Jumat, 28 Desember 2018

Novel: Gangster Ramah Lingkungan


Gangster Ramah Lingkungan (GRL) adalah novel pertama yang berhasil saya selesaikan di tahun 2015 lalu. Saya berniat menerbitkannya secara daring agar tak lumutan di hardisk laptop, dan agar hidup saya bisa memberi sedikit manfaat bagi pihak-pihak yang sudi membaca. 

Novel ini bertema keluarga, persahabatan, juga cinta, terinspirasi dari orang-orang dekat dan kawan-kawan saya sendiri; yang mengajari saya tentang hidup dan sisi-sisi lain terkait hidup. Saya mencoba mengambil latar Sunda—meski saya Jawa dan tak bisa Bahasa Sunda.

Terima kasih untuk semua pihak yang memberi sumbangan imajinasi. Khususnya Keluarga H, UIN, Arena, Eska, Gorong-Gorong Institut, Nuun, dan Jogjakarta. Judul dan isi cerita ini banyak dipantik oleh mereka dengan begitu banyak pengubahan. Sekali lagi, terima kasih.



Rabu, 28 November 2018

Tubuh Layar

Sore yang lusuh di hari yang rusuh
Berpiknik ke tempat tak terduga di balik layar
Paham yang butuh dijemput
Melebih-lebihkan kata sederhana
Hidup hanya tertawaan yang sebentar
Pada duka-duka yang telah bubar
Juga cinta yang merupa pahlawan yang berputar-putar
Menjadi di musim berahi
Berlari-lari pada seluruh mata yang lengang--membereskan gelisah
Tak perlu menunggu jompo dan loyo untuk bisa berpikir dan merasakan dalam
Melepas fantasi-fantasi yang terpenjara
Bagai otak boneka yang terlunta-lunta
Sukses telah kulipat dan kuselipkan di kaos kaki
Diiringi konvoi kebahagiaan
Dilewati kata suka
Lorong-lorong gelap di seantero tulisan
Fakta-fakta kocar-kacir kelabakan
Kata-kata membawa korban
Esok aku akan tenang di pikiranmu
Latihan makan dan berjalan

Kamis, 22 November 2018

Seperti yang Pertanyaan Ingini

Mengapa? Itu pertanyaan pertama yang kau ajukan ketika semua tak berjalan sebagaimana mestinya. Kau orang yang lebih menikmati pertanyaan kan daripada jawaban? Dalam pertanyaan mengandung jarak peradaban, berantah retorika, belantara logika, dan khilaf diri ... Pertanyaan akan membuat fokus. Tapi apa iya? Mengapa ada kejatuhan yang sama? Terhempas, di mana harus aku sembunyi? Seandainya pertanyaan ini tak pernah terjadi? Kenapa tak pernah membawa peta cerita? Kau tak tahu kemana harus kau tuju? Apa ada air mata dan hati terluka? Tubuh, jiwa, untuk siapa? Aku bahagia untuk siapa? Selama jantungku masih berdetak selama pula aku hidup? Apa aku bermakna? Apa kudengar bisikmu? Sedarah apa aku mengalir? Adakah akhir? Siapa yang menyambut? Kenapa menangis? Apa aku dimiliki? Menemukan apa?

Adakah pertanyaan yang tak didahului kata tanya dan tanya tanya?

Sudikah kiranya. Memastikan waktu berhenti di sini. Jam yang tak pernah menanti. Seutas keinginan yang tetap bertahan. Sendiri menghitung kini.

Rabu, 21 November 2018

Pasar Malam

Sebuah malam yang sunyi pada sebuah desa kecil di Amartya. Bintang-bintang ditemani bulan berbentuk C memberi terang sebuah lapangan luas rerumputan. Jika siang hari, lapangan ini berwarna hijau, ketika malam berubah kelabu. Kiri dan kanan lapangan ini ditumbuhi pohon-pohon mangga yang teduh, yang di kaki-kakinya tumbuh bunga-bunga pukul 9 berwarna ungu, putih, kuning, dan merah muda. Jika nakalku kumat, aku akan dengan senang hati memoteknya beberapa dan diam-diam akan kutaruh di jendela kamarmu setiap tanggal 14 saat siang.

Sambil menunggumu, aku duduk di rerumputan. Lalu terbangun dengan suara lonceng sepeda onthel milik ayahmu yang telah kau hiasi dengan keranjang berisi roti-roti kesukaanku. Malam ini kita akan berangkat ke pasar malam.

Sepeda itu kau parkirkan sebentar. Kau menemaniku duduk. Kita saling berhadapan memandang sambil mendengar orkestra jangkrik dan gemerlap kunang-kunang. Kau tersenyum, aku tersenyum. Kau meraih tangan kananku dan mengajakku berdiri. Kita bersama naik sepeda. Kamu di depan dan aku menggonceng di belakang. Tanganku kulingkarkan di perutmu yang kurus, dan kepalaku kusandarkan di punggungmu yang lurus. Lalu kudengar kau sedikit tertawa dan berkikik.

Lebih erat, katamu. Aku hanya menurut.

Di sepanjang jalan kita asyik bercakap persoalan-persoalan yang tidak penting. Seperti merk buku tulis ketika kita masih SD, anak kucing tetangga yang baru saja melahirkan, potongan rambut kakek yang asimetris, panenan padi, hingga beranjak ke hal-hal yang sedikit penting. Kita mengulangi tentang mimpi masing-masing. Keinginanku pergi ke New York memakai mantel biru laut, keinginanmu memainkan gitar di tepi danau kecil saat musim semi Freiburg.

Mimpi-mimpi kita terlalu kolonial, ujarmu.
Bukankah imaji itu menarik?
Ya, untuk sementara.

Dalam hati, ketika denganmu aku tak butuh mimpi-mimpi lagi. Tapi itu tak mungkin kuucap karena kutakut kata-kata itu akan kehilangan maknanya.

Kayuhanmu mulai melambat, roda kurasakan terseret dengan kasar. Dan ban sepeda bocor.

Tenang, ini bukan produk kesialan, ucapmu sambil mengelus-elus setang sepeda; dan tanganmu mengelus-elus rambutku yang berantakan diterpa angin sejak dari tadi.
Tak ada jalan lain, kita akan berjalan hingga pasar malam.
Siap.
Dan tangan kirimu dan tangan kananku saling menggenggam. Tangan kita berayun-ayun di udara. Kita bercerita tentang hal-hal tak penting lagi. Kita juga memplesetkan pepatah-pepatah dan mitos-mitos. Semisal bagaimana jika kisah Bawang Merah dan Bawang Putih itu diganti menjadi Bawang Bombay dan Selada. Kita mereka-reka kisah yang mungkin muncul, dan di akhir dongeng kita selalu tertawa bersama saking lucunya akhir cerita yang kita buat.

Akhirnya kita sampai di pasar malam. Sepeda kau letakkan di sudut bawah tiang reklame. Kita menuju pusat keramaian dan menyaksikan hiburan-hiburan lokal.

Kau mau main apa?
Kora-kora.
Kau tak takut perutmu sakit?
Asal kau menjagaku.

Lalu kau tersenyum manja. Kau tarik tanganku naik di tempat duduk paling belakang, posisi gravitasi paling menantang. Hanya kita berdua di sana. Lalu mesin mengayun. Semakin cepat, semakin cepat, semakin cepat. Aku yang tak pandai berteriak lalu berteriak dengan sangat keras. Tapi kau tak bersuara, kau terlihat sangat ketakutan. Tanganmu kupegang dan sangat dingin. Lalu aku tak bisa mengkondisikan diriku, aku refleks memelukmu erat, sangat erat dan tidak berteriak. Aku melihatmu memejamkan mata dan kulakukan hal serupa. Tiba-tiba rasanya diriku masuk ke dalam sebuah putaran cahaya. Gravitasi semakin besar mengguncang perutku, mengguncangmu. Aku harus kembali ke kenyataan. Kuharap kau belum mati karena permainan ini.

Aku masih memelukmu, tapi kau begitu berubah. Kau tertawa terkekeh saat kubuka mata. Aku menangis tiba-tiba: dasar! Kamu jahat buat aku khawatir!

Kamu lalu berteriak. Kita sama-sama berteriak. Hingga bandul itu berhenti. Kita turun dan memuntahkan isi perut. Lemas. Kita saling menertawakan diri sendiri.

Kau tak kapok?
Tidak.
Mau main lagi?
Permainan yang lain.
Komidi putar?
Boleh.
Tunggu di sini ya, aku ambil roti di keranjang sepeda dulu. Biar kita kuat lagi.
Ya.

Dua menit kemudian kau datang membawa keranjang roti itu. Kau mengajakku duduk di tepi keramaian dan kita makan bersama. Saling menyuapi.

Aku menatap matamu. Aku ingin membaca matamu lebih dalam. Aku ingin bercerita tentang masa lalu dan masa depan. Juga ingin kukatakan, betapa bahagianya kekonyolan malam ini bersamamu. Aku pasar dan engkau malam. Kita malam ini menjadi pasar malam.

Komidi putar masih bergerak. Tubuhmu menanti. Wajahmu mendekat ke wajahku: nanti di atas kita ciuman ya, bisikmu nakal. Aku pura-pura tak mendengar, karena detik itu kembang api dalam jiwaku tengah kau nyalakan. Kita pun naik, dalam kurungan yang tertutup. Penjara yang rasanya ingin aku diami seumur hidup.

Di dalam kurungan itu, tanganmu mendekap pundakku. Kusenderkan kepalaku di pundakmu dan semua beban hidup rasanya pergi. Ketika kurungan menuju puncak tertinggi, tanganku semakin gemetaran. Tubuhmu kau rekahkan, dan kedua tanganmu membentuk cincin di leherku. Kita begitu dekat, dan matamu mendekat, bibirmu mendekat. Kita bertemu di bibir yang satu, di puncak yang satu. Kembang api dalam tubuhku telah meledak.

Yogyakarta, 21 November 2018

Senin, 19 November 2018

Puas dengan yang Sedikit

Kita ini makhluk mikro, sekeras apa pun menjadi makro. Dan bahkan aku percaya, yang makro tak ada. Makro hanya mikro yang dipseudokan. 

Mikro yang tumbuh di Dunia Berisik. Setiap detik status bermunculan di banyak lini massa. Tidak semua kebahagiaan, kesukaan, ketertarikan, dan kecintaan dibagikan dengan sangat boros pada orang lain, pada publik. Pun kesedihan, sakit, luka, dan kecewa. Yang tak pernah bertemu di titik hubung tak akan pernah bisa disentuh. Cobalah menikmati semua untuk dirimu sendiri dulu. Tak perlu berbagi jika orang lain tak butuh. Taraf butuh dan tidaknya ada di kamu. 

Selalu ingat, mereka yang menceritakan masalah personalnya padamu belum tentu mereka percaya padamu, nyaman padamu, atau dekat padamu. Mereka hanya bingung kemana mengadu. Untuk mencapai level "percaya, nyaman, dan dekat" tak semua orang bisa memberi. Hanya orang yang telah mendalami dirimu dengan sedemikian rupa saja yang paham. Dan orang itu mungkin hanya satu atau memang tidak ada. Tak apa. 

Aku puas dengan apa yang diberi padaku, meski itu sedikit, meski itu tidak ada.

Di tengah giringan kesana kesini, harus tetap punya jalan sendiri. Tak perlu silau dengan jalan orang lain. Sungguh merisaukan itu sama remeh temehnya dengan mengurusi patah hati. Jalan itu sederhana saja. Semisal bagiku, duduk di tepi pantai melihat laut dan merasakan angin, sambil mendengar Akeboshi, Beach House, dan Pink Floyd dengan damai. Tenang, tak ada yang mendiktemu, dan kamu tak perlu berbagi apa-apa lagi. Sebab semua telah cukup, telah terpenuhi.  

It's something like a beautiful day.

Rabu, 03 Oktober 2018

Kaya

Miskin diri gak boleh dipelihara lama.

Urip Ora Majas

Malam itu sangat lelah. Pukul 22.00 lebih, saya berniat makan terlalu malam. Akhir-akhir ini karena kebutuhan sayuran kurang, akhirnya saya beli capcay—karena memang penggemar capcay, banyak titik penjual capcay di Jogja yang pernah saya datangi dan saya bisa membedakan rasa hingga tekstur dari penjual capcay A hingga penjual capcay  M.

Salah satu penjual yang pernah saya datangi dan masakannya enak, ada di daerah Brimob, depan masjid Brimob kalau mau ke arah Stadion Mandala Krida. Dekatnya ada burjo. Saya suka datang ke sana karena selain rasanya enak tadi, juga masakan di sana tak pakai garam dan micin. Rasa asin didapat dari minyak ikan. Sebab kebanyakan garam kata Bapak penjual yang saya belum sempat menanyakan namanya akan menyumbat pembuluh darah dan kalau micin Anda tahu sendiri risikonya. Ditambah, Bapak penjualnya sangat sopan dan ramah. Warung buka sekitar habis magrib hingga pukul 1 atau dua pagi. Satu porsi sekitar Rp15.000 (lumayan mahal untuk ukuran Jogja, apalagi freelancer kere seperti saya).

1 Oktober 2018, Bapak itu mengajari saya banyak hal terkait hidup. Beliau korban gempa tahun 2006. Rumahnya di belakang warung, karena rumah asli telah porak poranda. Beliau menderita komplikasi syaraf terjepit di bagian tangan dan leher, stroke di kepala bagian kiri, dan penyakit yang diakibatkan karena kesalahan fisioterapi. Beliau sering berobat di RS Bethesda dengan menggunakan BPJS. BPJS kata beliau juga sekarang rumit karena beda penggolongan. Tapi sangat membantu karena sekali berobat bisa habis 1-2 juta, apalagi ditambah obat sing ora majas banyaknya. Beliau bukan alergi obat, tapi kebanyakan obat tidak baik untuk tubuh. Di tengah umur beliau yang tak lagi muda, untuk urusan makan dia sangat selektif. Apalagi urusan hidup. Beliau lebih mementingkan EQ daripada IQ.

Kami membahas Jogja pula yang saat ini dipenuhi banyak hotel. Hotel yang sejatinya tidak disukai oleh masyarakat dan investor lokal. Sebab investinya terlalu tinggi dan masa balik modal (break down) lama, hingga 50-an tahun. Sedang investor lokal tak kuat dengan semua itu. Hotel yang sudah berbintang dan banyak lantai, pasti sudah bisa dipastikan itu ada investor asing di dalamnya. Di level menengahnya, tumbuhnya kos dan penginapan menerapkan kebijakan yang lebih fleksibel. Dulu yang awalnya kos minimal setahun atau bulanan, sekarang harian pun bisa. Apalagi di musim-musim wisuda ketika banyak keluarga hadir. Didukung oleh ekosistem Jogja sebagai gudangnya universitas di Indonesia. Sehari Rp200.000 sudah menjadi angka yang lumayan.

Hidup sejatinya adalah “menunggu/antri mati”. Untuk menempuh hidup dan mati, butuh namanya “sangu” (bekal)—sangu urip karo sangu mati. Hidup hari ini adalah sebab dan akibat dari kemarin. Apa yang disebut karma adalah apa yang kita tanam. Kalau yang kita tanam baik, niscaya karma juga akan baik. Kalau nanam hal yang tidak benar, tukulnya juga akan seperti itu. Hakikat kebahagiaan menurut beliau adalah “merasa bersyukur” (urip sing sumeleh, andhap ashor). Tak perlu minder dengan keadaan semisal (si Bapak menunjuk saya) sudah sarjana kok kerja masih pakai sepeda.

Nilai utama hidup adalah “kejujuran”. Tanpa kejujuran orang tak akan dipercaya. Apalagi pada orang yang suka senggol sana dan senggol sini, wis ora ono ajine. Beliau mengajari nilai kejujuran pada anaknya ini pada umur yang masih sangat kecil. Anak kalau mengambil uang Bapaknya tanpa bilang sekecil apa pun itu, pasti Bapak akan marah. Tapi kalau bilang dan lagi ada uang pasti diberi banyak. Sebelum saya datang, Bapak itu juga kedatangan pembeli dari India. Sempat curhat juga terkait kejujuran pekerja India itu di McMohan, Jalan Solo.

Semakin banyak diberi titipan maka tanggung jawabnya juga semakin besar. Entah titipan harta, kecerdasan, dan lain-lain. Cara mengungkapkannya dengan berbagi. Beliau mengisahkan ada seorang pengemis di Prancis yang suatu hari mendapat hadiah lotre yang sangat besar. Uang itu tak dia gunakan sendiri, tapi sekitar 20%-nya diamanatkan untuk diberikan pada sekaumnya. Karena dia sadar uang itu tak sepenuhnya menjadi hak dia. Beliau juga menyinggung Bill Gates yang kayanya minta ampun tapi uangnya juga digunakan untuk kegiatan sosial.


Jogja, 1 Oktober 2018

Selasa, 18 September 2018

Autarkes

Aku menaruh hormat dan kepedulian yang besar pada orang-orang yang setia pada apa yang diyakininya: prinsip, ideologi, identitas, minat, passion, mimpi, cita-cita, dan memiliki "kontrol diri" akan semua yang diyakininya itu. Tak butuh pengakuan dan eksistensi kekanak-kanakan. Ia yang cukup akan dirinya sendiri.

Selasa, 18 September 2018.

Senin, 10 September 2018

Tirakat

Semakin tinggi bintang, ia akan semakin tidak terlihat.

Langensari, 10 September 2018

Minggu, 29 Juli 2018

Picisan (3)

Jumat (27/7/2018) aku menulis status di WA:

"Cowok yang patut diperjuangkan adalah cowok yang jaga dan nglindungi kamu, bukan cowok yang ngrusak kamu. Ngrusak itu ngajak kamu nglakuin hal-hal gak bener. Entah pegang-pegang, mesum, ngajak hal-hal yang gak baik. Atau ngrusak secara psikologis: diduain, sering buat banyak cewek baper, dll. Dia akan jaga kamu daru hal-hal kayak gitu." ~quote dari kawan sore tadi

Lalu beberapa balasan masuk. Ada yang sepakat, ada yang meminta beberapa diksinya direvisi karena terkesan patriarkal dan men-subordinasi perempuan. Misal 'nglindungi' harusnya diganti 'menghormati' dan diksi 'ngrusak' bolehlah diganti 'tidak bertanggung jawab'. Mikir dua kata ini butuh otak semiotis yang lumayan. Maklum, quote itu kata temanku yang tidak belajar feminisme atau teori njlimet lainnya. Yang nyata baginya adalah yang empiris. Tanpa teori membuat orang sangat murni dan jujur akan kenyataan-kenyataan.

Komentar lainnya lebih pada ejekan, 'kok tumben nyetatus cinta-cintaan kayak gini?' atau statusku itu di-screenshoot ke grup dan yang nge-share bilang 'tuh dengerin (mention nama kawan)'. Trus dijawab juga: 'Aku seperti membaca status orang yang lagi cimiwwww' ditambahi yang lain pula 'Lagi tetew tetew hahaha....' Aku cuma bisa balas 'Njir'.

Komentar-komentar di atas kutanggapi sambil tertawa saja. Namun yang paling berkesan adalah nasihat dari seorang kakak yang kemudian aku pikir matang-matang. Kalimatnya memberiku pencerahan, tentang hal realistis apa yang harusnya aku lakukan. 

Setelah kupikir panjang, (ibarat kawanku yang ngasi quote di atas) aku hanya serupa kelapa tua yang lama jatuhnya, kalau pun kelapa itu rela jatuh (setelah menunggu sekian lama); apakah dia nanti akan mau mengambilnya? (Analogi yang terlalu ngeri). Hanya spekulasi-spekulasi jawabannya. Pilihan tak hanya menyoal diri sendiri saja. Ada jerat kompleks entah itu kawan, orangtua, logika, realitas, dll yang salin berpilin.

Status ini hanya buah kebijaksanaan dari teman yang ingin kubagikan--tak hendak menyinggung siapa pun, karena di titik tertentu aku merasa sepakat. Semakin kusadari: selain keras kepala, kakiku tak mudah diikuti. Apalagi pikiran, juga hatiku. Dan aku suka akan kualitas yang menyebalkan ini. We are what we are not.

Dia yang pernah singgah beberapa bulan ini adalah manusia pintar, aku pikir juga baik. Hanya aku merasa ini salah posisi. Ya, dalam getirnya hidup, aku akan terus tumbuh tanpa dia. Tak peduli suasana apa pun. Dia  pun juga begitu. Namun kita akan terus bisa beretorika bersama, berbagi ilmu, bersahabat, juga bersaudara--tanpa emosi dan perasaan yang membuat keruh--kampret! Sok protagonis amat sih. Bebas, bebas aja kali, Is!

Pokoknya, selamat maju dan berkembang ya!

Senin, 23 Juli 2018

Picisan (2)

Kemarin pagi seusai bangun tidur banyak hal yang rasanya hilang satu per satu. Sebuah kehilangan yang tak bisa dijelaskan. Aku membuka buku. Membuka Ana Maria Shua yang memberiku inspirasi menulis tulisan-tulisan pendek. Lalu kulanjutkan membaca buku Pram yang kalau tidak salah sudah seminggu tak kupegang lagi.

Naas, sejujurnya aku tak bisa berkonsentrasi penuh. Hal menyedihkan jika suatu konsentrasi hilang dalam tiap melakukan sesuatu. Konsentrasi adalah kunci meditasi untuk mencapai apa yang quote bilang: Carpe Diem. Pikiran ini terlalu berisik mencapai derajat konsentrasi penuh itu. Berisiknya melebihi pasar kala H-1 lebaran.

Banyak hal yang kulewatkan sekali lagi, dan aku harus belajar mengikhlaskan dengan sedikit sakit yang tak berdarah. Semisal menanyakan: mengapa kerjaku sangat lama? (Tapi aku sepenuhnya percaya, aku orang yang paling bertanggung jawab melakukan sesuatu jika diamanahi, meski kerjaku sering tak tepatnya, percayalah aku selalu akan berjuang hingga selesai, selama apa pun itu); mengapa mudah sekali teralihkan oleh hal-hal yang tak penting? (Percayalah, aku juga manusia yang masih dikaruniai rasa patah hati semisal ketika terjebak pada kisah cinta rumit yang menjengkelkan, yang kalau kata mereka yang sudah makan asam garam soal hubungan, ini hanya masalah ecek-ecek saja. Tapi bagi orang yang baru pertama ini cintanya ditanggapi lalu terjebak di hubungan yang salah, aku harus membunuh hatiku perlahan, dan itu susah cum sakitnya minta ampun. Bisa-bisa aku serapuh Annelies saat mencintai Minke. Ah tenang, aku juga tak selemah itu, aku punya banyak nyawa kemandirian yang menjadi asetku sejak lahir); mengapa, mengapa, mengapa? Aku selalu bertanya dan tak berhenti berpikir.

Di subuh ini, aku bangun tidur dengan perasaan yang patah lagi. Aku terserang rindu berat yang sangat menyakitkan--padahal baru kemarin aku dan dia Whatsapp-an lumayan lama lagi. Membahas perjalanan, mengkritik dunia wisata, hingga kenangan dia yang begitu membekas saat rapat tahunan. Tak kusangka tafsirannya sejauh itu; orang paling mudah membiasakan banyak hal yang sejujurnya sangat berharga bagi orang lain. Dan baru kemarin juga aku curhat ke dia, jika aku stress, aku akan bersepeda serta menulis apa pun di buku. Lalu dia sangat perhatian bilang: Tapi Mbak Isma jangan minum ya, rokok juga jangan. Seberapa pun stressnya jadi jurnalis nanti (ditutup dengan emoticon oke dan tertawa). Aku terharu. Belum pernah rasanya aku diperhatikan sebegitu rupa. Aku kasi bintang pesan itu. Perhatian-perhatiannya menimbulkan ketergantungan yang dalam dan substil di hatiku. Sungguh, perhatian secara personal begitu candu yang lebih bahaya. Efek terbangnya lebih tinggi daripada sekedar mendapat nilai tinggi saat ulangan atau dipuji karena prestasi-prestasi yang sebenarnya sampah. Perhatian membuat orang nge-fly. Ini kali alasan kenapa ketika orang putus cinta jadi sedihnya setengah mati, karena efek nge-fly dihentikan.

Sebenarnya, aku dikejar rasa bersalahku sendiri pada hubungan yang salah ini. Aku sungguh tak ingin menyakiti orang lain; menyakiti kekasih sah dia. Aku punya batas yang sesakit apa pun itu harus kepegang kuat-kuat. Suatu pendirian yang susah dijelaskan dari sekedar hubungan. Dia sudah paham kalau aku ini sangat keras kepala. Dan pendirian adalah pendirian. Hubungan soal lain. Tapi aku juga sedih, sakit, dan sesak. Tulisan-tulisan semacam ini adalah caraku mengurai kerumitan itu. Otak kita sama-sama rumit bukan?

Kalau kondisiku terus begini, aku akan menulis picisan-picisan yang lain...

Jumat, 20 Juli 2018

Menyusun Kata

Dari kemarin mata rasanya tidak tidur, apalagi pikiran. Sibuk merangkai kerangka-kerangka kalimat mana yang tepat untuk menjadi bagian pembuka, inti, dan penutup. Ternyata tulisan berkasus tak semudah itu.

Menumpuk wacana. Menumpuk teori. Menumpuk premis. Jika susunannya tak baik, tak bisa menghadirkan cerita yang mengalir.

Keresahan personal lebih penting/menusuk/menyentuh/dan mudah daripada wacana dan teori yang muluk-muluk. Juga kenyataan lebih mudah daripada abstraksi dan absurditas.

Tapi yang paling penting adalah membuat jalannya dulu. Akan lama ini menjadi sesuatu yang menjadi jika jalannya belum ketemu. Mencari jalan ternyata juga tak semudah menulis angka dari satu hingga sepuluh atau hingga seratus.

Picisan (1)

Menyelam. Aku tak juga sampai menggapai dasar diri sendiri. Atau pikiran-pikiranku yang tak henti-hentinya menuju padamu. Sudah sangat pelan sembari kudengar lagu-lagu sepi angin dan dinginnya penantian yang usang. Dari orang yang sudah penuh hanya dengan dirinya sendiri.

Jika takut, aku mencoba merapal namamu. Sembahyang pada ingatan-ingatan yang menyenangkan. Semakin meresapinya, semakin abstrak. Seolah almari, meja, kursi, dan jam dinding tak ada lagi. Tak ada yang menyakitkan selain tercerabut dari kenyataan; yang lebih nyata dari mimpi dan khayalan.

Buku terserengkah, tikus lewat di kolong-kolong ingin mencuri makanan, detik jam yang semakin kaya putarannya, dan adakah pekerjaan yang lebih menyebalkan selain membiarkan tanggung jawab yang belum selesai? Kumohon bersahabatlah.

Rabu, 11 Juli 2018

Ritus Melupakan

Andai ritus melupakan semudah itu. Aku tak perlu melupakanmu hingga hatiku rasanya sesak begini. Tak perlu berpikir waktu berlalu begitu sangat lama. Juga tak perlu menyedihkan kemungkinan-kemungkinan negatif yang kureka-reka sendiri.

Andai ritus melupakan semudah itu. Aku tak perlu berkhayal kau akan menemaniku makan, menemaniku belajar, menemaniku membaca, menemaniku menangis; mendengarkan ceritaku, kesahku, sedihku, protesku, perbuatan-perbuatan konyol dan khilafku; sambil kusadari betapa ekspresifnya aku di depanmu. Aku belum pernah merasa seekspresif ini di depan orang lain, kecuali di depanmu, bersamamu.

Andai ritus melupakan semudah itu. Semudah mengingat semua yang kau bagikan padaku.

Kamu tahu apa satu doaku: jika aku gembok, kamu adalah satu-satunya kunci. Satu saja, satu yang dapat membukanya.

Jika tidak ... Aku akan berdoa: semoga ritus melupakan memang mudah. Semudah melepaskan nafas.

Selasa, 10 Juli 2018

Ambisi Jeni

Aku selalu berambisi untuk menjadi manusia cerdas. Aku tak akan membiarkan satu orang pun di kelas yang lebih cerdas dari aku. Guru sekalipun, secerdas apa pun dia aku akan berusaha melebihi dia.

Semua berawal saat aku dikatakan GOBLOK oleh "seseorang"--dalam kondisi yang aku rahasiakan. Satu kata itu semacam hujan deras yang membekukanku di tengah jalan. Terdiam. Terasing. Tak berhenti.

Hal yang paling aku benci adalah melihat orang lain belajar. Aku selalu merasa sakit hati ketika melihat orang lain belajar. Persetan dengan perasaan tersaingi, dia sudi menjalani proses buat cerdas itu yang aku tangisi.

Kunamai diriku sendiri dengan nama "jenius", panggil aku Jeni.

Senin, 09 Juli 2018

The Letter That He Never Reads

Dear...

I was feeling your girlfriend or woman that you love was die. You write much this story in your many song. From: Night and Day, Quiet Garden, The Cliff, No Wish, Sky in The Pond, Diamond Dust, etc. You built hut/cliff to her. You are so faithful to her and I am envy with that, she's so lucky having you. I imagine if I could be her. Maybe, as your song said: I could give better vibrations to you. But, I understand...... this "Meet Along The Way".

17 Nov 2017

Pikiran Menyadari Pikiran

Aku tersadar cara berpikirku meloncat-loncat. Aku tersadar pikiranku sedang tak sistematis. Aku tersadar antar pikiran satu dan pikiran lain tak logis. Aku tersadar antar pikiran ini tak terhubung. Aku tersadar pikiranku ini jelek. Aku tersadar menyimpulkan aku telah membuat karya yang serampanga. Aku tersadar aku mengganggap karya ini buruk. Aku tersadar lalu bertanya: apakah ini efek dari pikiranku? Aku tersadar aku tak bisa berbuat apa-apa untuk karya itu. Aku tersadar untuk mencari sebab dan jawaban. Aku tersadar aku terus berpikir mencarinya. Ya, sementara ini aku catat dulu.

Setelah beberapa menit. Aku meng-edit-nya. Ini salah satu jawabannya, tapi tidak sebabnya.


Simfoni Dvořák

Pertama kali kudengar simfoni Dvořák adalah saat kakiku kram setelah berjongkok selama satu jam di dalam kotak biru berukuran 16 x 35 nano. Simfoninya melompat ke dalam telingaku serupa kucing yang mengejar pasangannya saat lagi birahi. Dvořák tak berkata-kata, hanya simfoninya yang berkata. Semua energinya ada di simfoni itu. Aku lalu berubah menjadi sebuah biola dan hasrat-hasratku berubah menjadi sebuah piano. Kotak biru itu hanya menyisakan piano dan biola. Dvořák tak lagi terdengar. "Apa Dvořák menjebakku dengan romansanya itu?" pikir otakku yang menjelma tuts piano. Semakin aku berpikir, semakin piano itu mengeluarkan bunyi. 

Tuhan, aku tak mengerti partitur, apalagi memainkan piano. Namun aku menyukai bunyi Tuhan. 

Biola lalu menggesekkan dirinya sendiri. Berbunyi sedetik dan sangat indah.

Aku diam. Sekian jam. Tak terjadi apa-apa. Lalu perlahan menyusut dan aku menjadi manusia lagi. Dvořák datang lagi. Simfoninya berkisah tentang romansa yang terjadi antara kelas borjuis dan proletar.

Dvořák, aku hanyalah masyarakat kelas menengah, tapi caramu begitu indah.

Dia Bernama Bangga

Suatu ruh bernama Bangga berkata padaku ketika semangatku lungsek:

Munculkan kebanggaan itu. Tiap detiknya kau akan diliputi semangat dan kegembiraan. Jika lelah, munculkan itu lagi. Tak ada kata bosan pada suatu kebanggaan agung yang dicita-citakan. Ukuran kebanggan menetukan ukuran usaha. Keterpesonaan merupakan mata dari bangga, kemauan adalah tangannya, dan kerja keras adalah kakinya.

Minggu, 08 Juli 2018

Janji Maia

Ketika Maia tengah dihancurkan dari segala sisi. Ia hanya berjanji: ini bukan tentang mereka, ini tentang apa yang ada di dalam diriku. Martabat, kehendak, dan harga diriku.

Keresahan yang Sama

Aku dan kekasihku tengah berpelukan di sebuah gubuk kecil nan dingin dekat gunung pukul dua dini hari, masih malam dan pekat. Setelah kekasihku memegang tanganku dan menyenderkan semua luka hidupnya di pundakku. Saat itu, hanya akun instagram yang bisa membuktikan bahwa sesungguhnya kami dua makhluk berbeda. Yang di antara kami banyak terbentang jarak dan perbedaan. Juga hambatan-hambatan formal: kemiskinan, susahnya akses pendidikan, minimnya lowongan pekerjaan, demoralisasi agama, dan ternyata aku dan kekasihku disatukan oleh keresahan yang sama.

Versi Bayi

Seekor bayi lahir dalam beberapa versi. Sepasang suami-istri yang salah satunya mandul berdoa meminta salah satu dari versi bayi itu. Lahirlah sebuah versi bayi yang terlahir tiba-tiba langsung menjadi besar. Bayi besar itu langsung terdeteksi kepribaduannya di semua akun media sosial yang ngehitz di tahun 3000. Swafoto otomatis. Setiap pikiran menjadi status. Semua perasaan menjadi emoticon. Orangtua bayi besar itupun meminta sang bayi besar untuk memotret belantara dari matanya; keduanya tersesat bersama rumah dan seisinya.

Mengecilkan Hati Sedih

Yang aku kutuki adalah kesedihan rumit orang dewasa yang begitu susah dimengerti. Mereka hanya paham bahwa ketika sedih semua menjadi salah, perspektif menjadi gelap, hati menjadi sedemikian sakit, melahirkan dendam yang meloncat-loncat ke udara. Ruang tak lagi menjadi akrab. Waktu adalah musuh yang paling sekarat. Agar kelihatan membaik mereka berpura-pura tersenyum, berpura-pura sabar, berpura-pura menjadi okay, berpura-pura menjadi baik. Atau larut pada dasar yang lebih kelam lagi. Langgas, langgas, langgas ... Merupa mantra aprosidiak. Mereka yang sedih seharusnya memecah hatinya menjadi bagian-bagian kecil; yang kalaupun sakit, sakitnya akan kecil. Karena yang kecil, mudah untuk disembuhkan.

Orkestra Seekor Burung

Setiap pagi seekor burung telah menyiapkan pianonya di sebuah pohon tua di dekat kosku. Gitarnya kupinjam dan belum sempat kukembalikan. Burung itu berjanji akan mengajariku bermain musik. Tak kuragukan lagi, soal musik, dia adalah gurunya guru. Mahaguru. Nyanyian burung setiap pagi sebelum pukul enam, dan sore sebelum magrib adalah suatu orkestra yang sayang untuk dilewatkan. Dan ia sering mempersembahkn orkestranya sendirian, tanpa bantuan siapa-siapa. Kuperhatikan penontonnya sebenarnya banyak: pohon mangga yang batangnya cabang lima di rumah bapak yang suka mengomel sendiri--untunglah dia ditemani seorang istri yang begitu sabar dan setia; para genting-genting sang ahli menafsirkan hati langit--seorang pecinta yang selalu memahami langit tapi langit tak pernah memahaminya; dan para kabel, kerikil, segenap benda mati dan benda hidup. Maaf ini kusimplikasi saking terlalu banyaknya. Mereka ada yang mendengarkan, ada yang tidak. Sekarang saatnya orkestra. 05.54, enam menit sebelum orkestra. Tiba-tiba diam. Anak dan istri burung meminta burung bekerja. Di detik-detik itu biasanya burung akan semakin berisik, makin kencang memaikan tempo musiknya. Lalu berhenti, dan ia siap memulai hari kerjanya dengan semangat penuh. Aku yakin, hari-hari yang bahagia selalu dimulai dengan nyanyian. Suatu nyanyian diri, hanya tinggal mengatur intro, reff, dan outro-nya.

Sabtu, 07 Juli 2018

Daur Kepusingan

Virus bingungisme telah melanda kota dan desa. Tidur nyenyak di atas bantal dan tertular cepat saat manusia tidur. Gejalanya seperti pikiran kosong, pikiran terlalu berisik, kerja tidak fokus, mata menjarah kemana-mana, telinga tak berfungsi untuk mendengar lagi, hingga pada gejala intermediet seperti kepala nyeri hebat sampai pada masa gawat darurat: menjadi gila. Setiap wajah di tempat ini seluruhnya telah terkena virus itu.

Revolusi Umpatan

Kelamin punya kitab umpatan yang begitu tebal. Tebalnya sekitar sepuluh tank ditumpuk; ditambah 32480 kancing baju dijejerkan; ditambah empat ton pasir ketika dibariskan; ditambah sembilan tahun usia cahaya. Tebalnya lebih tebal dari jumlah manusia. Sebab satu manusia bisa mengumpat beberapa kali sehari, itu belum dikalikan umurnya dan dikalikan semua makhluk.

Begitupun Binatang yang menduduki hirarki kedua. Tebal kitabnya hanya dikurangi enam tahun cahaya dari kitab milik Kelamin.

Suatu hari, Kelamin dan Binatang bertemu merencanakan sesuatu.

"Ayo, kita memusnahkan diri kita saja; dengan begitu kita tak akan menjadi korban," usul Binatang.

"Kalau aku musnah, manusia tak bisa berkembang biak dan akan menjadi vegetarian."

"Sudahlah, mau tidak?! Aku sudah terlanjur tak punya harga diri. Untuk apa mempedulikan para pengumpat?!"

Tibalah dua kompi besar jamaah Kelamin dan Binatang. Mereka datang untuk melakukan hak demokrasi mereka yang dibungkam. Mereka datang bukan dalam bentuk Kelamin dan Binatang, tetapi dalam bentuk kata-kata jorok dan rendah. Kata-kata itu saling membawa poster yang juga berisi kata-kata. Dua kompi ini menyebut diri mereka: Barisan Patah Kata. Mereka ingin melakukan Revolusi Umpatan secepatnya.

"Bagaimana kalau kita pakai politik ala Pol Pot! Kita bunuh semua kata umpatan tanpa terkecuali," pekik kata bernama Kirik, yang otomatis jika itu dilaksanakan, ia tak luput dari sasaran penghabisan.

Asu pun menanggapi dengan gaya serupa senior pada junior, "menghancurkan kata atau menghancurkan materi?!" Asu sepertinya telah menguping obrolan Kelamin dan Binatang. Asu lumayan didengar suaranya karena profilnya begitu populer dan sering digunakan para pengumpat untuk mengumpat. Semua terdiam memikirkan.

Kompi Kelamin belum ada yang berani angkat bicara. Sejujurnya Binatang hanya bergantung pada Kelamin.

Mencari Imajinasi

Imajinasi ialah mainan antik yang kucari di sepanjang sudut rumah dan tak pernah ketemu. Padahal imajinasi itu ingin aku goreng dan kutambahi sambal yang banyak untuk meningkatkan nafsu makan. Kemudian kusajikan dalam otakku yang sering blingsatan jika tak kuikat dalam vas bunga, serupa mengikat leher sapi pada tiang kandang.

"Imajinasi... Imajinasi, kau di mana?" aku terus memanggilnya.

Sehari, sebulan, setahun, sepuluh tahun, dua puluh tahun, hingga aku mengenduskan otakku kemana-mana; ia serupa kepik coklat yang mengeluarkan bunyi bintang saat tanggal 15.

"Bagaimana bunyi bintang itu? Kau mengarang?" tanyaku sendiri.

Mengarang. Iya, imajinasi adalah mengarang. Mengarang sesukaku. Tak peduli otakku setuju atau tidak. Dia terlalu bodoh di depan imajinasi.

Panen Sedih

Pikiranku serupa pesawat. Bunyi menggelegar tapi tak terbang. Bermetamorfosa menjadi detik jam yang bergerak beraturan. Lalu aku menghitung mundur tentang kesedihan. Dari jarum panjang pada angka 12, kulihat sebongkah mayat hidup: hatinya sakit, pikirannya kacau, dan dia sangat kesepian--dan tak ingin mencari teman, tak ingin melakukan sesuatu apapun. Kiranya ia ada pada tahap kelu. Aku berputar menggerogoti usianya yang tinggal--sebentar, belum bisa kupastikan--selama dia bisa membersihkan hati itu. Oh, tidak. Dia mulai berontak. Dia tak lagi percaya dengan kebijaksnaan yang dia rumuskan sendiri. Ia ingin menggugatnya karena nyatanya kebijaksanaan tak bisa membuatnya bahagia dan bebas. Kebijaksanaan memasung daya kreatifnya menjadi sedemikian manis dan alim. Dia terus gelisah. Tak mengerti dengan apa yang dia gelisahkan. Aku terus berputar menerornya. Aku kembali lagi menjadi pesawat. Kali ini bisa terbang.

Senin, 30 April 2018

Yaudah Sih, Biasa Aja

Manusia memiliki bakat melebih-lebihkan. Di bidang apa pun. Dari sakitnya hingga senangnya; dari titik terendahnya hingga tertingginya; dari bencinya hingga cintanya; dari bangganya; dari posisinya; dari hati dan pikirannya;bahkan untuk orang lain yang dikenalinya. 

Ada perkataan seseorang yang mungkin sederhana, ditulis dalam konteks yang bercanda, dan setelah kurenungkan lagi kata-kata itu bagiku cukup dalam: yaudah sih, biasa aja.*

Untuk setiap hal apapun yang terjadi dan alami.

*(Semoga bisa dimaknasi pada tempatnya)

Senin, 26 Februari 2018

Pejuang Skripsi Ekonofisika

Ada dua tugas akhir yang tengah saya kerjakan. Pertama tugas akhir organisasi saya LPM Arena, saya dan teman-teman membuat satu majalah dengan tema warisan “berat” turun temurun. Kedua, tugas akhir fisika, skripsi. Keduanya saya kerjakan dengan semangat yang senangnya luar biasa. Beberapa kali meledak-ledak saking senangnya. Di tulisan ini saya hanya akan membahas di TA fisika saya, TA pertama lain waktu saja, hehe.
 
Pembimbing utama saya namanya Pak Rachmad Resmiyanto. Di salah satu blog beliau, beliau menyebut dirinya sebagai “guru kecil”—tapi bagi saya beliau guru besar saya; yang telah mengajari saya banyak hal. Saat jadi mahasiswa fisika, saya tak pernah diajar oleh beliau. Beliau dosen pindahan dari UAD, masuk UIN sekitar tahun 2016. Saya kenal beliau pertama saat datang ke seminar ekonofisika. Itulah pertama kali saya tertarik dengan diskursus yang beliau angkat. Ekonomi dan fisika (ekonofisika), tema yang begitu baru di tempurung kepala saya. Sudah menjadi mimpi terpendam saya mengangkat tema itu. Berharap beliau juga pembimbingnya. Dan Ya Allah, mimpi saya terwujud.

Sampai saya menulis ini, sudah beberapa kali korespondensi yang telah kami lakukan. Baik di WA atau pertemuan langsung. Isinya selalu penuh kegembiraan, humor, dan semangat “aneh”. Ya, aneh saja sih ngrasanya, hihi. “Pak Rachmad sudah seperti bapak saya sendiri”. Tiap kali bimbingan pas ketemuan langsung, saya yang aslinya tidak banyak bicara dan lemot mengingat (sering lupa) selalu nyaman tiap kali bimbingan sama beliau. Tak hanya kalem dan sabar dengan kelemotan fisika saya, tapi juga beliau selalu memberi contoh dan ilustrasi yang tepat bin dekat. Tak pernah lama membiarkan saya berada pada zona ketidaktahuan. 

Banyak hal yang tak akan saya lupakan ketika bimbingan dengan beliau. Salah satu yang berkesan, beliau pernah mengirimi saya file skripsi yang ditulis dengan ringkas oleh mahasiswi IPB tentang ekonofisika; judulnya “Solusi Numerik Persamaan Black-Scholes Kasus Opsi Jual Eropa dan Amerika dengan Fluktuasi Saham Berlintasan Brownian”. Di WA beliau menulis: “Skripsi ini ringkas mbak.” (21.44 WIB, 26 Januari 2018). Saya jawab: “Mantap. Oke pak, siap.” Lalu, beberapa jam kemudian dengan semangat 45 saya meringkas skripsi itu dari jam 12 malam sampai jam 7-an pagi. Tidak tidur dan saya tak merasa lelah. Jam 08.27 dengan meminjam HP teman saya yang kameranya jelas, saya kirim ke beliau. Lalu obrolannya seperti di gambar ini:
Ya Allah. Maafkeun saya Pak, maafkeun… :D :D :D

Pada tanggal 7 Februari 2018 pukul 00.57 WIB, Pak Rachmad membuat grup. Nama grupnya “Pejuang Skripsi”. Sampai hari ini ada 16 anggota, 15-nya mahasiswa/i yang beliau bimbing; semuanya dari Pendidikan Fisika, dan cuma saya sepertinya yang dari fisika murni. Di sana tempat share jadwal bimbingan, materi, dan diskusi. Awalnya grup bahasanya kaku, tapi saya kayak gak tahu diri jadi pengacau biar grup ramai. Di beberapa pesan, tak kasi tuh emot-emot gak jelas di WA yang banyak. Jadi gak serius-serius amat kan, hehe. Karena saya paham, Pak Rachmad bukan tipe dosen yang tak bisa diajak bercanda. Postingan fesbuk beliau saja selain berat juga penuh humor (ciye, stalking, ahaha). Beliau tipe dosen yang ingin dekat dengan mahasiswanya.

Pak Rachmad sering memberi masukan pada anak bimbingnya di grup tersebut. Entah itu bentuknya pdf, link, atau buku-buku. Kayak saya pernah disarankan ke perpustakaan FMIPA UGM, cari skripsi yang disarankan beliau. Besoknya saya langsung ke sana. Saking semangatnya, saya dikatakan “militan dari faksi radikal” (we terharu).
Beliau pun berpesan: “kalau ingin kaffah militansinya, disalin ditulis tangan. Atau dibaca agak keras, suaranya direkam.”
Yang menarik juga, beliau mengadakan pra presentasi sebelum pendadaran pada anak bimbingnya. Jarang kan ada dosbing yang mau kayak gini? Dan hari ini, Senin (26/02/2018) jadi hari pertama saya ikut presentasi pra pendadaran ini. 
Presentasinya Mas Ceceng dari Pendidikan Fisika. Tentang ilmu optik perspektinya Al Haitham. Banyak hal yang bisa saya petik terkait presentasi: 

Pertama, PPT hanya alat bantu, kemudi tetap ada pada presenter. Presentasi yang baik ketika dibawakan oleh orang yang bebeda, dia akan berbeda. Kalau sama, berarti semua materi sudah ada di slide itu. Meski kekurangannya kita kehilangan detail, kita bisa memanfaatkan notes di bawah kanvas kerja PPT utama untuk menambah detail. 

Kedua, tentang kesalahan dasar yang biasa dilakukan saat presentasi/membuat presentasi: presenter kadang jarang membuat kerangka peta pembahasan; pewarnaan, penempatan apa yang mau ditonjolkan itu penting; beri foto terhadap bukti-bukti penelitian agar meyakinkan; hindari bullet yang udah default di PPT; animasi transisi diperhatikan agar kesannya nyambung (kasus animasi kertas dilucek, atau kaca pecah dihindari, kalau konteks gak tepat malah membahayakan); untuk waktu, usia tiap slide tak harus sama; ada yang sesaat, ada yang lama; kalimat-kalimat diperhatikan.

Ketiga, ada banyak cara, tergantung imajinasi. Bapak lebih suka PPT blank, baru menulis dan membuat ilustrasi dari yang template blank itu. Software presentasi yang bagus untuk yang sifatnya besar ke kecil itu Prezi, otak-atiknya enak. Kalau PPT sifatnya hanya linier.

Usai presentasi Mas Ceceng, Pak Rachmad tanya ke saya: “Gimana Mbak Isma skripsinya?”. Ya Allah, tiba-tiba rasanya saya ingin menangis ditanya begitu sama bapak. Nyaris dua minggu skrispi saya telantarkan karena sibuk organisasi, kerja nranskip dari NGO, jadi notulen di konferensi pers dan diskusi, serta mengurus dan memikirkan hal-hal yang kembang tebu mabur kanginan—sampai imun saya down. Padahal saya punya target awal Mei selambat-lambatnya harus sudah munaqosah dan selesai. Saya tak ingin mengecewakan bapak dan orang tua, sungguh. 

Menjadi anak bimbing bapak bagi saya adalah kado terbesar selama saya kuliah di fisika. Saya tak mau memolor-molor ini lagi; semakin saya menelantarkan semakin saya terpukul oleh diri saya sendiri. Juga ibuk di rumah yang selalu berdoa pada saya: Is, sinau sing sregep ben ndang cepet lulus. Memasuki semester X ini, saya sebenarnya sudah jadi mahasiswa kadaluarsa, matelu (mahasiswa telat lulus) kalau istilah di film Catatan Akhir Kuliah. 

Bagi saya, menyelesaikan skripsi ini bukan sekedar melewati tahap yang semua mahasiswa tingkat akhir mengalaminya, tapi lebih dari itu… sumbangsih saya untuk ekonofisika. Saya sangat semangat, bergairan, dan tertantang untuk itu. Apalagi, saya sangat senaaannnggg dibimbing oleh dosen yang “gue banget”, baik secara integritas, sikap, teladan keagamaan, dan keilmuan; yang di Jogja dan Indonesia salah satu expert-nya di bidang ekonofisika. Di buku beliau berjudul Ilusi Ekonomi Modern beliau membuat madzab baru yang tak kalah bersanding dengan Madzab Austria atau Madzab Frankfurt di Jerman, namanya Moneter Madzab Jogja. 

Terima kasih Pa.

Isma ingin rampung.
Perpustakaan UIN Lantai 2.
Usai pra pendadaran Mas Ceceng.
Senin, 26 Februari 2018.

Rabu, 07 Februari 2018

Jembatan Pensil: Bangun Jembatan untuk Pendidikan Pedalaman!

Saat kuunduh film ini di Youtube, dari judulnya sudah sangat puitis: Jembatan Pensil. Langsung bisa kutebak film ini akan berbicara tentang pendidikan-- i'm right. Ada sebuah daerah di Sulawesi Tenggara, tepatnya di Kabupaten Muna, tepatnya lagi di Pantai Meleura (yang konon disebut Raja Ampat-nya Sulteng), berdirilah sebuah SD kecil di dekat pantai itu. Ini SD-nya:
SD tersebut hanya memiliki satu guru tua yang tak pernah digaji. Juga hanya ada satu kelas (emang bisa ya secara resmi mendirikan sekolah semacam itu? Agak di luar aturan ini sekolah). Muridnya pun kondisinya beragam. Ada yang normal dan difabel.

Terkisahlah lima orang sahabat: Ondeng, Inal (tunanetra), Yanti, Nia, dan Azka. Ondeng ini semenjak ditinggal ibunya jiwanya agak tergunjang, fisiknya dewasa, tapi pikirannya kurang. Dia hanya tinggal bersama ayahnya. Seorang nelayan miskin yang tiap malam mencari ikan di sekitar Meleura. Kadang ia dibantu Gading, pemuda yatim piatu yang sudah dianggap anaknya sendiri.
Setiap ingin pergi ke sekolah, Inal, Yanti, Nia, dan Azka harus melewati jembatan yang rapuh. Yang kayunya goyah, dan kalau tak hati-hati bisa terbawa arus sungai. Setiap mau pergi ke sekolah pula, Ondeng selalu menyambut empat sahabatnya ini di ujung jembatan. Suatu hari, jembatan itu pun menemui keruntuhannya. Inal, Yanti, Nia, dan Azka hanyut ke sungai; Ondeng mati-matian jebur ke sungai menyelamatkan sahabat mereka. Alhamdulillah selamat, dan mereka bisa mengikuti upacara pengibaran bendera di sekolah. Meski tubuh basah kuyup, tas dan buku-buku hanyut, dan sepatu rusak. Namun semangat mereka hidup.
Guru baru muda mereka (anak Pak Guru), lulusan sarjana dari Jakarta bernama Bu Aida mengajari mereka belajar pada alam. Kadang-kadang dibantu Gading yang falling love gitu sama Aida. Diajak belajar tak cuma di sekolah. Tapi juga di goa dan bukit. Aida meminta murid-muridnya menuliskan cita-cita mereka. Tapi, alat tulis tak ada. Ondeng lalu dengan kreatifnya (aneh juga ya, maksudku dengan latar belakang Ondeng yang seperti itu, ide kreatif malah datang dari Ondeng); Ondeng membagi pensil utuhnya jadi lima dan dibagi ke teman-temannya. Azka ingin jadi presiden. Yanti ingin jadi dokter. Nia ingin dapat beasiswa sekolah tinggi. Inal ingin membahagiakan ibu. Dan Ondeng ingin membangun jembatan buat empat temannya.

Duka terjadi, karena kuasa alam, ayah Ondeng meninggal, dan Ondeng hidup bersama Gading. Pasca meninggalnya sang ayah, Ondeng selalu trauma, hingga suatu hari dia kalap ke laut pakai cadik sambil memanggil-manggil bapaknya. Lalu..... dengan ending yang dipaksakan, Ondeng meninggal di laut saat mencari ayahnya. Sesuai cita-cita Ondeng, Gading, guru, dan empat sahabatnya membangun "Jembatan Pensil" untuk Ondeng.
Pelajaran: Kalau mau Ansos serius. Ironi sebenarnya banyak. Semisal, kenapa Meleura yang indah dan kaya tapi sekolahnya saja seperti itu? Masyarakat yang sebagian nelayan, kenapa banyak yang tak mampu? Kenapa malah sepertinya peternakan dan berdagang tenun lebih menjanjikan sebagai masyarakat kelas menengah? Jadi ingat apa yang dikatakan ayah Ondeng: nelayan itu hidup dan matinya di laut. Terdengar pasrah sih, tapi memang begitu juga kenyataannya. Di mana peran negara?

Lalu, kalau tujuan film ini mengajak kita untuk belajar pada alam... sudah berhasil menurutku. Meski fokus utamanya ada di kisah Ondeng dan cita-citanya mendirikan jembatan itu. Bisa bayangin gak sih, kalau itu terjadi ke kita? Di kota atau serupanya, kita mah enak. Sekolah tinggal sekolah, apa-apa ada. Tapi bagi mereka? Siapa yang mau peduli membangun jembatan bagi daerah-daerah dengan kasus yang sama seperti ini? Dan masihkah ada sekarang ini, guru yang mau ditempatin di pedalaman tanpa digaji seperti pak guru di film ini? Sungguh mulia jika ia ada.

Semakin hebat jadi semakin berat ya Yanti -- kata salah seorang lima sekawan.

Selasa, 06 Februari 2018

Not One Less & Secret fruit

Ingin menceritakan ulang apa yang kudapat pas nonton dua film ini:

Not One Less (1999)

 Tiba-tiba saja film ini ini ada di flash disk ku. Entah siapa yang menaruh, aku berterima kasih padanya. Ada seorang guru muda berumur 13 tahun, yang hanya lulusan SD. Namanya Wei. Dia datang dari keluarga miskin juga; rela mengajar untuk gaji 50 yuan yang dijanjikan walikota setempat. Dia mengajar di SD Shuiquan. Satu kelas, satu guru, puluhan anak-anak. Sebuah desa miskin di China menggantikan guru Gao yang pergi ke kota. Anak perempuan yang keras kepas, mesti merawat murid-murid yang sebagian nakal, sebagian rajin. Sangat kaku, tapi dia punya satu kekuatan besar: menjaga dan merawat anak-anak agar jangan sampai ada yang meninggalkan sekolah! Ternyata pekerjaan ini tidak mudah. Menjaga anak-anak ternyata lebih susah, daripada mengajari mereka. Wei menjalani pekerjaannya pertama-tama dengan kaku dan setengah hati. Tapi semua berubah ketika ketua kelas yang juga perempuan (anaknya rajin) mengkritik Wei tentang kapur-kapur yang tak dihargai. Kritik itu ditulis dalam sebuah diari dan dibaca di kelas. Berlanjut dengan muridnya yang satu-satu meninggalkan sekolah. Min Xinhong harus ke kota untuk menjadi atlet lari dan Zhang Huike ke kta pula karena keluarganya butuh uang. Orang tua Zhang sakit-sakitan dan punya banyak hutang. Jiwa merawat Wei tumbuh dengan kuatnya. Dia menyusul Zhang sampai ke kota--meskipun dirinya tak memiliki uang. Uang itu didapat dari kerjasama dengan murid-muridnya mengangkut batu. Seingatku, mengangkat 1000 batu diberi gaji 5 yuan (sungguh sangat kecil). Dan di kotalah, Wei banyak belajar kehidupan dan berarti untuk orang lain. Zhang, muridnya yang paling nakal di kelas, tak dinyana, murid itu juga yang membuat Wei tambah hidup dan mengubah SD Shuiquan. Sangat recomended buat yang suka wacana-wacana pendidikan.

Secret Fruit (2017)

Kuunduh random gara-gara penasaran sama film China dan bagaimana dunia mereka. Film-film remaja ala China. Sama-sama film China, tapi isu, tema, alur, dan wacana yang dibangun sangat beda. Film ini lebih cocok disebut film keluarga dan percintaan. Yang paling kusuka dari film ini setting. Pemilihan tempatnya keren dan enak di mata. Romantis juga. Apalagi sebuah dermaga kecil di pinggiran sungai. Wuih, asyik kungkum di sana kayak Yu Chizi, tokoh perempuan utama di film yang punya sifat gembira, lugu, konyol, dan mencintai sahabat masa kecilnya yang sangat dekat bernama Duon Bowen yang sok-sosk cool gitu, emang cool sih, haha. Tapi Duan Bowen malah suka sama gurunya Li Er (Little Ear). Tapi Li Er udah punya calon suami. Sampai Duan dan Chizi beda jurusan pas SMA. Duan di jurusan kemanusiaan (?) kalau di Indonesia IPS kali ya, emang sih, Duan pintar banget nulis sastra dan esai; Chizi sains. Konfliknya lebih ke konflik orang tua Duan dan Chizi. Ibu mereka jatuh cinta pada orang yang sama; tapi memang harus ada yang mesti mundur dan memulai ulang hidupnya yang baru. Di akhir cerita bisa ditebak, sejoli ini bersatu. Sweet as one. Pelajaran yang bisa kupetik: rahasia yang diceritakan membuat orang menjadi dekat satu sama lain. Dan satu hal yang paling susah dilakukan didunia ini, yakni memahami. Memahami diri orang lain. Sebab orang lain tak seperti apa tampaknya.

***
Entah kedoktrin darimana, aku pernah menganggap China itu negeri dingin yang egois. Yang warganya hanya peduli sama diri mereka sendiri. Kayaknya pas usai lihat video ada salah satu warganya yang celaka, tapi orang yang di sampingnya membiarkan. Setelah nonton dua film ini, tak seburuk itu juga.