Kamis, 25 April 2024

The Scream - Edward Munch

Do you want to impress people, and understanding about art, if so, learn how to critique. To critique the painting, all you have to do is remember 4 simple steps: DESCRIPTION, ANALYSIS, INTERPRETATION, JUDGEMENT.

1. Description: If you want people to think you are an expert, you have to make lists, know the basics of the painting. For the description, you should say the name of the works, the artists, the medium. Next, say what it looks like, but don’t use opinion words, like beautiful or nice. You want to sound objective, but intelligent. Colours, line, shape, keep on articular description, everything you see. 

Example: The painting is called “The Scream”. It was created with temper of paint and pasto, by expression of artist of Edvard Munch. The subject is single solitary figure standing on the bridge. His hands raise his face, his mouth is opened, his reckless are reviewed clear, and look to tera.

2. Analysis: This is an important part to the critique. For the analysis, you tell the elements of the painting are organized. How they complement one and another. Is there movement, variety, balance, contrast, what’s the artist emphasise. The painting evokes some intense emotions because of two things: line and colour. 

Example: The way of the line in the sky in the landscape contrast intensely with the straight line of the bridge, the bond strikes into the yellow and red, stand out against the deep uses blue and green. The strong diagonal of the bridge moving out to the ways of the viewer. The rapid swalling movement of the landscape in the white colours, all combine to create imaginative chaos and anxiety. Emotions and chaos of the colours and line, create imaginative choice: emotions, panics.

3. Interpretation: For the interpretation, you should describe what the artist want to saying for the works. 

Example: The Subject, the teriffy person, is alone on the bridge and consume by the panics and fear. The vaseness of the sky on the bridge, which surounds the persons, keeps the painting of the feeling of alienation and loneliness, what the same time conveying chaos and emotions and no intensity. Although, it was painted in 1893, it makes me think of the stress and anxiety of the modern world. The outer maybe trying to express the idea of the loneliness and crazy, stressful, chaos, chaotic world. The man is totally alone and totally consume by fear.

4. Judgement: The last steps in critiques are the judgement. This is when you say whatever the works are success or failure in your opinion. This is your opportunity to really express your opinion to the painting. 

Example: The painting evokes the feeling of fear, loneliness, desperated. I look at it, and I feel overwhelmed at that’s month era, his panics, the overwhelming feeling of stress, and tera. But also, his loneliness I can feel what he’s feeling. Although it’s a frightened feeling, I might scale the artist to evoke such an emotional response. I think the painting is fascinating to look at, successfully created decisions and the confess universal emotions, a feeling that can be understood by all. I can almost feel terrifying scream.

And then you have it. Next time, when you are admiring arts to the gallery or museum, just remember: DESCRIPTION, ANALYSIS, INTERPRETATION, JUDGEMENT. You are well understanding your friend with your involves, and you might enjoy yourself.

Source: iLab from EF materials level 13 about "Describing Art", I transcripted it to remember about these important contents.

Senin, 22 April 2024

Catatan Film #12: Siksa Kubur (2024)

Nonton film Siksa Kubur di Gajah Mada Plaza, 20 April 2024, pukul 17.25 WIB, setelah pulang dari kelas Extra Class EF. Yang nonton sore itu lumayan banyak. Di depanku ada ibu, bapak, anak, dan si ayah terlihat tidak takut menonton dengan mata terbuka, sementara aku sendiri beberapa kali menutup mata. Sebenarnya, dari dulu saya memang tidak cocok nonton film horror. Gak begitu menikmati, terror mentalnya sadis di mata, telinga, jiwa, dan untuk adegan-adegan terakhir yang jadi klimaksnya, saya lebih milih tutup mata saja. 

Saya tidak akan cerita terkait alur, karena alur film ini sudah banyak di website lainnya. Tak peduli film Joko Anwar atau yang lain, film ini bagiku secara personal tak begitu menari. Story telling-nya terkesan terburu-buru, banyak yang ingin dimasukan tapi berakhir kentang.

Meski ada beberapa plot hole juga: (1) isu oknum predator KS di pesantren kayak cangkokan aja, (2) tokoh Ismail tak tergarap baik padal bisa jadi jembatan buat nerangin trauma Adil, (3) ilusi, nyata, dan halusinasinya ngebingungin, (4) bom bunuh diri sebagai trigger pembuka film yang terburu-buru, (5) terganggu dengan scene perselingkuhan suami Christine Hakim sama suster yang mati nusuk dirinya sendiri, karena pergantian karakter si suami yang cepat, dari setia selama 50 th trus dibuat tiba-tiba tak setia itu aneh, (6) mau dibilang religi ya bukan, horor juga bukan, oke deh eksperimentalis. 

Terlepas itu, aktor2nya well performed sih, Sita yang mendominasi sepanjang cerita, Adil yang klempah-klempih (kasian banget hidupnya), Pak Wahyu dengan segenap dosanya. Hm, jadi petanyaan utama setelah menonton film ini yaitu, kamu percaya ada siksa kubur ga? Kalau film ini tak cukup membuatmu takut untuk bertaubat, ya, mungkin film ini secara pesan juga gagal sampai ke penonton.

Minggu, 21 April 2024

Nikahan Khalid dan Fifi, serta Jalan Menjadi Scholar

Semalam pekerjaanku terasa menumpuk, aku dikejar-kerja deadline, susah tidur, dan untungnya bangun dengan keadaan yang sedikit lebih segar dan waras. Apalagi Jakarta sangat panas. Pergantian suhu yang cepat membuatku sangat gerah, meski kipas angin jika aku di kos tak pernah berhenti berputar, tetap saja tak mengatasi gerah. Krisis iklim benar-benar nyata.

Setelah melanjutkan mengerjakan deadline, dilanjutkan dengan kelas private bahasa Inggris online, lalu makan, mandi, dan ada satu agenda penting yang ingin kuhadiri: datang ke nikahan Bung Khalid dan Mbak Fifi di Rektorat Universitas Pamulang Tangerang, 21 April 2024. Aku lumayan kedandapan untuk datang ke acara akad pukul 08.00 WIB, nyaris aku pesimis karena ternyata banyak hal yang belum selesai: makan, mandi, nyiapin kado, beli kuota yang habis, dan semua selesai pukul 07.30 WIB. Belum lagi di jalan mesthi ngisi bensin. Mau pakai Gojek, tapi mahal banget sampai Rp85 ribu, bolak-balik bisa Rp170 ribu, Kalau naik MRT juga waktu kurang pagi, jalan MRT Lebak Bulus juga panjang. Argh!

Aku cuma punya waktu 30-an menit saja, sedangkan jarak antara Kos Petojo ke Unpam sejauh 25 kilometer yang bisa ditempuh dengan waktu sekitar 38 menit normal. Aku awalnya sangat pesimis dengan waktu yang kupunya, Unpam cuma berjarak satu kilo dari rumah Mbak Rizki dan Mas Angga, yang pengalaman kutempuh dengan waktu 1 jam sampai 1,5 jam kala macet. Namun pagi itu aku benar-benar berniat baik mau mendatangi akad, dan jalan itu tak kusangka dipermudah, jalanan hari minggu yang tak macet, lancar, dan aku diberi kekuatan mengemudi dengan kecepatan yang di atas rata-rata aku berkendara. 

Tak dinyana, aku sampai di tempat acara pukul 08.10 WIB, pas, dan pas aku masuk, acara baru saja dibuka. Rasanya aku seneng banget bisa mengalahkan rasa pesimisku sendiri. "Kalau udah niat pasti dimudahkan." Begitu pesan moral yang bisa kutarik. Dan sebelum pukul 08.31 WIB pas, akad pun dimulai. Alhamdulillah, waktu-waktu mustajab untuk berdoa bisa kudapat. Aku berdoa sesuai apa yang aku butuhkan.

Lalu, sekitar satu setengah jam kemudian, karena sudah suntuk nunggu teman-teman lain dari Daulat Umat dan Islam Bergerak datang, untuk mengusir kebosanan menunggu waktu resepsi, akhirnya aku keluar. Pas ngisi buku tamu, eh, ketemu Mas Firas Khudi, kolega di Pena Umat Daulat Umat. Akhirnya, aku gak jadi keluar dan ngobrol banyak sama Mas Firas. Awal-awal kami ngobrol terkait circle perkawanan kami, khususnya bahas tentang Mas Iwang (Irwan Ahmett) dan Mbak Tita Salina, duo seniman yang kami pernah bikin project bareng dengan mereka. Kami memuji bagaimana Mas Iwang dan Mbak Tita menghasilkan karya seni yang gak mainstream, dengan perjalanan yang sangat tidak biasa dan melelahkan.

"Sebenarnya kerja antropolog dan etnografi itu seperti yang dilakukan sama Mas Iwang dan Mbak Tita, meski tarikan mereka ke seni ya khususnya, tapi sebenarnya kerjanya begitu," katanya.

"Iya, dan menariknya mereka itu gak terikat dengan satu lembaga khusus yang mengikat mereka. Mereka juga bisa bebas. Mas Iwang pernah bilang juga pas kutanya, 'sebenarnya genre seni Mas itu apa sih?' Dia jawab, 'aku gak mau dikotak-kotakkan seperti itu, ya seni yang seperti ini,' haha," tambahku.

Obrolanku dengannya kemudian membuka jalan dan pikiranku akan masa depan dan cita-cita yang telah lama kudoakan: dia ngasi aku info beasiswa tak terikat dari Universitas Chiang Mai Thailand terkait Ilmu Sosial (Development Studies) gitu untuk gelar Master. Tak terikat yang kumaksud adalah beasiswa yang tak harus pulang mengabdi ketika selesai, tak harus mengembalikan dan kasih feedback ke pendonor, dan hanya diminta jaga nilai sama tepat waktu aja. Ini benar-benar tipe beasiswa yang sedang kucari dan usahakan. Tipe beasiswa yang seperti ini pula yang didapat sama Mbak Rizki Amalia Affiat dan Mas Angga Yudhiyansyah yang mau melanjutkan studi Ph.D mereka di NUS, lewat info Ling Hongxuan. Xuan bilang ada 5 seat Ph.D di NUS untuk orang Asia Tenggara dan sedikit yang daftar sampai waktunya diperpanjang.

Mas Firas kemudian cerita banyak tentang perjalanan S2-nya dapat beasiswa di Chiang Mai (700 km dari Bangkok), juga topik penelitian livelihood di Kampung Akuarium Jakarta. Terus tipe-tipe riset yang menarik para profesor dan dosen di sana. Chiang Mai juga punya pusat studi menarik yang bisa kucoba, dia juga gak jauh dari Myanmar, cuma 4-5 jam aja udah sampai. Letak Chiang Mai itu di atas, dan levelnya kalau di Indonesia setara dengan UGM. Di sana banyak sekali isu yang bisa digali dan sangat Asia sekali problemnya. Ada pusat studi menarik juga namanya The Regional Center for Social Science (RCSD), bisa jadi kawah candradimuka menarik untuk studi kawasan Asia Tenggara.

Menurut para antropolog lama, tempat terbaik untuk studi itu ada main land-nya ada di kawasan yang diteliti sama Clifford Geertz (Jawa), dan selanjutnya di sekitar Thailand dan Myanmar ini, Chiang Mai. Geertz awalnya juga di sini sampai dia terlempar ke Indonesia. Mas Firas kemudian memberiku link untuk kupelajari lebih lanjut, dan ada pembukaan S2 sayangnya deadline besok, hiks. Telat banget ya aku. Namun aku janji sama diri sendiri akan dalami ini dengan pendekatan media studies yang kupunya. Dosen di studi Ilmu Sains Chiang Mai ini juga kebanyakan latarnya Antropologi dan Geografi.

Mas Firas juga nyebut studiku bisa dikaitkan dengan penelitian macam Daniel Dhakidae saat nulis disertasi di Universitas Cornell di bawah saran Ben Anderson juga. Sama dia nyebut tokoh-tokoh lain misal Rugun Sirait sampai Aryo Danusiri. "Coba aja Mbak, apalagi Mbak perempuan, bukan mendeskriditkan perempuan ya, mereka biasanya punya slot sendiri." EUREKA!

Lalu, kawan-kawan IB dan DU pun padha datang setelah wawasan berbobot dan berguna dari Mas Firas untuk masa depanku kemudian. Aku senang ketemu teman-temanku ini: Mbak Rizki, Mas Angga, Pravda, Mas Azka, Mas Azhar, Mas Indra, Mas Adi, Mbak Nila, Bapak Shohib, Juple, Debbi, Hafiz, pacar Hafiz, dll. Energiku terasa penuh bertemu mereka.

Usai resepsi dari Bung Khalid, kami pun bareng-bareng ke rumah Mbak Rizki di kawasan BPI Pamulang, kami naik dua angkot putih. Di jalan sempat ngobrol sama Bapak Shohib juga dosen IPB pembina DU. Ternyata beliau dari Tuban dan istrinya Rembang, aku Blora, dekat sekali hehe. Lalu, sampai di rumah Mbak Rizki juga cerita dunia akademik dan ilmu pengetahuan juga. Misal terkait Jurnal Perempuan yang masih eksis sampai sekarang meski ideologi dan penulisnya gado-gado (bisa kanan ekstrem, bisa kiri ekstrem). 

Rombongan pulang sekitar pukul tiga, di rumah Mbak Rizki dan Mas Angga hanya tersisa aku dan Mas Firas lagi. Aku tinggal karena ada buku Mbak Rizki yang kubantu untuk proofread perlu pembicaraan lebih lanjut, terus Mas Firas nunggu travel ke Bandung setengah tujuh. Akhirnya, yang kami bicarakan soal dunia akademia kembali. Mas Angga misal, berbagi secuplik tema penelitian untuk Ph.D dia di NUS, terkait kelapa sawit di Sumatra. Intinya, buat riset itu tema yang kita suka

Kemudian, Mas Angga juga cerita pengalaman dia kuliah S2 di Singapore University of Technology and Design (SUTD) terkait bagaimana memadukan antara ilmu sosial dan teknologi ke publik. Ini sebenarnya kajian khas MIT banget, karena rektor dan pendiri SUTD sendiri emang dari MIT. Mereka sadar jika teknologi tak bisa berdiri sendiri, tapi mesti diikuti oleh ilmu sosial. Lalu juga Mas Firas nambahi gimana pola/pattern dari riset khas Singapur banget, yang teknologi dan sosial gitu. Di perkuliahan Singapur, kamu boleh nulis apa aja, asal satu: jangan kritik Singapur. Mau bilang Indonesia kiri mentok atau apalah terserah, tapi jangan memperburuk citra Singapur.

Trus Singapur itu juga sangat menjaga negara-negara tetangga. Singapur silahkan mau nyerang Inggris, tapi mereka akan selalu menjaga hubungan dengan Indonesia, Malaysia, Thailand, dll, sebagai kekuatan penting. Karena ada kasus pula, scholar yang nulis terkait kritik raja di Thailand, ditelpon raja di Thailand, riset yang rencananya mau dibuat buku itu pun gagal terbit, terus akhirnya diterbitkan sama Yale kalau aku gak salah dengar.

Mas Firas sendiri bercita-cita mau S3 di USA, apa pun asal di US. Sebab Ph.D di sana panjang dan disa suka belajar lama-lama, wkwk, kok sama. Di US pula S3 bisa sambil mroyek riset dan kerja. Pengalaman dari Mas Iqra Anugrah yang dapat Ph.D di US juga, mendorong Mas Firas buat yakin ke US. Studi Mas Firas sebenarnya lebih ke studi urban dan perkotaan, meski Mas Angga merasa kurang tertarik pada isu itu karena mungkin akan Jakarta lagi, Jakarta lagi. Tapi Mas Firas bakal ngambil studi kasus di palembang, tempat asal dia.

Jumat, 19 April 2024

Kunjungan Ria

Semalam tadi, teman dari Jogja datang menginap di kos. Kondisi kosku seperti biasa masih berantakan, belum kusapu, kupel, dan kurapikan. Kosku sekarang isinya begitu banyak barang dari yang awalnya ruang kosong. Kadang aku heran sendiri, bisa-bisanya aku mengepul barang sebanyak itu. Aku dan temanku bernama Ria saling bercerita. Kami bercerita soal kabar, pekerjaan, kegiatan, asmara, tentu juga hal-hal yang berhubungan dengan filsafat. Dia ke Jakarta untuk menemui sahabat dekatnya dari Swiss, hubungan mereka telah dekat, dan dua minggu setelah pertemuan mereka, semacam terjadi ikatan batin yang menghubungkan. Entah kelanjutannya, tapi semoga akan berakhir dengan baik. Mereka bertemu di sebuah yayasan permakultur untuk mengelola tanah, lingkungan, alam. Ria jadi volunteer di sana.

Pagi tadi, usai bangun, Ria bercerita tentang tesisnya, terkait agama dan sampah. Ada hal penting yang ingin aku tulis dari penjelasannya, dan menurutku hal tersebut reflektif. Antara agama yang dijelaskan negara dengan rukunnya itu berbeda dengan konsep agama dari masyarakat adat yang memiliki fondasi tiga hal: responsibility, ethics, resiprocal (tanggung jawab, etika, dan kesalingan). Tiga konsep ini sebenarnya diterapkan pada orang-orang yang mengelola sampah di bank sampah dan tempat pembuangan akhir yang menjadi target penelitian Ria. 

Dia juga bercerita saat mendaftar semacam scholarship di Inggris, berkaitan dengan climate change. Dia ditanya, apa makna climate change buat kamu? Sebab climate change luas, akhirnya dia memberi contoh melalui segenggam tanah. Bahwa, dalam segenggam tanah itu, dia bisa melihat berbagai kehidupan lain yang sangat besar dan kompleks. Dalam sebongkah tanah ada banyak organisme yang hidup di dalamnya. Bahkan hal-hal sesederhana itu bisa Ria temukan saat dia datang ke Jakarta naik bus. Dia melihat selokan di Jakarta yang kotor, tapi ajaibnya, di sana hidup ikan-ikan kecil yang bertahan di antara sampah-sampah, "Mereka bisa hidup loh!" kata Ria bersemangat.

Pandangan Ria akan alam berubah. Semisal di hutan, dia tak melihat hutan saja, tapi juga ekosistem lebih besar di dalamnya. Dia seperti tertarik pada hal-hal yang dia rindukan. Menurut pengamatannya juga, justru tanaman yang hidup di alam liar punya tingkat survival dan kesehatan yang lebih baik daripada tanaman yang kita rawat, kasih pupuk, dan ditaruh di pot. Sebab apa? Sebab kondisi tanah yang berbeda. Ria punya mimpi besar bagaimana mengembalikan tanah sebagaimana hakikatnya. 

"Alam itu kan tanpa ego ya, dan kita bisa kembali ke sana setiap waktu. Berbeda dengan manusia yang ada egonya, tiap manusia punya ego, setiap ego berbenturan, dan menjadikan diri kita menderita, hancur, sendiri, merasa kesepian. Padahal alam menerima kita kapan saja, kita juga bisa kembali ke alam tiap waktu, tanpa menghakimi, menerima apa adanya kita," penjelasannya yang kuingat dan sangat filosofis.

Tarikan dari alam itulah yang menjadi kacamata dan cara pandang Ria kemana pun dia pergi. Tiap di lingkungan tertentu, yang selalu menariknya ternyata ada semut, ada kucing, ada tanaman lamtoro, ada bunga kantil, ada pohon bernama ini. Dia juga mengingat obrolan dengan temannya seperti Mas Ikhsan Skuter tentang konsep tumpangsari, sustainable, yang sebenarnya Jawa dan Indonesia punya, tapi malah dijelaskan dengan baik oleh Barat. Ini yang menjadi dorongan hidup Ria, desire dia, raison d'etre dia, bukan lewat ceramah-ceramah, tapi alam.

Ria juga mengingat akarnya, menengok past life dia, dari neneknya seorang guru ngaji, yang setelah itu berladang dan merawat tanah. Ria lalu memandang konsep kekayaan dan kemiskinan dengan cara yang berbeda. Kaya dalam konsep umum adalah yang punya rumah, mobil, motor, perhiasan, uang yang banyak; tapi tidak seperti itu. Baginya, kaya adalah ketika seseorang bisa mencukupi kehidupan dia sendiri yang menyatu dengan alam, memproduksi makanan dan minumannya sendiri tanpa bergantung dari luar.

"Kelihatan utopis ya, Is," ujarnya, semacam menyiratkan keraguan dengan yang dihadapinya, antara idealita dan realita.

Dia kuperhatikan juga zero waste lifestyle. Dia membuat makanannya sendiri, tempat makannya sendiri, sendok dan garpu sendiri, dlsb. Dia pas aku pakai handbody, bedak, dan pelembab; dia bilang udah gak pakai make up lagi, dan mandinya gak pakai sabun, tapi pakai batu. It's crazy, isn't it? Dan fakta yang menyedihkan, bagi mereka yang menganggap dirinya "modern", dengan standar-standar umum produk kapital dan material, hal-hal seperti ini akan disebut "primitif". Sama seperti orang-orang adat dan hutan yang dipanggil dengan sebutan "primitif" oleh orang-orang kota. WADEHEL MEN. 

Apalagi produk-produk makanan kebanyakan yang dijual tanpa jiwa (soulness), tak ada rasa, dan jika mau beli makanan yang enak dan berjiwa, bersiap merogoh kocek yang dalam.

Aku seneng, masih dikelilingi oleh orang-orang unik semacam ini lagi. Betapa banyaknya orang-orang unik dan kaya di sekitarku. Semoga kalian selalu sehat. Sayang kalian....

Lalu aku menanyakan diriku sendiri, pada bidangku sendiri, aku ingin hidup tenang, dan aku mulai merindukan alam. Hidup bersatu dengannya, tanpa adanya ego yang membuat sengsara. Bersama alam aku luas dan bebas. Aku jadi kangen menyatu pada alam lagi. Mengarungi perjalanan spiritualku, seperti ke Gunung Selok di Cilacap.

Rabu, 17 April 2024

Kerja Tak Terbayar di Media Sosial: Alienasi dan Eksploitasi Pekerja yang Tersamarkan dalam Kapitalisme Digital - Arif Novianto dan Anindya Dessi Wulansari

Fenomena prosumer, orang yang memproduksi sekaligus mengkonsumsi secara bersama-sama dalam dunia digital telah menjamur di Indonesia seiring dengan meningkatnya pengguna internet di Indonesia. Waktu luang rata-rata digunakan untuk bermedia sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram, juga Linkedin. Aktivitas ini tampak seperti bermain-main, meskipun ada data yang diam-diam digunakan oleh korporasi media sosial. Proses ini disebut sebagai komersialisasi informasi. Para prosumer ini menjadi pekerja dari korporasi media sosial yang menghasilkan nilai lebih yang tidak dibayar, serta tak menikmati hasil kerja yang dijual dari iklan oleh korporasi media sosial tersebut.

Esai ini menanyakan, bagaimana kerja yang dilakukan oleh pengguna media sosial tak terbayar tersebut? Apa yang disebut kerja dan nilai kerja dalam aktivitas media sosial? Fokus penelitian ini pada pengguna Facebook. Bagaimana Facebook melakukan akumulasi kapital? Apa implikasi model bisnis Facebook pada pengguna?

Bagi Marx dan Engels, kerja didefinisikan sebagai kegiatan produktif yang dilakukan secara sadar untuk mentransformasi dan mengorganisasi alam, sehingga manusia bisa memproduksi prasyarat untuk melangsungkan hidup. Kerja pada dasarnya menyenangkan, selain menjadi hakikat hidup, memenuhi kebutuhan, juga mengembangkan kapasitas diri. Namun, kerja berubah menjadi keterasingan (alienasi) saat tidak ada sistem sosial yang mendukung dan adanya eksploitasi. Eksploitasi dilakukan oleh kelas kapitalis yang memiliki sarana produksi kepada kelas pekerja yang tidak mempunyai sarana produksi.

Lalu, bagaimana dengan "kerja-bermain (playlabour)" di era digital? Perkembangan teknologi tak dipungkiri memicu kenaikan produktivitas, sehingga menciptakan waktu luang bagi pekerja. Terlebih ketika internet muncul, relasi baru terbentuk, disusul dengan media sosial yang menghubungkan jutaan orang di seluruh dunia. Media sosial sendiri umumnya digunakan saat senggang, setelah bekerja. Media sosial ini juga menjadi "arena bermain" untuk berbagi informasi, memberikan like dan komentar, dan menjalin relasi sosial. Sayangnya, relasi sosial ini memang seperti kegiatan bermain, tetapi pada dasarnya juga melakukan "kerja".

Para pengguna medsos berbagi pengalaman dan ditampung oleh platform menjadi big data. Korporasi kemudian menjual data untuk akumulasi kapital. Ini pula yang dilakukan oleh Facebook yang pada tahun 2018 telah mempunyai pengguna sebanyak 2,17 miliar tersebut dan Indonesia masuk lima besar pengguna terbanyak. Platform sendiri menciptakan sistem agar pengguna bisa bermain lebih lama, tanpa sadar model bisnis yang dijalankan platform. Preferensi dari tombol like, share, dan comment diambil untuk menentukan iklan yang diminati oleh pengguna dengan teknik algoritma.

Facebook sendiri menambang preferensi lewat tiga cara: (1) informasi share dan like, (2) profil pengguna saat sign up, (3) aktivitas pengguna pada situs web lain selain Facebook. Dari data preferensi dan algoritma, Facebook menggunakannya untuk mengambil surplus nilai dari iklan. Apalagi tahun 2017, sebanyak 98 persen pendapatan Facebook berasal dari iklan. Facebook mendapatkan miliaran uang dari waktu berjam-jam yang dilakukan oleh user ketika melakukan kerja tak berbayar.

Hardt dan Negri (2004)telah merumuskan kerja nir-material dari produk nir-material seperti komunikasi, informasi, pengetahuan, juga hubungan sosial. Sifatnya yang tak tampak menimbulkan perdebatan terkait eksploitasi dan keterasingan yang dialami user. PJ Rey (2012) menjelaskan, berbeda dengan pabrik yang memiliki SOP, media sosial merupakan pilihan dan bukan kewajiban. Sementara itu, Fuchs dan Sevignani (2018) menyatakan jika media sosial telah mengasingkan manusia dari berbagai sisi: diri sendiri, objek kerja produktif, dan produk yang diciptakan. Di sisi lain, user tidak menikmati data hasil kerja mereka, hanya mendapat nilai guna berupa informasi, relasi sosial, dan profil tertentu.

Apalagi, iklan di Facebook punya berbagai kelebihan yang berbeda dengan iklan tradisional di TV, koran, radio, seperti personalisasi pengguna Facebook sehingga dapat menyasar individu tertentu. Isi iklan berfokus pada barang-barang tertentu. Hukum nilai di Facebook yaitu, semakin banyak waktu dihasilkan pada platform, semakin berharga komoditas data yang sesuai. Sayangnya, eksploitasi yang dilakukan platform sifatnya tersamarkan dan membuat pengguna merasa seolah "tidak dirugikan", karena mereka bisa bersenang-senang, membangun relasi, berbagi info personal, dan mengisi waktu luang.

Kerja tersamarkan yang berlangsung di era kapitalisme ini menjadi tidak hanya mencuri nilai lebih saat kerja formal berlangsung, tetapi juga nilai lebih dari waktu senggang. Kondisi ini juga mendistorsi konsep antara waktu kerja dan waktu senggang. Aktivitas media sosial menjadi terkomersialisasi karena kepentingan ekonomi dari pemilik sarana produksi platform media sosial, yang mengontrol dan mengendalikan data dari konten serta aktivitas pengguna. "Kerja para pengguna menjadi kekayaan bagi pemilik kapital media sosial dan menjadi kemiskinan bagi pengguna akibat kerja mereka tidak terbayarkan."

Eksploitasi media sosial, khususnya di Facebook dalam esai ini mempunyai watak ganda: (1) eksploitasi karena nilai kerja pengguna hanya dinikmati oleh pihak korporasi digital Facebook, (2) eksploitasi terjadi karena pengguna merupakan prosumer (pemroduksi konten sekaligus penggunanya secara bersamaan). Para pengguna media sosial kemudian sejatinya merupakan subjek yang membangun platform media sosial itu sendiri lewat aktivitas konten yang dilakukan, dan korporasi media sosial "berutang" dan "berkewajiban" memenuhi nilai kerja yang dilakukan oleh pengguna untuk keuntungan mereka. Jika pengguna ini berhenti bermain media sosial, otomatis usaha mereka akan mogok dan bangkrut.

Novianto, Arif, and Anindya Dessi Wulansari. "Kerja Tak Terbayar di Media Sosial: Alienasi dan Eksploitasi Pekerja yang Tersamarkan dalam Kapitalisme Digital." Jurnal Studi Pemuda 6.2 (2019): 651-658.

Link: https://journal.ugm.ac.id/jurnalpemuda/article/download/39744/23819

#31daysofindonesianscholars #arifnovianto #anindyadessiwulandari #jurnalstudipemuda #ugm #kapitalisme #digital

PROFIL SCHOLAR:

Arif Novianto merupakan peneliti di Institute of Governance and Public Affairs Universitas Gadjah Mada (UGM) dan editor di Penerbit Independen. Pegiat MAP Corner Fisipol UGM kelahiran Pati, 29 Januari 1992 tersebut menyelesaikan pendidikan S1 dan S2-nya di jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik (Administrasi Negara) UGM. Arif bergiat pada kajian seputar ekonomi politik, perburuhan, gerakan sosial, dan pekerja gig.

Anindya Dessi Wulansari merupakan pengajar di Universitas Tidar Magelang dan research fellow di Institute Governance and Public Affairs UGM. Anin menyelesaikan pendidikan S1 Manajemen dan Kebijakan Publik UGM dan S2  Ilmu Administrasi Publik UGM. Dia meminati kajian terkait ekonomi gig, hubungan perburuhan/industrial, kebijakan upah, dan gerakan sosial. Salah satu penelitiannya yang terbit di Fudan Journal of the Humanities and Social Sciences berjudul "Indonesia's Cheap Wages Regime: The Political Economy of Minimum Wages Policy under Jokowi Presidency".

Selasa, 16 April 2024

Collaboration in Mass Violence: The Case of the Indonesian Anti-Leftist Mass Killings in 1965-66 in East Java - Grace Tjandra Leksana

Genosida dan pembunuhan massal yang melibatkan gerakan anti-komunis tahun 1965-66 menjadi peristiwa kontroversial dalam sejarah Indonesia. Pertanyaan utamanya, "Siapakah yang melakukan pembunuhan?" Ketika beberapa orang berpendapat bahwa pembunuhan merupakan dampak dari konflik horizontal antara kelompok kiri dan kanan, lainnya percaya bahwa militer Indonesialah yang secara sistematis melakukan kekerasan dan pembunuhan. Selain itu, di beberapa wilayah di Indonesia pada periode 1965-66, pembunuhan tidak secara khusus dilakukan oleh masing-masing sisi, baik itu militer atau masyarakat sipil itu sendiri. Melainkan, kedua kelompok ini bergabung untuk mencapai tujuan yang sama: membasmi komunis dan gerakan kiri. Mengembangkan konsep kolaborasi ini, serta akses terbaru dari arsip militer di Jawa Timur, paper ini berargumen, pembunuhan yang sebelumnya dilakukan secara tidak terstruktur, menjadi masif dan terkoordinir setelah militer meluncurkan perintah menggunakan kekuatan sipil dalam menghapuskan kelompok kiri.

Paper ini juga menunjukkan, meskipun gerakan lokal ada, hal ini tidak bisa meningkatkan pertumpahan darah yang besar tanpa ada interferensi dari militer. Sebab instruksi partisipasi masyarakat sipil, militer membangun "solusi imajiner" terhadap konflik panjang antara dua kelompok, pembasmian komunis dan orang-orang kiri untuk mengamankan negara. Instruksi ini menciptakan legitimasi kekerasan dan menjadi basis kuat bagi masyarakat sipil untuk melakukan serangan melawan kelompok kiri. Sekitar 500 ribu hingga 1 juta orang dibunuh oleh militer bersama kolaborasi dengan kelompok sipil. Keterlibatan kelompok sipil itu seperti pemuda Islam Nahdlatul Ulama (NU), juga beberapa akademisi dari kelompok kanan dan kiri, yang mencapai puncak dari sejarah panjang di antara mereka sejak pra-kemerdekaan Indonesia.

Narasi resmi yang beredar, pembunuhan massal 1965-66 digambarkan sebagai respons spontan terhadap aksi Gerakan 30 September, di mana enam jenderal militer dibunuh, diculik, dan disiksa oleh sekelompok kecil kelompok militer. Meskipun debat saat ini masih berlangsung terkait alasan tentara Indonesia mengeksekusi PKI sebagai pelaku di samping gerakan ini. Sayangnya, aksi ini menjadi jelas bahwa G30S sebagai dalil bagi militer untuk mendirikan rezim baru. Rezim Orde Baru yang mengikuti, yang dipimpin oleh Soeharto mengambil alih pemerintahan tahun 1966 dan mengembangkan proyek memori nasional untuk memperingati tujuh jenderal tentara, G30S, dan "setan" komunis, dengan menempatkan pembunuhan anti-komunis dan kekerasan dalam pinggiran dari sejarah Indonesia.

Konsep kolaborasi dalam kekerasan massa telah memunculkan pandangan biner yang berfokus pada tegangan antara pelaku dan korban itu sendiri. Konsep ini secara luas di luar konteks sebagaimana kasus Holocaust dan Perang Dunia II. Peneliti Weiss-Wendt and Üngör memperluas konsep kolaborasi dengan mamasukkan kasus-kasus genosida Armenia, negara-negara Baltik yang diduduki Nazi, dan genosida Rwanda. Dari kasus-kasus ini, mereka memperluas konsep kolaborasi dalam genosida sebagai "suatu aksi nalar kolektif yang mengarahkan kelompok minoritas atau subordinat yang menjadi sasaran ketidaksetaraan struktural untuk membantu kekuatan hegemonik dalam menghancurkan secara fisik kelompok lain yang serupa--kelompok yang menjadi sasaran--dengan tujuan meningkatkan status mereka sendiri".

Istilah "kekuatan hegemonik" digunakan untuk mengganti okupasi rezim atau musuh, dengan mempertimbangkan relasi kekuasaan yang lebih dinamis, karakter masing-masing kasus yang beragam, dan sejarah relasi etno-agama antar kelompok yang terlibat. Kolaborasi ini juga menjadi hasil dari sejarah panjang diskriminasi oleh kelompok hegemoni. Dalam kasus-kasus yang disebutkan, tidak ada otoritas pusat yang dapat mengeluarkan perintah terikat untuk membantu pembunuhan tersebut, tetapi konsensus tak terucapkan yang mengarah pada kekerasan massal pasti ada.

Ketika Weiss-Wendt & Üngör menekankan pada relasi kuasa antara kelompok hegemonik dan minoritas, kasus Indonesia berbeda secara pendekatan. Kelompok religius dan nasional yang terlibat dalam pembunuhan 1965-66 bukanlah kelompok minoritas atau tersubordinasi. NU semenjak didirikan telah berperan penting dalam perpolitikan Indonesia. Semenjak 1950an dan setelah pembunuhan 1965, mereka masih dekat dengan faksi dengan pemerintah dan militer. Pada Pemilu 1955, NU, PNI, dan PKI menjadi partai top, yang didukung dengan ulama dan kyai. Selain itu, semenjak diterbitkannya UU Agraria tahun 1960, konflik antara golongan nasionalis dan religius dengan partai kiri dan komunis menjadi semakin buruk di antara kebijakan reformasi agraria.

Berbeda kasusnya dengan yang terjadi di Turki, kawasan Baltik, dan Rwanda, kasus Indonesia menunjukkan perintah struktural dari militer dengan dibantu organisasi massa untuk membasmi kelompok kiri. Instruksi ini menciptakan legitimasi kekerasan, yang membuat pembunuhan untuk menghancurkan kelompok komunis dan kiri diterima negara. Untuk mengelaborasi argumen tersebut, Grace menjelaskan terkait kasus pembunuhan 1965-66 di Jawa Timur menggunakan arsip dari Kodam V Brawijaya.

Koleksi ini ada di museum militer Brawijaya di Malang, koleksi juga menyediakan informasi terkait perang revolusioner hingga operasi militer di Timor Timur. Naskah ini terbuka bagi publik dengan surat izin dari Bina Mental Kodam di Malang. Bersama dengan arsip militer yang ditemukan di Aceh dan Banyuwangi, arsip militer Brawijaya menambahkan arsip temuan baru yang berhubungan dengan operasi 1965-66 (sesuatu yang tidak mungkin didapat beberapa dekade yang lalu).

Temuan khusus dari G30S terdiri dari laporan operasi, rekaman harian, radiogram, dan peraturan selama 1965-68 yang dikoleksi dari empat Korem yang berbeda di Jawa Timur (Korem di Surabaya, Malang, Mojokerto, dan Madiun). Arsip paling lengkap ada di Malang. Sebagaimana yang dijelaskan, militer memerankan peran besar dalam kekerasan, dengan mengkoordinasi masyarakat sipil untuk berpartisipasi. Kekerasan di Jawa Timur menjadi besar bukan karena masyarakat sipil bertindak sendiri, tetapi tentara memberikan instruksi kolaborasi bersama mereka sehingga memungkinkan tragedi ini terjadi.

Douglas Kammen dan Katharine McGregor mengidentifikasi kekerasan 65 ke dalam empat fase sejak G30S: (1) fase kekerasan fisik melawan PKI beserta dengan pendukung dan aliansinya, gerakan pembunuhan pertama terjadi di Aceh hingga akhir minggu pertama Oktober, kemudian di Jawa Timur dan Jawa Tengah pada pertengahan Oktober 1965, kemudian terjadi di Sumatra Utara dan Bali; (2) kekerasan yang terjadi dari Januari-Mei 1966, yang ditandai oleh berkurangnya kekuasaan Soekarno dan pergantian otoritas ke Soeharto, pembunuhan terjadi di tingkat daerah seperti Sumatra Barat, Lampung, dan NTT; (3) fase ini terjadi pada bulan Juni hingga Oktober 1966 dengan adanya usaha insentif untuk mengkonsolidasikan kekuatan terhadap organ sentral, dengan kebijakan baru anti-komunisme; (4) fase keempat terjadi pada tahun 1967-68 mengindikasikan proses hukum dan pemenjaraan jangka panjang ribuan orang dan operasi pembersihan melawan kelompok kiri yang masih tersisa, operasi ini melibatkan operasi RPKAD pada November 1967 di Kalimantan Timur dan operasi militer di Jawa Timur, khususnya di Blitar Selatan pada 1968. Perbedaan waktu terjadinya pembunuhan mempengaruhi analisis yang berbeda terkait siapa aktor di belakangnya.

Akademisi resmi menjelaskan jika kekerasan itu terjadi karena perpecahan horizontal di masyarakat, yang berakar dari kebencian antara komunis dan kelompok agama. Salah satu produk resmi itu seperti ditulis oleh Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh. Dalam kerangka ini, militer direpresentasikan jika operasi mereka merupakan usaha untuk mengamankan situasi dari konflik yang lebih besar, serta menciptakan keteraturan dan kedamaian. Partisipasi masyarakat sipil dalam kekerasan juga menggiring berbagai akademisi percaya bahwa militer hanya memiliki peran kecil dalam kekerasan. Kontras dengan teori konflik horizontal, sebagaimana yang diargumenkan oleh Geoffrey Robinson, genosida dan pembunuhan massal merupakan tindakan politik, yang tidak mungkin terjadi secara alami, tetapi ada karena faktor politik oleh otoritas.

Tak soal pembunuhan terjadi di awal atau kemudian, ini tergantung pada seberapa besar aliansi otoritas dan masyarakat sipil di daerah disatukan dan besarnya jumlah mereka. Ini bisa dilihat dari, ada daerah yang terjadi di awal, tetapi telat di wilayah yang lain. Di Jatim misalnya, masyarakat sipil dari NU bergerak secara agresif melawan PKI. Temuan di Aceh dan Bali menunjukkan pula bagaimana militer memobilisasi masyarakat sipil, mengorganisasikan kamp penahanan, dan menyediakan truk untuk transportasi untuk eksekusi. Fakta-fakta tersebut juga menunjukkan, sangat mustahil jika militer dan masyarakat sipil melakukannya secara mandiri. Ini pula yang dijelaskan oleh John Roosa yang menjelaskan bahwa perintah dari pusat (Soeharto dan aliansi jenderalnya) harus ada dan mengirimkan pasukan mereka ke provinsi-provinsi.

Kekerasan yang terjadi di Jawa Timur selalu digunakan sebagai contoh untuk mendukung konflik horizontal dan tesis dualistik. Penting pula menjadi catatan, penelitian di Jawa Timur diproduksi selama masa otoritarian Orde Baru, di mana Soeharto masih berkuasa (1966-98). Untuk memahami kerja kolaboratif antara tentara dan masyarakat sipil, tidak hanya dilihat karena pengamanan negara, tetapi juga politik tubuh. Tindakan politik ini dapat ditelusuri kembali pada periode perjuangan kemerdekaan (1945-50), di mana para pejuang gerilya secara politik terafiliasi dengan unit militer. Periode krusial bagi ekspansi kekuasaan ini terjadi tahun 1957, sebagai respons terhadap peningkatan pemberontakan Darul Islam di Aceh (1953-62), Jawa Timur (1948-62), Sulawesi Selatan (1953-65), dan PRRI/Permesta di Sumatra dan Sulawesi (1958-61). Militer menjadi lebih beradaptasi dengan politik dan ekonomi dengan menempatkan anggota mereka pada kabinet, eselon atas dalam pelayanan sipil, dan administrasi daerah. Mereka juga berusaha mendominasi front nasional dan mengorganisasikan hubungan dekat antara pemerintah dan rakyat.

Pada bulan Maret 1964, anggota Front Nasional dimasukkan ke dalam Catur Tunggal, sebuah sistem administrasi di mana empat elemen pemerintah, yang terdiri dari gubernur atau bupati, komandan tentara setempat, kepala polisi dan penindas masyarakat, membuat keputusan kolaboratif mengenai isu-isu regional mereka. Bersamaan dengan ekspansi kekuatan politik, militer juga menambah kekuatan teritorial mereka. Strategi ini juga menciptakan organisasional Tentara dan Territorium (T&T) di tingkat provinsi, yang berganti nama menjadi Komando Daerah Militer (Kodam), Komando Resort Militer (Korem), Komando Distik Militer (Kodim), juga Komando Rayon Militer (Koramil). Di Jawa Timur, T&T V menjadi Kodam VIII Brawijaya berdasarkan pada dekrit militer tertanggal 24 Oktober 1959. Dengan struktur teritorial baru, tentara mulai program mereka seperti indoktrinasi publik atau kegiatan budaya, yang menghubungkan administrasi sipil, organisasi agama dan budaya, kelompok muda, veteran, serikat pengusaha, organisasi petani, partai politik, dan kelompok-kelompok tingkat lokal lainnya. Bahkan juga mengirimkan dokter, teknisi, dan kelompok hiburan untuk memenangkan hati rakyat.

Kajian-kajian yang ada mengenai pembunuhan tahun 1965-1966 di Jawa Timur menyoroti dua ciri utama kekerasan di wilayah ini: lambatnya respons komandan militer provinsi untuk memusnahkan kelompok komunis dan tingginya keterlibatan warga sipil dalam kekerasan tersebut. Oleh karena itu, keragu-raguan atau kelambanan Panglima Brawijaya juga harus dilihat sebagai momen pergeseran aliansi politik: dari aliansi yang berada di bawah Sukarno, menjadi faksi militer yang berorientasi kudeta dan didominasi oleh Suharto. Kelompok-kelompok sipil yang dulunya merupakan sekutu independen tentara, kini menjadi klien pendukung militer mereka, karena percaya bahwa negara tersebut sedang memasuki perang melawan komunis.

Titik balik pembersihan Jawa Timur terhadap sayap kiri terjadi setelah terbentuknya Pupelrada (Pembantu Pepelrada/Penguasa Pelaksana Dwikora Daerah). Pembentukannya merupakan perpanjangan tangan Pepelrada hingga ke tingkat kota/kabupaten. Sehari setelah terbentuknya Pupelrada di Malang, kelompok pemuda keagamaan mengadakan rapat umum Komando Aksi (Komando Aksi) di alun-alun kota Malang pada tanggal 14 Oktober. Dalam pertemuan tersebut, para pemuda menyatakan secara terbuka bahwa mereka akan membantu tentara dalam menumpas Gerakan 30 September dan diterima oleh Kolonel Soemadi, Komandan Kopur III/83 (Komando Tempur/Komando Pertempuran di bawah Korem 083). Pertemuan tersebut juga menyerahkan 250.000 pemuda dari 30 ormas yang tergabung dalam Front Pemuda (Front Pemuda) Kota Malang.

Pada tanggal yang sama, militer mulai mengeluarkan perintah untuk menangkap dan menyelidiki anggota Gerwani dan Pemuda Rakyat guna mencari “informasi lengkap terkait Gerakan 30 September”. Radiogram ini menginstruksikan setiap Kodim (Komando Distrik Militer) untuk bekerja sama dengan komando kepolisian setempat dan Panca Tunggal untuk menyelidiki anggota Gerwani dan Pemuda Rakyat yang terlibat dalam pelatihan relawan di Jakarta. Investigasi harus menekankan pada pengetahuan mereka tentang Gerakan 30 September dan implementasinya di daerah. Masih belum jelas apakah radiogram ini mempengaruhi pembunuhan massal, namun menunjukkan bahwa demonstrasi massal sebelumnya mulai berubah menjadi serangan terhadap sayap kiri. Dari akhir Oktober hingga Desember 1965, laporan tersebut sering menyebutkan pembunuhan anggota organisasi sayap kiri yang dilakukan oleh pembunuh tak dikenal.

Terbentuknya Pupelrada menjadi titik balik dimana gerakan organik dari kelompok sayap kanan dan kiri pada minggu-minggu pertama bulan Oktober 1965 bertransformasi menjadi serangan terhadap sayap kiri pada pertengahan Oktober 1965 di Malang, Jawa Timur. Dalam hal ini, keterlibatan massa sipil dalam pembersihan anti-komunis harus dianggap sebagai upaya untuk menciptakan keyakinan bahwa kekerasan terhadap PKI adalah hasil dari kemarahan komunal yang spontan – sebuah ciri perang saudara. Instruksi untuk mengorganisir kekuatan sipil di bawah komando Angkatan Darat berlanjut hingga akhir bulan November 1965. Misalnya, sebuah radiogram pada tanggal 25 November 1965 memerintahkan seorang perwira menengah (Pama/petugas menengah) untuk langsung memimpin aksi massa. Setidaknya ditemukan dua petunjuk penting terkait eskalasi kekerasan. Yang pertama adalah pembentukan Pupelrada pada pertengahan Oktober 1965, yang menjadi titik balik bagi Komando Resor Militer (Korem) di Jawa Timur untuk mempunyai kekuasaan ekstra-yudisial dalam melaksanakan pembersihan anti-komunis di daerah mereka. Yang kedua adalah dikeluarkannya Operasi Pancasila pada tanggal 21 Oktober 1965 oleh Panglima TNI Jawa Timur yang secara jelas menyebutkan penggunaan warga sipil dalam operasi tentara melawan komunis.

ABSTRAK:

Paper ini membahas secara lebih lanjut konsep gabungan genosida dan pembunuhan massal melalui studi kasus anti-komunis di Indonesia periode 1965-66. Tingginya pelibatan masyarakat sipil pada pembunuhan ini telah mengaburkan kesimpulan bahwa negara (dalam kasus ini tentara Indonesia) tidak punya peran signifikan dalam pembunuhan. Negara Indonesia dan berbagai akademisi menginterpretasikan kekerasan ini sebagai hasil dari konflik horizontal antara komunis dan kelompok nasionalis religius; atau kekerasan yang tidak dihasilkan dari pola umum; karena beberapa area tentara mengambil kepemimpinan, ketika di area yang lain oleh masyarakat. Paper ini membahas pembunuhan di Jawa Timur, dengan tingkat kematian yang tinggi. Studi sebelumnya di provinsi ini menyimpulkan bahwa masyarakat secara dominan mengambil aksi melawan komunis dan para orang kiri. Meskipun hal ini tidak berarti bahwa tentara tidak mempunya peran signifikan dalam kekerasan. Melalui analisis akses terbaru dari arsip Kodam V Brawijaya, paper ini akan menunjukkan bahwa meskipun pembunuhan massal dieksekusi oleh orang-orang sipil di awal Oktober 1965 di Jawa Timur, mereka terkoordinasi secara sistematis di bawah instruksi militer sejak pertengahan Oktober 1965. Membaca arsip ini secara kuat menunjukkan bahwa militer secara struktural memfasilitasi kekerasan, ketika di sisi lain, masyarakat sipil berkolaborasi dengan militer untuk menyingkirkan orang-orang kiri Indonesia. Kolaborasi di Jawa Timur menunjukkan koordinasi secara struktural untuk persekusi komunis.

Link: https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/14623528.2020.1778612

Leksana, Grace. "Collaboration in mass violence: The case of the Indonesian anti-Leftist Mass killings in 1965–66 in East Java." Journal of Genocide Research 23.1 (2021): 58-80.

#31daysofindonesianscholar #graceleksana #masskilling #antileftist #eastjava #indonesia #army

PROFILE SCHOLAR:

Grace Tjandra Leksana merupakan peneliti sejarah dan dosen sejarah Universitas Negeri Malang (UM). Dia menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, S2 di Institute of Social Studies (ISS) Belanda, dan S3 di Universitas Leiden Belanda. Minat penelitian Grace terkait memori kolektif, kekerasan negara, sejarah oral, studi agraria, dan dekolonisasi. Dia juga menjadi anggota Institut Sejarah Sosial Indonesia. Grace menulis buku "Memory Culture of the Anti-Leftist Violence in Indonesia" (Amsterdam University Press, 2023).

Selasa, 09 April 2024

The Middle Class and Morality Politics in the Envisioning of the Nation in Post-Suharto Indonesia - Manneke Budiman

Tahun 2003 menjadi salah satu tahun bersejarah pada masa pos-Suharto di Indonesia. Lima tahun setelah Reformasi, Indonesia mengalami berbagai perubahan, salah satunya dikenal sebagai “fenomena Inul” atau “fenomenul”. Inul, penyanyi dangdut yang awalnya tak terdengar, tiba-tiba menjadi headline karena goyang ngebornya menjadi perbincangan, dan popularitas Inul meroket dalam semalam. Di sisi lain, Raja Dangdut Rhoma Irama menganggap goyang Inul vulgar dan berlawanan dengan ajaran Islam. Gelombang dukungan pun diberikan kepada Inul secara cepat, ada anggapan Rhoma hipokrit dan mencoba membunuh karier Inul melalui kompetisi yang tidak adil, karena Rhoma menggunakan otoritasnya sebagai raja dangdut sekaligus dai Islam.

 

Lahir dari keluarga kelas bawah di sebuah kota pesisir kecil di Jawa Timur, Inul Daratista memberikan energi baru yang berkaitan dengan polarisasi kekuasaan di antara kelompok-kelompok elite. Inul mengenalkan elemen-elemen rock, pencak silat, jaipong, holahop, hingga gerak aerobik ke dalam dangdut. Menghasilkan seri tarian berenergi dengan kecepatan yang cepat dari tubuh bagian bawah melalui goyang ngebornya. Tanggal 25 April 2003 merupakan hari yang bersejarah bagi Inul, karena pertemuan Inul dan Rhoma Irama yang menghasilkan kutukan artis senior pada juniornya di depan jurnalis karena tariannya itu. Goyangannya dianggap tidak sopan terhadap dangdut, yang diikuti dengan pelarangan MUI dan pemerintah daerah terhadap Inul untuk tampil. Beberapa artis juga menyuarakan protesnya terhadap tarian yang terlalu vulgar tersebut.

 

Tanpa membuang waktu, para fans Inul (Inul-mania) pun melakukan pembelaan. Aksi ini juga membuat mantan presiden Gus Dur, yang juga tetua NU dengan 35 juta pengikutnya, dengan dibantu pekerja seni dan aktivis perempuan berbicara untuk Inul. Para fans Inul juga membuat website yang didedikasikan untuk Inul. Organisasi baru FPI (Forum Pembela Inul) dan Jammah Inuliyah dibentuk. Mereka menggunakan istilah Republik Inulsia dengan Inul sebagai presidennya. Inul kemudian menjadi pembicaraan dari masyarakat dan pedagang kaki lima, hingga profesor-profesor di universitas. Termasuk juga para politisi yang memanfaatkan momen untuk menaikkan elektabilitas pada perhelatan pemilu 2004. 

 

Fenomenul ini menjadi trending karena berbagai alasan. Utamanya karena fenomena budaya yang cepat telah mentransformasi kontroversi antara elite dan orang biasa ke dalam debat yang diterima secara moral. Selain itu juga bangkitanya kekuatan Islam setelah Orde Baru atau pasca-Suharto. Penyair Taufik Ismail bahkan memberikan orasi budaya terkait ancama moral ini dengan gagasannya “Gerakan Syahwat Merdeka”. Selain itu, kasus Inul ini juga menunjukkan subjektivitas perempuan melawan angkatan konservatif yang mengekspos tubuh dan seksualitas perempuan. Elemen ini dianggap menjadi ancaman bagi “kepribadian bangsa”, sehingga dirumuskanlah undang-undang anti-pornografi. Paper ini membahas, tumbuhnya politik moral setelah kejatuhan Suharto di Indonesia memperlihatkan bagaimana karakter kelas menengah dengan semua kontradiksinya, memunculkan moralitas baru.

 

Di satu sisi, terdapat golongan kelas menengah intelektual konservatif seperti Rhoma Irama dan Taufik Ismail, yang meyakini moral suatu bangsa terancam oleh vulgaritas dan pornografi. Golongan ini pun telah memperkenalkan karya dan tren baru baik di bidang seni dan sastra yang diproduksi setelah kejatuhan Orde Baru. Di sisi lain, ada pula intelektual liberal dan akademisi seperti Goenawan Mohamad, B. Heryy Priyono, YB Mangunwijaya, dll, yang lebih berkonsentrasi pada perlindungan kebebasan berekspresi sebagai prasyarat untuk kemajuan bangsa. Dalam paper ini Manneke manyakan, bagaimana elemen yang berbeda-beda dari kelas menengah ini terjadi? Bagaimana usaha demokratisasi setelah reformasi 1998 terjadi

 

Goenawan Mohamad dalam kata pengantarnya kepada Ong Hokham dalam buku “Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang” (2003) mendefinisikan abad kedua puluh sebagai usaha untuk mencapai tujuan dua sisi yang tak terpisahkan: untuk mengejar kemajuan dan secara berkesinambungan untuk menemukan berbagai koheransi pada aliran kemajuan tersebut. GM mencoba menanyakan ulang masa lalu melalui komtemplasi romantis terhadapnya, sebagai manifestasi dari ekspresi puitis yang tinggi. Masa lalu dipotret sebagai suatu kehilangan yang hanya bisa didapatkan kembali melalui representasi romantis. Juga memahami masa lalu dalam genealogi bangsa, juga digambarkan sebagai sesuatu yang traumatis, dan ada dorongan untuk melupakan masa lalu, yang dalam prosesnya tidak menyenangkan untuk menuju kemajuan. Ini juga dimotivasi oleh ketidaksadaran yang menggiring pada usaha merepresi trauma.

 

Di sisi lain, Herry Priyono menggambarkan trayektori gagasan perjalanan kepada sebuah pembagian, masa depan yang mungkin frustratif. Gagasan ini dapat dilihat pada fenomena keseharian, ada serangkaian kekerasan politik yang terjadi secara masif dan dikomitmenkan oleh negara untuk mengurangi aspirasi rakyat. Kekerasan ini tidak mengizinkan gagasan untuk memutar kembali atau melihat kedepan. Pertanyaannya kemudian, sebenarnya apa genesis dari kekerasan yang menutup semua pintu nostalgia yang terjadi pada masa lalu dan mimpi di masa depan? Di dalam kondisi yang seperti itu, masa depan tampak menjadi tembok besar yang menutup jalur bagi pewujudan aspirasi bangsa untuk suatu “komuitas yang terbayangkan” (imagined community).

 

Bagi Priyono, merupakan hak dalam menggambarkan nasionalisme Indonesia sebagai bentuk politik yang unik dan baru, serta menjadi tindakan politik. Pandangan ini diadopsi dari akademikus Barat seperti Benedict Anderson. Kemudian kita mulai memahami mengapa penulis seperti Afrizal Malna menyebut suatu usaha skeptis yang dirumuskan sebagai “strategi kebudayaan”. Gagasan ini untuk menciptakan nilai baru yang cocok dengan konsep budaya baru bagi bangsa pasca-penjajahan seperti Indoneisa. Malna membagikan pandangan Priyono bahwa nasionalisme Indonesia secara dasar merupakan fenomena politik, meskipun trayektorinya kemudian bersifat kultural. Contohnya terjadi pada bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa nasional, menurut Malna, bahasa ini memiliki akar politik yang kuat. Bahasa Indonesia lebih merupakan instrumen politik untuk melawan penjajahan Belanda, alih-alih sebagai refleksi dari realitas kebahasaan. 

 

Kata Malna, ada nasionalisme di dalam puisi, dan puisi merupakan jenis dari nasionalisme literer atau nasionalisme budaya, yang mengungkapkan dirinya melalui budaya yang digunakan oleh golongan eliter, yang memantulkan suaranya jauh di balik tembok kota besar. Ini dikonsumsi oleh mereka yang berpendidikan dan menguasai bahasa. Berkebalikan dengan kehidupan area pedesaan yang masih menggunakan bahasa ibu mereka sebagai sarana komunikasi. Ini mengapa, Malna menyebut sastra Indonesia sebagai literatur urban, yang bercerai dari realitas massa. Pandangan ini kurang lebih sama dengan apa yang diungkap oleh Hilmar Farid yang menyatakan, bahasa membawa batasan terhadap realitas, jarang digunakan dalam masyarakat kecuali untuk kekuasaan politik tertentu yang kuat.

 

Sebagian besar studi terkait kelas menengah di Indonesia cenderung memotret kelompok ini sebagai suatu yang problematis, dan urbanis, yang mengindikasikan kesepian dan heteogenitas. Selain itu, kelas menengah memiliki hubungan dengan politik dan proses demokrasi. Kelas menengah Indonesia yang muncul sejak dua dekade lalu setelah kemerdekaan, umumnya tidaklah kapitlistik. Sebagaian anggotanya memperoleh status melalui pendidikan formal dan pelatihan, yang memberi mereka akses terhadap pemerintahan, militer, dan politik. Ariel Heryanto mengkritik jalan di mana kelas menengah Indonesia umumnya salah dipahami. Kelas menengah umumnya dipahami sebagai realitas objektif yang secara empiris dan objektif terdefinisikan. Umumnya kelas ini berada di antara kelas atas dan kelas bawah, juga umumnya dianggap sebagai kelompok yang monolitik, dengan karakter, sikap, perilaku, dan identitas yang khas.

 

Segmen kelas menengah yang mendukung Orde Baru dapat dirujuk pada para borjuis Indonesia, yang dasarnya “anti-liberal”, dan tidak berharap pada keberadaan “kepemimpian liberal dan progresif terhadap politik dan reformasi pasar”. Sementara itu, periode Reformasi telah membuka lebih ruang bagi publik untuk menyuarakan kritik terhadap berbagai proyek pembangunan. Menyambung pada fenomenul, konflik ini mengungkap budaya kelas menengah pasca kejatuhan Orba. Standar moral terkait dangdut menjadi ambigu dan identik dengan orang kampung. Selain itu, kekerasan yang dilakukan berbasis kampung menciptakan polarisasi di antara publik Jakarta dan Idnoesnia dalam mendukung Inul berhadapan dengan konservasi ulama Islam, artis dangdut senior, politik sayap kanan, dan organisasi fundamentalis. 

 

ABSTRAK:

 

Esai ini membahas moralitas pertumbuhan politik pada masa pos-Suharto Indonesia dengan menghubungkannya kepada genealogi dan karakteristik kelas menegah Indonesia, khususnya selama periode Orde Baru, tanpa mengurangi isu profesionalisme atau kebangkitan Islam. Di samping itu, paper ini mencoba mengenali isu dengan melihat kontradiksi internal dari kelas menengah Indonesia, identitas siapakah ini, dan definisinya yang menyisakan sesuatu yang keruh dan kacau. Sebuah survei dari berbagai pemikiran kunci mengusulkan beberapa scholar utama yang membahas terkait budaya nasional, nasionalisme, dan kelas menengah, yang ditawarkan untuk memberikan pemahaman yang lebih baik hubungan antara kelas menengah dan visi budaya nasional, dan bagaimana moralitas politik muncul sebagai sesuatu yang baru, faktor dominan di dalam pembentukan suatu visi. Papaer ini fokus pada pembangunan yang terjadi selama era pos-Suharto, yang dimulai dari masa Reformasi tahun 1998 yang membuktikan hancurnya dimansi Orde Baru, dan bagaimana berbagai elemen kelas menengah bereaksi dengan berbagai caranya untuk mensosialisasikan isu budaya yang muncul setelah kejatuhan Sujarto, memperlihatkan kompleksitas dan heterogenitas di dalam pandangan moral dan politik dari kelompok.

 

Budiman, Manneke. "The middle class and morality politics in the envisioning of the nation in post-Suharto Indonesia." Inter-Asia Cultural Studies 12.4 (2011): 482-499.

 

Link: https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/14649373.2011.603912

 

#31daysofindonesiascholars #mannekebudiman #middleclass #morality #politics #postsuharto #Indonesia #kelasmenengah

 

PROFIL SCHOLAR:

 

Manneke Budiman merupakan Dosen di Jurusan Sastra Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (UI). Dia menyelesaikan pendidikan S1 Sastra Inggris di UI (1989), S2 Perbandingan Sastra di Universitas Winconsin-Madison USA (1994), dan S3 Studi Asia di Universitas British Columbia Kanada (2011). Minat penelitiannya berkaitan dengan media, studi subkultur, gender, kritik eko-literasi, hingga stusi Asia spesialis isu sosial dan kultural ASEAN. Beberapa proyek penelitian beliau di antaranya, “From Islamist Political Project to Post-Islamist Cultural Project: A Shift of Paradigm or a Strategic Convergence?” dan “Globalisasi dalam Formasi Identitas dan Nasionalitas Serta Responsi Lokal di Bidang Bahasa, Seni, dan Budaya Popular”.