Jumat, 17 Juli 2015

Cerpen Dion

Kado lebaran saya tahun 2015 ini, cerpen "Ketupat Dion untuk Allah" bisa di cek di LPM Arena. Selamat Idul Fitri. Maaf kalau ada salah-salah. Kalian tak perlu minta maaf ya, karena kalian sudah saya maafkan :D Terima kasih.

Ketupat Dion untuk Allah

Jam warna hitam yang aku kenakan baterainya sudah habis sejak dari kemarin, tapi tetap saja kupakai untuk sekedar pantes-pantesan. Malam ini aku tak tahu jam berapa. Bintang tak seakurat matahari dalam mendektekan waktu, bulan sama saja karena garis edarnya selalu berubah. Tak mungkin rasanya menanyakan waktu pada batu. Aku terus berjalan santai di atas rel kereta api. Menikmati hembusan angin malam sendirian setelah ngopi seharian di warang kopi Ladang Waras. Mengalirkan hidup di hulu-hulu aktivitas bohemian.

Malam ini malam terawih terakhir. Sudah empat kali tak kuinjakkan kaki ke rumah. Ah, penjaga palang kereta api itu juga tak pernah pulang saat lebaran. Petugas trans Jogja meski lebaran juga masih beroperasi. Apa pentingnya juga aku pulang? Tak ada yang menantiku. Rumah hanya milik mereka yang kekanak-kanakan. Yang menyanyikan lagu-lagu rindu dan cinta keluarga. Rumah bukan benteng yang sempurna untuk pemberani sepertiku, sebab belantara adalah kesunyianku.

Aku serasa mendengar bunyi kereta. Rekaman dari rumah palang itu juga sudah menyuarakan peringatannya. Aku turun, duduk di pinggir rel. Arus kereta api yang mau menyaingi jet itu memental-mentalkan poni rambutku yang gondrong. Kereta itu tergesa-gesa layaknya hidup, tapi tujuannya membosankan di stasiun itu-itu saja. Aku bertanya: kereta, apakah kau juga punya hari raya?

Namaku ketupat, Jawanya kupat, artinya ngaku lepat, ngaku salah. Itulah setidaknya yang diinginkan Sunan Kalijaga yang menjadikanku simbol pertaubatan. Nenek moyangku berasal dari pesisir-pesisir tak bernama, di sanalah kelapa-kelapa tumbuh. Meski umurku hanya sebentar, aku ingin bercerita tentang rumah yang kuhuni sekarang. Cerita ini adalah cerita turun menurun dari 29 leluhurku yang sekarang kembali menjadi tanah.

30 tahun yang lalu, saat itu Tuan masih mahasiswa. Secara tak sengaja di jalan Tuan menolong salah seorang biarawati sepuh yang beragama Katolik dari sebuah kecelakaan. Sebagai balas terima kasih biarawati itu mengajak Tuan ke sebuah asrama di sudut kawasan Kota Lama, Semarang. Tuan yang hobi menguji imannya masuk ke dalam gereja kecil yang terletak di taman asrama itu. Di sana ia melihat seorang perempuan berwajah fresia yang menangis mendekam rosario di dadanya. Perempuan ini kunamai Nyonya. Tuan yang saat itu menjelma sebagai orang asing duduk di dekat Nyonya dan melakukan doa layaknya orang Katolik. Usai berdoa, Tuan dengan mudahnya menarik simpati dari Nyonya.

Malam itu juga, Tuan dan Nyonya menikmati malam yang terasa ultim di jalan Kota Lama berdua. Menikmati kupat sayur di warung Koh Moer bersama. Satu-satunya tempat yang menjual kupat sayur di dekat stasiun. Di warung itu, di sisa kesedihannya, Nyonya bercerita kemarin baru saja Gereja St. Yusuf melakukan misa rekuiem untuk ibunya yang meninggal. Salib digenggamnya erat. Kisah demi kisah berjalan. Demi waktu mereka jatuh cinta.

Nyonya begitu marahnya ketika mengetahui Tuan ternyata beragama Islam. Namun, Nyonya telah mengenal Tuan sebagimana ia mengenal bau keringatnya sendiri. Tuan aneh yang menemuinya seminggu sekali di taman gereja. Pria serenade yang tak pernah menggombalinya dan selalu menepati kata-katanya. Setiap salah satunya melakukan salah, mereka selalu makan kupat sayur berdua. Itu dilakukan seumur pernikahan mereka. Sejak saat itulah leluhur kami bercerita, kami para kupat menjadi bagian hidup Tuan dan Nyonya, hingga para keturunannya di kemudian hari. Kupat tak hanya simbol selebrasi lebaran.

Meski keluarga menentang, dengan semua bim salabim-nya Tuan dan Nyonya melakukan pernikahan juga –dengan tetap mempertahankan agama masing-masing. Mereka dikaruniai lima anak, dan yang paling berkesan bagi kami para ketupat adalah anak Tuan dan Nyonya yang keempat. Dion namanya, nama pemberian Nyonya yang hobi membaca mitologi Yunani. Dion sekarang kuliah di salah satu universitas di Yogyakarta.

Aku masih terjaga hingga dini hari ini. Kuhisap rokok dalam-dalam. Ruang kos 2×2 meter ini semakin menyesakkan saja.

“H-2 Lebaran, Kecenderungan Kejahatan Menigkat.” Begitu headline koran yang kubaca. Koran yang kuambil tanpa permisi di Ladang Waras, entah milik siapa.

“Proyek abadi Pantura, kenaikan harga, penimbunan sembako, pencurian kendaraan, penjarahan minimarket, penjabretan di pasar, kecelakaan dimana-mana, ckck. Ini bulan berkah apa brubah toh? Semakin kehilangan kualitas eksistensialis!” Aku menggeleng-gelengkan kepala.

Namaku ketupat. Dari janur, jatining nur. Tiap melihat kejahatan, memorinya yang murba selalu membawa Dion ke masa tragedi Mei 98 yang menimpa Dion sekeluarga dari Semarang yang pindah ke Jakarta, karena pekerjaan Tuan di sana. Saat itu umurnya enam tahun. Tuan yang tak tahu apa-apa menjadi korban. Dion melihat sendiri kekejian itu. Saat itu tangan dan kaki Dion diikat dan yang bisa dilakukan untuk mengurangi lukanya adalah dengan menangis. Melihat Tuan yang mati di depan matanya.

Tontonan traumatik tak berhenti di ayahnya, tapi juga bundanya yang lebih mudah disantap, karena isu SARA yang sangat sensitif. Ditambah Nyonya juga masih keturunan Tionghoa. Saat itu radio-radio menyiarkan sadisnya pemerkosaan yang dialami wanita-wanita keturunan Tionghoa. Nyonya saat itu baru saja melahirkan anak terakhirnya di bulan April. Di bulan Mei bencana itu terjadi pada Nyonya dan anak bungsu Nyonya. Ya, di bulan itu, sesuatu yang selalu menghadirkan mimpi buruk bagi Dion. Yang membuatnya tumbuh menjadi orang yang paranoid. Soliter hingga dewasa. Luka yang belum mengering hingga sekarang. Ayah, bunda, dan adik Dion pun tak tercatat dalam sejarah. Tak sejajar dengan empat mahasiswa Trisakti itu. Ah, ketupat cerdas sepertiku memang selalu tahu.

Koran yang kubaca tiba-tiba keluar mata, hidung, dan mulut. Mengajakku bicara. Aku pandang ia lama, mencoba meladeninya, sambil kukuncir rambut gondrongku.

“Nilai-nilai luhur sekarang tengah mengalami sakit encok dan bengek,” kata wajah dari koran itu memulai diskusi. Wajahnya adalah kedatangannya yang ke-34.

“Maksudmu?”

“Ia runtuh karena manusia gagal menemukan juntrungannya sendiri. Terjadinya dekadens yang membuat semangat hidup khalayak menjadi merosot. Baca kriminalitas itu. Baca tragedi 98 itu. Gott ist tot. Tuhan sudah mati Dion,” ucapnya, mengingatkanku dengan Zarathustra, Nietzsche. Aku terdiam sejenak. Diam tak bermakna netral.

“Tidak Pak Tua. Tuhan belum mati. Tuhan itu luas. Tuhan bagi Nietzsche adalah suatu model yang menjamin kepastian absolut pada manusia. Untuk meruntuhkan jaminan absolut itu, Nietzsche bilang Tuhan sudah mati. Jika pun secara transendental orang mengatakan Tuhan mati, manusia akan mencari Tuhan yang lain untuk menjamin dirinya. Tuhan rasio, tuhan kapitalisme, tuhan kebudayaan, tuhan sastra, tuhan filsafat, tuhan agama, tuhan kemajuan, dan tuhan-tuhan yang lain. Mungkin juga akan lahir agama baru, agama ilmu pengetahuan.”

“Darimana kau tahu?”

“Nietzsche dengan kredonya Gott ist tot, tidak bermaksud bilang Tuhan tidak ada. Dalam hipotesisnya itu ia bilang: Tuhan yang maha besar yang dulu dibiarkan hidup, beramai-ramai dikuburkan banyak orang. Pembawa berita tentang ketuhanan disebut orang gila. Ini semacam kematian eksistensialis. Seperti bianglala yang tak ada porosnya. Lalu oleh otak-otak tolol mengartikan itu apa adanya. Dan ingat Pak Tua, jangan kau sangkut-sangkutkan ini dengan ayah bundaku. Aku tidak suka!”

“Bukankah ada hubungannya dengan kejahatan yang mereka lakukan? Dan kejahatan di hampir tiap menuju lebaran menjadi gejala-gejalanya? Pun dengan isu-isu kejahatan di luar sana, di pemerintah atau kampusmu? Bukti bahwa Tuhan telah dibunuh diam-diam oleh mereka sendiri? Apa mereka masih bertuhan Dion?” Aku berpikir. Wajah Pak Tua menghilang pelan-pelan. Ia lenyap selalu dengan meninggalkan pertanyaan yang susah kujawab. Ayah dan Bunda, ADAKAH Allah di sana?

Namaku ketupat. Kiblat papat limo pancer. Rumah di Jakarta ini tiap lebaran selalu sepi. Rumah ini diwariskan kepada anak tertua Tuan yang sudah menikah lima tahun tapi belum dikaruniai anak. Aku dan leluhurku merindukan empat anak itu bersatu dalam rumah ini, tetapi sudah empat tahun ini Dion tak pernah pulang. Ketiga kakak Dion pun telah membebaskannya.

Dion istimewa bagi kami karena ia anak satu-satunya dari Tuan dan Nyonya yang bisa membuat ketupat. Melahirkan saudara-saudara kami yang lain. Dion juga yang bisa memasak pacar-pacar kami: opor, sayur lodeh, sampai kare ayam. Kami merindukan tangan terampilnya. Terlebih kami merindukan kesayangannya yang mencintai kami setulus hati seperti ia mencintai ayah dan bundanya. Merindukan sentuhan tulusnya yang menyadari bahwa kami ada dan kami sesungguhnya hidup dan mengabadi.

Gema takbir bergetaran. Sudah kuputuskan dari kemarin, hari ini aku tak mau pulang ke rumah. Kakak-kakak juga tak begitu mempedulikanku, kecuali kakakku ketiga yang banyak membantu keuanganku. Lagian, aku sudah muak dengan pertengkaran soal siapa yang berhak atas warisan rumah di Jakarta itu. Sudahlah. Kuambil ransel, aku punya tujuan jalan-jalan ke Kota Lama, kota kelahiranku, halamanku bermain pas balita. Mengunjungi bekas rumahku dulu. Juga mencari warung kupat sayur milik anak Koh Moer yang entah masih atau tidak. Mencari ketupat yang bisa kuberikan untuk Allah.

Aku menulis sesuatu untuk Pak Tua di meja. Berharap dia tak membuntutiku lagi.

Requiem aetarnam deo.” Aku mencoretnya, dan kuganti.Minal ‘Aidin wal Faizin.” 

Cepu, 16 Juli 2015

N. B: Requiem aetarnam deo = semoga Tuhan beristirahat dalam kedamaian abadi. Ucapan Nietzsche dalam bukunya “Die Frohliche Wissenschaft” tahun 1880.

*Penulis masih hidup dan sekarang bermimikri sebagai mahasiswa jurusan Fisika UIN Suka yang hendak naik ke semester V. Aktif bergiat di Lembah Sastra Gajah Wong bersama Bulan Berdarah dan Jabarantha. Hidup baginya tak seabot yang dipikirkan. Tak semenakutkan ramalan-ramalan.

 

Rabu, 15 Juli 2015

Reuni IV Cah-cah XII IPA 3, 14 Kisah Mereka Sekarang

Ketua kelas jaman SMA dulu, si Febi  ngasi pengumuman di grup SMA FB ada bukber bareng. Ndadak banget. Saya langsung SMS si Kadhung/koordinator untuk ikutan, karena ini acara tahunan yang saya tunggu juga. Silaturahmi yang masih ada :)

Hari ini (15/7) jam 4-an siap-siap, trus kumpul di tempatnya Kadhung. Di sana ada empat orang: Kadhung, Febi, Bram, dan Cicik. Mereka masih seperti dulu. Saling tukar kabar. Si Kadhung udah lulus dan saya yakin IP dia tinggi (dia pernah dapat IP 4,0). Sejak SMA, Kadhung salah satu teman saya yang giat banget merjuangin apa itu "nilai". Si Febi sama kayak saya, mau masuk semester V. Dia mantan mahasiswa UGM jurusan Teknik Nuklir kalau gak salah, dua tahun di UGM, dia pindah ke UPN Jogja ngambil Teknik Kimia. Gak tahu alasan pasti kenapa Febi pindah.

Si Febi jadi satu kampus dan satu jurusan sama si Bram. Si Bram normalnya sekarang udah semester VIII, saat ditanya "kapan lulus?", dia ketawa...Si Cicik juga belum lulus ini. Dia ngambil jurusan Pendidian Fisika di Semarang sana, sembari bisnis hijab.

Datang si Theriz, teman saya yang kuliah di UMS (Universitas Muhammadiyah Surakarta), dia ngambil kimia juga. kabar dari dia, Theriz sekarang sedang nunggu sidang skripsi. Trus datang si Pipit yang juga baru lulus dari Pendidian Kimia UNESA. Entahlah, angkatanku ini banyak banget yang ngambil Kimia.

Lainnya si Reza Afif yang masih jadi manusia misterius dan pendiam sejak dari dulu (serasa nabok muka sendiri). Datang juga Arisky, Puguh, Cintya, Suminto, dan Fanny.

Kita berangkat ke Baloenk di daerah Kapuan. Tempat makan khas gurami bakar. Di sana turut datang Heri dan Seno. Dari 42 orang, ana IPA 3, baru kumpul 15, yang lainnya? Hm, kemana ya? Setidaknya tahun ini ada kemajuan dari tahun lalu. Lebih ramai saya rasakan.

Kita kumpul dalam satu meja makan besar. Saling ngobrol berbagi cerita. Saya duduk di sampingnya Fanny. Temen saya yang cerdas ini udah lulus dari jurusan Metalurgi ITS dalam waktu VII semester. Dan yang keren lagi, si Fanny keterima di Universitas Manchester Inggris. Udah masuk, tapi katanya belum dapat beasiswanya. Dia ikut beasiswa LPDP, tapi cuma sampai interview. Ah, sayang. Saya tak tahu kelanjutannya seperti apa (Fan)? Hope yu there, Paniii.

Kabar juga, si Cintya juga udah lulus dari Pendidikan Matematika UNNES dan sekarang mengajar di sekolah Al Azhar Semarang. Si Heri kerja di sebuah perusahaan bonafid di Jakarta, kalau gak salah jadi programmer gitu. Si Reza yang sekolah di STSN itu juga saya dengar omongan singkatnya juga udah kerja. Si Arisky sekarang kerja di PT KAI, entah bagian apa (padahal dia jurusan perawat). Si Seno masih nglanjutin kuliahnya yang tinggal 2 semester di jurusan Arsitekstur (Kadhung dengan nakal mempelesetkannya jadi Arti Seks Tur). Dengan guyon-guyonan juga katanya si Puguh jadi ISIS-ISIS gitu. Saya gak ngerti maksudnya, Puguh membalas dengan tawa juga. Ya, Puguh teman saya, mahasiswa Pendidian Bahasa Inggris UNNES.

Setelah saling melepas kangen. Jam tujuhan kita pulang. Yang mengena itu saat saya ditegur sama Suminto karena pas ngobrol sama dia saya bicaranya terus pakai bahasa Indonesia. "Ngomongmu kudhu boso Indonesia po?". Aku ketawa, "ora-ora". Kenak sindrome akulturasi ini kayaknya. Di Jogja hampir setiap hari makainya Bahasa Indonesia, sekarang kebawa. Hanya sama orang-orang tertentu aja di Jogja ngomong Jawa, terutama di KEM. Saya sedih, kebahasaan Jawa saya kok luntur?

Si Sumin masih kocak kayak dulu. Orangnya gak pernah serius. Asumsi saya sejak SMA "dekat Suminto akan selalu merasa muda" masih berlaku. Dia aktivis Mapala, tapi dia gak ngaku. Katanya gambar naik gunungnya yang banyak dan saya lihat di FB hanya halusinasi saya. Denger-denger si Sumin juga mau lulus dari Teknik Sipil, Polines.

"Sum, Semarang itu kayak apa?" tanya saya.
"Podho koyok Cepu."
"Lek ning Jogja rame."
"Iyo, gak ono matine."
"Di Jogja gak pernah kehabisan teman."
(Saya mengucapan ini dengan bahagia).
"Kowe ning kampus aktif opo Sum?"
"Aku ra aktif opo-opo. Aku mahasiswa kupu-kupu, kuliah pulang-kuliah pulang."
"Mbujuki kowe."
"Iyo-yo. Lha kowe aktif opo Ma?"
"Aku ning lembaga pers mahasiswa, jenenge LPM Arena."
"Sing koyok opo iku?"
"Koyok wartawan ngono kuwi."
"Ma, carane nulis tulisan sing apik.i piye?"
"Ya banyak baca. Kalau mau tulisan bagus banyak baca."
Terjadi diam-diaman sebentar. Lalu saya bertanya lagi:
"Sum, kuliahmu lancar?"
"Sing diarani lancar koyok piye?"
"Kamu bisa menikmati kuliah kamu."
"Emm........................................."

---sepertinya ada yang error dalam percakapan ini---

Trus, cangkruk sebentar di tempatnya Kadhung (lebih tepatnya rumah suadaranya Kadhung). Di sana bercanda-canda. Saya ketawa dan khusuk dengar lelucon-lelucon mereka, umpatan-umpatan mereka, dan kisah-kisah mereka.

Satu yang saya rasakan: saat kamu berhasil kawan, itu akan menularkan semangat keberhasilan juga bagi yang lain.

Semoga tahun depan kita bisa kumpul-kupul lagi, reuni lagi. Dengan kisah-kisah yang selalu berubah dari kalian... Dengan kawan-kawan yang lebih lengkap.






Cepu, 15 Juli 2015
Is

Minggu, 12 Juli 2015

Di Halaman Kota

Menginjakkan kaki di kotaku, seperti menyerkah kenangan dalam sebuah jiwa.

Kota adalah kaset-kaset lama dan baru.
Yang merekam segala kebaikan dan keburukan.
Udaranya seperti makanan yang ingin kumakan diam-diam.

Aku pulang.
Membawa harum keringat.
Dan:
Sebuah cermin.
Sebutir padi.
Sekuku buku.
Sekoral jarum.

Sepercik api.
Setetes dew.

Cepu, 12 Juli 2015

Kamis, 09 Juli 2015

Rumah Abu-abu

Jika bahagia bisa diperlihatkan dari wajah, niscaya tawamu yang entah kapan itu akan bersatu dengan udara dan  bau rautmu. Bahagia hanya konstruksi otak kita, setelah ribuan kali mengalami esensial dan binal. Selamat berdingin ria di musim panas. Selamat berterang ria di tempat gelap.

#penghujung 12 malam

Minggu, 05 Juli 2015

Tiga Bunga

Anak itu terpekur kehilangan hari.
Semalam ia telah berimajinasi akan mengatakan sesuatu pada seseorang. Pergilah ia jam sebelas siang itu. Ia ingsutkan bunga yang tak tahu namanya, ditaruhkan di keranjang, lalu ia mulai menyeberangkan roda.
Di tepi jalan dekat pagar, ia mengambil bunga lagi. Ia memanjat pagar dan menyamun bunga warna kuning.
Sampailah ia di ujana dan memetik lagi bunga bougenvil warna orange.
Ia tata tiga varian kembang itu, berkeliling mencari tali, lalu diikatkannya menjadi satu.
Senyum meriakannya. Turunlah ia.
Tiba-tiba matanya sayu melihat teras yang sepi. Angin berbisik lekat di telinganya: sudah tutup.
Ia datangi pintu memastikan apa benar sudah tutup? Ternyata benar. Kepalanya tertunduk. Setengah dirinya tersisih. Ia berjalan pelan. Ia lepaskan tasnya di sebuah dudukan. Seperti ia lepaskan dukanya.
Dipanjatlah pohon tak terlalu tinggi di depannya itu. Mengembang analekta di kepala.
Matanya mengibaskan sedan.
Menyelesaikan sunyi yang belum usai.
Teduh. Sepi. Sendirian.

Jogja, 5 Juli 2015