Jumat, 28 November 2014

Tiga Keunggulan Mahasiswa Fisika

Sharing pemikiran salah satu dosen fisika yang "yes" di UIN, Pak Cecilia Yanuarief.
Jadi ceritanya itu gini, usai dengar dongeng tentang Dewi Sri berserta kisah cupu manik astaginanya dari opa Jadul Maula. Di hari yang mendung, datanglah aku ke kelas fisika matematika (fismat).
Pak Cecil bilang mahasiswa fisika harusnya itu tiga kali lebih pintar daripada mahasiswa matematika. Kenapa? Ada tiga alasan:

1. Fisika lebih dari matematika. Matematika adalah alat bantu fisika. Di fisika pasti ada matematika, di matematika belum tentu ada fisika.
2. Mahasiswa fisika itu memiliki kemampuan fisis lebih. Kalau dalam matematika 2+2=4, di fisika tidak hanya berhenti disitu. Perlu penjabaran fisis kenapa bisa dapat 4? Contohnya gini: E=mc² hal fisis apa sih yang nerangin tentang ini? Apa dampaknya bagi fisik, ragawi?
3. Punya kemampuan verbal lebih. Jadi gini, saat Newton mengatakan rumus F=m.a tentu secara verbal kemampuan bahasanya dilatih untuk menerjemahkan: apa sih maksudnya itu?

Terakhir, tambahan dari aku sendiri, haha.. Yang punya bahasa simbol tak cuma puisi aja. Fisika adalah ilmu simbol-simbol--bahkan mungkin paling kaya. Bayangain aja untuk menuliskan massa cukup nulis satu huruf aja yaitu (m), tegangan (V), temperatur (T), arus listrik (I), jumlah muatan (N), dsb.

Ya, namun ini semacam tulisan hipokrit belaka jika tidak sungguh-sungguh *eh. Nothing happens until something moves.

Rabu, 26 November 2014

Taitologi

Kesalahan sebagian manusia adalah dirinya selalu menunggu keadaan 'ideal' untuk melakukan sesuatu. Entah itu di bidang apa atau kerjaan apa. Padahal sampai mampus sekali pun keadaan yang ia sebut 'ideal' itu tak akan datang. Jika pun datang itu fatamorgana saja. Hanya anggapan yang seolah-olah ideal. Bilapun itu demikian aku tak yakin si manusia itu bisa mengerjakan apa yang ia kehendaki dengan maksimal. Tidak ideal itu ideal. Ideal itu tidak ideal.

Lalu aku ingin meloncat tentang sebuah analisis sederhana tentang seseorang manusia yang tak tahu diri. Berkaca dari realitas barusan.Tadi aku nyuci piring, mbak yang nemenin ibuk kos bilang ke aku, intinya dia bilang: "mbak, besok kalau nyuci piring pake sabun sendiri ya, soalnya eyang (pemilik kos-red) marah. Kalau sekali dua kali nggak papa. Masalahnya udah berbulan-bulan, mbak-mbak yang lain juga sudah saya kasih tahu."
Aku tersadar. Ini bermula saat pertama aku masuk kos ini. Dulu aku menyiapkan sabun sendiri. Namun ada sebuah tradisi salah yang diwariskan mbak-mbak tetangga kos sebelum aku mereka selalu mencuci piring dengan sabun milik eyang. Akhirnya, karena nggak mau susah aku ketularan hingga berbulan bahkan setahun lamanya menikmati kemanjaan itu. Dan baru tadi tersadarkan.
Aku berpikir, kenapa manusia selalu nyaman melakukan kesalahan yang ia nikmati sebagai sebuah tradisi yang ia rasa enak? Analisisku lagi malah bercabang kemana-mana. Aku jadi ingat ibuk bapak di rumah. Apa selama ini aku juga tak tahu diri seperti kelakuanku memakai sabun eyang itu.

Ya, sebagian manusia asyik tertidur dengan kenyamanan yang salah. Sleep is so f38719U6c3k%#$%#%. !!!!!!!!!!

Minggu, 23 November 2014

Think Fast, Act Fast

Mungkin baru kemarin rasanya temanku bercerita tentang penelitian. Tentang idenya menemukan alat penemuan baru seperti halnya Gutenberg yang menemukan mesin cetak. Atau Thomas Alva yang menciptakan lampu.
Ia lalu menceritakan pengalamannya saat mengikuti sebuah olimpiade. Tiap kali mendengar diksi 'olimpiade' aku selalu ingin tertawa. Ceritanya membangunkan alam kuburku akan mimpi, ikut lomba bergengsi, dan menemukan penemuan besar. Dan jiwa fisikaku yang tidak peka ini mulai disentil--oh, fisika... Sampai sekarang aku masih wagu menganggap diriku ini mahasiswa fisika. 
Ya, jadi temanku ini ceritanya bertiga ke UGM ikut olimpiade yang diadakan salah satu perusahaan besar minyak di Indonesia. Temanku ini bercerita sangat hidup sekali, ekspresif. Baigaimana dia berdampingan dengan anak-anak berkacamata tebal, baru semester satu udah buat alat, mereka ramah-ramah dan sangat bersemangat.
Yang aku salut, temanku ini dia mengakui fisikanya tidak begitu keren, yang dia cari pengalamannya. Disana ketemu sama kakak tingkat yang prestasinya di UIN oke juga.
Entahlah, aku seperti menemukan nyawa lagi... Fis... ()

P.s.: Kau tahu, saat aku SD salah satu mimpi besarku yang belum terwujud adalah ikut lomba cerdas cermat. Di sorot mata kecilku saat itu, itu terlihat hebat. Namun aku sedih, kenapa guruku tidak pernah menunjukku untuk ikut? Dan satu hal yang bergelayut di pikiranku saat itu adalah karena aku kecil, dekil, bukan karena aku bodoh.

When I wish upon a star, I want flying with physics...

Rabu, 19 November 2014

Bincang Nulis Ke Koran Bareng Mas Amin

Siang tadi (19/11) atas undangan dari presiden Jabarantha Institute, Taufiqurrahman Sn, datanglah saya ke kantin dakwah sekitar pukul 12, ditemani mendung yang kelihatannya overdosis air.
Bersama seorang pembicara yaitu penulis asal Madura, Mas Aminuddin yang tulisan-tulisannya banyak diterbitkan di media massa. Kita berdiskusi bersama.

Mas Amin ini mulai nulis di media massa saat dia semester VII (sekarang udah jadi alumni UIN Suka, jurusan matematika, hehe). Awalnya, karena dia iri melihat temannya yang tulisannya dimuat di koran. Kedua, karena sejak semester VI Mas Amin ini memilih untuk tidak mau lagi mendapat kiriman dari orang tua. Sebab kedua itu, Mas Amin memutar otak untuk bagaimana melanjutkan hidup. Akhirnya dipilihlah jalan menulis.
Sumber: Amiendh Choank
 Berikut proses kreatif dan kutipan dari Mas Amin yang akan saya share kepada Anda...

# "Nulis itu kalau bisa punya target. Kalau dulu saya satu hari tiga tulisan."

# Proses menulis Mas Amin sebelum jago itu lama. Mas Amin cerita, nyari dan baca referensi itu kadang sampai tiga jam baru dapat satu tulisan. Belum lagi ngolah katanya...

# Strategi tembus koran: 1) kenali koran yang akan dituju. 2) ada hal baru yang ditawarkan (jangan angkat yang sudah diangkat orang lain). Triknya sering baca dan melawan arus!

# Ada ide menarik dari Mas Amin. Misalkan kita ingin membuat tulisan dengan tema BBM naik, kita baca lima artikel tentang tema itu. Lalu dari lima tulisan itu dikolaborasikan gagasannya, itu bisa jadi satu tulisan.

# Yazid nanya juga sama Mas Amin tentang mood nulis top-down. Sarannya: DIPAKSA. Kayak kita belajar kuliah, jangan ditunda! Semakin menunda semakin malas.

# Eureka! Kalau mau nulis di koran nggak perlu beli korannya. Kalau males beli dan nggak punya uang, di perpustakaan, di depan masjid UIN, di dinding koran yang banyak tersebar di jalan-jalan Jogja bisa dijadikan referensi. Plus, kita juga bisa ngecek tulisan kita disana. Apakah diterbitkan atau tidak (dan lantai satu fakultas Ushuluddin sepertinya adalah pilihan yang tepat, haha).

# Angkatlah isu-isu yang sedang hangat di sekitar kita.

# Memberi tanggapan terhadap tulisan orang lain juga memberi peluang besar dimuat. Upayakan itu opininya orang besar.

# Kalau tulisan nggak nongol, minta konfirmasi ke media lewat email.

# Nah, ini logika nulis dari Mas Amin, kerangkanya:
# Selamat menulis!

Lirik Lagu Pidato Retak - Sisir Tanah

Timpang
[Ewer ewer ewer  halo.. ewer ewer, ewer ewer,
Hai tanpa basi-basi
ewer-ewer-ewer
Mulut komat kamit matanya melotot
Lihat body semok pikirannya jorok
Mentang-mnetang kucai aku dianggap jablai
(pop mie-pop mie, es, jahe)
Dasar cowok jujay, ngajak check in dan santai
Ewer-ewer, ewer-ewer, ewer-ewer, ewer ewer ewer ewer
Iya mas pop mie-pop mie
Air-air-air, ABC-Energen
Ae wangu
Agar kita ini rakyat menjadi suasana Idonesia yang siap
yang memiliki bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dan posisi kita sudah jelas pasal 33 juga telah mengatur  dengan gamblang bahwa udara, dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnyya, dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat]

Pidato-pidato presiden retak tertusuk-tusuk dusta
Teriak-teriak, tertambat sunyi letih mengarung urat
Sengsara rakyat terlalu lapar dideras arus air mata
Pidato-pidato presiden retak tertusuk-tusuk dusta
Teriak-teriak, tertambat sunyi letih mengarung urat
Sengasara rakyat terlalu lapar dideras arus air mata

Telepon genggam diaktifkan, doa diaktifkan
Harapan diaktifkan, janji palsu diaktifkan
Hei! ada ranjang masih goyang, alat kelamin dinonaktifkan
Puisi dicetak rapi, mahasiswa mogok makan
Langit kota wangi polusi, kere merapatkan diri
Nasi diaduk dengan air mata
Sepagi itu sarapan api

TUAN DAN NYONYA BELAJAR LOGIKA SUDAH SAMPAI MANA?
TUAN DAN NYONYA BELAJAR LOGIKA SUDAH SAMPAI MANA?

Telepon genggam diaktifkan, doa diaktifkan
Harapan diaktifkan, janji palsu diaktifkan
Janji palsu diaktifkan, janji palsu diaktifkan
Hai, ada ranjang masih goyang, alat kelamin dinonaktifkan
Puisi dicetak rapi, mahasiswa mogok makan
Langit kota wangi polusi kere merapatkan diri 

-SISIR TANAH-

NB: Jika ada kesalahan lirik, silahkan koreksi di kolom komentar, saya akan memperbaikinya.

Selasa, 18 November 2014

Konsep Apapun

Alam semesta menyembunyikan rahasianya dalam dua kata ampuh di dalam pengetahuan: SIMETRIS dan ASIMETRIS.

Minggu, 16 November 2014

Tips Nulis dari Abidah

Kemarin meski telat satu setengah jam, saya datang di acara launching bedah buku Abidah El Khalieqy judulnya "Akulah Istri Teroris" di teatrikal perpus UIN Suka, Sabtu (15/11).
Ini yang bisa saya bagi untuk Anda:
Sebelum 15 tahun, ada apa?
#Untuk menjadi penulis besar, cermati apa yang mereka lakukan. Seperti apa yang Abidah lakukan? Yang GM lakukan? Atau yang Hemingway lakukan?
Dalam pembuatan novel Abidah ini misalkan, ia melakukan riset langsung ke Poso, Sulawesi dan menemui tersangka serta aparat pemerintahan setempat.

#Masalah nulis itu tinggal PD atau enggak. Begini sistemnya:
  1. Temukan objek dan tema yang ingin ditulis. Pastikan tema itu Anda cintai dulu, meski Anda punya keterbatasan tentang tema itu. Jika tidak cinta, paksa untuk cinta.
  2. Kalau Anda merasa "kurang" lakukan RISET. Yang sederhana-sederhana saja, misalnya: buku, sosial media, mengamati lingkungan, sampai langsung terjun ke lapangan.
  3. Setiap terkendala di tengah jalan (mengalami writer's block) lakukan RISET lagi.
#Anda tahu? dulu penulis-penulis besar seperti Gabriel Marquez di pidato penerimaan nobelnya bilang 85% kisah yang ditulisnya merupakan kisah yang ia alami sebelum ia berumur 15 tahun. Nah, jadikan pengalaman masa lalu Anda sebagai rujukan awal dan referensi faktual untuk Anda eksplor!

#Setiap Anda menulis, berikanlah ruang bicara bagi tokoh, subjek, dan objek tulisan Anda.

Selamat menulis!

Rabu, 12 November 2014

Yang Gigih Bekerja dalam Diam


11 November 2014
Dear you….

Hari Selasa kemarin cukup padat. Pertama dari kelas Elektronika Dasar. Yang menarik itu kisah tentang seorang ilmuwan bernama Geoge Boole. Jadi (berdasarkan cerita singkat dari bapak dosen Nur Untoro) dalam tugas akhirnya Boole membuat suatu rumus aljabar yang terdiri hanya dua angka yaitu nol dan satu. Tapi oleh pembimbingnya disepelekan, hingga membuat si Boole bunuh diri. Akhirnya apa yang diteliti Boole itu menjadi dasar aljabar Boolean dalam matematika, fisika, dan ilmu komputer. Dari logikanya, satu itu berarti BENAR, dan nol itu SALAH.

Banyak hal menumpuk juga dari ngerjain laporan praktikum tentang penyearah gelombang (20 lembar dan ini hasil paling memuaskan dari yang pernah kubuat di semester III), trus praktikum tentang bab pencacah yang ngrangkai kabelnya ribet banget. Ngerjain ulang review film Fetih 1453 karena kemarin saking nggak sempatnya aku ngopas review itu dari internet. Sebagai beban moral, aku membuatnya lagi. Sialnya pas mau ngeprint lampu mati dan kelas sudah dimulai. Piye jal?

Masuk kelas SKI (sejarah kebudayaan Islam). Isinya  presentasi-diskusi, tentang penjajahan bangsa Eropa dan kaitannya dengan umat Islam gitu. Ada yang tanya: Apa yang membuat umat muslim itu maju? Apa yang membuatnya terpuruk? Aku memberi tanggapan: Menurutku simpel. Cuma satu faktor, "ilmu pengetahuan". Umat Islam maju karena mengembangkan "ilmu pengetahuan" dan umat Islam mundur karena meninggalkan "ilmu pengetahuan". Saat meninggalkan itu, umat (maaf) menjadi bodoh dan terus manut. Sedangkan orang yang terus manut, ia akan selalu dituntut. Itu larinya ke imperialisme individu.

Habis SKI, masih ada satu kelas lagi, filsafat ilmu sama pak Mukalam (yang wajahnya ala Orang Tionghoa dan dia mengingatkanku dengan tokoh bernama Akiong). Di sisi lain, tanggal ini aku ngisi diskusi untuk anak baru di Arena tentang Teknik Penulisan Berita. Ya, aku harus milih. Aku milih yang kedua dan bolos filsafat. 

Ini untuk pertama kalinya jadi fasilitator di Arena. Ya, semacam pemateri yang memfasilitasi. Persiapannya udah dari dua minggu yang lalu juga sebenarnya. Begini kisahnya: awalnya, aku agak grogi ya. Aku membagi materi jadi empat poin besar: pengertian, macam berita, komposisi berita, etika menulis berita. Alhamdulillah, anak-anaknya pada aktif, haha. Yang paling berkesan itu mungkin pas aku nyuruh semua yang ada di Arena untuk membuat satu judul, terserah. Yang menang hadiahnya tepuk tangan. Aku senang karena mereka antusias, ide-idenya menarik, dan ada juga yang bikin ketawa. 

Dan…. (jeng-jeng-jeng) pemenang dari lomba buat judul adalah Mas Jamal! Mas PU. Dia buat judul bunyinya: Menanti Hujan Subsidi. Ia menang setelah mendapatkan 13 suara dari 21 orang yang hadir sore itu. *Aplause* Jujur sih, judulnya bikin merinding gimana gitu, haha. Kalau kata anak baru, ada yang bilang menarik, membuat saya berharap, sampai so sweet, haha.

Aku juga dipaksa buat judul. Nah, judul ini itu aku salin dari tulisan di KOMPAS tanggal 1 Agustus 2014, bunyinya: Yang Gigih Bekerja dalam Diam. Judul ini juga sempat aku jadikan status fesbuk dua hari yang lalu. Aku pikir judul itu (sangat) menarik, eh, yang voting cuma 4 orang doang, haha. Lalu dari eksplorasi buat judul itu dibuat standar umum membuat judul.
yang gigih bekerja dalam diam
Oke. Dari ruang hangat Arena, kita beralih ke jalan yang tak pernah sepi, kawasan Malioboro, di daerah nol km. Aku dapat SMS dari Kemp, intinya: jam 6pm ada aksi teatrikal, pembacaan puisi, orasi, dll. Wacana yang digulingkan tentang demokrasi dan keadilan.

Trus, sama anak-anak Kemp kesana bareng. Banyak yang ikut juga, hehe. Acara ini yang ngadain sebuah LSM gitu. Massanya kebanyakan dari anak-anak basis FPPI (Front Perjuangan Pemuda Indonesia). Wah, kerenlah mereka pokoknya. Ketemu sama suhu Mas Opik juga, haha. Lama menghilang dia sekarang makin tambah radikal saja, haha. Disitu Mas Opik jadi korlap (koordinator lapangan). 
Wujudkan Keadilan
Lalu, Mas Opik memintaku untuk milih: orasi atau baca puisi? Aku milih pilihan kedua. Ia lalu memberiku puisi judulnya Peringatan! Lariknya berbunyi: 

Jika rakyat pergi/ Ketika penguasa berpidato/ Kita harus hati-hati/ Barangkali mereka putus asa
Dan kalau rakyat sembuyi/ Dan berbisik-bisik/ Ketika membicarakan masalahnya sendiri/ Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Dan bila rakyat tidak berani mengeluh/ Itu artinya sudah gawat/ Dan bila omongan penguasa/ Tidak boleh dibantah/ Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang/ Suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan/ Dituduh subversi dan mengganggu keamanan/ maka hanya satu kata: LAWAN!
(Solo, 1986)

Nggak tahu ini puisinya siapa? Bagiku menarik. Pas membaca puisi itu, deklamator diiringi alat musik dari jimbe, biola, terompet, dan gitar serta paduan suara menyanyikan lagu kebangsaan. Sesuatu banget.

Yang menarik lagi itu si David. Beberapa saat pasca David orasi dia bilang ke aku: enak kan bicara di depan? Mungkin pertama nggak PD, tapi kalau udah tiga kali, bakal ketagihan. Yang paling berat itu pas awal-awal maju, bingung mau ngomong apa. Tapi kalau udah di depan, kalimat itu ngalir sendiri. #Good.

Yang berkesan lagi. Aku kenal sama seorang wanita berumur 30 tahun dengan pakaian coklat kumel, wajah tak keurus, bernama Mbak Bekti. Dia seorang pengemis yang tidurnya di kawasan jalan Malioboro. Asalnya dari Bantul. Aku, Afin, Yani, Sukron sedikit ngomong-ngomong sama Mbak Bekti. Pendidikan dia sampai SMA, tapi sekolahnya di SLB semua. Mbak Bekti bilang polos: Di sekolah umum aku nggak bisa nangkap, sulit.

Ah, apakah negara juga akan peduli sama orang-orang, pengemis-pengemis, seperti Mbak Bekti ini? Ya, Indonesia butuh lebih banyak lagi mereka yang gigih bekerja dalam diam.

Kamis, 06 November 2014

Yang Berumah Di Atas Awan

I.
Di antara bunyi kokok ayam entah burung aku menulis ini...
Juga bunyi pesawat terbang, motor, dan kereta api (tentu saja sepeda tak terdengar)
Aku mencoba mambayangkan: bagaimana rumah di atas awan itu? Siapa penghuninya? Bagiamana arsitektur atau tamannya?
II.
Aku ingin bercerita tentang kemarin. Saat temanku bilang, "Orang yang tidak terhanyut dalam arus mainstream, berarti orang itu sudah mengenal dirinya sendiri." Aku cukup skeptis dan mempertanyakan ulang apa benar? Aku lalu membayangkan orang yang 'tidak mainstream' itu seperti apa? Dalam bayanganku: ya, orang yang setia dengan karakter dan apa yang dia punya Is. Dia tak gampang terpengaruh dengan logika mayoritas. Mudahnya: Inilah saya...
III.
Lalu, raga saya berpindah ke sebuah ruang perpustakaan. Lalu berpindah lagi ke sudut SC untuk diskusi (tentang Marx dan keterasingan). Aku bahagia di lingkungan penuh dialektika seperti ini. Bagiku ini adalah cabang rumah di atas awan.
IV.
Lalu aku membuka koran. Disana aku membaca sebuah feature yang memuat sosok bernama Sam. Dia lumpuh, tulang belakangnya retak, tapi dia tetap hidup dengan komputer di depannya. Dia bekerja dengan itu. Sam mendapat penghargaan internasional karena membuat sebuah software pembelajaran.
Yang menarik buatku saat Sam ditanya: 'apa yang paling menyedihkan dalam hidup?'. Sam menjawab: 'itu pertanyaan cengeng. Hidup saya baik-baik saja dan sama seperti yang lain.' Intinya kira-kira dia bicara begitu. Seperti judul di tulisan itu, mungkin dia salah satu penghuni rumah di atas awan...
V.
Di halaman yang lain. Yang membedakan orang besar dan orang kecil itu ada tiga:
  1. Orang besar membicarakan ide, orang kecil membicarakan manusia.
  2. Orang besar mencari esensi, orang kecil mencari sensasi.
  3. Orang besar mementingkan kepentingan bersama, orang kecil mementingkan dirinya sendiri.
VI.
----Ada yang hilang----
VII.
Ini soal hati. Entah kenapa kamu baik sekali. Saat aku diam lalu kamu datang dan memberiku sesuatu untuk aku makan. 
VIII.
Lalu aku pulang dari SC dan di tanjakkan meninggalkan SC ada seorang yang mengaku dari pengadilan memanggilku: "Isma!" Aku yang tak tahu siapa nengok. Aku tersenyum, oh kamu. Aku senang karena bisa saling menyapa seperti ini.