Kamis, 17 Maret 2016

Rekuim Angggara

Maret mulai menggigit usia masa. Mulai menyusun ulang langkah-langkah gontai untuk terus berjalan tegak. Tak ada yang salah dengan waktu, ruang, dan orang-orang. Hanya persepsi yang kini mengganggu. Aku tak paham apa-apa.

Adik memberi pesan, tadi jam empat sore kakak tak ada. Ruangan berobituari. Dan udara yang berjarak berkilo-kilo meter di sana mungkin sedang mengadakan misa rekuim. Aku mengenangnya lewat jabatan tangannya yang kuat saat dia menyalamiku dulu. Sangat erat hingga getar energinya masih kurasa hingga sekarang. Atau dari suara bass-nya yang berat. Dia memang punya bakat menyanyi.

Kakak pendiam. Dia tak banyak bicara. Namun dia cerdas, bertanggung jawab, dan acap membuat keluarga bangga. Menjadi panutan. Sejak kecil, kami anak-anak bapak memang tak jauh dari nelangsa. Mungkin kakak lebih menderita. Namun dia bisa mengubah hidupnya dengan tirakatnya. Sinau-sinau-sinau, nek ono waktu luang sinau, aku masih tak mengerti dengan ibrah diksi Jawa itu. Yang kakak pesankan dulu, menyebutnya sampai tiga kali. Sampai kini, aku masih bandel melakukannya.

Salam hormatku. Semoga alam raya mengenangmu.

Kamis, 17 Maret 2016

Kamis, 03 Maret 2016

Rumah Baca, Rumah Segala Macam Kebaikan


Rumah Baca Teratai berdiri di bekas pos ronda yang terbengkalai berukuran 1,5 x 2,5 m. Terletak tak jauh dari bantaran sungai yang setiap tahun meluap, rumah baca ini berdiri juga tak jauh dari pusat pemerintahan dan ekonomi Surakarta bagian urban dan marginal. Rumah baca ini dibangun dari semangat perubahan membangun daerah yang mendapatkan cap buruk. Sangkrah namanya.

Mendengar Sangkrah orang sudah dibuat merinding. Sangkrah, bagi warga Surakarta Jawa Tengah dikenal sebagai daerah yang rawan kejahatan. Daerah ini tercatat sebagai daerah dengan tingkat kriminal yang tinggi. Bahkan oleh Polsek Pasar Kliwon Surakarta diberi tanda merah. Kerap tindakan kejahatan seperti mabuk, penjambretan, perjudian, kenakalan remaja, hingga narkoba menjadi pemandangan sehari-hari.
 
Karena kondisi lingkungan yang dicap negatif, beberapa pemuda RW III Kampung Dadapsari, Kelurahan Sangkrah mulai tergerak melakukan perubahan sosial dengan membangun ruang publik bersama berupa rumah baca. Diki Bangun, salah satu pemuda dan pencetus berdirinya rumah baca Kampung Dadapsari menceritakan ia dan teman-temannya merasa gelisah karena minimnya tempat tongkrongan yang positif. 
 
Awalnya rapat karo konco-konco toh.Trus pengen nggawe tongkrogan.Trus nggawe rumah baca piye? Trus ijin karo Pak RW. Trus ijin uwis toh, tapi ra jalan,” (Awalnya rapat dengan teman-teman. Trus ingin membuat tempat nongkrong. Trus kalau membuat rumah baca bagaimana? Trus izin dengan Pak RW. Sudah izin, tapi tidak berjalan) cerita Diki saat ditemui di rumahnya di Kampung Dadapsari, Selasa (9/2).

Kondisi lingkungan Kampung Dadapsari, Sangkrah.
Tidak berjalannya rumah baca membuat Diki berpikir lagi, hingga akhirnya dirinya bertemu dengan Danny Setyawan yang menjadi perintis dan pembina rumah baca saat ini. Danny ingin sekali mewujudkan rumah baca, terlebih setelah mendengar background Sangkrah. Danny membangun rumah baca dan menggerakan masyarakat dengan cara sederhana. Dia bersprinsip, apapun meski itu sedikit tapi berjalan. Danny menghindari hal-hal yang rumit. 
 
“Saya meghindari hal-hal yang sifatnya susah. Saya menginginkan segala sesuatunya itu simpel aja, sederhana, tapi iso dilakoni(bisa dikerjakan─red).Rumah baca ini juga saya membuatnya sederhana,” kata Danny di basecamp Rumah Baca Teratai yang baru, letaknya tak jauh dari rumah baca yang lama.

Bermodal tekat, awal mula mempersiapkan rumah baca sendiri berangkat pada tanggal  15 Desember 2013, dan perlu persiapan satu bulan untuk mewujudkan. Lalu pada tanggal 17 Januari 2014 Rumah Baca Teratai Sangkrah diresmikan. Nama teratai terinspirasi dari filosofi bunga teratai yang ketika di air yang keruh dia mampu menjernihkan. Semacam itulah, dengan hadirnya rumah baca bisa menimbulkan energi kehidupan masyrakat Sangkrah ke hal-hal yang positif. Dengan membuat rumah baca, Danny ingin membuat pola-pola baru. “Karena menurut saya kampung itu kan semacam pola-pola. Jadi ketika mereka kejebak dengan pola-pola yang sudah ada, kemungkinan mereka akan lebih parah lagi kondisinya.”
 
Danny tidak lagi mempermasalahkan hal-hal yang sifatnya pengkotak-kotakkan, seperti dari bangsa mana, dari ras mana, garis apa, warna apa. Baginya, seluruh kebaikan itu terkumpul di rumah baca. “Saya prinsipnya itu dalam bentuk apapun kalau dalam kebaikan tidak pernah saya menolak. Karena bagi saya rumah baca itu adalah rumah dari segala kebaikan,” ujar pria berambut gimbal ini.
 
Danny menggunakan media sosial dan web rumahbacasangkrah.com sebagai tempat bertukar informasi dan inspirasi. Gerakan media sosial ini mengundang relawan-relawan dari dalam dan luar negeri. Para relawan itu secara inisiatif membantu operasional dan pengembangan rumah baca. 
 
Ilmu sesederhana apapun bagi Danny kalau itu disampaikan ia akan tumbuh dan berkembang. Pernah suatu ketika ada seorang relawan dari Banyuwangi yang datang ke rumah baca, dia membagikan ilmu tetang kesehatan kanker seviks dan kanker payudara. Relawan itu minta sosialisasinya malam itu juga karena pagi ia harus pulang. “Jadi hanya semalam selesai lalu dia pulang lagi ke Surabaya atau Madura. Jadi kadang itu bantuan itu tak harus materi,” cerita Danny.
 
Dari relawan pula sampai saat ini koleksi buku di Rumah Baca Teratai memiliki koleksi lebih dari 1500 buku. Ajaibnya rumah baca tidak pernah beli buku, karena buku-buku datang dari bantuan yang tak hanya dari dalam negeri, bahkan dari luar negeri.
 
Metode pendidikan                 

Rumah Baca Teratai memberikan kebebasan cara berpikir. Sistemnya mengarahkan anak-anak untuk lebih mengenali potensi. Pendidikan sekarang bagi Danny sangat membiak, tidak mengajarkan anak-anak untuk menemukan passion. Lalu dirinya bersama relawan rumah baca membuat sebuah pola bagaimana anak bisa menemukan jati dirinya. “Prinsipnya pendidikan itu mengantar anak-anak untuk lebih mengenali opo sih sing arep dadi potensiku, ini yang hilang di pendidikan Indonesia,” kata Danny.
 
Di pedidikan sekarang yang dipelajari banyak hal, yang dipelajari tidak fokus dengan apa yang ditekuni. Ketika lulus pun banyak yang masih bingung dengan apa yang harus dikerjakan. Pendidikan yang baik itu hanya mengantarkan anak untuk menemukan jatidirinya. 
 
Mudahnya Rumah Baca Teratai menyediakan ilmu bersama-sama, baik dari kegiatan bersama, pelatihan, dan buku-buku. Metode diserahkan ke anak-anak, sehingga mereka harus menemukan jati dirinya sendiri. Metode tersebut lebih menekankan kepada pembentukan karakter dan membangun pola pikir.
 
Di situ, anak-anak dilatih untuk bisa menjadi pengamat sosial sendiri. Dari awal anak-anak sudah diajari memperalatkan potensi yang ada. Anak-anak tidak hanya melakukan kegiatan sosial, tapi juga memiliki kantung sosisal dan mental sosial.
 
Terlebih, sekarang Rumah Baca Teratai dapat menyewa rumah untuk menjadi basecamp kegiatan-kegiatan. Danny menyediakan tempat baru rumah baca, selain untuk kegiatan juga untuk ruang pamer karya seni. Dalam hal ini juga Danny punya tujuan membuka jaringan seniman juga tempat memberikan pendidikan, agar bisa belajar sesuatu. Tujuan akhirnya adalah kemandirian, jadi mandiri secara pribadi dan mandiri secara kelompok.

Ada banyak kegiatan yang mewarnai rumah baca ini. Bahkan sampai banyaknya kerena sempitnya lahan hingga memakai bahu jalan. Beberapa di antaranya seperti, pelatihan membatik, pelatihan musik dan vokal, karawitan, tari, teater, pelatihan komputer, pelatihan bahasa Inggris, nonton film, dan banyak lainnya. Ada pula kegiatan sosial, seperti aksi sosial peduli bencana, bagi nasi bungkus, kidung surakartan, penyuluhan bahaya narkoba dan HIV/AIDS, seni lukis mural kampung, membersihkan sungai, dan kegiatan mengangkat potensi warga masyarakat.
 
Program kegiatan lain dari Rumah Baca Teratai juga ada yang namanya program parenting. Ini dilatarbelakangi karena ada orang tua yang salah kaprah ketika mendidik anak. Orang tua tidak bisa melakukan apa yang mereka ingini, pelampiasannyake anak-anak. “Nanti yang diajari nggak cuma anak, tapi juga orang tua diajari juga,” ucap Danny.
 
Rumah baca ke depan
 
Rumah Baca Teratai membuka usaha-usaha bagaimana caranya masyarakat bisa berdiri sendiri. Ke depan rumah baca akan membuka usaha-usaha yang berbasis keahlian, menggerakkan perekonomian masyarakat dengan memanfaatkan potensi masyarakat Sangkrah, seperti membuat tas, buku, dan lain-lain. 
 
Rumah Baca Teratai juga menyebarkan konsep pembangunan rumah baca ke beberapa tempat lain, khususnya di Surakarta. Dari rumah baca yang lain ini, mereka adalah kelompok-kelompok independen yang yang tidak memiliki kewajiban apapun ke Rumah Baca Teratai. Kemudin, ketika rumah baca-rumah baca independen ini berkembang, akan dijadikan sebuah jaringan belajar untuk saling berbagi. Dengan dasar setiap daerah memiliki karakter, potensi, dan kondisi lingkungan tempat memiliki karakter yang berbeda, sehingga bisa saling belajar. 
 
“Jadi nggak harus wujudnya sama plek dengan rumah baca (teratai).Mereka harus bisa menemukan potensi-potensi di tempat mereka.Kalau udah terjadi spesifik keahlian-keahlian itu nanti pada akhirnya mereka bisa saling belajar,” ujar Danny. Dari jaringan ini Danny berinisiatifmembentuk kegiatan-kegiatan bersama, seperti membuat festival seni kampung.
 
Salah satu rumah baca yang menjalin jaringan dengan Rumah Baca Teratai adalah Rumah Baca Edelweis yang didirikan oleh pemuda-pemuda Desa Tuban Kidul, Gondangrejo, Karanganyar. Rata-rata pemuda di Tuban Kidul sendiri banyak yang tamat SMA,  pengangguran, dan buruh, sementara  akses buku hanya ada di sekolah atau kampus. “Awalnya kami ada minat baca, tapi akses untuk mencari buku bacaan kita tidak punya,” kata Sidiq Bachtiar salah satu pendiri Rumah Baca Edelweis.
 
Sidiq berkenalan dengan Danny baru sekitar setengah tahun. Umur Rumah Baca Edelweis dan Rumah Baca Teratai tak jauh berbeda. Rumah baca Edelweis berdiri sejak bulan Februari 2014. “Kalau dilihat berdirinya hampir barengan, tapi belum saling kenal. Saya tahu rumah baca Sangkrah itu senang juga, ada tempat buat nimba ilmu. Aku berkunjung ke situ sharing-sharing pengalaman,” tutur Sidiq saat ditemui di Stadion Manahan Surakarta, Rabu (10/2).
 
Rumah Baca Edelweis sendiri tempatnya memanfaatkan ruang tamu rumah pribadi milik orang tua Sidiq. Rumah baca ini bernama Edelweis berawal karena awak pendirinya suka naik gunung. “Semua orang tahu juga tentang bunga edelwies. Filosofinya itu kita ngambil edelweis yang ada di gunung itu kepanasan, kedinginan, tapi tetap berbunga.Kita pengen juga,” ungkapnya.
 
Awalnya Rumah Baca Edelweis buku-bukunya berasal dari koleksi pribadi para pendirinya. “Ketika aku share ke medsos, aku kabarin akhirya banyak yang ngasih, banyak yang ngirim. Ada yang dari luar kota juga,” ujar Sidiq. Melihat berjalannya waktu, untuk meningkatkan baca di kampung sendiri menjadi tantangan yang sulit. Selain memprioritaskan membaca juga memprioritaskan kegiatan-kegiatan positif.
 
Perhatian pemerintah setempat terhadap rumah baca- rumah baca itu belum ada. Sampai saat ini Rumah Baca Teratai dan Edelweis menjalani kegiatannya berasal dari sumbangan tenaga dan kantong orang per-orangan. Kebanyakan dari luar Surakarta, nusantara, bahkan luar negeri. []

---
NB: Tulisan buat ulang tahun ibuk yang ke-51, Kamis, 3 Maret 2016... dan sampai usia matahari, sayangku belum usai... Terima kasih untuk Mas Danny, Mas Sidiq, Mas Diki, dan semua kawan-kawan di Sangkrah...