Kamis, 28 Maret 2024

Rentang Batas dari Rekognisi Hutan Adat dalam Kepengaturan Neoliberal - Laksmi Adriani Savitri

Putusan MK 35/2012 yang menegaskan hutan adat bukan lagi merupakan hutan negara, menjadi tonggak kemenangan perjuangan hak atas tanah yang monumental. Menjadi langkah maju dari pertautan antara politik rekognisi dan redistribusi yang dijalankan oleh pelaku gerakan sosial. Lebih jauh, setiap perjuangan sosial merupakan upaya untuk menembus batas-batas atau limit kekuatan struktural negara dan kapital. Untuk memeriksanya, perlu mengenali limit-limit yang menghadang. Terlebih dalam kondisi Indonesia sebagai negara neoliberal yang menyediakan regulasi bagi pasar bebas dan privatisasi, atau dengan membentuk regulasi baru, menjadi pembentuk kondisi yang memungkinkan neoliberalisme bekerja lebih sistematis.

Pembacaan limit-limit yang dilakukan Laksmi dalam paper ini dipengaruhi oleh konsep governmentality (kepengaturan). Konsep ini memperlihatkan bahwa kuasa untuk mengatur kehidupan populasi manusia Indonesia dari zaman kolonial sampai hari ini dilakukan melalui pembentukan rasionalitas (cara pikir) yang meyakinkan, teknikalisasi, dan prosedur yang diterapkan melalui jaring-jaring praktik dan institusi yang tak hanya berpusat pada logika dan perilaku negara, tetapi juga institusi yang disebut sebagai "wali masyarakat". Nilai dasar neoliberalisme sendiri adalah kebebasan individu, yang membenarkan hak privat dan kebebasan pasar sebagai jalan menuju akumulasi kapital.

Laksmi berargumen: elemen-elemen yang akan hadir sebagai pembatas struktural dari peluang politik yang dibuka oleh Putusan MK 35 dimungkinkan kemunculannya dari keharusan gerakan masyarakat adat untuk menghadapi ragam arena politik lain, sebagai proses lanjutan dari Putusan MK. Ada tiga limit dari arena politik lain tersebut yang memungkinkan dihadapi gerakan masyarakat adat:

  1. Limit teknikalisasi melalui regulasi. Hal in dilahirkan dari keharusan masyarakat adat untuk mengukuhkan keberadaannya sebagai subjek hukum melalui regulasi.
  2. Keterbelahan antara kepengaturan wali masyarakat dan golongan elite yang mengarah pada komunalisasi dan kepengaturan yang diinginkan oleh masyarakat, ke arah privatisasi kepemilikan dan penguasaan tanah. Komunalisasi seperti tindakan membangun tembok yang melindungi masyarakat pribumi dari serangan musuh, tetapi membiarkan musuh bergerak di luar tembok tanpa koreksi.
  3. Penetrasi budaya korporasi dalam sistem pendidikan Indonesia yang dimulai dari desa. Privatisasi pendidikan di Indonesia telah memberi jalan bagi penetrasi budaya korporasi yang tidak mengenal batas desa-kota. Ia tidak mengenal siapa subjeknya, tapi melakukan ekspansi geografis kapitalisme perkebunan di Indonesia.


Pada limit tersebut, menubuh kesempatan hadirnya elitisme dan ketidakadilan gender. Laksmi menawarkan jalan untuk melalui proyek investasi sosial jangka panjang, yaitu pendidikan untuk kesadaran yang reflektif. Inilah yang memberi jalan bagi kepengaturan tandingan (counter-conduct) ala gerakan sosial yang melawan kepengaturan neoliberal.

Perjuangan masyarakat adat di dunia muncul sebagai gerakan menggugat karena negara sengaja mengabaikan atau salah merekognisi keberadaan masyarakat adat baik secara kultural maupun material. Klaim keadilan sosial tak bisa dilepaskan dari dua aspek perjuangan politik: rekognisi dan redistribusi. Ujung dari politik rekognisi dan redistribusi yaitu kesetaraan dalam berpartisipasi untuk melakukan perubahan.

Ada prakondisi tertentu untuk mencapai kesetaraan partisipasi menurut Fraser dan Honneth (2005): (1) kondisi objektif, di mana distribusi sumber daya material memungkinkan subjek menjadi mandiri dan berdaulat, (2) kondisi intersubjektif, terinternalisasinya nilai budaya yang memberikan penghargaan setara dan memastikan kesempatan setara kepada semua subjek untuk memperoleh penghargaan diri secara sosial. Namun, prakondisi ini tidak menghadirkan aspek ketiga yang penting, yaitu arena politik yang meliputi institusi hukum dan praktik regulasi, kewarganegaraan, administrasi, dan partisipasi politik (representasi).

Laksmi berargumen, para arena politik lain inilah jebakan-jebakan kepengaturan berkemampuan memutarbalikkan politik rekognisi dan redistribusi menjadi kekuatan yang mengeksklusi atau membatasi akses, menghasilkan kontradiksi karena kesalahan rekognisi atau malah pengabaian. Kondisi ini menyediakan jalan bagi perluasan hegemoni budaya korporasi, dan sangat bisa berpeluang mereproduksi ketidakadilan gender.

Proyek neoliberalisme bekerja efektif melalui negara, dengan sarananya berupa "kepengaturan". Kepengaturan ini tidak hanya merujuk pada kepengaturan negara, tapi juga pihak yang mempunyai kuasa sehingga mencapai tujuannya. Pengarah ini disebut sebagai "wali masyarakat", yang tugasnya menyiapkan rasionalisasi dan kalkulasi untuk memproduksi regulasi, program, dan rencana aksi, dengan disertai teknik dan taktik pendisiplinan. Sistem kepengaturan yang kentara di negara neoliberal yaitu dengan pengalihan tanggung jawab negara menjadi tanggung jawab individu. Contohnya, bagaimana World Bank di Indonesia memutarbalikkan politik rekognisi dan redistribusi reforma agraria sebatas hanya sebentuk pengadministrasian pertanahan atau legalisasi aset. Melalui privatisasi tanggung jawab, pemerintah telah membiarkan petani menggantungkan diri pada mekanisme pasar. Duggan (2003) menyebut ini sebagai "proyek kultural neoliberalisme".

Pada batasan 1: Sifat "eksklusif" menghambat pihak lain memperoleh manfaat dari properti yang dikuasai satu pihak. Ketika gerakan melawan eksklusi dari masyarakat adat atas hak-haknya merebut ruang telah diprivatisasi oleh negara dan dilekatkan pada identitas, gerakan ini bisa mengeksklusi kelompok rakyat lain yang tak masuk pada wacana identitas tersebut. Ini seperti tampak pada UU No. 13/2012 tentang Keistimewaan DIY yang mencangkup kewenangan bidang pertanahan dan tata ruang di Jogja menyatakan jika kesultanan dan kadipaten mempunyai hak atas tanah. Pada perjalanannya, UU ini mensituasikan dualisme dan ambiguitas terhadap status Tanah Sultan, baik Sultan Ground (SG) dan Pakualaman Ground (PAG).

Ketika perjuangan dan kontestasi tidak lagi bersifat vertikal (masyarakat vs negara, petani vs sultan), maka akan masuk ke bidang horizontal antar-kelompok masyarakat. Eksklusi menghasilkan konflik komunal yang keras dan mengendap, seperti terjadi pada masyarakat Poso, Ambon, dan Kalimantan. Muncul politik identitas berdasarkan etnis dan agama, yang melahirkan konflik sosial. Lalu negara menutupinya dengan doktrin Bhineka Tunggal Ika dan larangan membicarakan SARA.

Li (2012) menjelaskan, ada dua praktik pokok dalam mewujudkan kepengaturan menjadi program-program yang eksplisit: problematisasi dan teknikalisasi, yang keduanya mengandalkan otoritas yang disebut "ahli". Problematisasi berkaitan dengan identifikasi hal-hal yang perlu dibenahi. Teknikalisasi berkaitan dengan serangkaian praktik yang tegas cakupannya, jelas ciri-cirinya, berisi informasi dan pengembangan teknik untuk menggerakkan kekuatan yang ada. Ini terjadi pula pada UU No. 21/2001 dan kriteria keaslian orang Papua yang lahir sebagai bentuk gerakan kontra dari kuasa eksklusi yang diciptakan pemerintahan Orde Baru.  

Pada batasan 2: Komunalisasi pemilikan dan penguasaan tanah atau hutan seringkali digunakan oleh wali masyarakat sebagai kepengaturan tandingan dari privatisasi oleh negara. Keterbelahan antara pembelaan atas komunalisasi pemilikan tanah dan keinginan rakyat pedesaan atas individualisasi hak atas tanah menjadi salah satu risiko yang patut dipertimbangkan sebagai limit dalam menjalankan politik rekognisi dan redistribusi. Komunalisasi tanah berbasis desa dibentuk oleh pemerintah kolonial untuk menyederhanakan sistem pemilikan tanah dan memudahkan diberlakukannya pajak tanah. Ini juga memudahkan penerapan Tanam Paksa kala itu. Padahal, hak ulayat tidak selalu berbentuk tunggal, tapi berkembang sebagai tanggapan terhadap keadaan ekonomi.

Ide komunalisasi pemilikan tanah merupakan simplifikasi sistem tenurial rakyat untuk melicinkan akumulasi kapital pemerintah kolinial, atau komunalisasi sebagai upaya memperoteksi masyarakat pribumi terhadap kejahatan kapitalisme. Selain itu, komunalisasi sebagai bentuk advokasi kontemporer terhadap perampasan tanah akibat kerja kapital global. Komunalisasi ini juga merupakan tindakan sengaja dari wali masyarakat untuk melindungi rakyat pedesaan dari proses-proses perampasan tanah, atau malah jalan bagi institusi keuangan internasional untuk meluaskan pasar.

Dapat disimpulkan, komunalisasi bisa menjadi jebakan untuk melakukan simplifikasi atas kondisi rakyat pedesaan. Alih-alih melindungi, simplifikasi malah menghasilkan kontradiksi dari usaha proteksi itu sendiri.

Pada batasan 3: Penciptaan budaya korporasi melalui privatisasi sistem pendidikan dengan sarananya melalui proses pengajaran dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi, menghasilkan individu yang kompetitif dan mementingkan diri sendiri dalam pencapaian keuntungan materialnya sendiri. Budaya korporasi membungkam denyut demokrasi dan praktik masyarakat sipil dengan menyerapnya ke dalam logika pasar. Sekolah kemudian diarahkan sebagai alat reproduksi buruh. Kerja sama antara pemerintah dan swasta juga melicinkan negara neoliberal melakukan privatisasi tanggung jawab di sektor pendidikan.

Tak heran, Althusser menyebut pendidikan sebagai alat ideologisasi negara. Penciptaan cadangan buruh terdidik sesuai dengan kebutuhan pelancaran sirkuit kapital. Ini sebagaimana yang dilakukan oleh Eka Tjipta yang melipatgandakan usahanya di sektor pendidikan melalui Eka Tjipta Foundation (ETF). Tidak ada kedermawanan di sini, kecuali sebagai citra yang dibutuhkan untuk mengamankan akumulasi-tak-henti.

Harvey (2003) menegaskan, cara pemecahan masalah akumulasi berlebih (overaccumulation) sebagai "spatio-temporal fix", yang tak lepas dari pergeseran temporal, yakni surplus diinvestasikan untuk proyek yang mendatangkan keuntungan jangka panjang, seperti proyek infrastruktur, pendidikan, sekolah.

Sekolah kebun dalam ETF menjadi arena pendisiplinan sekaligus "arahan perilaku" yang berkait erat dengan pembentukan disiplin diri, perilaku, dan mental individu yang hidupnya tergantung pada mekanisme kerja perkebunan.

ETF tak sendirian, Wilmar Group juga tak ketinggalan. Polanya dengan menghadirkan sekolah dan uang beasiswa di wilayah-wilayah konsesi perkebunan. Berkat sekolah perkebunan, kita bisa menyaksikan proses proletarianisasi yang penuh, tanpa menyisakan surplus populasi, atau orang yang terkatung-katung hidupnya di desa, tidak ada kerja dan di kota bisa bertahan dengan menembus keganasan sektor informal. Budaya korporasi yang menciptakan mental buruh ini merupakan alat yang efektif untuk menggerus ikatan orang dengan tanahnya.

Rentang limit berikutnya yang dihadapi yaitu ketidakadilan gender. Hak komunal sering memarginalkan perempuan, dan membuat hak-hak perempuan menjadi tidak terlihat.

Laksmi memandang, mendampingkan politik rekognisi dan redistribusi dengan politik pendidikan perlu dilakukan, karena menjadi jalan penguasaan cara pikir pendidikan kritis. Pendidikan kritis bukan hanya bersandar pada pengetahuan kognitif dan afektif, tetapi juga pada proses refleksi. Refleksi ini penting karena melibatkan pikiran dan perasaan untuk memaknai apa yang sudah dipikirkan, dialami, dan dirasakan di waktu sebelumnya. Hal ini bisa kita sebut juga dengan pendidikan reflektif.

Pendidikan reflektif membawa satu kebenaran untuk membaca "kebenaran lain", dan lebih jauh lagi, memikirkan ulang kebenaran yang digunakan sebagai alat baca. Tidak hanya kritis terhadap kondisi eksternal, tapi juga kritis terhadap diri sendiri. Langkah maju berpola spiral penting sebagai proses perjuangan nilai.

Upaya membalikkan nilai-nilai yang dibangun oleh kapitalisme menjadi nilai-nilai yang sama sekali berbeda. Pendidikan reflektif membongkar bangunan budaya pasar untuk membentuk bangunan budaya yang sama sekali berbeda. Pendidikan yang reflektif merupakan proses sabotase kebudayaan. Ini bentuk investasi sosial jangka panjang dari gerakan sosial. Kita patut meyakini, setiap investasi sosial untuk tujuan transformasi sosial akan senantiasa membangun sirkuitnya sendiri, bagaimanapun kecilnya.

ABSTRAK:

Paper ini bertujuan untuk membahas rentang batas dari rekognisi hutan adat dalam konteks gerakan masyarakat adat melawan pemerintahan neoliberal di Indonesia. Politik seperti ini dikembangkan oleh kolektif untuk menekan masyarakat yang menggunakan keadaannya sebagai posisi untuk mengklaim keadilan sosial, terutama meskipun tidak hanya soal tanah, hutan, dan batas teritorial. Meskipun, di dalam konteks negara neoliberal, politik dapat terkurung di dalam praktik "pemerintahan neoliberal" yang cenderung mentransformasi manuver politik ke dalam ukuran teknis. Batas pertama adalah prosedur teknis yang merupakan proses eksklusi karena prosedur kewajiban untuk mendefinisikan kriteria masyarakat adat. Kedua, batasnya adalah kontradiksi antara komunalitas sebagai praktik properti yang ideal dan privat, yang diartikulasikan sebagai dua penerjemahan bandingan antara pengawas dan masyarakat tentang "apa yang masyarakat inginkan dan butuhkan" berdasarkan tipe tanah atau hak hutan. Ketiga, batas yang lebih umum, tetapi secara potensial masih dalam kerangka kondisi hegemoni budaya korporasi sebagai paksaan bagi demokrasi radikal. Sebagaimana yang didemonstrasikan oleh investasi korporasi dalam pendidikan, korporasi budaya ini telah masuk ke sistem pendidikan Indonesia yang bertujuan untuk reproduksi generasi buruh upah rendah, dimulai dari tingkat SD hingga perguruan tinggi. Terakhir, dari batasan ini, ketidakadilan gender secara tak terpisahkan juga direproduksi. Batas-batas ini diidentifikasi dan dikenal dengan satu tujuan transenden. Oleh karena itu, gerakan politik progresif yang sedang berjalan perlu dilengkapi dengan gerakan budaya yang kuat dan mampu menumbangkan kekuatan halus kapitalisme.

Savitri, Laksmi A. "Rentang Batas dari Rekognisi Hutan Adat dalam Kepengaturan Neoliberal." Jurnal Wacana Nomor 33 (2014): 61-98.

Link: https://www.aman.or.id/wp-content/uploads/2014/06/Wacana-_33.pdf#page=61

#31daysofindonesianscholars #laksmiasavitri #jurnalwacana #adat #hutan #neoliberal #ugm

PROFIL SCHOLAR:


Laksmi Adriani Savitri merupakan pengajar di jurusan Antropologi UGM. Menyelesaikan pendidikan S1 Program Studi Arsitektur Lanskap IPB, S2 Studi Sosiologi Pedesaan IPB, dan S3 Kajian Agraria dan Gender Universität Kassel, Jerman. Saat menjadi pegiat lingkungan, dia mendapat pelatihan profesional Hubert Humphrey Fellowship Programme di Cornell University. Ia juga pernah bergiat di Sajogyo Institute (2005-2012), dan sempat menjadi Direktur Eksekutif di sana. Lalu pada 2011-2015, dia melakukan penelitian studi pascadoktoral di Universiteit van Amsterdam terkait "The Politics of Land Control in Papua and West Kalimantan". Laksmi juga menulis buku "Korporasi & Politik Perampasan Tanah" (INSISTPress, 2013).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar