Rabu, 30 November 2016

“Bangun Perjuangan dan Solidaritas untuk Kedaulatan Rakyat Indonesia”

Lahirnya MEA, Undang-Undang No.1/1967 tentang Penanaman Modal Asing, Inpres No. 1 tahun 2015 tentang Percepatan Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Inpres No. 4 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Pusat di Badan Koordinasi Penanaman Modal, PP 78 tahun 2015 tentang Pengupahan Buruh, kurikulum KKNI, menjadi sederet bukti bahwa pemerintah dininabobokan oleh kepentingan korporasi dan digembluk tahi dunia bernama pasar bebas. Modal produksi diprivatisasi oleh maling-maling besar lewat wajah-wajah kapitalisme yang beraneka ragam, yang hanya melambungkan kesejahteraan cukong dalam pertarungan modal nasional dan internasional. Buntutnya, penggusuran, perampasan, pemiskinan, penggadaian kekayaan negara berupa tanah, air, dan udara terjadi oleh tangan-tangan investor. Yang mana realita ini sangat merugikan dan menindas rakyat.
 
Titik-titik pembangunan infrastuktur, meliputi: bandar udara, pelabuhan, perluasan area perkebunan kelapa sawit, waduk, jalan tol, jalur kereta api, serta puluhan kawasan industri baru dan kawasan ekonomi khusus tak lain berdampak besar pada sektor agraria. Semua diarahkan pada industrialisasi yang menyebarkan penyakit ketergantungan. Lebih banyak mengkonsumsi daripada produksi. Ini tak lain dari dampak masterplan nawacita rezim Jokowi-JK dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015-2019. Kebijakan-kebijakan pembangunan di atas tak diimbangi  dengan kebijakan yang pro rakyat. Alih-alih mengimbangi, negara malah menggunakan kekuatan militer dan hukumnya untuk memuluskan jalan korporasi dan menindas rakyat kecil. Akibatnya, penggusuran lahan produktif petani yang terjadi di Kulon Progo, Sukamulya, Langkat, dan daerah lain menciptakan aksi solidaritas membela tanah dan kedaulatan mereka.

Ketika alat produksi dirampas dan tanah dikuasai korporasi, rakyat beralih kerja menjadi buruh atau menuju pekerjaan-pekerjaan lumpen di sektor informal. Di mana penghasilan mereka hanya cukup untuk hidup subsisten sehari. Semisal di sektor perburuhan Jogja, UMK buruh hanya naik 8,25%, jauh sesuai dari kebutuhan buruh hari ini. Juga nasib Pedagang Kaki Lima dan nelayan yang musti berhadapan dengan kebijakan-hukum yang mencekik jaring hidup mereka. Pendidikan yang idealnya mengkonstruk pemikiran kritis cum pro rakyat, ironisnya, semakin tinggi pendidikan pejabat malah semakin tercerabut dari akar rumput. Para intelek pembuat kebijakan, sifatnya hanya sebatas berputar pada kepentingan pribadi dan golongan,  tanpa ‘visi-misi’ yang jelas untuk rakyat. 

Ditambah lagi di Generasi Status seperti sekarang, semakin banyaknya orang yang menderita superhero syndrome. Di mana setiap orang ingin menjadi artis dan pahlawan yang ingin dipuja-puja, tapi minim konstribusinya untuk hajat rakyat. Hanya berkesah ketika kalah dan lelah. Semacam menjadi aktor-aktor fabel dan lintah yang memunggungi rakyat. Maka, ketika eksistensi individualis dijunjung tinggi, dan buruh serta petani tidak memiliki kawan lagi, maka yang bertanggung jawab besar akan hidup para petani, buruh serta kaum marjinal adalah pemuda. Pemuda merupakan subjek yang memiliki kesadaran bertindak, berjiwa sosial (volkgiest), dan mengubah keadaan. Ia membawa misi kesejahteraan, sebagai kerja kita bersama. Solidaritas pemuda adalah proses kesadaran dan sikap konsistennya membela rakyat. Untuk itu, kami para pemuda dari Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) Yogyakarta, menuntut:
  • Pendidikan murah untuk rakyat
  • Naikkan upah buruh
  • Cabut PP 78 Tahun 2015
  • Tolak investasi yang merugikan rakyat
  • Cabut UU PMA
  •  Wujudkan reforma agraria sejati
  • Hentikan represifitas aparat terhadap petani Sukamulya (Majalengka) dan Langkat (Sumatera)

Viva, diva, merdeka Rakyat!!!                                

Tugu Jogja, 28 November 2016