Senin, 30 November 2020

Just Feel Free

Feel free to follow and unfollow

Feel free to like and unlike

Feel free to comment and not comment

Feel free to see and unsee

Feel free to read and unread 

Feel free to add and not add

Feel free to match and unmatch

Feel free to  reply and not reply

Myself not represent by social media and internet at all

Everything that you notice, you will find please

But if not, you will find excuse

So, take it slow


YK, 30 November 2020

Minggu, 29 November 2020

Paradoks "Naif" dan Ghibah "Pink Floyd"

I:Salah satu sifat manusia yang niscaya adalah "naif". Semua pernah mengalaminya. Naif itu polos, lugu, dan terkesan bodoh. Berbeda dengan munafik, naif itu innocent, munafik tendensius. Dan itu kenapa band "Naif" salah satu band magnum yang dimiliki belantika musik Indonesia. Nama yang begitu jujur, nama yang manusia banget. Dia menyuarakan perasaan2, pikiran2, dan perilaku2 manusia yang memang naif--even dalam hal mencintai. Dari lagu Naif yang paling naif adalah yang judulnya "Posesif". Reff-nya ketika didengar serasa sakit2 "gimanaa gituu". Tapi saya lebih suka lagu "karena kamu cuma satu", sebab lebih terdengar karnaval buat ngakali hidup biar stay senang wkwk.

J: Band ini lbh cocok bernma kontradiksi. Liat aja liriknya, benci untuk mencinta, aku mati kau juga mati-mesti tak ad cinta sehidup semati, juga denganmu semua air mata menjadi tawa suka ria. Jelas...  Wkwkwkk. Paradoks juga boleh.

I: Hahaha, saking kontradiktifnya memang pas dinamai Naif. Ada satu lagi juga lagu yang paradoks-kontradiktif: "Air dan Api".

J: Yahhh. Entah mereka sadar atau tidak atas kecenderungan begitu. Semoga aja iya.

I: Tapi aku juga masih bertanya2, kenapa namanya Naif?

J: Ya seolah kayak manifesto aja, menghadapi kerumitan hidup dng cara sederhana. Mereka membicarakan hal2 rumit dng santai. Beberapa lagu jg tmpak menikmati aja hal yg disukai.

I: Yappp, sepakat. Kayak di lagu "Mobil Balap" itu santai banget bicarain kebut2an. Kalau yang barusan kubaca, Naif didapat dari teman mereka Dodot, yg bilang lagu2 mereka terdengar sederhana, tapi ttp berisi dan terdengar harmonis. Trus nama itu mudah diingat.

J: Emang bukan kaleng2 sih, setelah dipikir-kipir. Konsepnya matang dan cukup konsisten.

I: Ya, itu yang kusadari tadi pas di bus. Pertama dengar lagunya kayak cengeng, lebai juga gitu yang posesif itu. Tapi lek dipikir2 yo wong ki naif sakjane.

J: Yahhh. Beberapa tahun terakhir aku jg dengerin band ini. Meski tak sebanyak Gilmour. Hhhhaaa

I: Pink Floyd lebih enakan di nada2 solo. Macam bisa ngasi dunia sendiri, psikadelik juga aku ngrasanya. Meski lirik2 mereka juga kuat.

J: Everlasting.

I: Yup. Akhir2 ini emang almost PF yang srg kuputar. Yg judulnya Marooned aku suka banget.

J: Crazy diamond lahhh... Udah kayak cerita satu kehidupan tu lagu.

I: Kalau crazy diamond udah dalami pas jaman kuliah dan ngarena dulu, haha. Iya, badass emang lirik sama nadanya.

J: Hari2 ini malah baru dengerin beatles aku.

I: Gak begitu dengerin Beatles kecuali yg populer2 aja. Alex Turner sih kalau sekarang2. Apa aja lagu Beatles yg recomended? 

J: Aku lupa judulnya, coba dengerin yg album abbey road dan let it be. Aku udah coba beberapa tahun. Baru kemarin2 aja bisa masuk. Penyesuaian kualitas rekaman yg sulit. Kebanyakan udah lama dan kurang jelas. Tp kalau yg kualitas rekamannya bagus keren bgt menurutku.

I: Nah, iya, let it be ini yg paling memorable buatku, karena pernah jadi ost film China yg anak2 rebel gitu, haha. Ohh, remaster gitu ya.

J: Dengerin sealbum biar kerasa.

I: Oh, oke2, yang abbey road ntar kucoba

J: Ya tidak terlalu rumit musiknya biasanya bagus. Tp kalau yg rumit cenderung jelek jadinya, pdhl justru itu yg keren.

I: Musik maksudnya nada?

J: Iya

I: Oh, yaya. Tapi Pink Floyd itu rumit gak sih. Aku pertama dengar nada PF paan ini sih. Jelek banget.

J: Enggak sih. Cuma dia punya citarasa sih

I: Haha, iya. Sepakat. Ini pertama kenal pf dulu semester 1, gak masuk blas di belantara nada2. Tapi seiring waktu, dengerin terus, puter terus, baru bisa ngrasain.

J: Intronya gak ada yg ngalahin. Beberapa sangat meresahkan kalo didengar.

I: Ya. Kayak neror juga

J: Gigs in the sky parah sih

I: Dan sedikit band yg mau cover mereka kayaknya saking cita rasanya beda. Panjang2 betul.

J: Susah dikopi.

I: Bener

J: Udah pernah nonton crazy diamond dikover pengamen israel?

I: Belum

J: Coba tonton d yutub. Keren parah.

Sabtu, 28 November 2020

Efek Kapitalisme Platform Terhadap Pertambahan Populasi Surplus Relatif

Sejauh mata memandang akan selalu ada data. Dalam masyarakat digital, data dikelola oleh platform. Dalam artikel berjudul "Interrogating the Interaction between Relative Surplus Population and Forms of Economic Production: A Case Study on Platform Capitalism" karya Nicholas Croce ini, penulis ingin meneliti terkait kapitalisme modern dan dampaknya ke pekerja. Berfokus pada bagaimana jaringan kapitalisme platform yang berkembang mempengaruhi dinamika Relative Surplus Population (RSP). Terutama pula ekstraksi sewa dan penjualan yang berhubungan dengan jasa yang berkembang di Amerika Utara dan Latin. Serta efek jaringan mereka dengan buruh kontrak, komodifikasi, dan penyebaran data.

Karl Marx pada Capital: Volume One, menyebut dalam masyarakat kapitalis, "sesuatu tidak terlihat sebagaimana tampaknya". Hal yang kentara semisal pada ekonomi pengetahuan dan ekonomi berbagi yang beroperasi saat ini; seperti gig economy yang memiliki karakter "high level of labor precarity (onto the carpet)". Panggung ini menjadi lokus eksploitasi pada produksi kapitalisme platform.

Kapitalisme platform merupakan pendekatan untuk menstrukturkan produksi dan proses perubahannya di dalam pasar ekonomi digital. Konsep ini diteorikan oleh Nick Srnicek. Sedangkan pada penelitian Nancy Fraser menyebutnya sebagai "kapitalisme finansial", ditandai dengan semakin besar, cepat, global toko kapital. Di konsep Srnicek jadi kapitalisme finansial ini menjadi elemen aja. Proses modern ditandai dengan platformisasi yang menekankan ekstraksi sewa melebihi kepemilikan.

Karya Srnicek, "Platform Capitalism" menyebut ada peristiwa techno-historical misal pasca-perang boom ekonomi, 1990an teknologi berkembang dan krisis finansial 2008 memunculkan mode baru komoditas, kreasi, konsumsi. Data mentah diekstrak dan dikonomifikasi (tertutup). Plaform sebagai model bisnis baru melibatkan tiga aktor pokok penjual, pembeli, pekerja. Ada 5 kategori platform yang berkembang: iklan, awan (cloud), industrial, produk/berdasar permintaan, dan lean. Perusahaan sebagai mediator yang mengekstrak data yang ini berdampak pada jaringan; semakin sering menggunakan platform, platform akan semakin untung.

Contoh kasus Facebook, yang dilengkapi pesan, panggilan, game, event, hingga penjualan dan pembayaran. Menurut Srnicek, Facebook adalah suatu platform dengan sistem tertutup, karena informasi pengguna secara privilege tertutup. Orang tak bisa mengakses jika tak memiliki akun. Suatu sistem monopoli dengan jaringan efeknya, tendeni monopoli ini adalah DNA platform. Semakin banyak orang menggunakan Facebook, semakin besar orang berinteraksi dengannya, semakin banyak akumulasi nilainya. Orang akan disebut lebih bersosial dan akhirnya menciptakan nilai ekonomi yang lebih tinggi. Facebook memperoleh nilai dari orang-orang yang menggunakan platform.

Apa hubungannya kapitalisme platform ini pada RSP? Marx mengkategorikan ada 3 populasi surplus relatif yang menunjukkan hubungan pekerja dengan pasar sebagaimana posisi sosial-ekonomi mereka: mengambang/floating (pekerja yang masih berhubugan dengan kapitalis, punya akses terhadap pasar, tapi bisa masuk dan keluar sesuai kehendak kapitalis), laten (pekerja agrikultur dan pekerja dengan kehidupan rentan, bergaji rendah, keterlibatan yang marjinal terhadap kerja), dan stagnan (produk dari proses proletarianisasi, tak terikat dengan pasar kerja kapitalis). Sebagai hasil dari kondisi material produksi: disituasikan oleh kondisi sosial, geografi, teknologi, dan politik. Ada pula pauperism (pengangguran, yatim piatu, buruh tak berketerampilan). Keempat ini saling berhubungan, bisa jadi hirarkis, dan intinya ada untuk mendisiplinkan pekerja.

RSP secara bersamaan merupakan ekspansi kolonial, norma konsumsi kapitalis, dan akumulasi primitif. RSP berfokus pada periferi dan negara Global Selatan. Monopoli mengubah kondisi produksi RSP. Sehingga platform yang penuh monopoli pun berdampak pada produksi RSP. Mendukung segmen RSP untuk memunculkan sirkuit baru yang tengah berkembang. Hasil analisis pentingnya, platform lean (platform kapitalisme secara umum) meningkatkan populasi stagnan. Kepemilikan aset menciptakan ruang untuk produksi nilai. Contoh: Uber, Gruhub, TaskRabbit.

Peningkatan RSP jenis stagnan berarti sangat lemah berhubungan dengan pasar kerja, tapi sepenuhnya rentan. Berjuang secara ekonomi untuk reproduksi dirinya sendiri. Sebab ekonomi rentan ini, mereka menerima kondisi dan terma kerja yang rendah, kontrak rentan dan harga mereka diefektifkan. Platform lean tidak menyasar latent (karena mereka punya alat produksi yang tak termanfaatkan maskimal), tidak pula floating karena cenderung bekerja lebih stabil.

Croce, Nicholas (2020) "Interrogating the Interaction between Relative Surplus Population and Forms of Economic Production: A Case Study on Platform Capitalism," International Social Science Review: Vol. 96: Iss. 1 , Article 2.

Selengkapnya: https://digitalcommons.northgeorgia.edu/issr/vol96/iss1/2

Foto: https://scholar.google.com/citations?user=BF9St2MAAAAJ&hl=en

Kamis, 26 November 2020

26 November 2020

 I.

Kamu seterang lampu petromax ketika disandingkan dengan cahaya matahari di siang hari kau takkan ada apa-apanya. Coba bawa yang lima watt atau yang sekecil lilin pada kegelapan. Itu akan jauh lebih berguna. Intinya apa? Berikan dan bawa cahaya yang sekecil apapun itu ke tempat-tempat yang gelap, dibanding membawa cahaya ke tempat yang terang. Sebab yang terang tak butuh lagi cahaya.

II.

"Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, Allah akan menyempurnakan pahala bagi mereka dan menambah sebagian dari karunia-Nya. Sedangkan orang-orang yang enggan (menyembah) Allah dan menyombongkan diri, maka Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih. Dan mereka tidak akan mendapatkan pelindung dan penolong selain Allah." (QS An-Nisa': 173)

Kapitalisme Rasial dan Kapitalisme Platform

Pernahkah kamu merasa kebingungan ketika melihat sistem kode dalam internet yang rumit untuk dipahami? Tindakan menciptakan kode dan mesin yang sulit dipahami manusia secara sengaja, seperti ekspresi logaritma yang berputar untuk menyusun pernyataan dikenal sebagai "obfuscation" (kebingungan). Ini menjadi salah satu faktor penting dalam kapitalisme plaform yang berkembang sejak 20 tahun terakhir. Kapitalisme platform adalah panggung baru dari kapitalisme, yang membentuk jalinan baru eksploitasi dan ekspropriasi. Tema yang membuat sebagian sosiolog resah.

Dalam tulisan Tressie McMillan Cottom berjudul "Where Platform Capitalisme and Racial Capitalism Meet: The Sociology of Race and Racism in the Digital Society" yang terbit di Jurnal Sociology of Race and Ethnicity ini ingin menteorisasikan dan memformulasikan terkait kapitalisme rasial dan kapitalisme platform yang ada di masyarakat digital. Menurutnya, ekonomi politik, ras dan rasisme di masyarakat digital mesti diteori dan diformulasi dengan benar. Internet sebagai teknologi komunikasi dan teknologi internet membentuk rezim sosiopolitik yang berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Pertanyaan yang ingin dijawab, bagaimana titik potong antara kapitalisme plaform dan kapitalisme rasial?

Internet dalam masyarakat digital memiliki karakteristik: teknologi internet memiliki jaringan modal; mengkonsolidasikan modal dengan kekuatan koersif; meratakan organisasi hirarkis; memproduksi chamber-nya sendiri pada budaya. Menurut penulis ada dua perubahan ekopol mengenai ras, etnis, dan rasisme: (1) jaringan kapital membentuk hirarki rasial global yang beragam lintas spasial geografis, serta (2) privatisasi publik dan kehidupan ekonomi dalam bingkai mengeksklusifkan hal-hal yang semestinya inklusif. Aktor-aktornya memproduksi yang pertama, meningkatkan yang kedua.

Tesisnya pula, ekopol ras dan rasisme menunjukkan, teknologi internet secara spesifik memfasilitasi, melegitimasi, dan mentransformasi negara dan modal dalam hirarki rasial global. Negara sebagai agen struktural pertama formasi rasial memili peran bagaimana aliran transaksi modal ini menempel secara global. Hal-hal yang tak jelas dan tak bisa diakses menjadi kepentingan modal dan negara. Lalu dunia data diprivatisasi. Privatisasi terjadi melalui 2 proses: mengekstrak data yang telah ada di publik dan memperluas logika kebingungan secara praktis. Ditambah obfuscation (kebingungan) terjadi bukan karena seseorang tak tahu data, tapi informasinya susah diakses.

Juga terkait ekslusi via inklusi di mana predatory inclusion menjadi logic operandinya. Misal kerja-kerja di bidang pendidikan. Di mana akses pendidikan yang harusnya inklusif jadi eksklusif—semisal dengan penawaran sekolah-sekolah online yang eksklusif. Di sini logika kapital bekerja. Kapital hanya bisa menjadi kapital ketika itu diakumulasi, dengan produksi dan pergerakan relasi dari hebatnya ketidakseteraan pada kelompok manusia (Jodi Melamed, 2015).

Ada beberapa contoh kasus: bagaimana humor gelap orang kulit hitam, Muslim, dan imigran secara online berpengaruh ke offline; hingga isu yang diteliti oleh Noble dan Robert (2019); Watters (2015) bahwa Silicon Valley sebagai proyek rasial. Bahkan membentuk setiap segi kehidupan sosial, taruhlah aplikasi dating. Atau pada pekerja bagaimana aliran modal dari aplikasi menjual jasa ke pelanggan, yang terdiri dari buruh-buruh murah.

Teknologi internet sebagai rezim sosiopolitik: platform memproduksi bentuk baru peredaran/mata uang (data) dan bentuk baru perubahan (cryptocurrency); membentuk struktur organisasional baru antara pemilik, pekerja, dan pelanggan. Di akhir-akhir tulisan, Cottom memberi saran riset kapitalisme rasial ke depan bisa didekati dengan pendekatan sosiologi DuBoisian (Willian Edward Burghardt Du Bois).

McMillan Cottom, Tressie. “Where Platform Capitalism and Racial Capitalism Meet: The Sociology of Race and Racism in the Digital Society.” Sociology of Race and Ethnicity 6, no. 4 (October 2020): 441–49.

Selengkapnya: https://doi.org/10.1177/2332649220949473

Selasa, 24 November 2020

Buruh dan Negara dalam Lingkar Globalisasi

Artikel jurnal karya Vedi R Hadiz yang terbit di Asia Pacific Business Review berjudul "Globalization, labour and the state: the case of Indonesia" ini secara umum memiliki tiga kata kunci: globalisasi, buruh, negara. Bagaimana hubungan antara buruh/pekerja sebagai kekuatan sosial dengan negara dalam konteks globalisasi. Tuntutan globalisasi mengharuskan memenuhi standar tertentu yang "tersertifikat" agar bisa bertaring di ranah "globalisasi".  Indonesia dituntut mengikuti standar buruh internasional. Contohnya dalam urusan ekspor dan impor.

Globalisasi sendiri merupakan suatu varietas yang kompleks, tak sekadar proses integrasi ke jejaring dunia yang luas; tapi berkelindan dengan pembangunan  yang melibatkan ekonomi, politik, dan budaya. Terlebih di bidang ekonomi, Strange (1996) mengartikan globalisasi ekonomi menimbulkan efek kemunduran negara dalam membangun ekonomi nasional, karena mendorong aktor non-negara seperti kartel internasional untuk masuk. Ini semakin membuat buruh dan kekuatannya tertekan, mengizinkan kapital internasional mendorong iklim investasi. Lalu buruh termarjinalisasi sebagaimana kekuatan sosial dan politik.

Melihat ulang sejarah, pembangunan globalisasi di Indonesia, terjadi dengan adanya sektor manufaktur yang berorientasi ekspor, khususnya di bidang perminyakan. Integrasi Indonesia ke sistem ekonomi dunia berkembang dengan lebih besar pasca jatuhnya harga minyak pada 1980an (pasca oil boom, 1973-74). Kejadian ini merampok negara, sistem yang sifatnya keluar diadopsi. Ditambah krisis Asia.

Negara mengintrodusir sistem pembangunan neoliberal internasional menjadi dominan dan mengambil alih ekonomi ini. Berbondong-bondonglah perusahaan dari luar masuk, khususnya perusahaan yang bergerak di sektor manufaktur. Namun adanya kasus korupsi di tubuh negara membuat situasi jadi semakin pelik. Bahkan Political and Economic Risk Consultancy (PERC) di Hong Kong menyebut Indonesia sebagai negara paling korup di Asia. (Jakarta Post, 22/9/1997).

Winters (1996) memberi penjelasan struktural terkait mobilitas kapital yang beragam, berdasarkan mobilitas investor dan pekerja. Di mana dalam globalisasi corak kekuatan kapital memiliki mobilitas yang tinggi. Meski internasionalisasi ekonomi ini tak selalu berdampak negatif karena bisa membentuk solidaritas kelas pekerja yang lebih besar. Serikat bisa merusak kekuatan struktural kapital, karena mereka mampu menghadapi investor yang bisa berpindah-pindah seenaknya lintas tempat, daerah, negara.

Buruh dalam konteks internasional menghadapi efek globalisasi ini. Saat suprlus labor di Indonesia lagi banyak-banyaknya. Kekuatan serikat pekerja oleh sebab itu mesti solid. Ini untuk mencegah sebagaimana yang dikhawatirkan Moody (1997), pendapatan kelas pekerja jadi menurun, kondisinya lebih bahaya, tak sehat, rentan, membuat pekerja dan serikat jadi pasif.

Di sisi lain, serikat pekerja menjadi kekuatan alami yang tak terelakkan untuk membendung adanya globalisasi. Dalam sejarahnya, PKI pada masa Orde Lama dianggap memberi peran signifikan karena bisa mengorganisasi pedagang kecil, buruh urban, dan petani desa. Terbentuknya Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang menjadi federasi serikat buruh pertama di Indonesia pada 29 November 1946 merupaka afiliasi PKI yang berkembang pada masa Orde Lama. SOBSI setelah 1957 berhubungan erat dengan militer untuk melakukan nasionalisasi perusahaan.  Meski kemudian dua entitas ini pecah, dan militer membentuk organisasi baru sendiri bernama Sentral Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia (SOKSI). Lalu SOBSI dilarang pada masa Orde Baru.

Serikat buruh pun berkembang di masa Orde Baru menjadi lebih tersentral dan terbatas. Pada 1973, Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) dibentuk. Saat itu, Hubungan Industrial Pancasila diumumkan secara resmi untuk mengatasi konflik antara pekerja dan majikan secara kultural. Pada 1985, FBSI berubah menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) yang lebih tersentralisasi dan hirarkis. Organisasi buruh jadi kontraproduktif. SPSI berubah lagi menjadi FSPSI menjadi lebih mengakomodasi aspirasi pekerja. Merepresentasikan institusi legal formal pekerja. Mengakomodasi Tripartit; salah satunya dengan adanya Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO). Sayangnya di Indonesia kekecewaan dikarenakan tidak efektifnya Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSPSI).

Sebab ketidakpuasan terhadap serikat yang dirasa tidak independen lagi, ada tendensi pula serikat menjadi Jadi kendaraan negara untuk mengontrol pengorganisasian buruh hingga tingkat yang paling lokal. Lalu pada 1990, muncul organisasi buruh independen: Serikat Buruh Merdeka (SBM) Setiakawan. Mendorong terbentuknya Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) 1992 di bawah kepemimpinan aktivis Muchtar Pakpahan. Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) adanya koneksi antara mahasiswa dan kelompok pekerja, paralel dengan yang ada di Korea selatan. Yang menuntut adanya pendidikan dan pelatihan untuk buruh. Serikat berkembang lagi dengan lebih akomodatif terhadap hubungan industrial dan menjalin kerjasama dengan NGO. 

Hadiz, Vedi. "Globalization, labour and the  state: the case of Indonesia." Asia Pacific Business Review 6, no 2-3 (2000): 239-259.

Selengkapnya: http://dx.doi.org/10.1080/13602380012331288552

Jumat, 20 November 2020

Mengapa Sektor Informal Masih Tetap Ada?

Pertanyaan dalam judul ini memang cukup tricky, tapi itulah pertanyaan simpulan yang saya dapat usai membaca paper berjudul "Rethinking Indonesia's Informal Sector"; yang digarap secara keroyokan oleh Alexander D. Rothenberg, dkk. Secara umum, tujuan dari esai ini adalah menjelaskan penyebab resistennya sektor informal (SI) di Indonesia melalui teori ekonomi ganda "exclusion model" dan "rational exit model". Lalu dari dua teori ini, mana teori yang paling menggambarkan kondisi sektor informal di Indonesia. Kenapa di Indonesia kok banyak banget yang informal.

Singkatnya, exclusion model mengasumsikan ketika perizinan ke sektor formal tak memakan banyak biaya, maka proses formalisasi akan lebih mudah. Sektor informal selalu ada juga karena prosedur pendaftaran yang mahal dan susah. Sehingga mempermudah administrasi ini jadi penting. Untuk yang rational exit model ini lebih ke pertimbangan rasional, jika di sektor informal perusahaan bisa untung lebih banyak, kenapa perusahaan harus susah-susah beralih ke sektor formal? Dengan prosedurnya yang susah (cumbersome) itu? Perusahaan mengeluarkan sektor formal ketika harga formalitas lebih besar daripada untungnya.

Dari 2 teori ini, rational exit model dikatakan lebih menggambarkan fenomena sektor informal yang ada di Indonesia. Pendekatan kebijakan tak hanya fokus pada biaya pendaftaran, tapi juga penambahan untung di sektor formal.

Definisi sektor informal dalam konteks esai ini memiliki indikator-indikator: gaji rendah, tak produktif, pendidikan rendah, pasar lokal, tak berekspansi, tak terdaftar karena tak berkeinginan untuk ekspansi atau meminjam sumber daya finansial, karena ada pajak. Lalu pola-pola dari beberapa indikator ini dijelaskan menggunakan visualisasi dan analisis dari data-data dari survei Industri Mikro dan Kecil (IMK) dan World Bank Enterprise Survey (WBES, 2009). Data diambil pula secara survei kualitatif hampir di 200 perusahaan, yang dilakukan pada 2014.

Di sisi lain, teori strukturalis dan ketertantungan mengatakan sektor formal untung karena keberadaan sektor informal. Sebab secara politis berhubungan dengan bisnis, sektor formal mencegah sektor informal untuk terdaftar karena nanti bisa mengurangi laba dan merusak pembagian pasar. Ini juga terkait dlm institusi ekstratktif, perusahaan formal merekrut pekerja dari sektor informal, karena tak diatur regulasi.

Merunut sejarah (1970-97), dalam beberapa dekade ini Indonesia mengalami transformasi pertumbuhan ekonomi dari yang berbasis agrikultur ke manufaktur dan jasa. Fakta ini diikuti dengan tingginya urbanisasi, menghasilkan informalisasi yang signifikan dalam urban ekonomi. Krisis 98, sektor informal sebagaimana yang disebut oleh Loayza dan Rigolini (2011) sebagai jaring pengaman ekonomi pekerja yang dipecat.

Sayangnya, dalam menentukan apa kebijakan yang tepat. Pengukuran sektor informal masih terkendala. Alasan kenapa mengukur sektor informal di Indonesia susah: (a) regulasi sering berubah-ubah sehingga pengertian sektor informal pun berbeda; (b) sektor informal secara realitas sangat dinamis dengan variabelnya yang berkelanjutan daripada biner atau hitam putih; (c) tidak terkelola dengan baik (salah satu alasannya, manager dalam perusahaan sektor informal berpendidikan rendah. Pendidikan berpengaruh dalam pengambilan kebutupusan, produksi, mengatasi perbedaan, mengelola pekerja, dll).

Lalu, ada beberapa alasan pula kenapa sektor informal di Indonesia masih tetap tinggi: (1) Sektor informal tak bayar pajak, sehingga tak dikenai pelayanan publik. (2) Sektor formal dan sektor informal terlibat dalam persaingan industri sama tapi dengan harga marjin produksi yang berbeda. (3) Kompetisi yang tak adil di bidang hukum antara sektor informal dan sektor formal, yang membatasi pertumbuhan ekonomi; di sektor informal tak legal untuk akses sumber daya finansial dan sedikit yang mengenal ekspansi binsis hingga eksport.

Meski pemerintah mencoba memberi jawaban dengan dibentuknya Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang diakoodir oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), tidak ditemukan dampak signifikan terhadap kemungkinan formalisasi. Pengurangan informalitas karena model ganda ekonomi ini merupakan proses yang panjang, dan tak ada jalur pintas untuk perubahan yang cepat.

Rothenberg, A.D., et al. (2016). Rethinking Indonesia's Informal Sector. World Development, 80, 96-113.

Selengkapnya: http://dx.doi.org/10.1016/j.worlddev.2015.11.005

Kamis, 19 November 2020

Kesehatan Mental Dunia Digital

Dunia maya (cyberspace) menjadi aktivitas yang tak terpisahkan dan mudah menyebar di era sekarang. Masuknya teknologi baru mengubah sikap dan perilaku: bagaimana diri kita dan bagaimana kita menunjukannya ke orang lain. Sekaligus, teknologi mempunyai kemampuan mempengaruhi kesehatan mental. Seperti kecanduan internet, yang merupakan keadaan kompulsif-impulsif dalam penggunaan dunia maya (gaming, sex preoccupation, text messaging).

Seberapa stres kawan-kawan menghadapi dunia digital seperti sekarang? Apakah masih bisa dikatakan sehat? Untuk menjawabnya, mari kita lihat lingkup kesehatan mental dari tataran emosi, sosial, dan psikologi. Tak sekadar fisik, tapi juga ranah perilaku, afektif, dan kognitif. Untuk menguraikannya, mari bertanya ulang: bagaimana kita menentukan pilihan, bagaimana upaya coping pada kesulitan, dan bagaimana ketika berhubungan dengan orang lain ketika berada dalam dunia maya?

Arti kesehatan mental menurut WHO: bagaimana individu dapat menyadari potensinya, mengatasi stres yang ada dalam hidupnya, bekerja secara produktif, dan memberi kontribusi pada komunitasnya. WHO punya program meningkatkan kesehatan mental dengan 2 tujuan: mengurangi 1/3 kematian prematur yang diakibatkan karena penyakit-penyakit yang tak terkomunikasikan, yang berhubungan dengan neurologis dan mencegah penggunaan obat-obatan terlarang sebagai pelampiasan mental yang sakit.

Ryff dan Singer (1998) mengartikan kesehatan mental sebagai sesuatu yang kompleks, gak cuma bebas dari penyakit, tapi juga keberadaan sesuatu yang positif. Kayak bisa nerima diri sendiri, relationship yang sehat dengan orang lain, atau emosi positif secara umum.

Lalu, Pransky (2001) membagi warganet jadi 2 golongan: (a) digital natives: generasi muda yang menjadi penduduk asli dalam intenet; (b) digital immigrants: orang-orang yang tak sepenuhnya terpapar teknologi digital. Sedangkan tahap perkembangan dunia maya ada empat:

(1) Anak-anak: hingga umur 11 tahun untuk nonton kartun, games, dan dunia anak-anak lainnya. 1 dari 3 pengguna internet anak-anak, orang tua memiliki pengaruh yang besar untuk menemani.

(2) Remaja (adolescents): berumur dari 12-17 tahun, internet digunakan untuk pertemanan, komunikasi, dan hiburan.

(3) Dewasa: 18-64 tahun, internet digunakan untuk informasi, belanja, keuangan, dan komunikasi.

(4) Senior: di atas 65 tahun, internet digunakan untuk menjaga kontak dengan teman dan keluarga, tujuan kesehatan, update informasi penting.

Penelitian yang dilakukan oleh Monika Misra ini mengobservasi status kesehatan mental di India. Di mana data pada Juni 2018 menunjukkan 500 juta rakyat India adalah pengguna internet . Temuan menunjukkan: di area urban metropolitan India masalah kesehatan mental lebih merata; stres banyak dialami oleh wanita; masalah psikologi umum yang dihadapi seperti manajemen kemarahan, ketidakstabilan emosi, kurangnya toleransi, rentang perhatian yang berkurang. Pertanyaan yang saya tanyakan juga, meski perempuan punya kecerendungan untuk lebih banyak stres, tapi kenapa yang lebih banyak ngonsumsi drugs itu laki-laki?

Tawaran yang diberikan dalam artikel ini, premis dasarnya bagaimana menyediakan layanan kesehatan mental bagi setiap orang untuk mendapatkan akses yang mendukung kapanpun diperlukan. Juga bagaimana mengatasi stigma dan isolasi sosial.Bisa face to face atau berbasis aplikasi.

Misra, M. (2018). Mental Health in Digital Age. Liberal Studies, 3(2), 235-243.

Selengkapnya: https://sls.pdpu.ac.in/downloads/Liberal-Studies-Journal-July-Dec-2018.pdf

Senin, 16 November 2020

Imajinasi Sebagai Suatu Tindakan

Apa yang ada di pikiranmu ketika mendengar imajinasi? Apakah merujuk pada aktivitas artitstik yang luhur, macam animasi Studio Gibli, alur novel Salman Rushdie, atau lukisan abstrak Salvador Dali? Imajinasi sebagai sesuatu yang entah, yang tak bisa dipeluk wujudnya, dan seolah butuh usaha/pikiran yang ndakik-ndakik untuk memperjuangkannya. Bukan begitu, Miki Kiyoshi akan memberimu pandangan lain dalam tulisannya “The Logic of Imagination”.

Tulisan ini pertama kali terbit di majalah Shiso, meski dilarang penyebarannya karena situasi zaman. Kemudian Miki menulisnya ulang, yang secara umum menggambarkan bagaimana Miki bekerja; dia lebih suka berpikir sambil menulis daripada menulis setelah memikirkan semuanya. Dalam tulisan ini dia memberikan suatu sintesis pada sesuatu yang saling berlawanan: subjektif-objektif, pathos-logos, ruang-waktu, dll. Miki mau nglepasin konsep pembatasan itu.

Miki mengambil posisi yang lain seputar imajinasi dari tokoh-tokoh yang memberikan pemikiran sebelumnya. Semisal Kant yang membuat logika imajinasinya sendiri, bahwa imajinasi adalah gabungan dari pemahaman dan sensibilitas. Atau Hegel, yang cenderung melihat imajinasi sebagai intuisi aktif, meditasi. Miki berbeda, membebaskan imajinasi dari logika abstrak.

Dia melihat imajinasi sebagai filsafat tindakan. Imajinasi adalah tindakan secara umum, tindakan bukan sesuatu yang absrak sebagaimana kehendak, tapi peristiwa menciptakan sesuatu. Singkatnya, "ketika orang itu bertindak, dia telah berimajinasi.” Sesimpel itu. Dalam tindakan ada transformasi, ada perubahan sejarah. Ini yang rumpang dalam standpoint Hegel, yang hanya berhenti di kontemplasi bukan aksi/kreasi.

Even ketika seseorang berbicara bentuk dari hasil perenungan. Sesuatu yang dihasilkan dari tindakan pasti itu dibuat. Dan yang dibuat selalu diperlengkapi dengan bentuk, di mana bentuk merupakan kesatuan dari hal-hal berlawanan yang telah disebut tadi, seperti campuran dari yang subektif dan objektif. Di mana objek aksi bukan sesuatu yang abstrak, tapi sesuatu yang konkrit.

Benang merahnya: Bertindak adalah melakukan sesuatu, setelah bertindak kita menghasilkan sesuatu yang baru, dan sesuatu yang baru itu yang disebut dengan imajinasi.

Miki, K. (2018). The Logic of Imagination (Preface, Chapter 1 “Myth” 1). The Philosophy of the Kyoto School, 57–64.

Selengkapnya: https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-981-10-8983-1_5

Minggu, 15 November 2020

Memahami Orang Lain dengan Empati

"Halah cuma segitu aja udah nyerah," seloroh Budi pada Ani. Niatnya sih mungkin baik, mau nyemangati, tapi Budi gak sadar kalau dia telah meletakkan standar yang ada pada dirinya pada orang lain. Padahal setiap orang beda kondisi psikologis, latar belakang, dan kemampuannya buat dealing pada sesuatu. Bisa jadi yang menurut kita ringan, sangat berat buat untuk orang lain; vis a vis sebaliknya. Jadi ucapan seorang teman suatu hari yang pernah bilang, "yah, cuma segitu aja," sebaiknya diswasensor aja. Ya-ya, tahu kamu bisa, tapi untuk orang lain?

Kejadian ini berhubungan dengan apa yang disebut empati. Sederhananya, empati adalah suatu sikap gimana kita memahami (verstehen, comprehend) kondisi orang lain, dengah seolah-olah kita ada di posisi dia. Dari situ kita bisa tahu perspektif, motif, dan proses kenapa dia jadi seperti itu. Bedanya sama simpati, kalau simpati lebih kepada perasaan ikut serta pada keadaan orang lain lalu memberi dukungan padanya semampu kita. Empati ini lebih ke ranah jadi orang itu, mahami dia, dan tak berkaitan dengan baik atau buruk; baik atau jahat; segala perasaan sebenarnya bisa didekati dengan metode empati. Kalau simpati lebih cenderung ke arah ketidakberuntungan, kesialan, atau kesedihan.

Empati itu ada tiga jenis: (a) Empati kognitif, ketika seseorang mengenali perasaan orang lain; (b) Empati emosional, ketika seseorang merasakan apa yang orang lain rasakan; (c) Empati pemahaman, ketika seseorang ingin membantu orang lain dari apa yang telah dia kenali dan pahami. Sikap empati ini memiliki hubungan dengan bagian di otak juga yang menimbulkan perasaan senang (munculnya hormon oksitosin), serta dalam psikologi ilmiah berhubungan dengan bagian otak yang berhubungan dengan syukur, terima kasih, dan pikiran pro-sosial lainnya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi empati ini, salah satunya adalah pendidikan. Pendidikan gak harus formal ya.

Beberapa tokoh dan filsuf yang konsen mengkaji terkait empati juga gak sedikit. Seperti Wilhelm Dilthey yang mengartikan empati sebagai suatu kesadaran gimana kita memhami orang lain dengan menempatkan posisi kita pada situasi orang lain. Dilthey menyebutnya sebagai Silogisme Analogis. Lalu ada Max Weber yang melihat empati sebagai suatu metode bagaiamana kita memahami ilmu sosial dan rangkaian peristiwa sejarah sejarah. Habermas yang mengartikan empati bukan hanya metode pengetahuan sejarah atau suatu bentuk penjelasan, tapi juga bagian yang integral dari aksi itu. Ada pula pengertian empati dari JD Troit, Thoas Aquinas, Robert Vischer, C. Rogers, hingga Adam Smith.

Inti besarnya, empati merupakan suatu karakter yang krusial di masa teknologi dan robot seperti sekarang ini. Di mana empati dan simpati tergerus pelan-pelan, menjadikan manusia serupa robot dan algoritma. Terlalu rasional sehingga menyingkarkan hal yang emosional; satu elemen penting bagi kesehatan mental. Bahkan dalam hal psikologi politik, empat benar-benar telah dilupakan dan banyak yang mengejar kepentingannya sendiri. Menjadi orang yang empati adalah sikap dan pilihan yang layak untuk diperjuangkan dan diusahakan. Dengan begitu, akan lebih banyak tumbuh kebaikan. Namun sebelum melakukan empati pada orang lain, terlebih dululah untuk melakukan empati ke dalam diri kita sendiri.

Pohoată, Gabriela & Waniek, Iulia. "DO WE NEED EMPATHY TODAY" Euromentor Journal; Bucharest Vol. 8, Iss. 3,  (Sep 2017) 7-16.

Selengkapnya: https://search.proquest.com/openview/b5512707f00a39fa8307ac81ed49d777/1?pq-origsite=gscholar&cbl=1316370

Sabtu, 14 November 2020

Pekerja Bersatu dalam Serikat Membangun Kerja, Hidup, dan Cinta

Pernahkah kamu melakukan obrolan singkat semisal dengan seorang penari balet profesional? Atau pemain Baseball profesional? Atau pekerja lain yang tak tertangkap radar kita. Hal-hal semacam inilah yang digali oleh buku "We Are One: Stories of Work, Life, and Love". Dalam buku yang dieditori oleh Gottlieb ini menyuguhkan 33 foto wawancara para pekerja dari tabib, musisi, hingga pemadam kebakaran; membagikan semangat kebanggan suatu anggota serikat pekerja.

Beberapa hal yang digali dalam "We Are One" adalah suatu harapan, perjuangan, dan solusi kolektif. Para penulis menghadirkan narasi personal aneka pekerja, tak hanya seputar bagaimana emosinya tapi juga performa suatu kerja. Laporan dari tangan pertama ini memperlihatkan terkait perlindungan hak pekerja, bagaimana suara mereka disurakan, dan dampak positif dari serikat pekerja dalam kehidupan sehari-hari hingga keluarga.

Laporan dari tangan pertama juga mendidik pembaca terkait arti serikat dan bagaimana serikat bekerja. Hal-hal seperti kampanye, urusan sertifikasi, bargain kontrak, dll. Salah satu narasinya, seorang pekerja pabrik garmen muda yang masuk menjadi anggota UNITE HERE menjelaskan bagaimana pengaruh anti-serikat salah menginterpretasikan serikat kerja. Suara-suara yang sebenarnya penting untuk didengar di tengah kondisi polarisasi politik.

Meski para pekerja ini berbeda secara geografi, sektor, dan budaya; mereka meiliki hubungan yang kuat secara partisipasi sebagaimana mantra "We Are One". Pembaca juga bisa menemukan potensi solidaritas yang hadir di antara serikat dan non-serikat dalam sektor kerja yang sama. Buku ini juga bertanya terkait harapan dan mimpi, hingga bagaimana komunitas kelompok membangun kekuatan dan rencana di masa depan.

Buku ini bisa dibacadari remaja hingga dewasa. Baik narasi secara satu per satu tak urut hingga semua. Bisa memberi pemahaman terkait organisasi serikat beserta strukturnya dan bagaimana serikat tersebut bersatu dalam gerakan sosial. Serta bagaimana individu ini melakukan usaha untuk masyarakat secara lebih luas, terkait kesempatan pendidikan, keamanan kerja, aksi kolektif, perubahan institusional, dan transformasi sosial.

Wills, Ericka. “Book Review: We Are One: Stories of Work, Life, and Love, Edited by Elizabeth R. Gottlieb.” Labor Studies Journal 41, no. 2 (June 2016): 221–23.

Selengkapnya: https://doi.org/10.1177/0160449X16653945a

Jumat, 13 November 2020

Bagaimana Buku Klasik Tentang Relasi Kerja Berpengaruh Pada Riset Sarjana Setelahnya

Dalam lingkar genealogi, 30 tahun diangggap bisa mewakili satu generasi. Review buku ini ingin mengkaji terkait bagaimana karya "The Transformation of American Industrial Relations" oleh Kochan, Katz, dan McKersie (KKM) berpengharuh untuk generasi setelahnya pada bidang riset relasi industri. Menguji warisan yang dibuat KKM dalam aliran sistem riset yang berasal darinya. Termasuk strategi literatur HRM, literatur sistem kerja berperforma tinggi, literatur kerjasama manajemen pekerja dan perserikatan, dan terakhir penyatuan organisasi dan potensi pembaharuan literatur.

Pada review ini Ann C. Frost membaca ulang buku KKM setelah 25 tahun kemudian (dari dia tengah menempuh jenjang doktoral baru di MIT). Setelah 30 tahun kemudian, apa yang dikatakan penulis memang benar dan tak tampak kesalahan yang muncul, bahkanhingga sekarang pemilihan argumen strategis KKM masih beralasan.

KKM secara tegas memberi pukulan dan melawan penyatuanisme sektor-publik dalam satu keadaan, perburukan kualitas kerja, pengurangan keamanan kerja, menambah pendapatan yang tak adil pada krisis pasca-finansial, dan sedikit harapan bagi reformasi hukum pekerja, serta kesuraman-kesuraman lainnya; merupakan lintasan yang digambarkan oleh KKM pada akhir bukunya. Mereka mengatur buku itu sebagai suatu transformasi dengan memberikan bukti-bukti kontemporer pada masanya. Kemudian KKM mengundang para sarjana untuk melanjutkan riset dan dokumen yang terjadi di dunia kerja USA dan beberapa tema itu tetap diteruskan hingga hari ini.

Bab berjudul "A Strategic Choice Perspective on Industrial Relations" menjadi literatur pilihan strategis dalam relasi industri. Dalam tulisan ini bagaimana penulis membuat kerangka pilihan tata letak strategis dan aplikasinya untuk memahami perubahan relasi industri pada masa itu. Lalu para sarjanamencari dokumentasi yang berdampak pada kapabilitas manajemen SDM sebagai aset strategis pembangunan dan pemanfaatan keuntungan yang bersaing. Seperti pada 1992, Jeffrey Arthur dalam artikelnya yang terbit di Industrial and Labor Relations Review menguji hubungan antara strategi bisnis dan sistem relasi industri di industri baja Amerika.

Lalu, berlanjut pada menguji perubahan tempat kerja (workplace) yang dihubungkan dengan strategi manajemen yang belum diuji oleh KKM. Muncul dalam karya "Low-Wage America: How Employers are Reshaping Opportunity in the Workplace" oleh Eileen Appelbaum, Annette Bernhardt, dan Richard Murnane pada 2006. Para pekerja bergaji rendah sering tak terorganisir, yang memang menjadi strategi pilihan para majikan di berbagai bidang. Baik di manufaktur, hotel, rumah sakit, dll, dalam lingkup industri yang lebih luas.

Kondisi ini menambah kerentanan dan mengurangi kesempatan-kesempatan yang sebenarnya telah ada dalam norma. Padahal keadaan bersatu memainkan peran dalam melindungi kesejahteraan pekerja. Ini tergambar dalam karya "Disintegrating Democracy at Work" oleh Virginia Doellgast pada 2012 di bidang telekomunikasi. Juga karya "The Fissured Workplace" oleh David Weil pada 2014 merupakan perluasan dari tema buku Transformation. Weil menggambarkan realitas baru dari banyak pekerja kontrak, temporal, dan itu dibuat sebagai pilihan pihak manajerial.

Buku Transformation berfokus pada evolusi tempat kerja Amerika dan memberi perhatian pada dokumentasi para stakeholder dari majikan, pekerja, dan representasi dari mereka. Ini menjadi warisan berharga untuk para sarjana dalam melanjutkan waktu, praktik, energi, dan modal intelektualnya untuk menginvestigasi tidak hanya apa itu kerja bisnis dan majikan, tapi juga masalah-masalah pekerja dan representasi mereka. Dalam proses pendokumentasian lintas sektor dan industri, para sarjana telah memproduksi bukti untuk menginformasikan praktik manajemen dan serikat, sebagai proposal yang mendukung kebijakan dan tindakan legislatif selanjutnya.

Bab 6 dalam buku Transformation berjudul "Changing Workplace Industrial Relations in Unionized Settings" menguji perubahan pada tempat  kerja dan bagaimana kerja diorganisasikan. Karya-karya yang lahir dan berhubungan dengan karya tersebut seperti buku: "The New American Workplace: Transforming Work Systems in the United States" (1993) dan "Manufacturing Advantage: Why High-Performance Work Systems Pay Off" (2000) yang membahas bahwa pada model performa tinggi, akan memberi keuntungan bagi majikan dan pekerja. Performa tinggi ini tidak hanya di tingkat relasi industri, tapi juga manajemen SDM. Selain itu investasi modal manusia memberikan dampak yang baik untuk meningkatkan performa.

Bab 7 berjudul "Union Engagement of Strategic Business Decisions" menjadi aliran riset dari buku Transformation, terkait menhadapi kolaborasi manajemen serikat dan persekutuan manjemen-pekerja. KKM menjelaskan kerangka memahami, merekam, dan mendokumentasikan bagaimana serikat membuat keputusan ketika terjadi perampasan. Mencari faktor-faktor apa saja yang menghambat program perserikatan, bagaimana agar terus berkelanjutan, dan membangun harapan bersama.

Bab 8 berjudul "American Workersand Industrial Relations Institutions" KKM menjelaskan terkait pengorganisasian dan potensi pembaruan gerakan pekerja (labor movement). Bagaimana anggota serikat puas dengan representasi dari serikat mereka di akhir 1970an dan awal 1980an. Meski ada bukti bahwa mayoritas pekerja yang tak berserikat tak didukung oleh perwakilan serikat. Adanya kepercayaan representasi serikat tradisional tidak bisa memberikan fleksibilitas, efisiensi, dan adaptasi terhadap kondisi modern.

Karya Kate Brofenbrenner berjudul "Organizing to Win" (1998) berkontribusi bagaimana mengorganisisakan model penyatuan, memberdayakan lapisan grassroots, dan memobilisasi rekan kerja para pekerja. Jelas bahwa KKM memberi pengaruh yang luas terhadap riset para sarjana tentang hubungan industri. Baik sarjana 3 dekade yang lalu atau setelahnya, para sarjana yang memulai karir mereka dalam bidang publikasi. Baik secara teoritis maupun praktis.

Termasuk buku-buku klasik berikut ini: "Industrial Relations Systems" (John Dunlop, 1958); "Impact of Collective Bargaining on Management" (Summer Slichter et al., 1960); dan "A Behavioral Theory of Labor Negotiations" (Richard Walton dan Robert McKersie, 1965).

Frost, Ann C. “Book Review: The Impact on the Next Generation of Researchers.” ILR Review 69, no. 5 (October 2016): 1284–88.

Selengkapnya: https://doi.org/10.1177/0019793916662005b

Kamis, 12 November 2020

Agen Penyalur Pengangguran Negara

Tema terkait kerja dan pekerjaan menjadi fokus utama dalam hubungan kerja, pengalaman kerja di sebuah organisasi, pekerja, kesusahan, dll. Dengan mempelajari kerja yang membantu sesama menemukan kerja, Mary Gatta mengubah perhatian kita terhadap hubungan antara kebijakan pemerintah dan pengelaman pengangguran mencari kerja.

Dalam risetnya, Gatta memodelkan teori klasik dari Michael Lipsky terkait Street-Level Bureaucracy (1980). Sistem ini merupakan bagian dari badan publik/lembaga tempat pegawai negeri bekerja, yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Dia melakukan studi etnografi di One Stop Career Centers yang ada di New Jersey. Lembaga yang didirikan pada 1998 oleh U.S. Workforce Investment Act untuk menyediakan pekerjaan dan layanan pelatihan untuk pengangguran. Gatta bertindak sebagai peneliti partisipan. Dia berfokus pada perempuan yang memiliki distribusi gaji yang rendah dan mendapat rentan dengan kebijakan yang negatif.

Temuannya para pekerja One Stop, Gatta tak seperti Street-Level Bureaucracy-nya Lipsky, sangat dibatasi apa yang mereka lakukan. Staf One Stop memberi pengangguran dengan sedikit informasi dan sedikit pelatihan. Sistem dibentuk dengan memperlakukan pekerja yang diangkat pekerja, sebagai klien yang setara dengan pengangguran dan terkadang diperlakukan sebagai feeder (pengisi) karena perusahaan mencari gaji rendah.

Perubahan nyatanya, Gatta berpendapat untuk menyediakan kontrak sosial baru. Pekerja One Stop ditekan di antara kaum pengangguran dan sistem besar menghadapi emotional labor, tapi tak bisa menghadapi hal untuk klien.

Gatta menambahkan temuan etnografiknya dengan kebijakan ketenagakerjaan yang dibuat negara. Tiga potongan bukti memperlihatkan sketsa situasi. Pendanaan federal untuk perkembangan tenaga kerja dan pelatihan turun hingga 87% sejak puncaknya pada 1979, sedangkan Worforce Investment Act telah menurunkan 40% dananya sejak 2002. Gatta melampirkan pula gaji untuk kerja jenis ini berkisar antara $10-15 per jam, dengan median $13,56.

Di akhir bukunya, Gatta memperlihatkan harapan penempatan pada pekerja yang diukur dari bagaimana mempertukarkan mereka untuk menemukan kerja. Para pekerja One Stop tidak khawatir dengan kuaitas kerja yang mereka temukan untuk klien, padahal jika pekerjaan itu rendah bayarannya. Mereka menganggap jika kerja bayaran rendah mungkin terlihat pendapatan bagus bagi kliennya.

Riset dari Gatta ini mengatakan banyak tentang alur antara riset dalam kebijakan tentang kerja dan pekerjaan, yang telah bergerak dari harapan untuk pengembangan produktivitas dan hidup kerja, pendidikan yang baik dan pelatihan yang lebih berkualitas dibutuhkan untuk meritrokasi (sistem yang memberi kesempatan seseorang memimpin karena kemampuan prestasi, bukan karena kekayaan, senioritas, dlsb--meski sistem ini dikritik karena tidak memberi kesempatan pada mereka yang kurang terampil, dan "gen" sangat menentukan menang/kalah).

Di sisi lain, kritik radikal terkait masalah buruh, dalam artikel klasik Katherine Stone berjudul "The origins of job structures in the steel industry" (1974); Harry Braverman dalam "Labor and Monopoly Capital" (1974); dan Michael Burawoy dalam "Manufacturing Consent" (1982) berfokus pada pembagian kelas dan ekspolitasi buruh oleh kapital. Meski set tahun itu pada 1970an dekat dengan tingginya kekuatan ekonomi, politik dan sosial buruh. Stone, Braverman, dan Burawoy mungkin salah terkait lokus masalah buruh, tapi ada hal penting yang mereka bicarakan. Seperti masalah eksploitasi dan deskillisasi (mengurangi tingkat keterampilan yang dibutuhkan untuk melaksanakan suatu pekerjaan), terlihat sebagai perubahan lokus dari kontrol terhadap teori pengetahuan nilai ke teori nilai buruh di era industrial. Pekerja pengangguran yang Gatta bicarakan menderita sebagian besar dari pergantian kekuasaan. Akibat dibuktikan dengan rantai penawaran di industri retail yang berupah rendah bagi klien One Stop.

Namun, perusahaan-perusahaan seperti Walmart, Target, Home Depot, Carrefour, Nike, dan Apple juga menekankan istilah dari penjualan dan produksi dalam manufaktur yang disebut Nelson Lichtenstein sebagai "merchant capitalism" (kapitalisme pedagang). Pemilik modal dalam sistem ini tak bisa menembak langsung. Perusahaan pabrik mungkin telah menanam dan memperkerjakan buruh tapi pedagang eceran/pengecer (retailer) mendesakkan kontrol dan memeras sebagian besar nilai yang diproduksi. Thomas Piketty dalam bukunya Capital in Twenty-First Century (2014) mengamati akibatnya. Dalam analisisnya, penyebab terbesar dari ketidaksetaraan pendapatan sejak 1970an adalah apa yang disebut sebagai peningkatan pendapatan yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk satu bentuk tenaga kerja. Semisal manager puncak yang memiliki kenaikan tertentu dibanding mereka yang berada di sisa populasi—tentara cadangan pekerja.

Zbaracki, Mark. “Book Review: All I Want Is a Job! Unemployed Women Navigating the Public Workforce System by Mary Gatta.” Industrial and Labor Relations Review, Vol. 69 (March, 2016): 509-510.

Selengkapnya: https://doi.org/10.1177/0019793915621749