiap manusia. Membangunkan harimau yang tertidur pulas pada diri tiap individu. Dan di balik angkatan yang gagal, ada sesuatu yang meninabobokan. Bukan inovasi yang mendatangi angkatan, tapi angkatan yang mendatangi inovasi. 

Meski begitu, "angkatan" juga menimbulkan mata lembingnya tersendiri. Sepengalaman saya di organisasi yang mengaku egaliter, konsep angkatan dianggap menciptakan kelas baru. Kerja-kerja menjadi tersekat dan tak bisa melebur satu sama lain. Salah seorang ketua saya waktu itu mencoba menghapus konsep "angkatan" yang tumbuh mengakar dari demisioner (kawan-kawan post). Sayangnya, konsep yang ia bangun tak terteruskan ke periode kepengurusan selanjutnya, karena mindset kesamaan nasib dan semangat korsa angkatan susah dihilangkan. Organisasi kembali lagi pada sistem angkatan untuk pembagian kerja. Padahal kapasitas seseorang tak bisa diukur dari angkatan. Kadang ada anggota baru yang kapasitasnya melebihi anggota lama. Di sini konsep "angkatan" menjadi tereduksi dan tak relevan.

Apa yang dibangun dari semangat angkatan? Anggap sekarang kita tengah berada pada masa "generasi iyig-iyig"; angkatan yang sedikit-sedikit berisik membuat status. Lalu, apa yang salah? Bukankah status juga semgangat generasi yang dibawa angkatan hari ini? Angkatan neo-teknologi. Kenapa banyak orang memfitnah mereka sebagai generasi micin? Yang setiap hari lebih banyak menatap layar, daripada menatap buku. Seolah generasi gelap yang sulit menghasilkan sesuatu. 

Saya hanya percaya, setiap angkatan genius pada zamannya. Cintailah zaman, dan zaman niscaya juga akan mencintaimu. Semua memang mengalir seperti air, tapi kita punya pilihan untuk mengalirkannya ke aliran yang lebih bermakna. Seperti yang dikatakan Ayn Rand: di suatu zaman pasti ada orang yang mengambil langkah pertama ke sebuah jalan baru. Mereka tidak datang dengan apapun, kecuali visi besar mereka. Yohhhhh...

#ijek kuat

Senin, 25 Desember 2017

SK Trimurti: Tak Punya Cita-Cita untuk Diri Sendiri

"Saya tidak punya cita-cita untuk diri saya sendiri. Cita-cita saya untuk Indonesia, agar Indonesia menjadi negeri yang makmur." Surastri Karma Trimurti

 Foto beliau saya tempel di kamar kos saya sebagai pengingat: saya ingin menjadi perempuan baja, sama sepertinya. Fisiknya ringkih, tapi pikirannya besar. SK memulai debutnya sejak remaja. Hidup di banyak jaman dari presiden Soekarno hingga SBY. Menteri perempuan pertama, menjabat sebagai Menteri Perburuhan (Menteri Tenaga kerja). Menjadi jurnalis dan kolumnis di berbagai koran dan majalah: Fikiran Ra'jat; Sinar Selatan; Pesat (Mingguan politik populer, suara rakjat merdeka); Api Kartini; dan Mawas Diri. Dipenjara karena tulisan. Tak mau dikasihani, karena baginya segenap penderitaan adalah konsekuensi dari perjuangan. "Saya tidak senang yang lunak-lunak itu".
Mendirikan Gerakan Wanita Istri Sedar (Gerwis), cikal bakal Gerawan Wanita Indonesia (Gerwani). Lulusan ekonomi UI, pernah ke Yugoslavia untuk belajar workers management. Meski jadi menteri, tak malu pakai sandal jepit, setia memakai kebaya. Hidup sederhana. Meski di dalam matanya yang merasuki mata saya, SK sebelas dua belas dengan Pram: berkemauan keras, mandiri, dan keras kepala.
Dia tetap revolusioner meski punya suami dan anak. Malah berjuang bersama dengan suami, Sayuti Melik. Meski akhirnya mereka berpisah, karena SK tak mau dimadu. SK juga sadar dirinya terlalu sibuk, sedang Sayuti butuh perempuan yang selalu bisa mengasuhnya. Perkawinan ibarat kongsi. Simple saja bagi dia.
Aktif membaca, aktif di gerakan. SK menyumbangkan segenap waktu dan pengabdiannya ke bidang yang tidak kalah dengan pria. Dia di perburuhan, pendidikan, politik aktivisme, pejuang literasi. Bukan melulu di perempuan.

Ia telah tiada. Masih banyak hal yang ingin dia perbuat.  Menyatukan kekuatan revolusioner. Pesan SK di hari tuanya: Supaya meneruskan perjuangan ini supaya Indonesia menjadi masyarakat yang adil dan makmur. Bunyinya:

"Kami bukanlah pendiri bangunan candi
Kami hanyalah pengangkut batu
Kami adalah angkatan yang harus punah
agar dari kubur kami bangkit
Angakatan  yang lebih kuat..."