Beberapa tahun sebelum Perang Dunia II, industri gula menjadi industri penting negara ini. Sabuk kehidupan yang menjadi landasan perekonomian Hindia Belanda. Pada tahun 1928, sektor ini menyumbang tiga perempat ekspor Pulau Jawa dan menyumbang lebih dari seperempat pendapatan pemerintah Belanda. Pada saat itu, ada 178 pabrik gula beroperasi di dalam perkebunan Jawa, memanen sekitar 200 ribu hektar tebu dan memproduksi hampir 3 juta ton gula, hampir dari setengah yang diekspor. Jawa kemudian menjadi eksportir terbesar kedua di dunia, setelah Kuba.
Hari ini, pabrik-pabrik gula di Jawa hanya menyediakan sekitar dua per tiga permintaan domestik berkaitan dengan gula. Jumlah produksi dan perolehannya per hektar jatuh kurang dari setengah pada akhir 30an. Sejak 1996, ekspor berhenti dan gula malah diimpor. Pada 1967, kerugian yang ditimbulkan lebih dari Rp 5 miliar dan pada 1968, gula masih dipertahankan, tetapi hanya mampu memerintahkan tenaga kerja wajib dari desa untuk pengoperasian pabrik.
Setelah Undang-Undang Agraria tahun 1870, pemerintah secara bertahap menarik diri dari industri untuk membantu model swasta Belanda. Penanaman paksa tanaman komersial dengan sewa wajib atas tanah petani oleh perusahaan. Perusahaan juga memperoleh hak untuk melakukan kerja wajib dari para petani.
Meskipun pada tahun 1870 hanya terdapat sedikit sekali 'lahan terlantar' yang bisa disewa dengan sewa jangka panjang dari pemerintah, dan undang-undang pemindahtanganan tanah yang ketat melarang penjualan tanah kepada orang non-Indonesia, perusahaan-perusahaan tersebut, dengan bantuan pemerintah, berhasil memperoleh cukup tanah untuk ditanami budidaya tebu dengan sistem sewa yang rumit.
Kepala desa merupakan orang yang bertanggungjawab memastikan penyediaan tanah bagi perusahaan. Juga meyakinkan tidak ada petani rumah tangga yang dirampas seluruh tanahnya sekaligus. Untuk melindungi peredaran makanan bagi masyarakat, pemerintah membatasi jumlah tanah yang bisa digunakan untuk penanaman tebu mencapai maksimum seperlima dari jumlah tanah setiap desa, tetapi ketika pasar dunia untuk gula tengah menguntungkan, peraturan ini seringkali dilanggar.
Petani kecil tidak lagi membutuhkan tanaman tebu itu sendiri untuk tanahnya dan menyerahkan hasil panennya kepada pemerintah.
Namun dia masih bisa menyerahkan bagian dari lahan padinya ke beberapa musim pada penyewa, yang ditentukan oleh perusahaan. Dia masih bisa bekerja dua kali seminggu pada siang hari untuk pemeliharaan pabrik dan kerja-kerja perkebunan, empat malam dalam seminggu dihabiskan di lokasi pabrik atau di lahan gula untuk tugas jaga malam.
Bahkan ketika kerja paksa dihapuskan, sewa wajib lahan sawah untuk penanaman tebu terus berlanjut.
Antara tahun 1830-1870 (periode Sistem Budaya), produksi gula berkembang secara tetap dari produksi tahunan 40.500 ton menjadi sekitar 405.000 ton. Pertumbuhan ini bermula karena area dan produktivitas meningkat. Penambahan juga terjadi begitu cepat pada tahun 1895 menjadi 1.458.000 ton, dengan bantuan mesin dan penanaman yang insentif. Meskipun kemudian membutuhkan investasi modal yang besar, hal ini difasilitasi oleh fakta bahwa merosotnya harga gula pada tahun 1880 memaksa perusahaan swasta kecil untuk menjual pada perusahaan yang lebih besar, seperti HVA, NHM, dan CMV (yang memiliki sumber daya yang lebih). Perusahaan-perusahaan ini bertanggungjawab pada terciptanya jaringan irigasi, kereta api, dan stasiun percobaan yang berkontribusi terhadap keberlanjutan industri gula yang efisien.
Pendapatan yang tinggi dari penghasilan gula per hektar, diperoleh karena penanaman yang intensif dan efisien berdasarkan sistem irigasi yang baik, karena penggunaan tanah terbaik di setiap daerah, dan karena penggunaan pemotongan yang berkualitas super, yang dikembangkan oleh pabrik gula.
Sayangnya, selama depresi besar awal 30an, industri ini hampir bangkrut. Produksinya menurun drastis dari 200 ribu (1931) menjadi 30 ribu (1935). Pada masa penjajahan Jepang, mereka juga tidak mendorong penanaman tebu. Sebagian besar diubah untuk menghasilkan produk beras. Masyarakat membutuhkan lebih banyak makanan terutama nasi.
Daerah dengan iklim mendukung bagi budidaya dan penggilingan tebu ada di Jawa Timur. Tebu biasanya ditanam setelah tanaman padi, pada akhir musim kemarau. Dibutuhkan setidaknya 12 bulan untuk membuat tebu menjadi dewasa, untuk mendapatkan sukrosa sekitar 10 persen. Atau biasanya juga ditanam selam 16 bulan untuk mendapatkan kadar sukrosa 14-15 persen. Namun jika petani telat mengelola tanahnya kepada pabrik, tebu akan dibabat sebelum dia dewasa, mengurangi kadar sukrosa yang dihasilkan. Industri gula ini juga membutuhkan banyak buruh kerja yang insentif, rata-rata 7.000 orang tiap pabrik. Para buruh tani dibayar 50 persen dari hasil panennya ke penggilingan dan menerima 50 persen lainnya kemudian, sistem ini lebih dipilih daripada di bawa sistem bagi hasil.
Meskipun kemudian, pemerintah mengenalkan sistem bagi hasil pada 1963, dengan menghubungkan pembayaran sewa terhadap hasilnya secara langsung. Di bawah sistem ini, petani menerima 25 persen dari hasil panen jika mereka menyewakan tanahnya ke pabrik, atau 60 persen dari hasil jika mereka menanam tanahnya sendiri di bawah kontrak dengan pabrik. Sayangnya, petani harus membayar kebutuhan tak terduga lainnya, sehingga presentase yang didapat petani menjadi semakin kecil. Pada tahun 1967, sistem bagi hasil ditinggalkan menjadi sistem sewa yang lebih sederhana. Kala itu di Jawa Timur, sewa tanah dihargai Rp25.000-40.000 per hektar. Sementara di Jawa keseluruhan rata-rata Rp50.000 pada tahun 1969.
Pabrik gula kemudian komplain dengan ketidakmampuan mereka membayar sewa yang tinggi, diikuti dengan berbagai pajak dan uang tarik lainnya. Bahkan ketika setelah kemerdekaan, gula masih menjadi komoditas dasar dari 9 komoditas dasar yang harganya dikontrol oleh pemerintah, dengan kebijakannya melindungi kebutuhan rakyat. Industri gula juga telah dikelola oleh Perusahaan Perkebunan Negara Gula (PN Gula) berdasarkan UU Nomor 19/1960 dan Peraturan Pemerintah Nomor 141/1961. Perkebunan ditempatkan di bawah manajemen Badan Pimpinan Umum (BPU). Pemasarannya dipusatkan di bawah pengelolaan BPU. Pabrik individu tidak diizinkan menjual gula mereka ke pasar. Meski kemudian desentralisasi diterapkan, desentralisasi nyatanya tidak membawa para otonomi terhadap pabrik perorangan ini. Pemasaran baru pun dibentuk melalui Badan Pemasaran Bersama. Yang dalam prosesnya, terdapat pula sindikat dalam pemasaran di industri gula.
Kondisi di atas memperlihatkan bagaimana suramnya industri gula berjalan di Indonesia. Di beberapa daerah, selalu ada desa-desa di Jawa yang masih menggunakan metode primitif untuk memproduksi gula dari tebu. Juga di luar pula dengan tambahan produk lain seperti perkebunan untuk kelapa atau pohon palem lainnya, allih-alih tebu. Pertanyaan dasar ekonomi terhadap kebijakan Indonesia apakah akan merehabilitasi industri gula dan memperluas produksi gula secara domestik menggambarkan lebih kepada penggunaan lahan dan sumber daya lain yang dibutuhkan, dibandingkan menggunakannya untuk produk komoditas lain seperti beras. Yang penting kemudian adalah masa depan, bukan masa lalu.
Barangkali, hal terpenting untuk memulai langkah pengembangan ke depan, yaitu kebijakan desentralisasi dan otonomi terhadap managemen pabrik gula. Pak Muby di sini menyarankan untuk menghapus BPU dan menggantinya dengan sistem yang lebih terdesentralisasi. Tidak ada pula pseudo BPU di industri lainnya. Selain itu juga menyertakan pengurangan kontrol dari birokrasi terhadap manajemen pabrik dan biaya administrasi yang rendah. Otonomi akan memberikan pengelola pabrik suatu insentif untuk menyediakan kebutuhan, tiap manager akan tahu apa tanggung jawab mereka sehingga bisa sukses atau malah gagal. Dengan mentransfer tanggung jawab fungsi pemasaran kepada Menteri Perdagangan, kesempatan penyediaan regulasi bagi impor gula lebih dibutuhkan, dibanding kontrol administratif diperlukan untuk menstabilkan harga gula. Setiap usaha dapat membuat keamanan finansial dan bantuan teknis dari pihak lain.
Mubyarto. "The sugar industry." Bulletin of Indonesian Economic Studies 5.2 (1969): 37-59.
Link: https://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1080/00074916912331331402
#31daysofindonesianscholars #mubyarto #sugar #industry #economic #indonesia
PRODIL SCHOLAR:
Mubyarto dikenal sebagai pakar ekonomi kerakyatan yang lahir di Sleman, 3 September 1938, dan meninggal di Sinduadi, 24 Mei 2005. Menyelesaikan pendidikan S1 di UGM, S2 di Universitas Vanderbilt Tennessee, dan S3 di Iowa State University. Gelar doktor didapat saat beliau berumur 27 tahun dengan disertasi berjudul "Elastisitas Surplus Beras yang Dapat Dipasarkan di Jawa-Madura". Dulunya merupakan pengajar di Fakultas Ekonomi UGM (1959-2003) dan menggagas konsep ekonomi Pancasila. Buku-buku beliau di antaranya: "Pengantar Ekonomi Pertanian", "Ekonomi dan Keadilan Sosial", Ekonomi Terjajah", "Ekonomi Pancasila", dan "Ekonomi Pertanian dan Pedesaan".
Jumat, 29 Maret 2024
The Sugar Industry - Mubyarto
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar