Minggu, 29 Juli 2018

Picisan (3)

Jumat (27/7/2018) aku menulis status di WA:

"Cowok yang patut diperjuangkan adalah cowok yang jaga dan nglindungi kamu, bukan cowok yang ngrusak kamu. Ngrusak itu ngajak kamu nglakuin hal-hal gak bener. Entah pegang-pegang, mesum, ngajak hal-hal yang gak baik. Atau ngrusak secara psikologis: diduain, sering buat banyak cewek baper, dll. Dia akan jaga kamu daru hal-hal kayak gitu." ~quote dari kawan sore tadi

Lalu beberapa balasan masuk. Ada yang sepakat, ada yang meminta beberapa diksinya direvisi karena terkesan patriarkal dan men-subordinasi perempuan. Misal 'nglindungi' harusnya diganti 'menghormati' dan diksi 'ngrusak' bolehlah diganti 'tidak bertanggung jawab'. Mikir dua kata ini butuh otak semiotis yang lumayan. Maklum, quote itu kata temanku yang tidak belajar feminisme atau teori njlimet lainnya. Yang nyata baginya adalah yang empiris. Tanpa teori membuat orang sangat murni dan jujur akan kenyataan-kenyataan.

Komentar lainnya lebih pada ejekan, 'kok tumben nyetatus cinta-cintaan kayak gini?' atau statusku itu di-screenshoot ke grup dan yang nge-share bilang 'tuh dengerin (mention nama kawan)'. Trus dijawab juga: 'Aku seperti membaca status orang yang lagi cimiwwww' ditambahi yang lain pula 'Lagi tetew tetew hahaha....' Aku cuma bisa balas 'Njir'.

Komentar-komentar di atas kutanggapi sambil tertawa saja. Namun yang paling berkesan adalah nasihat dari seorang kakak yang kemudian aku pikir matang-matang. Kalimatnya memberiku pencerahan, tentang hal realistis apa yang harusnya aku lakukan. 

Setelah kupikir panjang, (ibarat kawanku yang ngasi quote di atas) aku hanya serupa kelapa tua yang lama jatuhnya, kalau pun kelapa itu rela jatuh (setelah menunggu sekian lama); apakah dia nanti akan mau mengambilnya? (Analogi yang terlalu ngeri). Hanya spekulasi-spekulasi jawabannya. Pilihan tak hanya menyoal diri sendiri saja. Ada jerat kompleks entah itu kawan, orangtua, logika, realitas, dll yang salin berpilin.

Status ini hanya buah kebijaksanaan dari teman yang ingin kubagikan--tak hendak menyinggung siapa pun, karena di titik tertentu aku merasa sepakat. Semakin kusadari: selain keras kepala, kakiku tak mudah diikuti. Apalagi pikiran, juga hatiku. Dan aku suka akan kualitas yang menyebalkan ini. We are what we are not.

Dia yang pernah singgah beberapa bulan ini adalah manusia pintar, aku pikir juga baik. Hanya aku merasa ini salah posisi. Ya, dalam getirnya hidup, aku akan terus tumbuh tanpa dia. Tak peduli suasana apa pun. Dia  pun juga begitu. Namun kita akan terus bisa beretorika bersama, berbagi ilmu, bersahabat, juga bersaudara--tanpa emosi dan perasaan yang membuat keruh--kampret! Sok protagonis amat sih. Bebas, bebas aja kali, Is!

Pokoknya, selamat maju dan berkembang ya!

Senin, 23 Juli 2018

Picisan (2)

Kemarin pagi seusai bangun tidur banyak hal yang rasanya hilang satu per satu. Sebuah kehilangan yang tak bisa dijelaskan. Aku membuka buku. Membuka Ana Maria Shua yang memberiku inspirasi menulis tulisan-tulisan pendek. Lalu kulanjutkan membaca buku Pram yang kalau tidak salah sudah seminggu tak kupegang lagi.

Naas, sejujurnya aku tak bisa berkonsentrasi penuh. Hal menyedihkan jika suatu konsentrasi hilang dalam tiap melakukan sesuatu. Konsentrasi adalah kunci meditasi untuk mencapai apa yang quote bilang: Carpe Diem. Pikiran ini terlalu berisik mencapai derajat konsentrasi penuh itu. Berisiknya melebihi pasar kala H-1 lebaran.

Banyak hal yang kulewatkan sekali lagi, dan aku harus belajar mengikhlaskan dengan sedikit sakit yang tak berdarah. Semisal menanyakan: mengapa kerjaku sangat lama? (Tapi aku sepenuhnya percaya, aku orang yang paling bertanggung jawab melakukan sesuatu jika diamanahi, meski kerjaku sering tak tepatnya, percayalah aku selalu akan berjuang hingga selesai, selama apa pun itu); mengapa mudah sekali teralihkan oleh hal-hal yang tak penting? (Percayalah, aku juga manusia yang masih dikaruniai rasa patah hati semisal ketika terjebak pada kisah cinta rumit yang menjengkelkan, yang kalau kata mereka yang sudah makan asam garam soal hubungan, ini hanya masalah ecek-ecek saja. Tapi bagi orang yang baru pertama ini cintanya ditanggapi lalu terjebak di hubungan yang salah, aku harus membunuh hatiku perlahan, dan itu susah cum sakitnya minta ampun. Bisa-bisa aku serapuh Annelies saat mencintai Minke. Ah tenang, aku juga tak selemah itu, aku punya banyak nyawa kemandirian yang menjadi asetku sejak lahir); mengapa, mengapa, mengapa? Aku selalu bertanya dan tak berhenti berpikir.

Di subuh ini, aku bangun tidur dengan perasaan yang patah lagi. Aku terserang rindu berat yang sangat menyakitkan--padahal baru kemarin aku dan dia Whatsapp-an lumayan lama lagi. Membahas perjalanan, mengkritik dunia wisata, hingga kenangan dia yang begitu membekas saat rapat tahunan. Tak kusangka tafsirannya sejauh itu; orang paling mudah membiasakan banyak hal yang sejujurnya sangat berharga bagi orang lain. Dan baru kemarin juga aku curhat ke dia, jika aku stress, aku akan bersepeda serta menulis apa pun di buku. Lalu dia sangat perhatian bilang: Tapi Mbak Isma jangan minum ya, rokok juga jangan. Seberapa pun stressnya jadi jurnalis nanti (ditutup dengan emoticon oke dan tertawa). Aku terharu. Belum pernah rasanya aku diperhatikan sebegitu rupa. Aku kasi bintang pesan itu. Perhatian-perhatiannya menimbulkan ketergantungan yang dalam dan substil di hatiku. Sungguh, perhatian secara personal begitu candu yang lebih bahaya. Efek terbangnya lebih tinggi daripada sekedar mendapat nilai tinggi saat ulangan atau dipuji karena prestasi-prestasi yang sebenarnya sampah. Perhatian membuat orang nge-fly. Ini kali alasan kenapa ketika orang putus cinta jadi sedihnya setengah mati, karena efek nge-fly dihentikan.

Sebenarnya, aku dikejar rasa bersalahku sendiri pada hubungan yang salah ini. Aku sungguh tak ingin menyakiti orang lain; menyakiti kekasih sah dia. Aku punya batas yang sesakit apa pun itu harus kepegang kuat-kuat. Suatu pendirian yang susah dijelaskan dari sekedar hubungan. Dia sudah paham kalau aku ini sangat keras kepala. Dan pendirian adalah pendirian. Hubungan soal lain. Tapi aku juga sedih, sakit, dan sesak. Tulisan-tulisan semacam ini adalah caraku mengurai kerumitan itu. Otak kita sama-sama rumit bukan?

Kalau kondisiku terus begini, aku akan menulis picisan-picisan yang lain...

Jumat, 20 Juli 2018

Menyusun Kata

Dari kemarin mata rasanya tidak tidur, apalagi pikiran. Sibuk merangkai kerangka-kerangka kalimat mana yang tepat untuk menjadi bagian pembuka, inti, dan penutup. Ternyata tulisan berkasus tak semudah itu.

Menumpuk wacana. Menumpuk teori. Menumpuk premis. Jika susunannya tak baik, tak bisa menghadirkan cerita yang mengalir.

Keresahan personal lebih penting/menusuk/menyentuh/dan mudah daripada wacana dan teori yang muluk-muluk. Juga kenyataan lebih mudah daripada abstraksi dan absurditas.

Tapi yang paling penting adalah membuat jalannya dulu. Akan lama ini menjadi sesuatu yang menjadi jika jalannya belum ketemu. Mencari jalan ternyata juga tak semudah menulis angka dari satu hingga sepuluh atau hingga seratus.

Picisan (1)

Menyelam. Aku tak juga sampai menggapai dasar diri sendiri. Atau pikiran-pikiranku yang tak henti-hentinya menuju padamu. Sudah sangat pelan sembari kudengar lagu-lagu sepi angin dan dinginnya penantian yang usang. Dari orang yang sudah penuh hanya dengan dirinya sendiri.

Jika takut, aku mencoba merapal namamu. Sembahyang pada ingatan-ingatan yang menyenangkan. Semakin meresapinya, semakin abstrak. Seolah almari, meja, kursi, dan jam dinding tak ada lagi. Tak ada yang menyakitkan selain tercerabut dari kenyataan; yang lebih nyata dari mimpi dan khayalan.

Buku terserengkah, tikus lewat di kolong-kolong ingin mencuri makanan, detik jam yang semakin kaya putarannya, dan adakah pekerjaan yang lebih menyebalkan selain membiarkan tanggung jawab yang belum selesai? Kumohon bersahabatlah.

Rabu, 11 Juli 2018

Ritus Melupakan

Andai ritus melupakan semudah itu. Aku tak perlu melupakanmu hingga hatiku rasanya sesak begini. Tak perlu berpikir waktu berlalu begitu sangat lama. Juga tak perlu menyedihkan kemungkinan-kemungkinan negatif yang kureka-reka sendiri.

Andai ritus melupakan semudah itu. Aku tak perlu berkhayal kau akan menemaniku makan, menemaniku belajar, menemaniku membaca, menemaniku menangis; mendengarkan ceritaku, kesahku, sedihku, protesku, perbuatan-perbuatan konyol dan khilafku; sambil kusadari betapa ekspresifnya aku di depanmu. Aku belum pernah merasa seekspresif ini di depan orang lain, kecuali di depanmu, bersamamu.

Andai ritus melupakan semudah itu. Semudah mengingat semua yang kau bagikan padaku.

Kamu tahu apa satu doaku: jika aku gembok, kamu adalah satu-satunya kunci. Satu saja, satu yang dapat membukanya.

Jika tidak ... Aku akan berdoa: semoga ritus melupakan memang mudah. Semudah melepaskan nafas.

Selasa, 10 Juli 2018

Ambisi Jeni

Aku selalu berambisi untuk menjadi manusia cerdas. Aku tak akan membiarkan satu orang pun di kelas yang lebih cerdas dari aku. Guru sekalipun, secerdas apa pun dia aku akan berusaha melebihi dia.

Semua berawal saat aku dikatakan GOBLOK oleh "seseorang"--dalam kondisi yang aku rahasiakan. Satu kata itu semacam hujan deras yang membekukanku di tengah jalan. Terdiam. Terasing. Tak berhenti.

Hal yang paling aku benci adalah melihat orang lain belajar. Aku selalu merasa sakit hati ketika melihat orang lain belajar. Persetan dengan perasaan tersaingi, dia sudi menjalani proses buat cerdas itu yang aku tangisi.

Kunamai diriku sendiri dengan nama "jenius", panggil aku Jeni.

Senin, 09 Juli 2018

The Letter That He Never Reads

Dear...

I was feeling your girlfriend or woman that you love was die. You write much this story in your many song. From: Night and Day, Quiet Garden, The Cliff, No Wish, Sky in The Pond, Diamond Dust, etc. You built hut/cliff to her. You are so faithful to her and I am envy with that, she's so lucky having you. I imagine if I could be her. Maybe, as your song said: I could give better vibrations to you. But, I understand...... this "Meet Along The Way".

17 Nov 2017

Pikiran Menyadari Pikiran

Aku tersadar cara berpikirku meloncat-loncat. Aku tersadar pikiranku sedang tak sistematis. Aku tersadar antar pikiran satu dan pikiran lain tak logis. Aku tersadar antar pikiran ini tak terhubung. Aku tersadar pikiranku ini jelek. Aku tersadar menyimpulkan aku telah membuat karya yang serampanga. Aku tersadar aku mengganggap karya ini buruk. Aku tersadar lalu bertanya: apakah ini efek dari pikiranku? Aku tersadar aku tak bisa berbuat apa-apa untuk karya itu. Aku tersadar untuk mencari sebab dan jawaban. Aku tersadar aku terus berpikir mencarinya. Ya, sementara ini aku catat dulu.

Setelah beberapa menit. Aku meng-edit-nya. Ini salah satu jawabannya, tapi tidak sebabnya.


Simfoni Dvořák

Pertama kali kudengar simfoni Dvořák adalah saat kakiku kram setelah berjongkok selama satu jam di dalam kotak biru berukuran 16 x 35 nano. Simfoninya melompat ke dalam telingaku serupa kucing yang mengejar pasangannya saat lagi birahi. Dvořák tak berkata-kata, hanya simfoninya yang berkata. Semua energinya ada di simfoni itu. Aku lalu berubah menjadi sebuah biola dan hasrat-hasratku berubah menjadi sebuah piano. Kotak biru itu hanya menyisakan piano dan biola. Dvořák tak lagi terdengar. "Apa Dvořák menjebakku dengan romansanya itu?" pikir otakku yang menjelma tuts piano. Semakin aku berpikir, semakin piano itu mengeluarkan bunyi. 

Tuhan, aku tak mengerti partitur, apalagi memainkan piano. Namun aku menyukai bunyi Tuhan. 

Biola lalu menggesekkan dirinya sendiri. Berbunyi sedetik dan sangat indah.

Aku diam. Sekian jam. Tak terjadi apa-apa. Lalu perlahan menyusut dan aku menjadi manusia lagi. Dvořák datang lagi. Simfoninya berkisah tentang romansa yang terjadi antara kelas borjuis dan proletar.

Dvořák, aku hanyalah masyarakat kelas menengah, tapi caramu begitu indah.

Dia Bernama Bangga

Suatu ruh bernama Bangga berkata padaku ketika semangatku lungsek:

Munculkan kebanggaan itu. Tiap detiknya kau akan diliputi semangat dan kegembiraan. Jika lelah, munculkan itu lagi. Tak ada kata bosan pada suatu kebanggaan agung yang dicita-citakan. Ukuran kebanggan menetukan ukuran usaha. Keterpesonaan merupakan mata dari bangga, kemauan adalah tangannya, dan kerja keras adalah kakinya.

Minggu, 08 Juli 2018

Janji Maia

Ketika Maia tengah dihancurkan dari segala sisi. Ia hanya berjanji: ini bukan tentang mereka, ini tentang apa yang ada di dalam diriku. Martabat, kehendak, dan harga diriku.

Keresahan yang Sama

Aku dan kekasihku tengah berpelukan di sebuah gubuk kecil nan dingin dekat gunung pukul dua dini hari, masih malam dan pekat. Setelah kekasihku memegang tanganku dan menyenderkan semua luka hidupnya di pundakku. Saat itu, hanya akun instagram yang bisa membuktikan bahwa sesungguhnya kami dua makhluk berbeda. Yang di antara kami banyak terbentang jarak dan perbedaan. Juga hambatan-hambatan formal: kemiskinan, susahnya akses pendidikan, minimnya lowongan pekerjaan, demoralisasi agama, dan ternyata aku dan kekasihku disatukan oleh keresahan yang sama.

Versi Bayi

Seekor bayi lahir dalam beberapa versi. Sepasang suami-istri yang salah satunya mandul berdoa meminta salah satu dari versi bayi itu. Lahirlah sebuah versi bayi yang terlahir tiba-tiba langsung menjadi besar. Bayi besar itu langsung terdeteksi kepribaduannya di semua akun media sosial yang ngehitz di tahun 3000. Swafoto otomatis. Setiap pikiran menjadi status. Semua perasaan menjadi emoticon. Orangtua bayi besar itupun meminta sang bayi besar untuk memotret belantara dari matanya; keduanya tersesat bersama rumah dan seisinya.

Mengecilkan Hati Sedih

Yang aku kutuki adalah kesedihan rumit orang dewasa yang begitu susah dimengerti. Mereka hanya paham bahwa ketika sedih semua menjadi salah, perspektif menjadi gelap, hati menjadi sedemikian sakit, melahirkan dendam yang meloncat-loncat ke udara. Ruang tak lagi menjadi akrab. Waktu adalah musuh yang paling sekarat. Agar kelihatan membaik mereka berpura-pura tersenyum, berpura-pura sabar, berpura-pura menjadi okay, berpura-pura menjadi baik. Atau larut pada dasar yang lebih kelam lagi. Langgas, langgas, langgas ... Merupa mantra aprosidiak. Mereka yang sedih seharusnya memecah hatinya menjadi bagian-bagian kecil; yang kalaupun sakit, sakitnya akan kecil. Karena yang kecil, mudah untuk disembuhkan.

Orkestra Seekor Burung

Setiap pagi seekor burung telah menyiapkan pianonya di sebuah pohon tua di dekat kosku. Gitarnya kupinjam dan belum sempat kukembalikan. Burung itu berjanji akan mengajariku bermain musik. Tak kuragukan lagi, soal musik, dia adalah gurunya guru. Mahaguru. Nyanyian burung setiap pagi sebelum pukul enam, dan sore sebelum magrib adalah suatu orkestra yang sayang untuk dilewatkan. Dan ia sering mempersembahkn orkestranya sendirian, tanpa bantuan siapa-siapa. Kuperhatikan penontonnya sebenarnya banyak: pohon mangga yang batangnya cabang lima di rumah bapak yang suka mengomel sendiri--untunglah dia ditemani seorang istri yang begitu sabar dan setia; para genting-genting sang ahli menafsirkan hati langit--seorang pecinta yang selalu memahami langit tapi langit tak pernah memahaminya; dan para kabel, kerikil, segenap benda mati dan benda hidup. Maaf ini kusimplikasi saking terlalu banyaknya. Mereka ada yang mendengarkan, ada yang tidak. Sekarang saatnya orkestra. 05.54, enam menit sebelum orkestra. Tiba-tiba diam. Anak dan istri burung meminta burung bekerja. Di detik-detik itu biasanya burung akan semakin berisik, makin kencang memaikan tempo musiknya. Lalu berhenti, dan ia siap memulai hari kerjanya dengan semangat penuh. Aku yakin, hari-hari yang bahagia selalu dimulai dengan nyanyian. Suatu nyanyian diri, hanya tinggal mengatur intro, reff, dan outro-nya.

Sabtu, 07 Juli 2018

Daur Kepusingan

Virus bingungisme telah melanda kota dan desa. Tidur nyenyak di atas bantal dan tertular cepat saat manusia tidur. Gejalanya seperti pikiran kosong, pikiran terlalu berisik, kerja tidak fokus, mata menjarah kemana-mana, telinga tak berfungsi untuk mendengar lagi, hingga pada gejala intermediet seperti kepala nyeri hebat sampai pada masa gawat darurat: menjadi gila. Setiap wajah di tempat ini seluruhnya telah terkena virus itu.

Revolusi Umpatan

Kelamin punya kitab umpatan yang begitu tebal. Tebalnya sekitar sepuluh tank ditumpuk; ditambah 32480 kancing baju dijejerkan; ditambah empat ton pasir ketika dibariskan; ditambah sembilan tahun usia cahaya. Tebalnya lebih tebal dari jumlah manusia. Sebab satu manusia bisa mengumpat beberapa kali sehari, itu belum dikalikan umurnya dan dikalikan semua makhluk.

Begitupun Binatang yang menduduki hirarki kedua. Tebal kitabnya hanya dikurangi enam tahun cahaya dari kitab milik Kelamin.

Suatu hari, Kelamin dan Binatang bertemu merencanakan sesuatu.

"Ayo, kita memusnahkan diri kita saja; dengan begitu kita tak akan menjadi korban," usul Binatang.

"Kalau aku musnah, manusia tak bisa berkembang biak dan akan menjadi vegetarian."

"Sudahlah, mau tidak?! Aku sudah terlanjur tak punya harga diri. Untuk apa mempedulikan para pengumpat?!"

Tibalah dua kompi besar jamaah Kelamin dan Binatang. Mereka datang untuk melakukan hak demokrasi mereka yang dibungkam. Mereka datang bukan dalam bentuk Kelamin dan Binatang, tetapi dalam bentuk kata-kata jorok dan rendah. Kata-kata itu saling membawa poster yang juga berisi kata-kata. Dua kompi ini menyebut diri mereka: Barisan Patah Kata. Mereka ingin melakukan Revolusi Umpatan secepatnya.

"Bagaimana kalau kita pakai politik ala Pol Pot! Kita bunuh semua kata umpatan tanpa terkecuali," pekik kata bernama Kirik, yang otomatis jika itu dilaksanakan, ia tak luput dari sasaran penghabisan.

Asu pun menanggapi dengan gaya serupa senior pada junior, "menghancurkan kata atau menghancurkan materi?!" Asu sepertinya telah menguping obrolan Kelamin dan Binatang. Asu lumayan didengar suaranya karena profilnya begitu populer dan sering digunakan para pengumpat untuk mengumpat. Semua terdiam memikirkan.

Kompi Kelamin belum ada yang berani angkat bicara. Sejujurnya Binatang hanya bergantung pada Kelamin.

Mencari Imajinasi

Imajinasi ialah mainan antik yang kucari di sepanjang sudut rumah dan tak pernah ketemu. Padahal imajinasi itu ingin aku goreng dan kutambahi sambal yang banyak untuk meningkatkan nafsu makan. Kemudian kusajikan dalam otakku yang sering blingsatan jika tak kuikat dalam vas bunga, serupa mengikat leher sapi pada tiang kandang.

"Imajinasi... Imajinasi, kau di mana?" aku terus memanggilnya.

Sehari, sebulan, setahun, sepuluh tahun, dua puluh tahun, hingga aku mengenduskan otakku kemana-mana; ia serupa kepik coklat yang mengeluarkan bunyi bintang saat tanggal 15.

"Bagaimana bunyi bintang itu? Kau mengarang?" tanyaku sendiri.

Mengarang. Iya, imajinasi adalah mengarang. Mengarang sesukaku. Tak peduli otakku setuju atau tidak. Dia terlalu bodoh di depan imajinasi.

Panen Sedih

Pikiranku serupa pesawat. Bunyi menggelegar tapi tak terbang. Bermetamorfosa menjadi detik jam yang bergerak beraturan. Lalu aku menghitung mundur tentang kesedihan. Dari jarum panjang pada angka 12, kulihat sebongkah mayat hidup: hatinya sakit, pikirannya kacau, dan dia sangat kesepian--dan tak ingin mencari teman, tak ingin melakukan sesuatu apapun. Kiranya ia ada pada tahap kelu. Aku berputar menggerogoti usianya yang tinggal--sebentar, belum bisa kupastikan--selama dia bisa membersihkan hati itu. Oh, tidak. Dia mulai berontak. Dia tak lagi percaya dengan kebijaksnaan yang dia rumuskan sendiri. Ia ingin menggugatnya karena nyatanya kebijaksanaan tak bisa membuatnya bahagia dan bebas. Kebijaksanaan memasung daya kreatifnya menjadi sedemikian manis dan alim. Dia terus gelisah. Tak mengerti dengan apa yang dia gelisahkan. Aku terus berputar menerornya. Aku kembali lagi menjadi pesawat. Kali ini bisa terbang.