Kamis, 02 Juni 2016

Munaqosah Taqwan

Jika ada diksi yang lebih serius selain "ngoyo", mungkin adalah "ngoyot". Mungkin ini diksi yang bisa kugambarkan untuk kawanku di fisika ini, sebut saja namanya Taqwan. Lengkapnya Hari Taqwan Santoso,Fisika angkatan 2011, anak seorang petani di Ponorogo sana. Nama fesbuknya Narasoma P. Feynman karena aku berasumsi mungkin dia salah satu pengikut setia ajaran begawan fisika itu: Richard Feynman. Dan Narasoma tak lepas dari kecintaannya pada dunia wayang. Selera yang boleh dibilang hanya milik orang-orang tertentu.

Jam 1 siang, dia munaqosah. Munaqosah itu sejenis sidang skripsi. Aku berniat datang. Ini untuk pertama kalinya aku datang ke munaqosah orang. Aku datang telat, kira-kira 12 menit. Aku tak tahu judul skripsinya apa. Aku hanya mendengarkan. Otakku membentuk imajinasi yang abstrak, semacam titik koma tanya tak ada habisnya. Intinya dia sedang berbicara tentang konsep waktu dalam relativitas Einstein (dan entah di mana anomalinya). Memang, otakku yang tak terlalu cerdas fisikanya ini agak lemot menangkap.

Cerita yang aku ingat: andai ada orang yang kembali ke masa lalu dan membunuh kakeknya, hal itu tak akan terjadi, karena si pembunuh ada di zaman sekarang. 

Mungkin cerita di atas tak setepat yang Mas Taqwan katakan. Ada titik-titik waktu di mana waktu tak bisa ditentukan. Aku banyak mendengar kata-katanya menari di otakku yang tak kumengerti. Tentang: kemalaran; syarat kesederhanaan; akronal; masa lalu Q; daerah kegayutan masa depan; singularitas telanjang; hiperbolasitas global; dll. Aku hanya terpukau dengan kata-kata cerdas itu yang mungkin tak pernah kutemui di KBBI, kecuali di kamus khusus.

Mas Taqwan juga bilang gerak kita menentukan gerak panggung. Setiap titik dalam ruang waktu mempunya kerucutnya sendiri. Ada tiga penguji: Pak Cecil, Pak Sidiq, dan pembimbing Pak Rosyid dari UGM. Diskusinya sepertinya lumayan lancar. Aku membayangkan andai yang menguji Mas Taqwan itu Einstein, Schrodinger, dan Feynman langsung pasti bakal seru. Sidang selesai, kita makan-makan, dan foto bersama. Sembari mengucapkan selamat.

Angkatan 2013 yang datang di sidang ini hanya aku sama Paryanti. Memang, ada kedekatan sendiri kenapa mungkin kami berdua bela-belain datang. Salah satunya, tak lain karena kemurahan dia membagi ilmu fisika. Kalau kata Paryanti: "Wonge ora cetil ilmu."

Aku masih ingat ketika awal semester I dulu, aku sama Mifta jadi muridnya dia. Dia ngajari kami fisika dasar. Jujur, aku kadang lebih paham saat diterangin dia, daripada di kelas. Sejak saat itu Mas Taqwan jadi asisten kelompok belajar fisika untuk anak-anak angkatan di bawahnya. Kadang belajarnya di fakultas, di SC, atau di maskam. Dan dia ikhlas, tak minta apa-apa.

Di depan dia seolah fisika itu hidup dan bernyawa. Aku ingat dia pernah bilang gini saat melihat kondisi fisika di UIN: "Sepertinya di sini belum ada yang seserius aku belajar fisika." Dari rumah, dia sudah punya visi dan tujuan ingin mempelajari satu konsep. Dan dia ngejar ilmu itu sampai ke UGM, atau acara kuliah lain di Jogja, dan beberapa kali dia masuk ke kelasku kadang cuma untuk dengar dosen ceramah, meski namanya tak tercantum dalam absen. Saat mengaca pada diriku sendiri, aku jadi ingin menangis, aku merasa bodoooh sekali. Dia juga gunain uang kirimannya buat beli buku-bulu tebal fisika Bahasa Inggris karangan Tipler, Stephen Hawking, Scott Dodelson, Fock, James Munkres, Richard Tolman... Haha, gak tahu koleksinya sebenarnya.. Tapi dia pernah minjami aku novel semi-filsafat karya Remy Sylado.

Saat kosku masih di Balai Yasa, sering aku lihat dia dan onthel-nya seliweran habis ikut kuliah di UGM. Karena mungkin di tempat itulah banyak orang-orang yang bisa mengimbangi dia dalam kewacanaan fisika. Baik teman dan dosennya.

Aku sama dia lumayan akrab, karena kami sama-sama suka dengan filsafat dan sastra. Aku pernah dipinjaminya script novelnya: Raden Mandaraka, novel tentang pewayangan. Dia juga udah pernah nerbitin buku The Jadzab Boy, yang menceritakan tentang santri koplak dan fisika gitu katanya.

Tulisan ini tak bermaksud melebih-lebihkan dia. Biar kalau dia baca nggak ke-GR-an. Untuk di bidang sastra Mas Taqwan kayaknya harus belajar banyak, menurut standar yang kubuat sendiri, tulisan sastranya Mas Taqwan masih, hm, gimana ya?. Filsafatnya juga kadang aku baca coraknya masih klasik-konservatif, belum bisa move on dari yang moral-etis ala Kantian (peace mas!). Perlu dekonstruksi lebih, biar gak melulu positivis #mungkinefekfisika. I believe that you are smart and multytalent.. I hope more.. Haha.

Selamat ya. Udah munaqosah, sebentar lagi yudisium, terus wisuda. Semoga cita-cita mas untuk menjadi dosen yang "benar-bernar dosen" bukan dosen abal-abalan terwujud. Dan segera berjodoh sama Khudi-nya mas itu. Semoga mas jadi penerusnya Kuhn dan fisika UIN lebih banyak orang-orang seperti mas lagi.  

Stay ngoyo and ngoyot.