Minggu, 10 Maret 2024

Menafsir Fenomena Latah Sebagai Emosi Kebudayaan Masyarakat Melayu (Suatu Kajian Psikoantropologi) - Hatib Abdul Kadir

Latah merupakan fenomena kebudayaan masyarakat Melayu. Sebagaimana kisah Irwan Abdullah, yang ketika kecil, saat dirinya tinggal di Kuala Simpang, daerah perbatasan antara Aceh dan Sumatera Utara. Dia punya tetangga bernama Atu’ yang memiliki kebiasaan latah.

Kemunculan latah marak ada dalam masyarakat tertentu di semenanjung Malaysia, Singapura, Kalimantan, Jawa Timur, dan Bali. Namun, tidak muncul pada kalangan priyayi atau Jawa aristrokat, juga di perkampungan China.

Tak hanya Melayu, latah juga ditemukan di kebudayaan yang lain. Latah menunjukkan situasi psikologis masyarakat Asia Tenggara, yang terjajah dan terisolasi dari dunia luar. Masyarakat yang mengalami berbagai macam kejutan ketika bertemu sesuatu yang baru, asing, dan penuh kekuatan.

Penulis dalam jurnal ini melakukan penafsiran latah melalui pendekatan psikoantropologis, psikoanalisis, dan psikiatris.

Peneliti Barat menganggap jika latah merupakan kondisi kebudayaan yang susah dicari sebabnya di abad pertengahan. Latah dianggap sebagai sesuatu yang unik dan eksotis. Latah dianggap sebagai "cerita aneh dari masyarakat pribumi". Latah dianggap mimikri dari histeria.

Latah di Barat juga dianggap sebagai kelainan mental yang dilakukan oleh perempuan kelas rendah. Banyak sebutan psikiatris yang disandang oleh mereka yang latah, seperti: psychosis, hysterical psychosis, reactive psychosis, dlsb. Kelainan ini menggambarkan bagaimana seseorang kehilangan kontrol atas dirinya sendiri. Kelainan ini bukan bawaan lahir, melainkan dipengaruhi oleh lingkungan pergaulan.

Latah menunjukkan tingkat kesetressan seseorang pada wilayah tertentu. Masyarakat kaget ketika datang penjajah dengan fisik tinggi, besar, putih, respons yang diberikan berupa kata-kata yang diucap secara berulang-ulang, cepat, riuh rendah. Latah juga dianggap sebagai bentuk peniruan dari sesuatu yang lebih superior, mengejek pada pihak yang inferior.
Temuan berbeda terjadi pada semenanjung Malaya, latah dihubungkan pada dunia perdukunan dengan semua misterinya. Dalam konteks ini, seseorang mengalami momen tidak sadar, dengan menyebut berbagai nama hewan, dari harimau, ular, buaya, dll. Gerak-gerik latah menjadi alat bantu yang menghubungkan antara arwah dan kelahiran bayi. Juga hal-hal yang sidatnya transenden dan meditatif.

Interpretasi lain, latah berhubungan sebagai respons kecemasan seksual, saat perempuan mengalami masa menopause dan menghadapi ketuaan. Namun interpretasi ini dipatahkan karena alasan: dianggap sebagai fase kedua menjadi manusia yang dianggap lebih matang. Lebih dihormati dan didengarkan karena kedewasaan, kepandaian, dan lebih bijak. Ia juga punya akses yang lebih bebas berperan dalam masyarakat.

"...fenomena latah di masyarakat nampak identik dengan gejala perilaku yang dialami kaum perempuan, khususnya perempuan kelas bawah yang termarjinalisasi.“

Pandangan ini menilai jika latah tak bisa dilepaskan dari dikotomi budaya kelas bawah dengan kelas atas, serta perempuan dan laki-laki. Dominasinya, latah berada di dua wilayah subordinan: perempuan dan masyarakat kelas bawah.

Geertz juga menjelaskan fenomena latah sebagai suatu keadaan saat individu kehilangan kontrol dalam tindakannya karena ungkapan dari simpul emosi berupa keterkejutan, ketakutan, dan keberanian. Dalam budaya Jawa, latah berhubungan dengan dikotomi "halus" dan "kasar". Ia tabu di masyarakat aristrokat dengan atmosfer yang sopan dan mengendalikan diri, tetapi menjadi sesuatu yang menghibur dan menyenangkan di masyarakat akar rumput.

Di Jawa, Geertz (1960) mengamati pula perkataan latah keluar tanpa kesengajaan dan rekayasa, bersifat terus terang, serta menurut Kenny (1990) berhubungan dengan tindak berapi-api, mudah terkejut, mudah heran, hingga cabul (seksualitas tubuh dan dunia mistis).

Kesimpulan dan saran:
1. Latah mengandung batas-batas psikologis budaya dan karakter si penyandang.
2. Latah berada pada pertemuan: sakral vs profan, liar vs normatif, personal vs publik.
3. Latah merupakan fenomena emosi kebudayaan Melayu yang partikular dan khas.

Profil scholars:
Hatib Abdul Kadir menamatkan sarjana Antropologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 2007. Kemudian tahun 2010, dia menyelesaikan program MA pada Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) pada universitas yang sama. Kemudian pada tahun 2012-2018, atas beasiswa Fullbright melanjutkan studi doktoral Antropologi di Universitas California, Santa Cruz, USA. Judul disertasinya "Gifts, Belonging, and Emerging Realities among “Other Moluccans” During the Aftermath of Sectarian Conflict". Saat ini menjadi dosen Antropologi di Universitas Brawijaya (UB).

Kadir, Hatib Abdul. "Menafsir Fenomena Latah sebagai Emosi Kebudayaan Masyarakat Melayu (Suatu Kajian Psikoantropologi)." Psikobuana-Jurnal Ilmiah Psikologi (2009): 49.

#31daysofindonesianscholars #hatibabdulkadir #latah #melayu #psikoantropologi

Link: http://library.stik-ptik.ac.id/detail?id=37558&lokasi=lokal

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar