Selasa, 31 Januari 2023

Tabula Rasa (2014): Saat Orang Papua Memasak Masakan Padang

Di sekitar jalan menuju kosku, tepatnya di jalan menuju Museum Prasasti, ada empat Kedai Masakan Padang yang berjejer dengan jarak yang tak jauh. Aku bertanya-tanya, mengapa orang-orang Padang tak ada takut-takutnya berkompetisi dengan satu rasnya sendiri, dalam jarak yang dekat. Bisa jadi itu bukan kompetisi, tapi persaudaraan, sebagaimana yang dikatan Mak Uwo dalam film ini.

Ya, itu kesan yang kuingat ketika menonton film Tabula Rasa. Tapi film ini lebih kompleks dari yang kuduga. Kayak membayangkan sebuah dunia lain, yang diisi dengan masing-masing suku di Indonesia, dari Minang, Papua, Sunda, Jawa, hingga suku Kei barangkali hidup dalam satu rumah. Dan hal ini barangkali pernah kurasakan ketika sekolah.

Di film ini, Emak (Ria Irawan), Parmanto (Yayu Unru), dan Natsir (Ozzol Ramdan) yang adalah orang-orang Minang, dipertemukan dengan Hans (Jimmy Kobogau) orang Papua. Mimpi Hans sebagai pemain sepak bola profesional karam karena dia ditolak (bagaikan sampah yang dicampakkan). 

Kaki Hans yang sedikit pincang akibat cedera dirasa tak mendukung untuk dia jadi pemain sepak bola. Ya, ini diibaratkan seorang penulis tangannya cacat tapi dianggap tak jago dalam menulis.

Hans yang juga seorang yatim piatu pun hidupnya makin terlunta-lunta di pinggiran Jakarta. Lalu ada Emak yang menolong, karena Hans mengingatkan Emak akan anak laki-lakinya yang meninggal karena gempa di Padang. Hans pun diam-diam jadi anak angkat Emang, Hans diajari memasak masakan Padang, dan dia bisa membuktikan diri jika dia ternyata juga jago memasak masakan Padang.

Yang menarik, bagaimana budaya orang Padang dan budaya orang Papua dibenturkan. Orang Papua yang ceplas-ceplos, kasar, keras, pemalas, emosian, tak bisa menyimpan uang dengan baik; bertemu dengan orang Padang yang hemat, pandai mengatur uang, pekerja keras, dan ramah. Adaptasi antar keduanya terlihat dalam film ini, dan tentu Hans sebagai suku yang dianggap marjinal dalam film ini menunjukkan karakter aslinya. Pemunculan karakter ini jadi semacam stigma sendiri, tapi juga dikurasi oleh sang sutradara untuk menunjukkan ketegangan.

Dalam film ini pula, secara tak langsung aku diajari terkait teori memasak dan memilih material untuk dimasak. Bahwa bawang impor yang murah dan kelihatan segar itu rasanya tak setajam bawang merah yang kecil dan ditanam di tanah sendiri. Lalu bagaimana cara menikmati masakan Padang hingga papeda, cara membuat Gulai Ikan Kakap (alih-alih rendang).

Masing-masing aktor dalam film ini memiliki karakter yang kuat, yang membentuk keseluruhan cerita. Dunia ini rasanya memang dipenuhi dengan kontradiksi-kontradiksi. Dari kontradiksi itu kita sama-sama belajar. Tokoh-tokoh dalam film ini membumi, dan jika kita menjadi salah satunya, belum tentu bisa lebih baik membuat keputusan ketimbang mereka.

Moment paling mengharukan buatku saat Parmanto yang sedang bekerja untuk rumah makan Padang seberang memesan masakan Padang buatan rumah makan Emak yang masakannya dibuat oleh Hans. Di situ kek terlihat, kualitas tak pernah bohong, bahkan kualitas ini bekerja untuk bidang-bidang lain seperti menulis. 

Dalam film ini aku melihat bagaimana makanan yang tak bernyawa itu bisa hidup dan berbicara sangat banyak. Bagaimana kedai Padang sebagaimana gerai waralaba KFC yang bisa ditemukan dengan mudah di mana-mana. Atau tentang bagaimana Indonesia Timur dan Barat yang bersatu di Jawa.

Minggu, 29 Januari 2023

Resensi Film-Film yang Kutonton Seminggu Ini

Trinity, The Nekad Traveler (2017)

Di film ini kek kita rasanya diajak si Trin (Maudy Ayunda) jalan-jalan ke berbagai tempat menarik di Indonesia. Melihat keindahan alam Indonesia yang begitu kaya. Tak hanya itu, juga diajak jalan-jalan ke Filipina sampai Maldives. Merasakan kuliner dan birunya air laut dan ombak bercahaya di sana, wuih, indah.

Pelajaran berharga yang kudapat dari film ini: Nilai dari menjadi seorang traveler, kamu gak sekadar seneng-seneng aja, tapi juga berpetualangan. Dan keputusan paling tepat saat menjadi traveler itu gak sekadar sibuk mendokumentasikan dengan alat-alat perekam, tapi juga "merasakannya".

Usai nonton film ini, aku jadi lebih terpantik untuk hidup lebih mengejar mimpiku lagi: "Berkeliling Indonesia!". Siap-siap bikin bucking list. Ya, aku percaya di setiap tempat akan ada teman baru yang bisa kutemui. Teman tak sekadar manusia, tapi juga lingkungan dan alam itu sendiri. Yak, cakep!

Filosofi Kopi 2: Ben dan Jody (2017)

Ekspektasiku nonton film ini sih pengen diajak keliling Indonesia juga dari sudut pandang "pecinta kopi", yak, coba masuk ke alam anak-anak kopi gitu lah. Kamu dibawa ke Jogja sampai ke Toraja. Pelajaran berharga dari film ini yang bisa kupetik: (1) Pemulia benih tak pernah mati. Penanam. (2) Setiap hal yang punya rasa, selalu punya nyawa.

Sebagai orang yang tak begitu demen kopi, lihat film ini tak menambah rasa tertarikku juga pada kopi. Malah jujur terganggu dengan akting marah-marah tokoh utama Ben (Chicco Jerikho) di sepanjang film yang rasanya bikin mood tambah males aja. Meski diimbangi sama akting kalem nan Budhist tokoh Jody (Rio Dewanto), si protagonis dalam film.

Tokoh lain yang menarik adalah Brie (Nadine Alexandra) yang kuat mental banget menghadapi Ben. Ya, bener sih, kalau bukan karena cinta keknya bisa kerja di lingkungan yang seperti ini bakal berat. Kusuka gaya dan akting Brie di film ini. Cool.

Ngeri-Ngeri Sedap (2022)

Spoiler, bagi anak rantau, film ini mengandung bawang. Ya, sebuah film keluarga yang pas banget buat ditonton sama mamak, bapak, kakak, adek-adek, dan keluar besar. Konfliknya sangat keseharian dan manusiawi. Adalah Pak Domu (Arswendy Bening Swara) dan istrinya Marlina (Tika Panggabean) sedih karena tiga anaknya Domu (Boris Bokir), Gabe (Lolox), dan Sahat (Indra Jegel) tak pulang-pulang ke rumah selama bertahun-tahun.

Akhirnya orangtua mereka pura-pura marah dan minta cerai dengan bantuan anak kedua yang jadi PNS di kecamatan bernama Sarma (Gita Bhebhita). Penyamaran itu pun berhasil, sehingga membuat ketiga anaknya yang laki-laki pulang. Tiap anak punya permasalahan mereka sendiri, mimpi dan cita-cita yang jauh berbeda pula, ketegangan antara yang modern dan adat juga tampak.

Kelebihan juga dari film ini, bagaimana bisa menampilkan keindahan Danau Toba yang kek surga tersendiri aja. Juga rumah si orangtua Batak yang dekat danau itu kek rumah idaman. Bisa juga gambarin budaya makan mi gomak Medan, dan tradisi kumpul bapak-bapak saat malam. Juga bicara terkait kuasa seorang ayah di dalam keluarga. Bagaimana anak-anak meniru perilaku ayah, dan ibu. Film yang "keluarga Indonesia banget!".

Chrisye (2017)

Nonton film ini jujur karena saya mengidolakan Chrisye, sebagai musisi Indonesia yang belum ada yang menyamainya. Di film ini, aku jadi lebih mengenal dengan sosok beliau secara dekat dan berencana menyambangi makamnya di TPU Jeruk Perut Jakarta Selatan. Dari film ini aku belajar terkait kesetiaan, rasa percaya, cinta, dan perjuangan bersama dengan pasangan. Muncul mimpi baru juga: Jika aku telah bertemu dengan pria yang benar-benar jadi jodohku, aku ingin dikuburkan satu lahat dengannya; ini sebagaimana Chrisye dan Yanti, atau seperti Eyang Habibie dan Eyang Ainun.

Film ini juga menunjukkan terkait proses kreatif Chrisye dalam membuat karya-karya musiknya. Chrisye yang penuh dengan keraguan, kebimbangan, dan rasa tak percaya dengan diri dan karyanya sendiri kupikir menjadi salah satu ciri dari seniman hebat. Kemudian di luar sana, aku bertanya, kenapa banyak orang yang begitu membanggakan bahkan mempromosikan karya mereka yang barangkali banyak ampasnya itu ke publik.

Aku cukup lama mendengar Chrisye, dan bagiku melodi-melodi yang dihadirkan Chrisye benar-benar kelas legenda. Di rumah, Chrisye juga adalah sosok ayah yang baik, yang suka bercerita, dan meski dalam kondisi sakit, dia masih memberikan cahaya. Akting Vino G. Bastian sebagai Chrisye dan Velove Vexia sebagai Yanti, hadir dengan tak berlebihan di film ini. Aku merinding saat proses pengerjaan lagu "Ketika Kaki dan Tangan Bicara", yang liriknya dibantu pembuatannya oleh Taufiq Ismail. Lagu yang merangkum kandungan Surat Yasin.

Film ini membawaku kembali pada Tuhan. Chrisye yang mualaf bukanlah seorang Muslim KTP yang tak acuh pada Tuhannya. Eyang.... Kapan-kapan aku akan main ke tempat Eyang, aku janji Eyang.

Ngenest: Kadang Hidup Perlu Ditertawakan (2015)

Trilogi buku Ernest Perkasa yang berjudul sama dengan film ini "Ngenest", kubeli beberapa waktu yang lalu di pasar buku bekas Glodok. Film yang menunjukkan bagaimana rasisme bekerja dalam bentuk komedi yang bisa kita tertawakan tapi masih memberi kita arti yang dalam. Meski tak 100 persen sama dengan buku Ernest, pesan utama jelas, dari mana kita berasal bukan poinnya, tapi bagaimana kita bisa beradaptasi itu yang menjadi hal utama.

Pemeran Meira (Lala Karmela) cukup mewakili istri Ernest. Film ini berjalan linier dari saat Ernest dilahirkan, kemudian sekolah SD, SMP, SMA, kuliah, hingga mereka menikah dan punya anak pertama mereka, Sky Tierra Solana. Aku melihat perjuangan seorang istri, dan bagaimana suami memahami istrinya bekerja di film ini. Sebuah acara tembak menembak yang tak lazim, acara pernikahan Chinese yang kocak, hingga bagaimana psikologi kelas-kelas minoritas ditampilkan.

Yang menonjol dari film ini pula bagaimana kru-krunya membuat karya secara kekeluargaan. Bahkan istri dan anak-anak Ernest ikut nongol dalam film ini. Sebuah keluarga yang menarik. Film ini juga membawa kita bagaimana menghormati kaum minoritas secara baik. Dan Ernest sekali lagi: membawakannya dengan kocak dan bisa diterima kupikir oleh siapa saja.

9 Summers 10 Autumns (2013)

Nggak tahu, rasanya campur aduk nonton film ini. Aku kayak bisa nangis seharian cuma gara-gara nonton film ini saking relate-nya sama kehidupan masa kecilku. Film ini begitu terasa nyatanya, hingga tokoh Ibu (Dewi Irawan) dan Bapak (Alex Komang) begitu menggambarkan kehidupan rumah tangga di keluargaku juga. Berikut dengan jumlah saudara yang banyak, jika Iwan Setyawan aka Bayek (Muhammad Ihsan Tarore) dalam film ini anak ketiga dari lima bersaudara, aku anak pertama dari empat bersaudara. 

Dari masa kecil Iwan yang pinter matematika, punya keinginan memiliki kamar sendiri, ke sekolah dengan sepatu yang jebol, berprestasi dalam hal akademik begitu dekat dengan masa ketika kecilku juga. Ya Allah, film ini saking nyatanya seperti membawaku pulang. Apalagi tempat (setting) di daerah Batu, Malang, kondisi kota yang masyarakatnya tak jauh berbeda dengan kotaku pula.

Banyak pelajaran penting terkait pendidikan yang bisa kurefleksikan dalam film ini. Kupikir, pentingnya dari film biografi seperti ini adalah bagaimana seseorang bisa belajar melalui orang lain, hal-hal baik yang bisa kita tiru sehingga meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan kita. Iwan, anak seorang sopir angkot yang bisa menjadi lulusan terbaik di MIPA IPB dan bekerja di silicon valley-nya Amerika, di Big Apple memberi kekuatan lain dari sebuah harapan dan mimpi.

Iwan melewati banyak masa dan perjuangan. Dia belajar, dia puasa, dia tirakat, dia bertarung sendirian, mencapai mimpi-mimpinya. Sebagaimana judul, dia melewati sembilan kali musim panas dan sepuluh kali musim dingin di New York. Film ini mengajarkanku, aku malas menjadi miskin, perjuangan sepenuh hatilah yang mengubah hidup, dan harapan terbangun dari perjuangan yang kokoh.

Melihat Iwan, aku seperti melihat diriku yang lain.... Terima kasih untuk film mengharukan ini.

Shy Shy Cat (2016)

Nonton film ini seperti dibawa langsung ke habitatnya orang-orang Sunda asli. Kehidupan desa dan pemandangan alam yang ASRI, kebudayaan daerah yang menarik untuk dikulik, dan tentu tentang bagaimana seseorang bisa memberi dampak pada lingkungannya.

Terkisah Mira (Nirina Zubir) serta dua sahabatnya Jessy (Acha Septriasa) dan Umi (Ratu Tika Bravani) pergi bersama ke kampung Mira (yang sepertinya di Garut) untuk satu visi: menggagalkan perjodohan Mira dan Otoy (Fedi Nuril). Setelah sampai ke desa, ternyata Otoy dewasa jauh berbeda dengan kondisinya saat kecil. Otoy tumbuh jadi orang yang bisa membangun kampung, membuat program-program pemberdayaan bagi masyarakat, serta mendidik anak-anak jurus-jurus kanuragan di sana.

Tak hanya itu, Otoy juga lulusan Mesir dengan dua gelar, Sarjana di bidang Agama dan Magister di bidang Bisnis. Perbedaan dua jurusan ini ternyata berdasar dan saling menguatkan. Agama dipilihnya karena masyarakat di daerah itu masih banyak yang bodoh, dan dengan ilmu agama, dia ingin membuat perubahan menjadikan masyarakat lebih pintar. Dan jurusan bisnis dipilih karena masyarakat di daerah itu banyak yang miskin, sehingga dengan ilmu bisnis bisa membuat masyarakat lebih sejahtera secara ekonomi. Karena dua alasan keterbelakangan masyarakat di daerah dia menurutnya adalah kebodohan dan kemiskinan.

Lalu jadi teringat pesan Albert Einstein: “ilmu tanpa agama buta, agama tanpa ilmu lumpuh”.

Pelajaran lain yang berharga dari film ini adalah jodoh itu akan memilih yang terdekat, yang kita punya irisan banyak sama dia, dan jangan pernah berharap orang di luar circle akan bisa masuk; ya bisa sih, tapi kemungkinan kecil, haha. Sebagaimana yang terjadi pada Otoy dan Inul (Titi Kamal). Sebab kupikir si Otoy ini akan jadi sama Mira, ternyata tidak. Macam ilmu memasak juga sih, "Kalau kita tahu hidupnya, kita lebih intim memasaknya," kata Inul.

Aku, Kau, & KUA (2014)

Niatnya setelah nonton Shy Shy Cat, aku pengen dalami film-film karya Monty Tiwa yang lain. Ketemulah dengan film ini Aku, Kau, & KUA. Nonton dua film garapan Monty, ada satu garis merah yang kutangkap, garapan Monty cukup profetik dengan membawa ajaran-ajaran Tuhan pada film-film dengan spesifikasi usia dewasa akhir.

Film berkisah tentang sekumpulan sahabat di usia mereka yang cocok untuk menikah tengah galau dengan masalahnya sendiri-sendiri. Fira (Nina Zatulini) yang gagal menikah dengan Lando (Eza Gionino) karena Lando mengaku dirinya selingkuh. Lalu Fira dikejar oleh Deon (Deva Mahendra) yang mengidap penyakit jantung ringan, yang diam-diam mencintai Fira. Adalagi kisah Mona (Karina Nadila) yang habis putus dengan Jerry (Fandy Christian). Mona berubah penampilan menjadi lebih solehah dengan tujuan utama mendapat cowok soleh. Meski dia terjebak pada cinta yang salah, suka dengan Kak Emil (Dwi Sasono) yang sudah punya istri Widi Mulia.

Kisah lain, si Rico (Adipati Dolken), si pemuda miskin yang sering ngutang dan menjalin hubungan dengan anak orang kaya yang hidup hedon bernama Aida (Bianca Liza). Hubungan mereka tak direstui hingga Rico menetapkan pilihannya pada Uci (Eriska Rein). Tapi ada kendala lagi, Uci yang pintar dan mendapat beasiswa ke Jerman meragukan relasi tersebut karena tak ingin terjebak LDR. Hal lain yang menurut Uci krusial, dirinya mengaku jika ia sudah tak perawan lagi pada Rico.

Setelah kegalauan itu akhirnya Rico dan Uci mendapat jawaban. Juga teman-teman Uci yang lain. Film ini cukup kocak. Pelajaran pentingnya terkait cinta: "Cinta (menurut istilah) adalah rasa kasih sayang yang muncul dari lubuk hati yang terdalam untuk rela berkorban, tanpa mengharap imbalan apapun, dan dari siapapun kembali imbalan yang datang dan diridhoi Allah SWT."

Keluarga Cemara (2018)

Lihat film ini, semakin sadar, jadi orangtua itu tidak mudah. Film remake dari serial yang lebih panjang ini semacam dimampatkan. Emak (Nirina Zubir) dan Abah (Ringgo Agus Rahman) memiliki dua anak perempuan Euis (Adhisty Zara) dan Ara (Widuri Puteri Sasono). Abah terkena PHK dan rumahnya disita karena perbuatan saudara iparnya sendiri. Kemudian mereka pindah ke rumah yang lebih lusuh tapi dengan udara dan pemandangan yang menyegarkan. Perekonomian mereka berantakan hingga si abah jadi kuli bangunan dan driver Ojol.

Euis juga harus beradaptasi dengan sekolah barunya. Dia bertemu Rindu (Yasamin Jasem), Deni (Kafin Sulthan), dan lainnya. Euis harus berjualan opak di sekolah. Kehidupan mereka berubah total. Euis kehilangan pula kehidupan mewahnya, terpisah dengan gank dance dia. Tokoh Ara yang sepertinya tak tahu apa-apa berjalan kesana-kesini tanpa beban pikiran yang berarti. Dia tak mengerti kesedihan keluarganya.

Tokoh abah dalam film ini ditampilkan seperti sosok malaikat, kebaikan-kebaikannya dalam membantu orang lain seperti dongeng saja. Sementara si Emak sebagaimana ibu dan istri yang tak kalah baiknya menerima semua keadaan suami, bahkan di titik nadir mereka sekalipun. Ada satu kutipan yang kusuka, "Jika Abah bertanggungjawab kepada kami? Lalu siapa yang bertanggungjawab terhadap Abah?" tanya Euis. Suatu pertanyaan yang menyentil maskulanitas laki-laki.

Humba Dreams (2019)

Film beralur lambat yang lebih menekankan simbol daripada cerita itu sendiri. Banyak simbol yang luput dari analisisku. Yang menarik perhatian adalah terkait Sumba. Daerah yang terletak di NTT ini ingin kusambangi suatu hari, bermain, memakai tenung adatnya, melihat adat Marapu, berjalan di antara sabananya, naik kuda poni di sana, atau hal-hal lain yang menyenangkan.

Martin (J.S. Khairen) yang juga seorang mahasiswa jurusan perfilman mencoba memecahkan teka-teki warisan ayahnya yang telah meninggal. Warisan itu berupa film yang bercerita terkait Sumba, yang harus ditonton oleh masyarakat di sekitar rumah Martin. Membuka film tersebut bukan hal yang mudah, Martin pun berkeliling kesana-kemari untuk mencari cara agar film tersebut bisa diputar.

Dalam perjalanan itu, dia pergi ke rumah seorang perempuan lokal yang beristri pria bule. Di sana, Martin juga bertemu dengan Ana (Ully Triani). Di sana terjalin cinta kilat antara Martin dan Ana, hal tabu dilakukan, yang bahkan dengan cara yang sebegitu mudah. Aku cukup terganggu di adegan ini karena cenderung diada-adakan dan pemanis saja, alih-alih memperkuat cerita.  

The lion's share aja bagiku apa yang dilakukan Ana, dan di tengah masyarakat Sumba yang masih kuat adatnya, hal itu terasa aneh. Sementara Martin bertindak sebagaimana to lead one by the nose, to control Ana completely, and fucking Ana like shooting fish in a barrel. Lalu latar isu yang dibawa juga sangat banyak: imigran, kemiskinan, agama adat, dll.

Film ini juga membawa salah satu teoritikus film D.A. Peransi. Long in the tooth. Meski aku tak begitu ngerti-ngerti amat terkait film, film ini jadi semacam film renungan perjalanan yang suwung, perlu berpikir keras atau tak usah berpikir sama sekali untuk merasakan perjalanan tiap tokohnya.

Rabu, 25 Januari 2023

Review Film yang Dibintangi Marsha Timothy

Toko Barang Mantan (2020)

Ide yang menarik dari film ini adalah terkait latarnya. Menarik karena ada aja orang-orang yang punya pikiran lain dari biasa, jualan yang gak umum, dan meski tak menjanjikan tapi tampak orisinal. Ini bukan toko yang menjual makanan atau baju-baju untuk keseharian, tapi toko yang menjual barang mantan.

Tokonya unik, latarnya aku suka dan sekilas dari segi pewarnaan mirip filmnya Wes Anderson. So cheerful. Kalau aku punya tokonya, aku yakin akan betah jadi pegawainya seperti Amel (Dea Panendra) dan Rio (Iedil Putra). Aku bagian yang menulis sejarah dari tiap barang yang dijual.

Di film ini juga suka dengan spot-spot Jakarta yang tak asing. Dari GBK, Universitas Atmajaya, MRT Istora Senayan.

Meski dari konflik utama terasa so-so, Tristan (Reza Rahadian) dan Laras (Marsha Timothy) yang beda karakter saling menjalin relasi asmara. Tak ada ungkapan cinta Tris ke Laras, karena Tris menganggap cinta itu tai kucing. Ya, dari pengalaman ayahnya yang usai ditinggal setahun mamahnya meninggal kemudian menikah lagi. Hubungan Tris dan ayahnya adalah perang dingin.

Beda dengan Tris, Laras hidup dalam keluarga yang penuh kehangatan. Penuh cinta dan terbiasa menunjukkan kasih sayang. Berhubungan dengan Tris membuatnya bertanya-tanya, karena Tris tak pernah menembaknya, dan dia tak menganggap Tris adalah mantannya.

Kisah menembak Tris lucu, ya, di perpustakaan, dengan story telling yang dibuat sedemikian rupa.

Yang baru dan berkesan dari film ini, ide tokonya, tak lebih.

Noktah Merah Pernikahan (2022)

Lebih suka akting Marsha di film ini daripada di Toko Barang Mantan. Di sini Marsha sangat tampak lebih natural, dewasa, sesuai umur, dan feeling dapat. Film ini sangat alami menggambarkan hubungan dan konflik suami istri pasca usia pernikahan mereka yang memasuki 11 tahun.

80 persen film ini alurnya sangat nyata, dan 20 persennya terasa diminta kelar cepat. 

Konflik utama dipicu oleh orangtua/mertua dari masing-masing tokoh utama, yang terlalu ikut campur dalam rumah tangga. Hingga muncul orang ketiga bernama Yuli (Sheila Dara Aisha) yang dianggap menjadi pemicu perpecahan.

Sang istri bernama Ambar (Marsha Timothy) dan sang suami Gilang (Oka Antara) terlibat konflik rumah tangga yang cukup rumit dan memakan batin. Mereka punya dua anak, Bagas dan Ayu yang masih kecil usia SD.

Film ini gambarin style Ibu Rumah Tangga yang kusuka, OOTD ibu yang kusuka, rumah idaman kecil mungil yang kusuka, design interior yang kusuka, landcascape architecht yang kusuka, fasad rumah yang kusuka, tempat workshop yang estetik, taman kecil yang tak lebai, hingga jumlah anak yang kusuka dan tipe suami yang meski gak sempurna tapi gak mau nyakitin istrinya. Banyak hal yang kupelajari dari film ini, dan membuka doa-doa lain yang belum sempat kudaftar menjadi doa.

Dari awal sampai akhir aku betah nonton film ini, di akhir film sempat nangis. Dari sisi Ambar kukira ada sifatku juga yang sepertinya, yang keras kepala, mandiri, dan seolah merasa selalu sendiri. 

Jika tujuan film ini ingin mengajarkan terkait "value" dalam menjalin sebuah hubungan, ya, cobaannya terlalu banyak, yang ketika aku menjadi Ambar sekali pun, belum tentu akan bisa melewati itu.

Selain itu, dari sisi sinematik dan gambar, film ini aku menikmati banget. 

Kulari ke Pantai (2018)

Film yang menarik, di sini peran Marsha sebagai Ibu Uci, ibu dari Samudra Biru (Maisha Kanna) kembali membuat kehidupan ibu-ibu jadi sejenis petualangan hidup yang menarik. Sebagaimana film Tiga Hari untuk Selamanya, film ini mengajak penontonnya untuk berjalan-jalan sepanjang Pulau Jawa dengan rute berbeda. Kita diajak jalan-jalan dari Jakarta, Cirebon, Temanggung, Magelang, Jogja, Surabaya, Blitar, Bromo, Situbondo, Bali, hingga kembali ke Rote, NTT.

Konfliknya pun sangat keseharian, Sam dan sepupunya Happy (Lil'li Latisha), yang mempunyai kepribadian yang berbeda diajak saling bekerja sama. Happy sebagaimana princess, feminin, dan selalu ngomong bahasa Inggris harus semobil dengan Sam yang tomboy, berani, dan penyuka surfing. Mereka dalam perjalannya saling berselisih, entah masalah sugar rush, gaya Happy yang ingin menang sendiri, hingga mereka saling bekerja sama menolong seorang anak di daerah yang menderita usus buntu.

Sebagai anak kecil, Sam dan Happy punya mimpi yang sama: bertemu sang idola. Sam ingin bertemu surfer Kailani Johnson; dan Happy ingin bertemu dengan sejenis girlband bareng gank-nya di Jakarta.

Yang menarik dari film ini adalah pemandangannya. Ya, sangat keren, tak kalah keren dengan film Trinity, The Naked Traveller. Dan pemandangan di film ini lebih dekat dan familiar di aku karena pengalaman perjalanan yang lalu-lalu, haha.

Yang membuat related juga dengan kehidupan lalu, karena film ini juga ada pemain tamu, suami-istri Edward Suhadi (Pak Edi) dan Francy Tanumihardja (Fifi). Ingat Pak Edi, jadi ingat blog beliau, kesetiaan beliau pada Fifi, dan cerita romantis lain. Mereka keren.

Minggu, 22 Januari 2023

22 Januari 2023

Terima kasih Isma hari ini telah berani. Hehe.

Aku tak akan sekanak-kanakan dulu lagi, 1,5 tahun yang lalu, wkwk. (Kupikir loncatan mentalku naik tinggi, haha).

Aku harus belajar menjadi dewasa, jika ada yang belum selesai, aku harus berani menyelesaikannya.

Terima kasih telah berani memperjuangkan nasib dan perasaanmu sendiri.

Makasih, Ma :)

 (Peluk)

Jumat, 20 Januari 2023

20 Januari 2022

"Apa pun hobimu, dalami, dan make sure itu memberikan dampak positif terhadap dunia." Q-Man

Jumat, 13 Januari 2023

13 Januari 2023

Refleksi hari ini:

1. Hal yang paling mahal di dunia ini adalah kesehatan.

2. Soal pekerjaan, aku tidak takut lagi untuk meminta kejelasan pembayaran di awal. Jika di awal pekerjaan pembayaran tidak jelas, aku tak mau ambil. Aku udah pengalaman banyak ngerjain project dengan sistem pembayaran tak jelas, dan mereka melupakan kewajiban mereka pada pekerja sedangkan kamu merasa keringatmu sudah habis. Tak akan lagi.

3. Jika sudah, ya sudah, jangan diulangi. Gpp kau dibilang abcdx, asal jiwa-raga kamu sehat. Yang tahu kesehatanmu adalah dirimu sendiri. Termasuk dalam hal ngambil pekerjaan.

4. Jangan mempolusi diri sendiri dengan hal-hal yang tidak sehat, berbuat jahat dan merugikan itu urusan mereka, tak usah kau ikut-ikut.

 5. Tetap menjadi langit dan laut.

Kamis, 12 Januari 2023

Kelahiran Pi

Halo Pi, telah lama kau kumimpikan

Hari ini mimpi itu terwujud Pi

Aku sangat senang

Semoga kita bisa membuat karya bersama

Membuat waktu lebih produktif lagi

Kau menemaniku sampai nanti

Semoga umurmu panjang Pi

Sebagaimana peribahasa:

"You are the apple of my eye."


GI, 12 Januari 2023

Konsumsi, Konsumsi, Konsumsi

Aku memikirkan hal ini sejak kemarin, kebanyakan yang kuamati, hal yang tak imbang dalam hidup adalah terkait konsumsi vs produksi. Dalam hal menulis dan membaca saja semisal, mengulas produk lain itu juga bagian konsumsi. Aku ingin produksi dan konsumsiku seimbang.

Selasa, 10 Januari 2023

10 Januari 2023

Di titik ini, aku ngrasa gak ada hal-hal lain yang kuinginkan selain hidup sehat. Ku udah gak insecure atau galau lagi soal ku akan sekolah lagi atau gak; ku akan buat buku atau gak; ku akan punya teman atau gak; ku akan nikah atau gak; atau keinginan lain. Aku mau menikmati hidupku dengan nothing to loose, yang terjadi terjadilah. Kalaupun nanti tiba waktunya Tuhan manggil aku pun, aku pengen dalam kondisi sehat.

Kamis, 05 Januari 2023

Debat Noam Chomsky dan Michel Foucault

 

Setelah berpuluh purnama, saya menonton ulang debat ini karena sebuah meme. Ya, Foucault dengan wajah tengilnya, Chomsky dengan gaya khas akademisinya, dan Mr. Elders si moderator di pertengahan seperti pusing mendamaikan keduanya. Di debat internasional itu Foucault gak gengsi ngaku kalau Basa Inggrisnya jelek dan dia milih pake Basa Prancis. Chomsky fine-fine aja karena di debat ini dia tak perlu penerjemah untuk nanggapi Foucault.

Poin-poin yang saya catat dari obrolan mereka:

1. Chomsky mendefinisikan kodrat manusia (human nature) sebagai kumpulan dari prinsip pengorganisasian bawaan yang memandu perilaku sosial dan intelektual seseorang. Jadi Chomsky secara gak langsung ngomong kalau kodrat manusia itu sistematis, as simple kayak bayi sedang belajar bahasa.

2. Nah, ini didebat sama si Foucault, gak gak gak Sky, gak gitu konsepnya, dia nyampaiin pemikiran gak umum (peripheral notions) yang mainnya itu gak terorganisasi, khususnya dalam ilmu pengetahuan. Di mana ilmu pengetahuan ini bukanlah suatu instrumen analisis dan mereka tak terdeskripsikan. Atau sesederhana cuma menyediakan masalah dibanding jawaban pasti dari suatu studi.

3. Foucault juga ngritik selama abad 17-18 konsep dari hidup/kehidupan itu kek tabel hirarkis, kek dalam hidup isinya cuma lu butuh dan lu gak butuh. Ini juga yang terjadi pada pengorganisasian makhluk hidup (natural beings). Dia contohin kasus di ilmu biologi, awalnya (katakanlah) konsep dunia mikroskop tuh gak jelas sampai bidang-bidang lain kek kimia dan psikologi yang menyempurnakannya.

4. Kemudian, Chomsky juga berpendapat jika kreativitas adalah karakteristik dari kodrat manusia dan semua orang menggunakannya. Meski orang-orang sering stuck di hal-hal yang traffic (banyak lalu lintas di sana). Kreativitas ini bukan "kreativitas" yang secara umumnya kita pahami, tapi lebih kek proses gimana manusia mengolah/merespons apa yang terjadi padanya secara proper. Kreativitas ini juga ada batasnya untuk menjaganya tetap kreatif.

5. Sementara Foucault keukeuh di konsep epistimologinya yang menggerakkan aktivitas manusia. Hal ini menjadi aturan tidak sadar yang mengelola secara total pengetahuan-pengetahuan yang terpisah-pisah. Foucault percaya pada akhirnya pengetahuan ini tak hanya menghalangi tapi juga mengeliminasi "topeng-topeng" pengetahuan yang ada.

Quote:

"Well, the collection, this mass of schematisms, innate organizing principles, which guides our social and intellectual and individual behavior, that's what I mean to refer to by the concept of human nature." (Noam Chomsky)

"Life was a concept that served to point out new fields of study that science still had to discover. I would say, as a historian of science, that the concept of life was an epistemological indicator; an index of the problems that still had to be uncovered." (Michel Foucault)


"If it were not for those limitations, we would not have the creative act of going from a little bit of knowledge, a little bit of experience, to a rich and highly articulated and complicated array of knowledge." (Noam Chomsky)

PS: Di akhir debat ini saya lebih bisa nilai siapa yang lebih percaya diri dan unggul, no debate, Chomsky. Dia lebih baik, lebih kalem, lebih banyak pakai argumennya sendiri ketimbang Foucault. Meski secara ketajaman argumen gak beda jauh. Dan ya, Chomsky benar, untuk meminimalisir proletariat harus ada distribusi kekuasaan/kekuatan dan memperbanyak pekerja intelektual.

#noamchomsky #michelfoucault #humannature #powerdistribution

Minggu, 01 Januari 2023

LPJ 2022: Tahun yang Banyak Mainnya

Tahun 2022 jadi penanda setahun lebih saya hidup di Jakarta. Setahun ini saya menjalani nuansa hidup “jet life” karena hampir tiap bulan ada saja kota, pulau, dan daerah baru di Indonesia yang saya kunjungi. Tahun ini jika diibaratkan roda, hidup saya seperti ada di puncak. Saya katakan di puncak karena jika teman-teman membaca LPJ hidup saya di tahun 2019, 2020, dan 2021, seperti lebih banyak sedihnya. Tapi bukankah orang lebih tertarik membaca kesedihan dibandingkan kebahagiaan? Sebab kesedihan terasa lebih realistis dibandingkan kebahagiaan.

Sepanjang tahun 2022 kondisi finansial saya stabil bahkan bisa dikatakan surplus. Ini prestasi yang patut disyukuri karena saya sudah sering ada dalam posisi defisit dan dire in money. Tapi yang lebih penting dibanding ini, saya lebih bisa menikmati pekerjaan, ketemu circle baru yang membuat saya naik kelas, lebih bisa kontrol psikologi kalau lagi down, dan saya menyukai Jakarta sebagaimana saya mencintai Jogja. 

A Jet Life
Mungkin ini jawaban atas ketekunan dan kesabaran saya, haha, karena saya sadar bukan berasal dari orangtua dengan ekonomi berada, lulusan universitas top three, atau memiliki privilege fisik yang mudah diminati orang. Yang bisa saya perjuangkan adalah karakter dan nilai (value) diri saya, dan itu yang akan saya kembangkan sebaik yang saya bisa. Tujuannya, selain untuk mengapresiasi diri, saya juga ingin keberadaan saya bermanfaat bagi orang-orang di sekeliling saya.

Sebenarnya tahun 2022 bukanlah tahun yang baik-baik amat karena banyak berita dan hal sedih yang saya alami. Pertengahan tahun dari Jakarta saya terpaksa pulang ke kampung di Cepu, Blora, Jawa Tengah untuk nengok Ibu yang dirawat di rumah sakit. Ibu kena stroke, sebelah tubuhnya sulit digerakkan. Kurang lebih tiga hari saya jaga ibu dan nengok rumah yang rasanya sudah seperti gubug derita. Rumah itu sebenarnya bukan rumah keluarga kami, tapi rumah nenek dan kakek dari pihak ibu. Orangtua saya hanya meneruskan, dan Bapak dengan kreativitasnya mencoba menghias rumah itu dengan hobi seninya.

Lantai kotor, atap mau ambrol
Saya pikir, rumah yang keluarga saya tinggali bukanlah rumah yang bisa dikatakan layak karena bangunannya tua, kayunya sudah banyak yang lapuk, gentengnya sudah banyak yang bocor, lantainya dialasi keramik yang kotor dan pecah-pecah, udaranya yang tidak sehat, serta sanitasinya yang masih memakai WC cubluk dan aliran airnya yang mampet. Saya jadi bisa menganalisis, kenapa barang-barang di rumah saya cepat rusak, entah itu lemari, meja, kursi, kulkas, karena memang lingkungannya yang tak mendukung. Atau barang-barang itu tak betah ada di rumah. Saya berniat untuk membangunnya lagi, entah kapan.

Kesedihan lainnya banyak mendengar kabar beberapa saudara dari pihak Bapak dan Ibu meninggal. Atau di tahun ini juga ada kawan baik pas kuliah meninggal. Namun ada juga kabar menggembirakan, seperti tahun ini adik terakhir saya bisa lanjut kuliah di jurusan Hubungan Internasional UPN Surabaya. Ya, setidaknya saya menyimpan harapan pada adik saya ini untuk mengangkat harkat orangtua saya. Jika nanti saya tidak bisa, saya ingin adik saya bisa. Dua adik saya lainnya juga semoga semakin sejahtera dan terkabul cita-cita yang diinginkan.

Kadang saya merasa dan mempertanyakan diri sendiri, apakah saya kakak yang cukup baik untuk adik-adik saya? Tak tahu apa jawabannya, tapi saya akan terus berdoa untuk jadi manusia baik.

Pulau-Pulau dan Konser-Konser Baru

Keuntungan take for granted yang saya dapat dari profesi saya sebagai Staf Jurnalistik Hubungan Masyarakat (Humas) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) adalah saya bisa kerja sambil jalan-jalan ke berbagai daerah di seluruh Indonesia sampai daerah-daerah terpencil. Selama setahun ini saya pernah dinas ke: Merauke (Papua), Padang (Sumatra Barat), Mamuju (Sulawesi Barat) dan Makassar, Sumedang (Jawa Barat), dan Cirebon (Jawa Barat), kalau terakhir ini ke nikahan Muja-Novi sama teman-teman kantor, haha. Atau ke saya juga ke kota-kota lain atas inisiatif sendiri, seperti ke Bandung dan Bogor lumayan sering buat refreshing. Sama ada tujuan juga sih, terakhir ke Bandung saat acara mengenang kepergian Pak Mukti-Mukti, saya menulis lumayan panjang tentang beliau di web Serunai.

Humas Puspen Kemendagri

Hal menarik selama berkunjung ke tempat di luar Pulau Jawa, saya suka menikmati moment melamun dan termenung di atas pesawat dekat jendela. Gak tahu, rasanya tenang dan adem aja. Saya kek merasa itu di atas awan, melihat awan kayak kapas putih terbang kian kemari membuat jiwa saya bahagia.

Di setiap daerah itu saya punya cerita-ceritanya masing-masing yang saya buat di tulisan tersendiri. Salah satu doa yang sering saya sebut saat masih sekolah adalah, “Ya Allah, suatu hari nanti saya ingin ke Papua.” Saya tak menyangka doa itu akan terkabul. Akhirnya saya ke tanahnya Denias, Senandung di Atas Awan. Saya pernah kepikiran buat jadi guru di Papua seperti Pak Maleo di film Denias. Apakah cita-cita itu masih ada? Kalau masih sih masih, tapi komitmennya itu yang saya tak yakin. Bayangan saya ke depan lebih akan jadi peneliti dan penulis yang seperti scholar-scholar yang karyanya saya kumpulkan dari Sci-Hub.

Senja di Merauke
 
Senja di Mamuju

Di perbatasan Papua Nugini

Selama kerja di Kemendagri juga bisa effortless bertemu dengan banyak menteri dan orang-orang Eselon I di era Jokowi secara langsung. Yang menarik menurut pengamatan saya, mereka juga manusia biasa sama kek kita. Yang membedakan cuma perannya saja beda-beda. Mereka juga bisa dibilang lebih pintar, disiplin, solutif, agak baper beberapa, talkactive, dan selalu tampil moderat. Selebihnya sama, makan, minum, tidur, nafas, dan buat kebijakan-kebijakan. Sebenarnya banyak kritik juga, tapi makin ke sini itu saya makin punya kesadaran baru terkait kerja-kerja pemerintah yang ternyata gak gampang. Gila sih ini, dan gak ada negara yang bisa mengakomodir semua kebutuhan warga negaranya. Sebab itu gerakan subversif ada, jika dijembatani pun tetap kompleks. Sudahlah ya, biar diurus Pak Tito Karnavian dan yang berwenang saja. Saya sekarang kalau gak tahu tentang isu tertentu lebih milih diam. 

Padang
Bandung
Bogor
Pantai Manakarra
Telaga Biru Cicerem, Kuningan
Tahun ini juga saya banyak nonton konser. Jakarta memberi saya kesempatan untuk bertemu dengan musisi ibu kota dan anak kota. Usai pandemi menurun drastis, konser banyak digelar di mana-mana. Rasanya senang bisa nyanyi bersama band-band dan penyanyi yang dulu cuma bisa saya lihat dari TV. Setahun ini saya punya kesempatan buat nonton: The Adams, Pure Saturday, Silampukau, Efek Rumah Kaca (ERK), D’Masiv, The Changcuters, RAN, Maliq & D'Essentials, Kuntoaji, Hivi!, Kahitna, Barasuara, Ardhito, apa lagi ya... Ya itulah yang saya ingat. Setahun ini juga sebenarnya saya lebih banyak dengerin lagu Mandarin. Gak paham artinya, tapi suka aja.

Maliq & D'Essentials
The Adams
Keluarga Besar Remotivi

Tanggal 29 Mei 2022 pukul 10.48 WIB lalu, Mas Geger Riyanto DM Instagram saya bilang, “Isma, tertarik buat tulis di Remotivi? Bentuk tulisannya semacam review isu dan konsep”. Ditawari guru dan penulis/peneliti panutan saya ini, saya gak mikir panjang langsung menyanggupi. Setelah menulis dua tulisan, saya ditawari untuk bergabung menjadi penulisnya Remotivi. Saat itu ada wawancara Zoom dengan Direktur Remotivi Mas Yovantra Arief atau Mas Yoyon yang juga vokalisnya Astroneko.

Kalau dihitung-hitung, sudah ada setengah tahun lebih saya bergabung dengan Remotivi. Ada beberapa tulisan yang berhasil saya selesaikan. Belum begitu banyak, tapi saya berharap bisa memberikan perspektif baru dan kritis bagi dunia permediaan di Indonesia. 

Depan kantor Remotivi
Oiya, tanggal 27-29 Desember 2022 lalu Remotivi gelar rapat kerja (Raker) akhir tahun. Diadakan di Kantor Remotivi yang baru di daerah Kebayoran Lama. Satu kantor sama Pantau dan Project Multatuli. Setelah puluhan purnama tak bertemu Mas Geger, seneng banget rasanya bisa ketemu Mas Geger lagi. Dengan tulus saya ingin bilang selamat buat Mas Geger atas gelar Ph.D atau doktoralnya di Universitas Heidelberg Jerman.

Duh, rasanya kok pengen nangis ya (duh lemah, iya, maaf), ingat Mas Geger jadi ingat kawan-kawan Prakerti. Kawah candradimuka saya. Bagaimanapun saya ingin mencatat, Mas Geger adalah salah satu sosok yang penting dalam hidup saya yang mengubah hidup dan jalan pikiran saya. Dari Mas Geger saya belajar bagaimana menjadi penulis, akademisi, dan peneliti.

MAKASIH MAS GEGER!!!!

Dalam raker itu saya juga bertemu dengan kawan-kawan Remotivi yang lain: Mas Yoyon, Mas Heychael, Mbak Bhena, Mbak Wintang, Mbak Sae, Mbak Gendhis, Mbak Mia, Surya, Abel, Mas Ilham, Mas Rafi, Mbak Yuni, Mas Pram, Mas Rangga... (semoga tak ada nama yang terlewat). Senang bisa berkenalan dengan kawan-kawan semua. Saya pikir, Mas Yoyon itu galak, dingin, kaku, serius, ternyata pas ketemu orangnya lucu. Bahkan sempat ngobrol bagaimana daerah Cepu dengan percakapan yang bikin ngakak. Yah, sepertinya saya harus belajar tidak menilai orang dari casing saja, wkwk. Pokoknya....

               MAKASIH MAS YOYON DAN REMOTIVI!

Persetan Cinta-Cintaan!

Tahun ini bab “cinta” jujur paling buat saya lelah. Di mulai di awal tahun, kedekatan saya dengan laki-laki asal Banjarnegara sudah berakhir. Laki-laki yang ngajarin saya artinya duit, artinya investasi, artinya nabung, artinya ngirit juga (meski saya sadar kepribadian saya bakal susah kalau diminta sehemat dia). Kedekatan ini berakhir semenjak saya sudah tinggal di Jakarta. Terus entah bulan apa, dia unggah status di WA dan IG sama pacar barunya. Ya sudah, moga langgeng sampai kalian nikah. Bahagia dunia-akhirat. Dari pria ini saya belajar: Punyailah dana darurat. Siapkan aset untuk masa depan. Hidup Bank Indonesia! (Eh, terakhir gak ikutan).

Laki-laki lainnya, sekitar tiga bulan kali ya dekat sama laki-laki berinisial R lulusan Manajemen UI (kalau gak salah, saya agak-agak lupa karena dia pernah sekolah di Malaysia dan tinggal di US juga). Pinter sih anaknya. Yah, kami banyak cerita tentang diri masing-masing. Tapi dasarnya dia memang menjadikan saya sebagai opsi, saya pun juga demikian, akhirnya gak lanjut. Juga karena dia terlalu sibuk dengan kerjaan dan otomotif dan dunia mobil-mobilan yang saya buta, ya sudah, biarkan saja. Meski saya merasa dekat dengan mamanya, ya sudahlah. Moga dia juga nemu perempuan lain yang benar-benar dia cari dan sesuai sama kriteria dia. Dari pria ini saya belajar: Sebagai perempuan, saya harus menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Kalau bisa sampai luar negeri. Perempuan harus pintar biar anaknya pintar.

Dekat juga tiga hari sama laki-laki berinisial R dari Cimahi lulusan Sastra Jepang Unpad. Saya ngomong dekat karena selama tiga hari itu dari malam ketemu pagi kami teleponan ngomong ngalor ngidul banyak banget terkait ini-itu. Termasuk genius sebenarnya anaknya. Kalau saya analisis sendiri, lagi-lagi saya gak pede di fisik, melihat foto mantan-mantan dia di medsos (iya, saya stalking medsosnya, anak INTJ hasrat keponya melebihi intel BIN) yang kek cewek-cewek Korea, apalah saya yang hanya remahan krupuk ketoprak. Terus, gak baik juga kalau saya teruskan karena engagement dia ke almarhumah tunangannya besar banget. Belum bisa lupain. Bisa sih sebenarnya saya tahan, tapi akhirnya dianya yang pergi sendiri. Ya sudah, no no no, saya gak akan ngejar atau nahan—meski saya sudah ada rasa, biarlah hilang sendiri. Dari pria ini saya belajar dari statement dia: Daripada saya ngegalauin kamu, ya kamu lah yang ngegalauin saya. Atau: Daripada saya lihat atau baca karya orang, ya mending saya buat karya sendiri.

Terus pernah dekat lagi sama laki-laki sekitaran sebulan, anak Jakarta, lulusan Universitas Atmaja Jakarta (pamer almamater gak sih ini? Ya sudah terlanjur. Intinya mau kasih background ke orang aja sih). Agak rock and roll hidup orang ini mah. Namanya kalau di Indonesiakan artinya Yesus Kecil, ya, dia orang Katolik (untuk sekian kalinya saya dekat sama cowok beragama Katolik). Sama anak ini juga kami banyak ngobrol, dan merasa nyambung karena karakternya sama dengan saya, kek tanpa harapan dan ekspektasi apa-apa aja gitu sama hidup. Obrolan yang saya ingat, kami pernah bahas kehidupan kelas-kelas menengah atas Jakarta. Dia cerita mantan-mantan dan teman-teman dia juga yang Chinese-Chinese, gaya hidupnya kek gimana. Dari dia saya belajar: Guilty pressure itu gak baik buat jiwa kamu. Untuk hal-hal yang benar-benar kamu nikmati, berpestalah! Lalu, depresi itu wajar dan bisa dialami oleh siapa aja, yang penting kamu masih tetap gerak dan usaha, gak usah pakai banyak otak.

Suatu hari di Galnas

Laki-laki Katolik berikutnya yang saya pernah dekat berinisial K. Kami pernah sekali main ke Galeri Nasional dan Museum. Masnya ini Chinese, kami beda usia lima/enam tahun apa ya. Lupa, wkwk. Dia asli Bandung, pernah kuliah setahun di DKV ITB terus berhenti karena milih nglanjutin sekolahnya di Tiongkok sampai magister. Dia cerita kehidupan dia saat di China. Ada hal penting dari pertemuan dengan Mas K ini, dia juga salah satu pria dewasa yang saya kenal. Dia bilang, dia milih perempuan karena tiga nilai: Bagaimana perempuan itu memandang keluarga? Bagaimana perempuan itu memandang agama/Tuhan? Bagaimana perlakukan perempuan itu terhadap uang? Saya kira tiga ini cukup merangkum nilai-nilai saya juga. Kami masih berteman, dia juga tadi WA saya dan saya senang dengan doanya:

“Happy New Year Isma! May this year bring health, new happiness, opportunities, achievements, and a lot of new inspirations for your life.” /(Aammiiiin, makasi yaaa)/

Sama ada sih cowok yang dekat cuma sekilas-sekilas saja. Terus hilang. Terus ada lagi satu cowok, kami ketemu pas di Jogja, dia berasal dari Indonesia bagian Timur sana, di Jakarta kita ketemu lagi dan beberapa kali jalan bersama. Kalau dia baca ini ya semoga dia ngerti. Saya ingin bilang kalau bersama dia rasa insecure saya gak nambah, saya merasa aman dan nyaman, saya bisa cerita banyak (hanya dengan orang-orang tertentu saja saya bisa ekspresif), dan hobinya tak jauh dengan hobi saya. Pernah suatu hari saya bilang suka, untuk tes ombak saja sih, ternyata jawabannya diplomatis, gak nolak, gak juga nerima. Ya sudah, mempertegas? No, No, No. Kita sudah sama-sama dewasa, sudah sama-sama berumur, kalau memang gak yakin, ya sudah, itu jawabannya. Haram bagi saya clingy dan needy sama orang, sesuka apa pun ke dia, itu bukan karakter saya banget.

Begitu rangkuman kisah percintaan saya setahun ini. Gak terlalu bisa dibanggain sih, tapi saya punya value saya sendiri terkait relationship. Kalau dihitung-hitung, I am officially stoned, sepanjang saya hidup, saya tiga kali pernah ngomong suka duluan sama cowok dan ketiganya saya ditolak. Usai penolakan yang ketiga kali, saya janji ke diri saya sendiri, saya tak akan bilang suka lagi secara lebih dulu ke siapa pun cowok di kemudian hari. Saya kira, tiga tahunan ini saya juga sudah belajar banyak terkait karakter laki-laki, mana yang benar-benar suka, mana yang benar-benar main-main. Mana yang serius, mana yang brengsek. Saya mengambil kesimpulan: Kalau laki-laki yang saya incar gak bisa melihat diri saya, berarti memang dia tak cukup baik untuk saya. Dan jika laki-laki yang saya suka pure mandang saya karena penampilan fisik dan material, berarti dia bukan orang yang layak buat saya perjuangkan. Dan, jika usahanya itu gak setara dengan usaha saya, sudah, lupakan saja atau anggap angin lalu. Cinta butuh keseimbangan antara dua pihak, kalau gak ada, lebih baik hidup sendiri.

Kursus di English First (EF)

Sekitar akhir bulan Agustus 2022 lalu, karena tertarik dengan salah satu iklan di Instagram, saya datang ke tempat kursus Bahasa Inggris bernama English First (EF). Kalau boleh jujur, pertama masuk EF, biaya kursus di sini mahal. Setidaknya, setiap bulan saya harus menyisihkan sekitar 33 persen dari gaji untuk mengikuti kursus ini. Ya, sepertiga gaji habis untuk kursus saja. Tapi saya tak menyesal, EF memberi lebih dari dan di luar ekspektasi saya. Bukan saya promo atau mengajak kalian buat ikut les di EF, ini murni bicara pengalaman kursus saja.

Di tulisan ini saya ingin berterima kasih pada Bertil Eric Hult, pendiri EF, bersama tim yang sudah menciptakan sistem pendidikan Bahasa Inggris sefleksibel, seasyik, dan senyaman ini. Slogan EF “opening the world through education” memang jadi pegangan banget. (EF harusnya kasih insentif ke saya ini atau naikkin Vipoint saya biar dapat goody bag atau mug cantik, hahaha). 

EF Core Values
Oke, saya cerita dari awal, waktu itu siang-siang, sekitar pukul 12 dan cuaca sedang cerah-cerahnya... Saya datang ke salah satu mall elite (bisa dibilang paling elite dari 170an mall) di Jakarta, letaknya di depan HI pas, tempat brand-brand macam Dior, Chanel, Gucci, Celine, Coach, Louis Vuitton, Tiffany and Co., Alexander McQueen, dan whatever lah itu (saya juga tak begitu peduli, yang saya pedulikan cuma Periplus, toko buku basa enggres di lantai dasar yang lapaknya cuma seuprit itu) nangkring. Saya juga tahu diri, harga tas yang satu bijinya seharga dengan mobil atau paling murah seharga iPhone 14 Pro Max itu gak akan mampu atau mau saya beli. Kecuali saya diangkat jadi mantunya Budi Hartono, Anthoni Salim, atau Chairul Tanjung; gak gak gak, ini gak mungkin, kemungkinannya sekecil frekuensi kura-kura bawah laut nyembur ke atas buat narik nafas, kemudian kura-kura itu dapatin mahkota emas dari langit. Tokailah! Amsyong.

Kembali ke laptop, waktu itu saya ke cabang EF yang ada di Jalan Thamrin, di Plaza Tower. Awal ada placement test nih. Saya ditempatkan di sebuah ruangan yang batasnya kaca, ya, antar ruangan itu cuma dikasi kaca tembus padang, elegan, mirip ruangan-ruangan orang kaya. Btw, saya pernah baca, ciri-ciri rumah orang kaya itu banyak jendelanya atau paling nggak banyak kacanya, kalau dipikir-pikir make sense juga sih. Di ruangan itu saya bisa melihat ketimpangan eh pemandangan Jakarta dari lantai 22. Indah sih, kek lu lihat maket atau diorama bangunan-bangunan pas lagi pergi ke museum.

Pas ngerjain soal-soal sih saya ngrasanya pede-pede aja. Jawabnya atas dasar “keknya bener ini deh”, mirip soal-soal yang pernah saya coba secara online dari British Council, mostly reading and listening. Kamu tahu saya dapat di kelas apa? Wkwk, saya terlalu kepedean kalau Bahasa Inggris saya sejauh ini cukup bagus, dan taraaaaa... cuma baru di level Beginner (A1) paling dasar cuk! Ngakak. Ini tuh setara dengan orang yang awam banget sama Bahasa Inggris. Secupu itu level saya, padal sudah mati-matian belajar bahasa Inggris lewat baca jurnal dan itu gak cukup. Ya sudah, barangkali baru segitu level saya.

Love
Habis placement test, diterangin tuh sistem belajar, tingkat kebahasaan, jenis-jenis kelas, sampai yang paling deg-degan pas bicara harga. Setelah tahu harganya segitu, "ya, segitu," ada pertentangan dalam diri:

Isma 1: Kamu beneran Is mau ikut les ini?

Isma 2: Iya bener, aku pengen bisa Bahasa Inggris dengan lancar.

Isma 1: Sumpah? Ini mahal, seharga lu bisa beli motor Nmax.

Isma 2: Napa bawa-bawa motor, Nyet? Kan udah ada itu motor tua kamu.

Isma 1: Ya kagak, buat perbandingan.

Isma 2: Tapi ini penting buat masa depan aku!

Isma 1: Ya udah deh Nyet, serah kamu. Aku cuma bisa ngingetin.

Akhirnya, Isma yang ada di sisi pro yang menang. Setelah menjalani kelas demi kelas. Rasanya saya kayak nemuin harta karun yang selama ini benar-benar saya cari di Jakarta: guru-guru yang buat saya semangat belajar dan memperbaiki diri, teman-teman yang asyiknya seasyik slogan Revolusi Prancis (liberte, egalite, fraternite), dan tempat belajar yang cozy abis! 

Queen of East Journey
Jadi jadwal belajar di EF sangat fleksibel, saya belum nemu jenis kelas dan sekolah yang bisa fleksibel kek di EF. Per level kita diberi 18 kupon untuk masing-masing program kelas dari Life Club, Face to Face, dan Workshop. Waktu belajarnya fleksibel, bisa cancel kelas sejam sebelum kelas dimulai tanpa kita kehilangan kupon. Ini yang buat EF gak ganggu waktu kerja utama sama sekali. Cabang EF di Jakarta sebagian besar di mal-mal, dari Plaza Indonesia, Kuningan City (KC), Mall Taman Anggrek (MTA), FX Sudirman, Mall of Indonesia (MOI), dan lain-lain. Kalau bosen di satu center, bisa belajar di center lain. Meski saya seringnya di kandang sendiri sih, haha, di Plaza Tower, “Twenty Second Floor,” kalau kata sound Mbak-Mbak dalam lift. Pernah coba di paling jauh di MOI Jakarta Utara, Kelapa Gading, tapi nyasar dan macet.

Such a wonderful class
Ada lagi General Club tapi online, teacher-nya dari seluruh negara di dunia dan pesertanya juga dari seluruh dunia yang tergabung di EF. Jadi kadang pas ikut kelas terjadi perbedaan waktu, misal saya ambil kelas pagi, tapi waktu di tempat teacher dan siswa lain bisa jadi malam atau siang. Terus ada lagi private class gitu, kita empat mata sama teacher buat bahas topik tertentu. Dari sini saya kek dapat banyak guru dan teman, misal dari Brazil, Jepang, Arab Saudi, Italia, Rusia, Afrika Selatan, UK, US, sampai ada tuh yang dari Kepulauan Karibia. Dan tiap negara pesertanya punya aksen Inggris mereka sendiri-sendiri. Yang paling seru dari kelas ini bisa kenal budaya-budaya negara lain melalui cerita-cerita yang mereka sampaikan.

Di EF juga, prestasi dan capaian belajarnya tergantung diri sendiri. Mau lu rajin atau lu males, terserah elu. Saya merasa juga, saya cukup berprestasi di EF, level A1 yang harusnya ditempuh secara wajar selama 4 bulan, bisa saya tempuh 2 bulan. Waktu itu kenaikkan level diuji sama PVA, semacam assessment gitu, penguji saya kalau tidak salah saat itu dari Hongkong. Terus saya ketemu teman-teman baru yang loveable. Kita beda umur, beda kerjaan, beda daerah, beda status, beda pendapat, beda pendapatan, beda banyak hal, tapi kalau udah ada di kelas EF semuanya jadi kek menyatu aja gitu. 

Food Club

Madhang adalah kunci

Di EF gak ada sekat, semua mau saling belajar. Mungkin sekatnya kalau sekelas sama anak yang levelnya beda, kek ngerasa terintimidasi aja, “Brengsek, Inggris dia bagus banget sih! Gue juga mau lah kek dia!” Jadi positif saja gitu kompetisinya. Tapi pernah juga sih saya sekali satu kelompok sama anak yang sok banget, ya, belagu kek dia paling bisa dan memandang seolah yang lainnya bodoh gitu juga pernah. Cuma sekali sih ini. Jadi di bahasa tubuh dia tuh kek mau bilang: I don’t encounter a stupid one.

Sama teman-teman di EF rasanya senang bisa masak bareng, berwisata bareng, berolahraga bareng, berdiskusi bareng, dan bertukar pikiran bareng. Di EF lebih banyak praktek daripada teori, dan kita diajarkan untuk pede makai Bahasa Inggris serta gak takut buat salah. Yang paling dilatih di sini adalah speaking, tiap kelas selalu ada kerja kelompok, dan saya pikir kelas di EF tepat untuk melatih orang seperti saya yang tak suka ngomong untuk ngomong. Selain itu skill kerjasama dan berpikir kreatif juga diasah. Saya merasa pas saja dengan EF. Kalau di kursus lain tiap elemennya itu beda, kek speaking kelas sendiri, writing kelas sendiri, listening kelas sendiri, sampai grammar kelas sendiri, di EF gak ada sistem kek gitu. Semua nyatu.

Di EF, rasanya senang banget bisa kenal sama Tory, Windha, Fachrul, Sandi, Abi, Ariq, Valen, Tasya, Bintang, Farhan, Fauzan, Saras, Vira, Voza, Lugas, Dina, Grace, Kak Desy, Kak Wiwin, Kak Noel, Kak Ardhy, dan semua teman-teman EF yang tak bisa saya sebut satu per satu. Too many guys.... Seringnya kenal wajah tapi lupa nama.

Berikutnya adalah guru. EF The Plaza punya tiga guru utama, Miss Rina, Q-Man, dan Chris. Ketiganya kalau ngajar punya cara dan gaya sendiri. Ketiganya bawa pencerahan dan pemahaman. Miss Rina yang lembut, manis, tapi tegas. Q-Man atau nama aslinya Klinsman, ini guru favorit saya di seluruh EF, nanti saya ceritakan setelah ini. Chris, guru yang berasal dari Inggris, bule asli. Agak deg-degan diajar Chris, sosoknya agak mengintimidasi, misal di kelas dia tiba-tiba nunjuk muridnya, terus dia gak nerima jawaban gak bisa; salah atau bener harus jawab, agar siswa mau mencoba. Guru lainnya di luar The Plaza yang pengen saya ucapkan terima kasih adalah Angky si musisi kamar (loph his style!), Christin yang kek princess outfitnya (seriusan), sama teacher di KC tapi saya lupa namanya.

Thanks Teacher!
Q-Man kenapa jadi favorit? Pertama, Q-Man ngajarnya asyik dan tiap diajar dia saya selalu paham. Dua, Q-Man ngenalin saya sama Jay Chou dengan lagu-lagu Mandarinnya yang badas-badas, saya jadi kek nemu dunia baru. Ketiga, Q-Man membuat saya bisa tersedot sama dunia-dunianya, kek dia suka Dinosaurus, saya jadi ikut-ikutan suka Dinosaurus juga (saya pertegas, saya mudah dipengaruhi oleh orang yang passionnya menyatu sama diri orang itu, menurut saya, orang yang punya passion-passion unik itu nambah cakepnya). Keempat, Q-Man suka nulis di blog, dan tulisan Q-Man menginspirasi saya. Kelima, diajar Q-Man suasana hati saya jadi happy saja, sesimpel itu sih. Intinya, Q-Man panutanku lah. Thanks, Q-Man!

Akhir-akhir ini saya juga mikir, EF mungkin adalah balas dendam saya karena sejak SD, SMP, SMA, orangtua tak pernah memberi saya les-les sebagaimana teman-teman kelas yang lain ikut les. Saya sadar memang status kelas ekonomi memberikan prestasi yang berbeda untuk pencapaian-pencapaian kawan-kawan saat kuliah. Saya jujur saat itu iri misal ada kawan yang ikut les. EF mengajari saya, les tak sekadar soal akademik saja, tapi juga soal koneksi, circle, dan skill-skill lain dalam hidup yang gak bisa kamu dapat hanya dari sekolah.

Penutup

Saya mau nutup LPJ tahun ini sama lagunya Jay Chou yang judulnya Sunny Day (晴天).

            故事的小黄花 

Gùshì de xiǎo huánghuā

The spring flower of the story

Cerita dibalik bunga kuning

从出生那年就飘着

Cóng chūshēng nà nián jiù piāozhe

Floats from that year when it was born

Sudah mengapung dari tahun saat lahir

童年的荡秋千 

Tóngnián de dàng qiūqiān

The swing in the childhood

Ayunan di masa kanak-kanak

记忆一直晃到现在

Suí jìyì yīzhí huǎng dào xiànzài

Has been swinging with my memories until now

Telah berayun dengan kenanganku sampai sekarang

.....................

Setahun ini juga teman-teman seperbayaan sudah menempuh milestone-nya sendiri-sendiri. Anis sudah punya anak, Muja sudah nikah, Wulan, Laila, dan Mas Robi juga sudah menikah, keponakan saya Alif sudah tumbuh besar dengan cepat, kabar apalagi ya yang penting.... Oiya, dapat teman-teman baru juga di Kongsi 8 Jatinegara, bisa jalan-jalan di pasar barang-barang unik di sana bareng Icha (Hairembulan), belajar bikin zine dan belajar nggambar. Di beberapa kali kesempatan juga masih bisa bertemu dengan ibu-ibu Paduan Suara Dialita di Goethe Institute. Masih punya kesempatan ngedit buku Bu Magda dari Pocer dan Tanda Baca terkait ibu-ibu 65. Seneng bisa merasakan pengalaman-pengalaman bertumbuh bersama ini. Pencapaian lainnya bisa review jurnal ilmiah di akun @ideporaksis sebanyak 18 postingan, dikit yak, wkwk. Yah, moga tahun depan bisa meningkat.

Paduan Suara Dialita
Kongsi 8
Ke depan, saya punya rencana akan belajar bahasa baru lagi. Saya gak peduli mau bahasa apa, Bahasa Jerman kek, Bahasa Jepang kek, Bahasa Mandarin kek, atau Bahasa Kalbu sekalian gak papa. Saya sedang ada di titik semangat-semangatnya belajar bahasa. Bahasa jadi bidang eskapisme buat saya dalam menjalani rutinitas yang so-so begitu lah. Niatnya juga murni untuk senang-senang, healing, dan set free.

Untuk tahun 2022 ini sangat bersyukur pada Allah SWT karena doa di tahun lalu dalam rangka menjadi diri yang stabil, sedikit-sedikit sudah menunjukkan jalannya. Refleksi saya di tahun ini: Jangan lupain ibadah ke Tuhan apa pun yang terjadi. Sebagaimana janji surat Al-Fatihah yang dibaca empat kali tiap kali salat, salat membuat saya berada di jalan yang lurus.

Doa saya di tahun 2023:

  1. Semoga bisa banyak nabung buat bangun rumah dengan jasa arsitek, paling enggak kekumpul seperempatnya. Rumahnya pengen banyak jendela/kacanya biar kek orang-orang kaya, eh enggak, biar semilir gak ngabisin banyak listrik dan terang walaupun mati lampu pas malam.
  2. Nglanjutin sekolah Magister, paling enggak sudah ada gambaran ancang-ancang biar tahun 2024 sudah bisa cus! Oh ya, Ya Allah, beri Isma beasiswa yang cukup besar biar bisa beli banyak buku, eh enggak, biar bisa bikin riset macam-macam tanpa mikirin uang. Dikira beli barang doang yang gak usah lihat banderol harga, riset juga!
  3. Pengen nulis buku sendiri, yang dijual di toko buku, dan dibaca orang yang gak saya kenal. Bukan karena nama saya ingin dikenal, bukan, itu terlalu dangkal buat saya (ealah), tapi biar bisa meneruskan nilai-nilai kehidupan universal yang lebih baik.
  4. Lebih cepat (sat-set) dalam bekerja.
  5. Lebih disiplin, berlapang dada, tulus, ikhlas, dan produktif berkarya lagi.

Terakhir, saya berdoa ingin menjadi orang yang lebih laut dan langit. Lebih dekat dengan Tuhan saya, orangtua saya, keluarga saya, dan kawan-kawan baik saya. Terima kasih untuk tahun 2022 ini. Keep on doing what you love!

Petojo Enclek XI, 31 Desember 2022-1 Januari 2023