Rabu, 01 Januari 2020

LPJ 2019: Tahun Paling Goyah Selama Saya Hidup di Kolong Jagat

Tahun 2018 lalu saya melewati malam tahun baru yang cukup mengerikan. Kos di daerah Maguwoharjo yang sepi, sendiri, sekeliling sawah, merasa sedih, frustrasi, dan untungnya saya telah membuat perjanjian-perjanjian dengan diri sendiri yang tidak muluk-muluk. Resolusi yang saya buat malam itu salah satunya lebih dekat dengan Tuhan. Masa 2018 ke 2019 adalah masa transisi di mana saya lulus kuliah dari jurusan S1 Fisika UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan gelar S.Si, tapi pekerjaan yang saya pilih lebih cocok bagi lulusan S. Kom atau S.Hum.
Kos Maguwoharjo pemandangan depan
Di tahun inilah saya berusaha memenuhi dan mencukupi kehidupan sendiri. Meski rasanya setiap bulan uang yang saya terima rata-rata defisit. Setahun ini tak ada pekerjaan tetap yang saya jalani, nyaris semua freelance dan tak ada jaminan gaji tetap tiap bulan. Sebab itu saya berganti-ganti tempat kerja hingga lima kali, pindah kos/tempat tinggal hingga enam kali, ganti provinsi hingga tiga kali, dan segenap kelabilan hidup masa Quarter Life Crisis. Fase intimacy vs isolation a la Erik Erikson ini saya gagal karena yang saya lakukan adalah menarik diri (isolasi). Fisik dan jiwa saya goyah, tapi rasa-rasanya saya selalu kuat.

Setidaknya ada tiga tonggak yang ingin saya ceritakan sepanjang 2019:

DI YOGYAKARTA

Usai menyudahi masa kerja di LPTI Pelataran Mataram bagian analisis isi medsos yang berada di Umbulharjo yang kantornya tak jauh dari UTY Kampus 3 (berjarak sekitar 4 km dari kos, saya tempuh sekitar 15-20 menit naik sepeda), saya memutuskan fokus pada cita-cita awal untuk bekerja di media. Di tempat ini saya sangat berterima kasih pada Mas Taufiq, Pak Joko, Mas Husen, Ainun, Rino, Udin, Ika, koki LPTI yang aku lupa namanya dari Gunungkidul, dan lain-lain. Terima kasih telah memberi kesempatan saya belajar di tempat ini, meski saya banyak tak bicaranya. Kadang rindu pula ngolah data yang jumlahnya sehari bisa sampai 5.000-an.

Usai dari LPTI, di awal 2019 saya pindah kos di Maguwoharjo. Kondisi sekeliling dan atmosfer dinamika tempatnya sangat jauh dengan kos yang berada di Jalan Bimasakti yang dekat dengan keramaian Kota Yogyakarta. Di sini masih sepi, depan kos yang saya lihat setiap hari adalah Gunung Merapi, sawah, pohon, petani, dan perumahan yang jarang. Secara alam tempat ini sungguh menarik, udara segar dan sinar matahari yang hangat menjadi asupan. Di kos yang baru dibangun ini juga Bapak pemilik kos sangat baik dan sering memberi saya petuah seputar kehidupan. Masakan beliau sangat enak dan anak-anak kos (yang baru tiga termasuk saya) sering diajak makan bersama.

Saya memilih kos di Maguwoharjo karena satu alasan, letaknya tak jauh dengan tempat kerja yang saya tuju Tirto.id cabang Yogyakarta. Di sana saya bekerja lepas menulis berita-berita non-liputan. Saya banyak berhubungan dengan Mbak Yantina Debora seputar isu-isu internasional. Dari sini jadi kenal banyak media luar pula termasuk Amerika, Eropa, Asia, Timur Tengah, dan Australia. Mbak Yantina memberi saya daftar media yang boleh dijadikan rujukan dan yang tidak. Mengenalkan saya dengan sistem kecerendungan media dari yang kanan, kiri, dan tengah lewat Media Bias Fact Checking (MBFC). Di sini jujur saya pembelajar yang lambat, kesulitan utama adalah bahasa inggris dengan struktur kompleks sehingga masih sering minta bantuan Google Translate.

Saya cukup berusaha keras buat bisa bahasa inggris, bahkan saya mencoba dengan menulis di blog dan status menggunakan bahasa inggris—meski mungkin secara tata bahasa masih banyak salahnya. Saya tak malu mengakui yang mungkin bagi orang yang paham grammar tulisan itu dicemooh, tak masalah bagi saya dan menganggap ini adalah proses belajar. Bahasa inggris bagi saya sendiri adalah momok. Saya telat mempelajari bahasa dunia itu ketika masuk SMP, SD saya yang rasanya serba kurang tak mengajari itu. Saya masih ingat ini pelajaran yang paling saya takuti dan nilai saya sering jelek—kayaknya pernah nilai paling rendah sekelas. Saya masih ingat pas disuruh maju/menjawab pertanyaan dan saya nggak bisa jawab. Rasanya malu sekali. Sekarang kemampuan bahasa inggris saya jauh lebih baik lewat belajar tak putus-putus yang saya lakukan.

Kembali ke Tirto, lagi-lagi saya orang yang tak banyak bicara di tempat kerja dan sering diam. Saya sendiri sering merasa kaku berkomunikasi dengan orang lain. Di Tirto Jogja saat saya pernah ngantor di sana rata-rata orangnya ekstrovert, khas media yang komunikasinya bagus. Kalau mendengar Mbak Yula, Mbak Maya, Mbak Dita, Mbak Dipna, Mbak Yantina, dan lain-lain bercerita di kantor, ramai sekali, haha. Cerita mereka juga seru-seru, dari soal keluarga, novel, film, K-pop, hingga “ngrasani” hasil tulisan para penulis A, B, C, etc.

Makasih juga buat Mas Agung DH tentang prinsip-prinsip ke-Tirto-an, Mas Windu Jusuf yang awal-awal ngajari milih sumber berita, Mas Iswara N. Raditya, Mas Ibnu, siapa lagi ya? O ya, Ayun periset foto juga Anggit yang dulu magang dari UKSW, mereka sering jadi teman ngobrol. Saya sendiri sangat berterima kasih atas semua kehidupan yang saya dapat di sini. Masa yang tak terlupakan.
Berikutnya saya pindah kerja sebagai asisten penulis, intelektual, dan wartawan senior Pak Nasir Tamara. Dia pendiri majalah Kapital (majalah ekonomi yang beraliran sosial demokrasi), Global TV, Koran Republika, petinggi ICMI, Dirut Independen PT Sritex Solo, ketua Persatuan Penulis Indonesia (SATUPENA), Dewan Pembina Yayasan Biennale Jogja, dan seabrek prestasi lainnya dari pendidikan (pernah mengenyam pendidikan di Harvard, Oxford, Sorbonne), pernah mengajar di SOAS London, dosen pascasarjana UGM, senior advisor UNDP, kolektor lukisan, dan menulis buku terkenal berjudul Revolusi Iran. Buku ini hasil riset dan investigasi mendalam terkait Iran, beliau mewawancarai Ayatullah Khomeini di pesawat, suatu privilege yang sangat susah dilakukan wartawan lain pada masanya. 

Saya belum begitu paham mengapa bisa sampai bekerja dengan laki-laki yang disapa Romo Nasir tersebut. Sosok yang menurut saya sangat perfeksionis-sistematis-metodis. Kalau saya runut mungkin berawal dari kecintaan terhadap seni dan media. Waktu itu Romo Nasir membuka lowongan di grup WA sebagai asisten yang membantu pekerjaan-pekerjaan beliau dalam riset dan menulis, korespondensi, komunikasi, mengurus perpustakaan, dan lain-lain. Saya yang waktu itu ingin mencari pekerjaan tetap memasukkan CV dan saya dipanggil di kediaman beliau di Jogja, nDalem Natan Royale Heritage Kotagede. Bangunan yang rasa-rasanya mirip rumah raja, dengan arsitektur dan barang koleksi antik yang sangat khas. Di sana ada museum kecilnya juga yang menyimpan barang-barang kuno dalam negeri dan luar negeri. 

Di sana saya mengenal istri beliau Ibu Ita Budhi, Komisaris Independen salah satu bank besar bernama Maybank yang popular di kota-kota besar. Lulusan ekonomi UI dan aktivis Mapala. Beliau bagi saya sendiri adalah sosok ibu yang baik. Bu Ita mengajari saya manner di meja makan kelas atas, memberi saya cerita soal petualangannya di negara-negara luar negeri dari Himalaya, Machu Picchu, Greenwald di Swiss, sungai terbelah di Amazon, aktivitas filantropi yang dilakukannya, mengajak saya ke mal ngurus paspor dan lihat barang-barang bermerk, hingga mengingatkan saya salat. 

Kendala saya bekerja di tempat Romo Nasir di Kotagede lebih pada transportasi. Waktu itu saya masih kos di Maguwoharjo. Jarak antara kos dan nDalem Natan sekitar 12 km yang saya tempuh antara 45 menit hingga satu jam naik sepeda mini warna pink bernama Nuun Junior. Saya masuk pukul 8 pagi dan berangkat sekitar pukul tujuh pagi melewati ringroad, jembatan, dan sekian rambu lalu lintas. Itu saya lakukan sebulan lebih yang jika saya total keseluruhan jaraknya sepertinya bisa melebihi jarak Jakarta ke Surabaya. Di titik paling rendah ketika perlahan sepeda saya mungkin merasa tak kuat lagi dibanding fisik saya. Olahan sepeda terasa berat, jalannya begitu pelan, gerimis yang berkepanjangan, perut lapar, dan hari menuju malam. Saat itu rasa-rasanya saya teriak-teriak sendiri di jalan dan mengatakan ulang mimpi-mimpi besar saya ke depan. Lalu nangis sendiri ketika hal-hal sedihlah yang muncul, setidaknya saat itu air mata membuat saya lebih baik. Sesampainya kos saya selalu tidur kecapaian. Esoknya kerja di ruang tengah dan perpus Natan. Kegiatan saya menulis press release beberapa acara Satupena, berkorespondensi dengan kolega Romo Nasir lewat e-mail, hingga melabeli buku-buku.
Natan Bookstore
Sekitar satu bulan saya bekerja dengan Romo Nasir, akhirnya Romo mendirikan Toko Buku Natan dan dibantu oleh penulis novel Sunyi di Dada Sumirah (Mojok, 2018), perempuan dari Salatiga dan anak ideologis NH Dini bernama Artie Ahmad. Artie juga yang membantu saya mencari kos yang dekat dengan Kotagede yang letak kosnya di belakang semacam rumah galeri seni. Kami satu kos beda kamar. Artielah yang mengurus, mengembangkan, dan memajukan Toko Buku Natan hingga sekarang. Dia juga redaktur web Satupena.id. Selain karya cerpen-cerpennya yang sering muncul di media massa, tulisan-tulisan, foto, dan karya desainnya muncul pula di web serta medsos Satupena. Artie adalah tipe orang yang pandai mengungkapkan apa yang dipikirkan, pandai berbicara untuk orang lain, tak ribet, dan suka langsung turun berkarya langsung daripada berteori. Kerjanya nyata.
Sayangnya, saya memang tak benar-benar merasa mapan, nyaman, dan tenang selama bekerja di Kotagede. Banyak gejolak dalam diri saya dari berbagai sisi yang coba saya represi sebegitu rupa. Padahal kerjanya enak, tempat indah, Romo Nasir dan Bu Ita juga baik dan ramah. Tak tahu, tapi jiwa saya rasanya tak di sana, tanda-tandanya bisa terlihat kerja yang saya lakukan khususnya untuk urusan melabeli buku keteteran dan tak maksimal. Itu pengalaman pertama saya melabeli buku dan hasilnya tak tersistem dengan baik. Saya sangat sedih dan merasa bersalah.

Hingga pada suatu hari saya membaca story IG Perdana Putri (Pepe) jika ada sebuah koperasi riset yang berbasis di Jakarta bernama Prakerti Collective Intelligence mengadakan open call pelatihan riset. Membaca materi-materi yang diberikan dan melihat orang yang mengisi materi semangat saya langsung meledak-ledak, ya, tiga di antaranya adalah penulis aktif Indoprogress, yang waktu itu menjadi satu-satunya situs kebanggaan dan favorit saya di Indonesia; yang beberapa bulan sebelum mendaftar open call rutin saya baca hampir setiap hari. Tekad saya cuma satu: “saya harus mendaftar itu dan lolos!”.

Syarat untuk mendaftar di antaranya: CV, tulisan tentang ulasan jurnal/buku, surat motivasi, dan surat rekomendasi. Saya lalu mengulas buku tentang kuli dari tesis Pak Danial Hidayatullah di UGM berjudul Exploitation of Plantation Labor in 19th Century America and Indonesia: A Comparative Analysis Between Southern’s Slave System and East Soematra’s Coolie System in 19th Century. Untuk surat rekomendasi, dengan hormat saya memintanya pada (pastor) Romo Benny Hari Juliawan yang juga dosen di Universitas Sanata Dharma lulusan Oxford University jurusan Development Studies dengan riset yang digeluti salah duanya seputar buruh migran dan sektor informal. Saya juga mengirim e-mail pada Mas Muhtar Habibi yang tengah kuliah S3 di SOAS, University of London dengan fokus kajian seputar pekerja, kapitalisme pinggiran, neoliberalisme—yang bagi saya dia seorang Marxist kaffah dengan analisis-analisis kelas yang tajam. Mereka berdua adalah panutan saya menjalani hidup, membangun kapasitas intelektual, dan menghidupkan integritas. Rasanya saya senaaang sekali ketika mendapat dua surat rekomendasi tersebut, bahkan saya berpikir kalau nanti saya tak lolos di Prakerti tak masalah, dua surat rekomendasi beserta isinya itu sendiri sudah sangat begitu berharga dan kado indah buat saya.

Keberuntungan ternyata berpihak pada saya, sore itu bersama Afin di tempat makan Soto Bathok di dekat Candi Sambisari saya dapat pengumuman “lolos Prakerti dan mendapat beasiswa pelatihan”. Saya tak berhenti-hentinya bersyukur. Itu berarti Jakarta telah dekat.

DI JAKARTA

Diterima pelatihan riset di Prakerti dan masih terikat kerja dengan Romo Nasir ternyata membuat diri saya serba salah. Kalau saya pikir-pikir kedatangan saya ke Jakarta memang sangat nekat karena waktu itu saya tak punya tabungan yang memadai untuk bertahan di tempat metropolitan mantan ibukota tersebut. Namun lagi-lagi Romo Nasir dan Bu Ita sangat baik pada saya. Mereka mengizinkan saya tinggal di rumah pribadi mereka di Cipete Utara yang seolah seperti sudah ada yang mengatur letak pelatihan (kantor) Prakerti tak jauh dari rumah Bu Ita. Hanya berjalan kaki saja sekitar 500 meter.

Rumah Bu Ita sangat estetik, alami, dan antik. Interior dan properti yang ada di dalam rumah dikonsep dengan indah khas seni-seni dari budaya Indonesia. Ada pula kolam renang yang di sampingnya ada tanaman-tanaman perdu dan rimbunan bunga kertas yang sangat teduh. Di samping kolam renang ada rumah Joglo yang semuanya terbuat dari kayu jati tempat buku-buku (perpustakaan) Romo Nasir berada. Di dalamnya banyak lemari-lemari besar penuh dengan buku berbagai genre. Tempat ini bisa dibilang mirip surga. Saya menempati kamar tamu yang di dalamnya juga terdapat perpustakaan memanjang besar berisi buku-buku berbahasa Inggris milik Bu Ita, ruang ber-AC, kamar mandi yang menurut saya mewah, dengan perabotan-perabotan yang memanjakan tamu khas Amerika. Saya bilang khas Amerika sebab di buku Bobos in Paradise karya David Brooks, bagi kaum beradab di Amerika ruang tidur untuk tamu akan dibuat seindah mungkin dibanding ruang lainnya untuk menggambarkan kepribadian (juga kekayaan) pemilik rumah. Sehingga orang yang menginap di dalamnya merasa kagum, nyaman, dan tertarik. Di rumah ini juga saya makan enak dan bergizi, ada bibi juga yang membantu kebutuhan. Saya membantu Romo Nasir mendata buku di Joglo sambil mengikuti Prakerti.

Namun, pendataan itu hanya sampai 2 entah 3 lemari saja seingat saya. Lagi-lagi hidup enak dan punya akses relasi orang-orang penting di Jakarta tak menjamin saya bernafas dengan tenang. Saya sangat tak enak merepotkan dan hidup saya yang ‘ngenger’ membuat saya merasa tak nyaman. Kemrungsung. Rasanya meski di rumah reyot pun tak masalah asal itu punya sendiri. Setelah sekitar seminggu saya tinggal di rumah Bu Ita, saya memberanikan diri untuk menyewa kos sendiri di daerah Pejaten, dekat dengan Kantor Republika. Bu Ita dan Romo Nasir mengizinkan, bahkan saking baiknya Bu Ita membawai saya selimut, gantungan baju, sajadah, dan lain-lainnya untuk ngisi kos. 
Nisa teman saya di LPM Arena yang tengah bekerja di Jawa Pos (sekarang dia di CNBC) mengabari saya tentang kos murah di Pejaten tersebut yang sebulan hanya 425 ribu kamar mandi dalam. Luas kos tersebut memang tak besar, tapi lebih dari cukup untuk sekadar tidur dan yang paling penting para tetangga kos sangat baik-baik, lucu-lucu, sering masak bareng—meski lagi-lagi saya lebih banyak isolasi daripada gaul.
Kos Pejaten
Jakarta memang sangat berbeda dengan tempat tinggal saya di Cepu atau tempat kuliah saya di Jogja. Di sini hawanya seperti dikejar-kejar, apa-apa harus cepat, udara bikin sesak, panas di kos pas siang juga membuat pengap paru-paru dan pikiran, untung tak terjebak macet karena saya sering naik Trans Jakarta, sungguh kota ini begitu dinamis. 
Latihan masak di kos milik Pak Endi
Berikutnya saya akan cerita tentang Prakerti yang sejarahnya tak lepas dari koperasi riset yang telah ada sebelumnya bernama Purusha. Anggotanya bisa dibilang orang-orang yang par excellence di bidang mereka masing-masing. Pertama kali saya menginjakkan kaki di Prakerti, saya berkenalan dengan sesama peserta yang ikut pelatihan.Secara keseluruhan literati ada Moh.Alfarizqy, Ika Raudini, Sosiawan Permadi, Rassela Malinda, Atolah Renanda Yafi (Ofek), Fiqh Vredian Aulia, Anggar Shandy, Muhammad Nur Alam Tejo, Khalid Syaifullah, Sutami, Kezia Alaia, dan saya sendiri. Anggota lainnya yaitu ada Mas Yosie Polimpung, Mbak Cecil Mariani, Mbak Priska Luvita, Mas Iqra Anugrah, Mas Geger Riyanto, Mbak Aini Wilinsen Prawiranegara, Mas Dipa Raditya, Mbak Ayas (Larasati Oetomo), Mas Indra Pramana, Mas Azka, Mbak Natasha, Billy, Mbak Eka Fatma, Mbak Anggraeni Widhiasih, Mas Ndaru, Mas Imam Ardhianto, dan lain-lain (bisa cek web resmi Prakerti, sekali lagi mereka kumpulan orang-orang dengan pikiran keren nan progresif). 
Prakerti
Di sini saya belajar terkait jurnal dan dunianya. Dari anatomi jurnal, manajemen koperasi, kurasi literatur, literature parsing, penulisan jurnal ilmiah, hingga software riset macam Mendeley dan Maxqda. Benar-benar gig otak di sini, kalau tak tahan mikir dan baca jurnal internasional yang berat bakal mental, burn out. Prakerti memberi saya banyak pelajaran baik bekerja secara individu atau pun kolektif. Namun di sini tak lepas dari konflik internal secara organisasi pula yang kalau diceritakan panjang. Singkatnya ada yang memutuskan untuk lanjut, ada pula yang tidak. Setelah ngalami semacam guncangan dan diskusi yang banyak, saya memutuskan berhenti. Walau dari jauh saya masih membantu yang saya bisa, karena melihat Prakerti bisa maju juga adalah doa saya.
Maaf blur, ini satu-satunya foto Abel yang saya punnya
Di masa-masa ketidakjelasan usai pelatihan Prakerti di Jakarta kondisi keuangan saya benar-benar hancur. Untung banyak teman baik yang memberi pinjaman buat terus makan. Lalu saya menjajal peruntungan jadi guru privat. Saya punya tiga murid: kakak beradik bernama Abel dan Afif yang tinggal di Kalibata City (mereka Youtuber cilik dengan akun Abel Afif), dan anak laki-laki umur 5 tahunan penyuka mobil bernama Abe yang tinggal di Depok. Mereka anak-anak yang cantik, ganteng, lucu, dan memberi saya pelajaran mendidik anak sama sekali tak mudah. Saya benar-benar kesulitan ketika mengajari Afif dan Abe membaca di waktu mereka hanya ingin bermain. Polahnya sangat banyak dan harus berani tegas ketika mereka justru melawan. Sungguh anak kota sangat berbeda dengan anak desa dari segi keberanian dan kepercayaan diri. Untuk Abe sendiri ayahnya ingin Abe masuk SD Swasta yang sistemnya lebih baik daripada negeri, tapi kemampuan Abe dalam membaca belum mumpuni sehingga dikejar untuk bisa membaca secepatnya. Hampir setiap hari ke rumah Abe naik KRL dari Stasiun Pasar Minggu ke Stasiun Depok. Perjalanan keseluruhan sekitar 45 menit. Berbeda dengan Abel-Afif yang saya cukup datang seminggu sekali.
Abe yang pintar debat agar tak belajar
Di Jakarta saya beberapa kali mengalami titik kritis dan rasanya begitu down. Makin ke sini sadar pula, saya tak berbakat mengajar anak kecil karena saya kurang lentur, cerewet, dan ceria khas guru TK. Saya sebaliknya di masa-masa itu makin pendiam, kaku, dan sedih. Pernah suatu hari ada satu murid yang tak semangat dengan model mengajar saya yang kayaknya monoton. Kepala anak itu selalu diletakkan di meja dan wajahnya cemberut. Saya ajak interaksi tak nyambung dan saya stress sendiri, padahal di samping dia ada ibu kandungnya yang tengah menjaga. Di samping itu, saya juga tak pandai basa basi dengan orangtua murid. Meski bayaran menjadi guru privat ini lumayan (saya mematok 50 ribu per jam), saya hanya kuat menjadi guru privat selama sekitar sebulan. Uang hasil jadi guru pun habis untuk kos, makan, plasebo ke tempat rekreasi ruang publik Jakarta, dan transportasi kesana-kesini.
Antri naik puncak Monas
Puncak kesepian saya terjadi pada Idul Fitri 2019. Pada malam takbiran saya memutuskan pergi ke Kota Tua membawa tas berisi sajadah dan mukena untuk solat ied di Masjid Istiqlal Jakarta bareng Pak Presiden dan para menteri. Di malam takbiran itu saya banyak merenung di pinggiran area Kota Tua, pikiran saya random, hingga saya tidur yang tak benar-benar tidur di bangku jalanan di Kota Tua saat kondisi mulai sepi. Hingga selesai solat ied saya pergi ke Stasiun Universitas Indonesia, ternyata masih ada tempat yang bisa dikunjungi pada hari raya yaitu di rumah kontrakan Mbak Ayu dan Mas Juju alumni LPM Arena 2010. Rumahnya tak begitu jauh dari UI dan hari itu masih bisa makan opor, es segar, serta jajan-jajan khas lebaran. Hingga sekitar pukul tiga sore saya balik dan berjalan-jalan mengitari UI hingga magrib. UI adalah sekolah impian saya dulu yang gagal saya capai. Waktu itu universitas memang sepi karena hari raya. Saya hanya duduk lumayan lama di taman Fakultas Hukum dekat patung tokoh hukum yang tak saya ingat namanya.  Saat itu sendirian dan rasanya tenang. Saya pikir, saya masih mencintai UI.

Beberapa hari setelah lebaran, 20-an lebih surat lamaran yang saya kirim untuk jadi wartawan di Jakarta jarang ada panggilan. Pernah satu kali ada panggilan tes, tapi saya tak lolos. Entahlah kenapa, mungkin pengalaman kerja masih minim. Hidup dengan ketidakpastian membuat saya semakin sesak sampai depresi menjalani hidup. Rasanya kehilangan arah dan sikap mengisolasi diri yang saya lakukan semakin membuat parah.

Suatu hari teman masa SMP saya bernama Ika Artika Sari memberi saya pilihan untuk bekerja di Semarang. Di tempat media dirinya bekerja, Inibaru.id, sebuah web untuk generasi millennial. Mengulas tentang kuliner, wisata, budaya pop, hits, dan hal yang dirasa “unik” lainnya. Di sana ada loker reporter freelance. Saya menerimanya dan Tuhan membawa saya ke Semarang.

DI SEMARANG
 
Geografi Semarang yang menarik.
Pertama kali saya datang ke Semarang pada hari Selasa, 6 Agustus 2019 waktu pagi. Saya tinggal beberapa hari di kos Ika di daerah Sekaran UNNES. Kemudian Ika mencarikan saya kos yang dekat dengan kosnya dan di sana lumayan murah. Jarak antara Sekaran dan kantor Inibaru lumayan juga. Kos di sana pun bagi orang yang tak punya kendaraan macam saya jauh dari pusat kota. Padahal spot liputan banyak di kota. Untuk menghemat biaya transportasi dan lain-lain, akhirnya dengan bantuan Ika saya pindah kos di Rumah Makan Kos Make Pakno yang berada di belakang Masjid Nurul Ilmi Sukorejo, Sampangan (selisih dua bangunan). 

Di Inibaru saya bertemu dengan Mas Galih, Mbak Zum, Mbak Ike, Zulping, Ian, Icha, Mbak Ida, dan dulu ada anak-anak magang juga. Di sini saya masih belajar banyak bagaimana menulis dengan gaya yang berbeda jauh dari langgam asli bahasa saya yang bisa dibilang terlalu ilmiah. Sebab kata Mas Galih, membuat tulisan sederhana itu sama sulitnya dengan menulis berat. 
Sampai hampir 5 bulan saya berada di Semarang hingga sekarang, saya masih mempelajari daerah yang terkenal dengan sebutan Kota Atlas ini. Setiap sudut gang dan jalan jika bisa saya datangi dengan kaki akan saya datangi. Hal itu memberi saya pandangan menarik bagaimana melihat suatu kota dan masyarakat seperti halnya yang dilakukan Silampukau dengan musiknya seputar Surabaya.
 
Hidup saya di sini memang belum bisa dikatakan sejahtera. Namun setidaknya banyak hal yang bisa saya syukuri. Hal yang tak pernah saya lupakan di bulan pertama tinggal di Semarang adalah dapat rejeki ikut Kelas Prie GS (penulis dan budayawan Semarang) di kediaman beliau di Jalan Candi Kalasan Selatan daerah Manyaran. Waktu itu pesertanya hanya tiga (untuk ikut kelas membayar 2,5 juta, saya diberi kemudahan biaya/gratis dengan mengirim syarat tulisan singkat tertentu) dan saya mendapat gagasan-gagasan menarik terkait hidup dari sana. Pak Prie saat itu baiiik sekali pada saya. Kebaikan dan pesan yang tak akan saya lupakan seumur hidup. Terima kasih Bapak.
Kelas Prie GS
EPILOG

Demikian Laporan Pertanggungjawaban Hidup saya selama setahun. Tanggal 10 Juni 2019 lalu di Kebun Raya Bogor saya pernah marah-marah sama Tuhan. Saya menganggap permainan Dia sama sekali tidak lucu. Tapi ya, nikmati sajalah, terima kasih Tuhan. Thanks too to all my wonderful folks.

Saya tutup dengan ucapan alhamdulillahirobbilalamin dan lagu Beach House berjudul New Year. Kalau boleh mengumpat, ini memang tahun terbangsat dalam hidup. Ini akan jadi evaluasi untuk membuat rencana yang lebih stabil. Semoga di tahun 2020 dan kedepannya lebih sejahtera secara ekonomi dan bisa bangun rumah sendiri. Ini saja resolusi saya yang singkat, tak banyak, tapi berat mewujudkannya.

PESAN

“Selalu memberi, tangan di atas selalu lebih baik daripada tangan di bawah. Memberi apa saja tak harus materi. Juga di tingkat mana saja tak harus menunggu sukses. Senyum sama orang pun juga sudah memberi, kayak filosofi Cina tentang pernafasan. Ketika kita menghembuskan nafas, kita juga akan menarik nafas. Kalau yang dihembuskan baik kita juga akan menari hal-hal yang baik.” Bu Ita Budhi.

Semarang, 31 Desember 2019 – 1 Januari 2020
Isma Swastiningrum