Jumat, 29 Agustus 2014

Review Film The Way

The Way, Sebuah Perjalanan
Film ini berkisah tentang seorang bapak asal Amerika bernama Thomas Avery (Tom), berumur enam puluh tahunan lebih. Ia berkeja sebagai dokter mata. Suatu hari saat tengah asyik main golf bersama teman-temannya, ia mendapat kabar dari telepon, mengabari jika anaknya yang bernama Daniel meninggal di sebuah ekspedisi di perjalanan menuju Camino de Santiago, terkena badai.

Tom shock mendengar anak semata wayangnya itu meninggal. Ia teringat dahulu saat Daniel menentangnya dan memilih menjadi adventurer sejati yang menikmati hidup dengan jalan-jalan. Bagi Daniel hidup itu memilih bukan menjalani. Sedang hidup ayahnya adalah menjalani (jadwal).

Saat melihat langsung jasad anaknya, di tengah kesedihan, Tom menyuruh seseorang untuk mengkremasi abu Daniel. Lalu abunya ditaruh di sebuah kotak kecil. Saat ia pulang, ia membuka-buka lagi tas perjalanan Daniel. Menemukan peta, paspor, dan buku perjalanan Daniel. Tom lalu memutuskan untuk berkelana seperti anaknya Daniel. Membawa tas Daniel dan kotak abu anaknya itu. Tujuannya adalah Santiago De Conmpostella, Spanyol (sebuah katedral . Tempat para peziarah, khusunya Katolik). Di titik-titik tempat tertentu, Tom selalu menebar abu anaknya.

Perjalanan dimulai... Tas Tom yang berisi abu kremasi Daniel terjatuh ke sungai. Dengan sekuat daya ia menyelamatkan tas itu. Ia bertemu dengan seorang pezirah lain dari Amsterdam, Belanda bernama Joost. Fisik Joost tinggi besar, perut buncit, dan sedikit gemuk. Mereka sempat berpisah, tapi dalam perjalanannya mereka bersatu lagi. Ditambah Tom bertemu dengan seorang wanita dari Kanada bernama Sarah. Wanita yang mungkin patah hati atau gimana ya?

Tom, Joost, dan Sarah berpetualang bersama menuju Santiago. Sikap Tom sangat dingin, cuek, dan acuh pada Joost apalagi Sarah. Di tengah perjalanan, tiga orang ini bertemu dengan peziarah lain dari Irlandia bernama Jack.

Jack adalah seorang penulis. Jack bermimpi menjadi penulis besar seperta W. B. Yeats atau James Joice. Ia melakukan perjalanannya ini untuk membuat sebuah tulisan perjalanan yang nanti akan dibuat buku. Jack mensurvei setiap peziarah dengan pertanyaan: Apa tujuanmu melakukan perjalanan ini? Awalnya ia bertanya pada Tom, Tom menunjukkan rasa tidak sukanya. Yang bersedia menjawab hanya Joost, ia beralasan karena kesehatan. Joost ingin menurunkan berat badannya (sebetulnya, ini karena tuntutan istri Joost yang tidak suka melihat suaminya gemuk dan tidak mau satu ranjang lagi).

Sikap Tom yang cuek mengundang rasa penasaran Jack. Joost lalu bercerita sedikit tentang Tom, tentang anaknya yang meninggal. Jack mengkofirmasi ini pada Tom. Tom terlihat sangat marah dan mendiamkan Joost. Tom juga mencaci Jack sebagai penulis, Tom kehilangan kontrol hingga ia ditangkap polisi dan Jack dengan kartu kreditnya menyelamatkan si gaek Tom.

Sarah sendiri pergi berziarah karena mungkin ia ingin menenangan diri. Sebelumnya, Sarah mengandung seorang anak, tapi anak itu digugurkan karena suaminya yang jahat kepadanya. Ia menceritakan ini pada Tom.

Suatu waktu di sebuah tempat, ada pemuda yang mencuri tas Tom (di daerahnya orang-orang gipsi). Tom mengejar pemuda tadi. Tom bilang: ambil apa saja, asal jangan kotak kecil abu anaknya itu. Naas, pemuda tadi tak ditemukan. Lalu seorang bapak datang membawa pemuda tadi (yang ternyata bapak itu adalah ayah si pemuda). Bapak pemuda minta maaf pada Tom dkk, bapak pemuda mengajak Tom dkk untuk makan bersama (pesta) orang-orang gipsi. Wih, menarik pestanya.

Esoknya, bapak pemuda menyarankan Tom untuk pergi ke sebuah tempat bernama Muxia. Sebuah laut, disana ada kuil (lupa nama kuilnya). Bapak pemuda menyuruh Tom utnuk menabur abu Daniel di laut tersebut.

Sampailah empat sahabat ini di pusat Santiago de Compostella. Mereka berdoa. Lalu melanjutkan perjalanan ke Muxia. Tom menabur abu Daniel di laut tersebut. Selesai.

Film ini menarik secara visual. Film khas perjalanan banget. Anda akan terpukau melihat pemandangan, bangunan, budaya, dan tradisi di tempat-tempat yang dihadirkan dalam cerita. Meski plotnya minim ketegangan dan kesannya datar.

Untuk nilai yang dikandungnya sendiri. Tentang cinta seorang ayah pada anaknya. Sebuah arti persahabatan, makna relejiusitas, dll.

Cocok bagi Anda yang suka jalan-jalan, peziarah, para relijius, pendeta, penulis, dan Anda yang suka berpetualangan.

Jogja Lagi Reading Naskah, 29 Agustus 2014

Is

Minggu, 24 Agustus 2014

Little Story For Sisir Tanah, First I Meet

Kumencari kau di pusat raga. Kumencari kau di pusat rasa.

Pas kecil saya pernah (istilahnya) ngefans dengan sebuah band. Cukup lama jadi penikmat band tersebut dari kelas VI SD (2003) sampai II SMA (2009). Saya juga cukup fanatik seperti anak-anak ababil lainnya yang bermimpi ingin ketemu, foto, dan melihat konsernya langsung. Band ini beraliran romantis-melankolis. Satu-satunya artis paling lama yang saya suka, ya band itu.

Seiring waktu dan kedewasaan, saya mulai beralih memfanatiki buku daripada sekedar manusia. Perlahan saya mulai  mengikis kadar emosi saya pada band yang saya kagumi itu. Akhir SMA (2011), kecintaan saya berubah. Saya ingin bertemu dengan seorang penulis saja.

Lalu, dalam masa transisi saya selama dua tahun antara nganggur, buku, nulis, dan kerja. Rasa kefanatikkan akan band bahkan penulis itu pudar. Saat jadi mahasiswa (2013) sudah lengser idola-idola yang bersemayam di otak (dalam arti fanatik). Saya lebih obyektif dalam menilai mereka. Suka sih suka, saat ini pun saya masih kagum dengan band masa kecil saya itu dan penulis idola saya itu, tapi dalam porsi  yang wajar dan tidak berlebihan.

Suatu hari di tahun 2014, ada orang yang mengajari saya metik-metik gitar. Dia mengajari saya tiga lagu ber-chord mudah milik Pink Floyd dan Radiohead. Lalu orang itu memberi saya beberapa lagu berlirik mudah juga (katanya dia), bandnya saya tidak kenal. Namanya Sisir Tanah.

Nah, di kos… Iseng-iseng ndengerin kan. Pertama dengar vokal penyanyinya, imajinasi saya membayangkan kayaknya penyanyinya ini sudah matang usianya seperti Iwan Fals atau Ebiet. Kedua, musiknya sederhana banget, dari lagu satu ke lagu lainya hanya iringan gitar saja yang saya dengar. Ketiga, liriknya kalau menurut bahasa di sanggar yang saya ikuti ‘wohhh’. Saya mendengarkan kira-kira lebih dari dua kali.

Suatu hari, orang yang ngajari saya sedikit main gitar bernyanyi , dan saya kok ngrasa ini nada sama liriknya pernah dengar. Soalnya jleb  banget dengan suasana hati waktu itu. Orang itu nyanyi gini:

                “…Seumpama suka, kau ambillah jantungku saja….”

Entah kenapa di lirik itu rasanya saya seolah mengikhlaskan semua beban yang memberatkan hati saya. Di kos langsung saya buka lagu-lagu Sisir Tanah. Baru sadar isinya ternyata ‘kritik sosial’ semua. Dan satirnya kalau dalam bahasa rock ‘cadas’ banget. Keren.

Sejak saat itu lagu Sisir Tanah yang judulnya Lagu Baik, saya dengarkan berulang-ulang sampai liriknya hafal. Suatu malam juga iseng-iseng googling tentang Sisir Tanah, hm, sedikit kecewa karena di google juga minim banget info tentang Sisir Tanah. 

Ternyata Sisir Tanah berasal dari Jogja. Ada beberapa tulisan keren sih, kayak ulasan Aris Setyawan di jakartabeat.net juga blog si vokalinya langsung (sayangnya juga minim tulisan). Pas searching gambar juga, ternyata prejengan-nya tak se’matang’ vokalnya (lebih muda). Teduh. 

Pencarian malam itu membawa saya akan musik alternatif mereka. Sungguh, saya mencintai kesederhanaan yang berisi tetapi tanpa keberisikan. Seolah mengantar saya pada keabadian. Saya suka konsep luka mereka. Adalah luka… Adalah luka… Adalah luka… (Lagu Wajib). Bahwa hidup tak semulus kuliah moral para motivator, yang menurut bahasa Marx “Candu Masyarakat” tempat dimana mereka meng-aleniasi diri. Saya belum menemukan analogi yang tepat untuk ini.

Sejak saat itu saya semacam menemukan role model baru: Sisir Tanah. Dalam artian, saya tidak memfanatiki orang-orang dalam Sisir Tanah, tetapi saya suka pada karya-karya mereka (kefanatikan pada ‘seorang  manusia’ luntur sejak saya banyak ikut acara-acara yang dihadiri orang-orang hebat di Jogja. Teman saya bilang: kita sama-sama makan nasi. Kesimpulan saya: you can do more than him/her). 

Lirik Sisir Tanah mulai saya hafal dan saya tulis ulang di blog. Terbesit juga dalam hati, suatu saat saya ingin nonton Sisir Tanah langsung.

Kamis kemarin (20/8) kebetulan lagi nongkrong di sekret LPM Arena, ada yang memberi undangan. Acara pameran tentang Forest Project gitu. Pas undangannya sampai di tangan, saya senang banget (bisa dibilang sedikit ‘histeris’) ada Sisir Tanah sebagai salah satu yang mengisi acara.

Saya lalu cari teman buat nonton bareng. Awalnya mau ngajak Ria (naik sepeda), tapi kata teman dekatnya Cakson, Ria balik lagi ke kampung halaman. Yaudah, saya ngajak teman sealiran Ria, Cakson. Dia menyetujui, kita janjian naik pit. Eh, iseng nyebar info, Mas Jamal juga mau ikut, orientasinya sekarang naik motor.

Pas hari H (23/8), setelah olah tubuh sanggar. Jam tujuh malam saya sudah stay di Arena. Yang ikut ternyata empat orang: Saya, Cakson, Mas Jamal, dan Mas Sabiq. Kami naik motor, saya sama Cakson, Mas Jamal sama Mas Sabiq. Acara dimulai jam delapan, kita berangkat pukul setengah delapan. Di jalan macet euy, maklum, lagi banyak event (FKY, Pasar Kangen, Festival Dodolan, dll).  Dan sampailah kita di Jogja Nasional Museum tempat acara (letaknya dekat SMA Negeri 1 Yogyakarta).

Pas sampai panggung, ternyata eh ternyata Sisir Tanah lagi main. Yaph, disana vokalis Bagus Dwi Danto yang mengenakan kemeja dan topi memetik gitar bolongnya seorang diri, menyanyi dengan suara khasnya. Kita berempat langsung duduk di bangku agak depan. Sepertinya kita datang agak telat karena acara sudah dimulai. Saat itu Mas Danto nyanyi lagu judulnya Bebal

                “...jika hutan adalah ibu. Kita manusia memperkosa ibunya.
                Setiap hari, setiap jam, setiap menit, setiap detik…”

Bergetar banget pas dengar itu. Apalagi pas suaranya ditinggikan, nusuk banget. Diksi memperkosa ibu ngeri sekali, refleksi akan kerusakan alam Indonesia khususnya hutan. Apalagi tadi siang saya melihat pohon depan Rumah Sakit Bethesda yang pinggir jalan ditebangi. Ah, payah. Benar kata Mas Danto, ada dan tak ada manusia itu harusnya pohon-pohon tetap tumbuh. 

Acara pembukaan pameran lalu dibuka. Ada tujuh seniman yang berpartisipasi dalam acara ini.  Wujud karyanya ada lukisan, instalasi, video grafis, foto-foto, dll. Senimannya pun banyak yang datang langsung.

Yang menarik, pas saya masuk di ruang instalasi karya Hiroshi Mehata, orangnya masih muda, salah satu seniman yang berasal dari Jepang. Nah, kan lagi lihat gambar Hiroshi semacam lukisan naga-naga gitu kan. Seperti kolase  gambar sih menurut saya. Entah kenapa, setiap ada event itu di otak saya selalu kepikiran buat meliput acara. Dan… Mas Bagus Dwi Danto juga sedang melihat-lihat lukisan itu ada disana. Kebetulan di tangan saya sudah pegang note. Saya dengan PD-nya mendekati dia, salaman, kenalan. Kira-kira gini:

“Mas Danto ya?”
“Iya…”
“Boleh wawancara? Saya Isma dari UIN, dari pers mahasiswa UIN, LPM Arena.”
“Oh UIN… Arena.” Katanya seperti mengingat, aku sempat mendengar dia berkata Arena terkenal.

Dengan diringi canda-canda gitu, Mas Dantonya mau diwawancarai. Setelah bertanya beberapa pertanyaan, datanglah Mas Sabiq. Dia dan Mas Danto seperti sahabat lama yang seabad tak ketemu, haha, langsung salaman, ngomong-ngomong, canda-candaan, ketawa-ketawa. Ternyata mereka sudah kenal lama saat di Bandung, Mas Danto cerita pernah makan gorengan bareng.

“Oh, kamu temannya mbak ini… Ini ada selebaran tinggal dibaca… Aku bukan aktor utama, tapi aktor figuran…” Katanya dengan nada bercanda dan tertawa bareng gitu. Mas Sabiq bilang, “Satu komplotan, LPM Arena.” Makin keras tawa kita waktu saya nanya tentang isu kehutanan di Indonesia saat ini? Haha. Mas Danto bilang, “Bobrok, sudah jadi rahasia umum. Indonesia kaya dengan hutan. Banyak hutan dalam tanda kutip ‘lepas’,” katanya.

Terus, saya juga bilang: lagu-lagunya keren, saya suka. Mas Dantonya ketawa lagi, tersipu mungkin. Saya lalu minta tanda tangannya diakan. Dia awalnya nolak, terus mau juga. Terus saya minta foto bareng, Mas Dantonya bilang apa coba? “Wawancaranya modus ini, hahaha…” celotehnya ketawa, dalam hati ngakak banget, rasanya kayak mimpi.

Memakai kamera HP Mas Jamal (sekaligus Mas Jamal fotografernya), Mas Danto mau diajak foto, senangnya lagi Mas Sabiq juga ikut foto, duuhhh… lengkap!

Bertiga: Dibilang “modus” sama Mas Danto, haha.


Tanda Tangan: Bagus Dwi Danto/Sisir Tanah

Habis foto bareng, saya mewawancarai ketua acara, mbak Ope’e Wardany yang juga seorang penulis. Trus lihat-lihat pamerannya lagi. Keren pokoknya. Recommended buat datang kesini, penutupan sampai 29 Agustus 2014 di Jogja Nasional Museum.

Senang, Mas Danto nyanyi lagi. Dia menyanyikan lagu favorit saya Lagu Baik (tiap dengar lagu ini tuh jadi semangat lagi), lalu nyanyi lagu Konservasi Konflik, nendang banget ini lagu, haha. Dan ditutup dengan Lagu Wajib. Dalam hati saya juga ingin bilang sesuatu untuk seseorang: Yang wajib dari aku adalah kamu. Hahaha *apaan sih Is?*

Pas mau pulang, Mas Sabiq pamit sama Mas Danto, kita ngikut. Berlima sama Mas Danto ngobrol-ngobrol lagi di pinggir panggung. Mas Danto cerita tentang event-event Sisir Tanah ke depan. Ngasi contack person juga ke Mas Sabiq. Katanya mau main ke UIN *asyik!!*

Nanya juga ke saya darimana dapat lagu Sisir Tanah? Saya nunjuk Mas Sabiq. Soalnya di internet sedikit, kalau dari soundcloud (kasian) nggak begitu jelas. Di stafa lagu Sisir Tanah bisa juga di-download meski tak semua. Terus ngomong tentang album juga. Mas Danto cerita, ada yang bertanyakan pada Sisir Tanah, “Kapan buat album?” Dijawab tahun 2020, waktu itu dia jawab sebenarnya bercanda tapi ditulis beneran. Namun kali ini di mata dan suaranya saya melihat ada keseriusan mau buat album di tahun 2020.

“Mungkin tahun 2020, tepat sepuluh tahun Sisir Tanah. Kalau tahun ini 2014, usia empat tahun, diibaratkan manusia masih anak-anak…” katanya. Aplause banget, bertolak belakang sekali dengan band-band sekarang yang maunya instan. Sisir Tanah dengan konsep, lirik, spirit, kesederhanaan, dan kritik telah memberikan sesuatu yang luar biasa untuk saya pribadi. Sukses.

Yogyakarta Yang Wajib, 24 Agustus 2014
Is

Kamis, 14 Agustus 2014

Lelucon Pembukaan Puisi Aziz Manna dan Jokpin

Sore ini (13/8) jadwal Arena sama Sanggar bentrok. Yang satu rapat redaksi, yang satu bersih-bersih trus malamnya mbahas naskah. Setelah melakukan pertimbangan matang, aku putuskan ke Arena dulu. Malamnya, seribu sayang buat Sanggar, aku nggak bisa ikut karena ada pamflet bertulis Diskusi Sastra PKKH UGM #EdisiKhusus dengan tiga penyair dan pembaca puisi: Joko Pinurbo (Jokpin), Ahmad Yulden Erwin, dan F. Aziz Manna dengan pembahasnya Retno Darsi Iswandari.

Sore itu Arena juga kedatangan tamu alumni yang sekarang kerja di Tribun Batam. Aku udah janjian sama teman sealiran Ria buat datang bareng ke acara diskusi itu. Kita pedahan berdua bareng pit kita masing-masing kesana. Setelah kita menemukan gedung PKKH yang mirip gedung teater, kita ngisi daftar hadir, juga beli buku kumpulan puisi tiga penyair itu seharga lima ribu.

Kita duduk di urutan kedua dari depan. Sekitar jam delapan malam acara dimulai, telat setengah jam. Sebelumnya mau say congrats buat pak Jokpin karena cerpennya yang berjudul  Jalan Asu dimuat di koran Kompas Minggu (10/8). Aku suka kalimat pembukanya: Hari ini adalah hari rindu. Hari untuk pulang. Hari untuk bertemu. Setelah mandi dan menunaikan ibadah puisi………(dst)

Oke, tak mau berpanjang lebar. Yang menarik buat aku saja yang aku tulis.
Kiri: Aziz, Yulden, Jokpin saat Membacakan Puisi
Iya, tentang analisis Ria untuk tiga penyair malam ini.

Ria, anak filsafat ini emang gila. Coba perhatikan kalimat pembuka puisi-puisi Aziz Manna berikut:
//selamat tinggal langit,
//hujan apakah ini, ibu,
//lambung kapal ini telah pecah,
//laut memudar, delta pecah,

Ini aku ambil dari judul-judul pembuka puisi Aziz yang berbeda-beda. Tiap pembukanya itu seolah konsisten dengan hidupnya yang mungkin miris. Tiap pembukanya menggambarkan sebuah kondisi yang mengerikan:

//menyusun kembali tubuhmu,
//candi-candi beruntuhan,
//mayat yang dibasahi lumpur,
//minyak menelan rumah kami,
//kesendirian yang aneh,
//kau akan mati,

Pengantar dikit, F. Aziz Manna lahir di Sidoarjo, 8 Desember 1978. You know that, about Sidoarjo, Lapindo and etc. Ria penasaran sama si Aziz Manna, psikologinya kayak apa sih nih orang? Dari wajahnya aja udah serius banget, seperti menyimpan beban yang tak terselesaikan. Dan pas pak Jokpin dan pak Yulden baca puisi, Ria merhatiin dia (Aziz) memegang kepala dengan tangan sambil mikir. Mungkin hobi dia mikir. Wajahnya serius.

Coba bandingkan pembuka judul-judul puisi Aziz dengan pembuka puisi-puisi Jokpin (seri surat) berikut:
//Aku mengarang surat ini di hadapan cermin
//Maaf, baru sekarang aku membalas surat
//Lima menit menjelang minum kopi
//Kau tak ada di kakiku
//Tenanglah. Aku tak pernah mengharap

Dibayanganku ini seperti penggambaran adem ayem, santai, nggak ada beban seserius puisi pembuka Aziz. Ria berkomentar, andai Aziz dan Jokpin ini umurnya sama, si Aziz pasti udah mati duluan gara-gara beban psikologis daripada Jokpin, haha #LOL. (Aziz kelahiran ’78; Jokpin ’62; Yulden ’72. Aziz termuda.) Apa benar yang dikatakan mbak Retno bahwa dalam puisi Aziz kita “Melihat arsitektur luka yang begitu menyakitkan.” Tentang luka yang ditelanjangi dengan detail. Juga tema lumpur Lapindo yang tidak selesai-selesai? Entah.

Puisi Aziz lebih realis daripada puisi Jokpin yang penuh imajinasi. Perbedaannya lagi, puisi Aziz sekilas aku melihat dari morfologinya yang memanjang mirip paragraf cerpen. Setuju dengan si pembahas Retno: melelahkan. Tapi dari segi substansi dan kebaruan, dia puisi banget dan mendobrak tatanan nyaman puisi-puisi mainstream.

Jokpin kenapa imajinatif? Coba perhatikan larik-larik puisinya berikut:
“Sebagian rambutku sudah jadi rambut salju.
Jangan sedih. Aku belum lupa cara berbahagia.
Dompet boleh padam, rezeki tetap menyala.”

Atau yang ini:

“Akhirnya batumu hamil. Dari Rahim batumu
lahir air mancur kecil yang menggemaskan.
Air mancur itu sekarang sudah besar,
sudah bisa berbincang-bincang dengan hujan”

Mungkin juga karena cerita dari Jokpin langsung yang bilang dia tidak rutin mebuat karya itu satu hari satu karya. Dia perlu waktu panjang untuk mikir. Sekali nulis, itu langsung banyak, kau bisa menyebutnya jurus “mak droll”.
 
Terlepas dari dua penyair di atas, pak Yulden ada di tengah-tengah Aziz dan Jokpin. Bentuknya pun juga, ada di tengah-tengah. Dia sebagai katalisator. Substansinya pun antara realis dan imajinatif. Fiktif dan faktual. Coba perhatikan puisi Pak Yulden berikut:

//Sedikit aneh, sedikit terlambat, buah-buah mangga matang Terlalu cepat,
jejak kemarau menapak langkan rumah tua. Pagi-pagi seorang tukang pos
mengantar sepucuk surat, Seolah semacam isyarat: satu keluarga
mesti pergi, sebelum…..

Puisi ini lebih realis, tidak imajinatif seperti Jokpin yang mengubah rambut hitam menjadi rambut salju. Puisi Yulden di atas judulnya Hantu-hantu Halaman Rumah, tentang penolakan lupa terhadap mayat-mayat PKI. Lalu bandingakan dengan puisi pak Yulden yang lain (yang imajinatif):

//Di Portland yang dingin, sepasang gagak
                menolak menjadi angin. Matamu tersedak
mencari langit yang lin. Fajar musim semi

Terlepas dari perbedaan itu semua. Ya, kembali ke selera masing-masing. Ria bilang lebih suka puisi Jokpin dengan keindahan diksi-diksinya, daripada Aziz yang nelangsa. Yang menjadi catatan adalah apa yang dikatakan pak Yulden. Bahwa sastra akan menyentuh hati Anda. Merampas jantung Anda. Sastra menganggu ingatan agar kita tidak lupa. Sastrawan membuat jarak menjadi dekat. Teknik bisa bermacam-macam, tapi substansi itu yang perlu diraih. Sastra merebut hati Anda hingga Anda bergetar.

Jogja Belum Mandi, 14 Agustus 2014
Is

Selasa, 05 Agustus 2014

Lirik Lagu Perahu Kertas - Sisir Tanah

Pertunjukkan malam seperti perahu kertas
Tenggelam luruh tertunda hasrat
Melekat jadi karat dan bermimpi
Perahu kayu keluar dari jantung
Mata kuyup menatap tak kedip
Meruangkan kata di depan altar
Membuat mereka merasa lurus
Mengantar hidup dalam hening
Mati tersenyum tanpa aba-aba
Kursi-kursi tumbuh roda di ujungnya
Menggeret nyawa pada jalan tak ada ujung
Selesai mencari awal lagi
Kebenaran jadi lumer tak ada arti
Darah datang tanpa kering lalu lenyap
Habis ruang untuk luka... dihisap metafora...
Habis ruang untuk luka... dihisap metafora...
Kepalan tanah air mata
Satu titik tanpa tujuan
P.s.: Jika ada kesalahan lirik, silahkan dikomentari, saya akan memperbaiki. Terima kasih.