Sabtu, 28 Februari 2015

Nusantara Raya TJP

Jumat, 27 Februari 2015

Bermula saat teman sanggarku Havid ngajakin nonton teater di UNY. Kita ngumpul di stupid center, ada lima orang yang ikut: aku, Havid, Fuad, Faruqi, dan Madam. Cap cus kesana, kita kan dapat undangan ya, tapi WTF-nya itu undangan cuma berlaku untuk satu orang, at least sisanya bayar, 5 ribu. Malam itu kita juga nungguin satu teman lagi, urang Sunda, Asep a.k.a Ilham.

Havid akhirnya memberikan undangan itu pada Madam suruh masuk duluan, mereka nungguin Asep. Aku sama Madam pun masuk. Kami berdua duduk paling depan. Pentasnya berjudul "Nusantara Raya" dari Teater Tjerobong Paberik (TJP) Sekolah Tinggi Teknlogi Tekstil Bandung di roadshow-nya yang ketiga. Jam delapan-an pentas baru dimulai padahal terteranya jam 7 pm.

Pembukaan yang membelalakan mata sebenarnya. Seorang pria muda nyaris bugil membawa gitar menyanyikan lagu Indonsia Raya-WR Supratman. Matanya kosong, ia petik gitarnya. Aktingnya mengingatkanku pada sosok alien di film India PK. Kostum yang berani...
the new PK
Lampu blackout mucullah aktor yang memerankan Patih Gadjah Mada mengucapkan sumpah.
Apakah kamu Gadjah Mada yang suka naik gajah? Heuheu
 Lalu dari belakang penonton muncul empat orang cewek berjilbab pakai pakaian putih dengan lembing di tangannya ke tengah panggung. Mereka membawakan tarian absurd dengan tempo yang sangat lambat. Dari belakang juga ada wanita yang mungkin simbol dari ibu pertiwi ngomongin Indonesia.
Lalu datang pria dengan latar belakang Batak memanggil Nande-nande. Datang lagi pria Jawa bernama Tole, dan dissusul orang Sunda, si Ujang. Mereka ribut cek-cok di panggung. Ngomongin makanan, Perang Bubat, sampai watak masing-masing tiga suku itu. Pertunjukkan usai dengan geger (persoalan) yang belum tuntas. Pada kompleksitas Indonesia itu sendiri.
Batak, Jawa, Sunda
Pelaku Produksi (Kamera gagal fokus)
Ya, aku ucapkan selamat untuk TJP atas pementasannya.
--
Hal paling penting bagiku dalam diskursif sarasehan yang diadakan seusai pentas adalah ucapan Mas Rendra Narendra. Dia bilang bahwa teater sekarang digerus gagasan. Teater ada banyak disiplin yang seolah sekarang diabaikan dan dilompati (terlebih dalam disiplin teknis). Mas Rendra mengibaratkan teater sekarang itu gagasannya besar tapi dengan tubuh yang rapuh masuk panggung. Kedua, tentang teater sebagai "membangun dialog" atau "mempresentasikan" saja. Jika mendialogkan ia punya identifikasi yang jelas terutama soal sejarah. Jika sekedar mempresentasikan jangan sampai teaternya dilompati.
--
Malam yang aneh. Ini juga tentang teman sanggarku yang ngajakin nonton pentas teater malah dirinya nggak nonton dan nunggu di luar, aduuhh anak UIN... Aku mengagumi kesabaran kalian...

_Is

Kamis, 26 Februari 2015

Malam Sastra IV: Motion of Invictus



Tidak peduli betapa sulit rintangan menghadang
Bagaimanapun hukuman dijatuhkan
Aku adalah tuan bagi nasibku
Aku adalah kapten bagi jiwaku
--Invictus, Willian Ernest Henley

            Invictus berarti tak terkalahkan. Sebuah puisi karya William Ernest Henley, penyair Inggris yang dibuat tahun 1875 ini menggambarkan tentang sebuah tekad yang datang dari sebuah person. Puisi ini menggambarkan bagaimana manusia menjadi kapten dalam bahtera hidupnya sendiri. Bagaimanapun pelik, susah, badai mengobrak abrik, masalah menghadang tak ada hentinya, manusia adalah pemilik dan pengontrol hidupnya sendiri. Ia memiliki freewill yang bebas membuat arah hidupnya sendiri, berdasar atas otoritas dan pengetahuannya.
            Dalam film berjudul sama, Invictus, menceritakan tentang Piala Dunia rugby tahu 1995 dimana saat itu Nelson Mandela menjabat sebagai presiden Afrika Selatan. Film ini mencoba menguak gagasan besar tentang “nasib” itu sendiri. Dimana saat itu pertentangan dan rasa sensitif antara kulit hitam dan kulit putih begitu kental (meski apartheid dihapuskan), dimana tim tuan rumah springboks  yang dibenci rakyatnya sendiri berjuang dalam masa pertandingan. Mandela memiliki pemikiran besar bahwa jika springboks ini menang maka perdamaian antara kulit hitam dan kulit putih akan terjadi. Kecurigaan-kecurigaan akan disatukan dalam satu bahasa yang sama: bahasa kebangsaan.
            Mandela mengatur strategi, ia memanggil kapten rugby tim springboks dan mengobrol banyak dengan kapten itu. Saat mendekati pertandingan, Mandela memberi sang kapten ini sebuah puisi Henley tersebut, invictus. Sebuah puisi yang membuat Mandela kuat hidup 30 tahun di dalam sel penjara meski dia tak salah. Mandela berharap melalui puisi tersebut juga bisa memberi semangat dan dorongan pada tim springboks. Akhirnya, latihan keras untuk “mengubah nasib” itu dimulai melalui perjuangan-perjuangan keras. Singkat cerita pertandingan final antara tim springboks dari Afrika Sselatan VS All Blacks Selandia baru dilaksanakan dan Springboks menang. Ya, jika kita percaya akan nasib kita dan mau berusaha, keberhasilan akan datang.
Dalam malam sastra ke IV dari landasan berpikir invictus (baik puisi dan filmnya sendiri), ditarik satu gagasan besar mengenai tema, yakni kebebasan. Wacana-wacana eksistensialis sendiri sudah banyak berkembang. Pelopornya termasuk Sartre, Heidegger, Marx, dan lain-lain. Wilayah yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Jika di masa tahun 1950-an wacana yang timbul dalam kriris kemanusiaan akan perang dunia II tidak berada dalam wilayah penjajahan tapi kebebasan berpikir pasca perang, di masa sekarang krisis kebebasan kemanusiaan sendiri di wilayah mana?
Lalu “kebebasan” yang dimaksud saat ini seperti apa? Dalam konteks apa? Sebenarnya kita bebas tidak sih? Lalu bebas yang dikonsepkan itu bebas tidak sih? Kalau saya bebas melakukan apa saja, siapa yang menjamin nilai saya? Melalui sebuah refleksi dari pertanyaan-pertanyaan inilah pertunjukan dibuat. Khususnya pada reflesi apa yang membelenggu kita dan menjadikan kita tidak bebas.
Salam aku adalah tuan bagi nasibku!
Sabiq Copyright.
KONSEP
Buat panggung di parkiran, lalu si pengisi yang telah melakukan refleksi dari puisi dan film “Invictus” mempertunjukan ekspresinya. Juga sebuah pertunjukkan kritik atas apa yang membelenggu mereka terkait makna dari kebebasan itu sendiri. Bisa puisi, nari, musik, drama, dongeng, terserah.

TEMPAT
Parkir terpadu Tarbiyah, samping laboratorium Fakultas Saintek.

WAKTU
Sabtu, 28 Februari 2015. Habis magrib sampai over dosis.

Rabu, 25 Februari 2015

Pengantar Analisis Framing


(tulisan pengantar untuk IHT 2 LPM ARENA tanggal  16-18 Januari 2015 kemarin-kemarin... di Kampus Fiksi Divapress... semoga berguna)

Santai saja bacanya, nggak usah terlalu serius, haha. Baik, saya akan memulai  tulisan ini melalui sebuah cerita (anggaplah) nyata. Begini, pada suatu hari anggota ARENA bernama Lugas mengikuti sebuah peristiwa yaitu “Diskusi ARENA”. Dalam diskusi itu Lugas “mengamati orang-orang yang aktif berbicara” lalu memotretnya ke dalam sebuah potret khayalan. Dari hasil potret khayalan, lugas membingkainya. Ia mengkonstruksi (membentuk) potretannya tersebut dan menghasilkan tulisan berjudul, “Harimau-harimau ARENA”. Timbullah makna dari tulisan Lugas bahwa anak ARENA itu orangnya aktif dan kritis-kritis. 

Di lain sisi, saat Lugas mengikuti “Diskusi ARENA” tersebut, temannya yang dari (katakanlah teman Lugas ini berasal dari pers tandingan) LUPA Pers yang bernama Roim Kriwil. Si Roim ini juga ingin membuat berita terkait diskusi ARENA untuk ditampilkan di portal pers LUPA. Sama seperti Lugas, Roim melakukan pemotretan khayalan. Namun, potret yang diambil Roim bukan yang aktif berbicara tapi “anak-anak yang diam dan yang tidak aktif”. Dari potret itu Roim membingkainya, kemudian menuliskannya. Terciptalah tulisan berjudul, “Nyanyi Sunyi Diskusi ARENA”. Dari situ timbullah makna bahwa anak ARENA dalam berdiskusi itu pasif. Sunyi dalam dialektika.

Nah guys, bagaimana sebuah peristiwa yang sama dibingkai atau diberitakan secara berbeda oleh media yang hasilnya adalah pesan/makna yang berbeda itulah yang dinamakan analisis framing. Secara basa Inggris frame kan berarti bingkai ya? Bisa dibayangkan bingkai fotolah. Tiap bingkai itukan berbeda-beda ya, ada yang bentuknya ailepyu, lingkaran, kotak,bentuk gitar atau yang minimalis gituh. Anggap saja satu bentuk bingkai mewakili satu media. Prinsipnya adalah bingkai itu tak pernah sama, meski gambar yang dipotret itu sama. “Semua tak sama, tak pernah sama,” begitu kata Padi. Kenapa tak sama? karena sudut pandang/cara melihat tiap orang berbeda-beda 

Intinya secara serius analisis framing adalah analisis yang dipakai untuk melihat bagaimana media membingkai realitas. Pembingkaiannya disebut konstruksi. Analisis ini memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tapi hasil konstruksi (catet!). Paradigma konstruksionis adalah paradigma produksi (pertukaran makna). Secara sederhana proses pem-framingan itu begini: peristiwa => dipotret => dikonstruksi => ditulis => mendapatkan makna tertentu.

            Dalam analisis framing, tak lepas dari teori kontruksionisme yang dikemukakan oleh Peter L. Berger dan Erving Goffman bahwa manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis, dan plural. Kategori besar elemen framing sendiri yaitu:

  • 1.      Level makrostrutural: bagaimana peristiwa dipahami oleh media.
  • 2.      Level mikrostruktural: bagian atau sisi mana yang ditonjolkan dalam sebuah peristiwa dan bagimana juga yang dilupakan/dikecilkan oleh media.
  • 3.      Elemen retoris: bagaimana fakta ditekankan melalui pemilihan kata, kalimat, gambar, atau grafik.


Jogja, 15 Januari 2015

*Diolah dari berbagai sumber. (IS).

Kamis, 19 Februari 2015

Pentas Barbar "Issue" Teater Eska

Hari Sabtu (14/2) kemarin, saya nonon pentas teater tahunan ASE & ASI XVI IST Akprind dari Sanggar 28 Terkam. Kalau tahun lalu ada Madam yang nemeni, malam itu sendirian nonton. Sebenarnya jadwalnya bentrok sama rapat kerja disana, dan saya lebih milih nonton acara ini karena hari terakhir. Faktor terbesar juga kenapa saya nonton? Mungkin karena Teater Eska juga perform. Entahlah, (selain di Nuun) kadang saya merasa ada kedekatan tersendiri dengan Eska, dengan ideologinya, dengan kulturalnya, dengan gayanya, juga orang-orangnya...

Saat itu saya sempatkan juga untuk meliput acara ini, saya tulis di LPM Arena... Ada hal lucu sih sebenarnya. Pas saya wawancara sama pimpinan produksi pementasan, namanya Mas Ucup, orangnya asyik, enak diajak ngobrol, nggak terlalu serius, haha. Gini, pas wawancara saya selalu membiasakan diri untuk nulis, nah, parahnya malam itu pulpen saya macet! Mas Ucup udah ngoceh sana sini, fokusku malah nyari pulpen lain, mau saya rekam kondisi sekeliling berisik. Untung aja, pulpennya nyala lagi dan nulis apa yang dikatakan Mas Ucup. Saya terpaksa menanyakan ulang pertanyaan saya pertama, nah, Mas Ucupnya bilang: "Ah, mbak iki ra paham-paham..." sambil tertawa, haha. Mas Ucup terpaksa ngejelasin lagi tentang tema Unting Amput... (paginya, pas saya wawancara lagi sama orang berbeda, ketua BEM-F Fakultas Adab, Mas Hilman, pas mau saya rekam memory card HP nggak ada, bjgr.)

Trus masuk, saya milih tempat duduk di belakang. Dibuka dengan musikalisasi puisi. Ada kata indah: "di bawah jemari waktu.... menjelma sunyi di kedalaman.... " atau "duri adalah terapi nurani.... bergeraklah bahwa memang kita hidup......" Saya jadi ingat lagu mars UIN Suka, yang tekun dalam sunyi, juga bertanya-tanya dari pentas sesudahnya dari Ngopi Nyastro tentang suara seorang pengkhianat: buat apa melakukan pembersihan, kalau kejelekan adalah penyucian?

Ada pentas lain juga dari teater delik, cerita tentang Sodron, Sintren (seni tradisional pantura) dari anak-anak SMA di Indramayu, kisah empat orang dalam penjara, de-el-el, tapi penampilan yang saya tunggu-tunggu, yeah, Teater Eska.  Ada baiknya merenggangkan otak sebelum melihat pentas ini, salah-salah bisa jantungan, haha, LOL. Judulnya "Issue". Pentas hasil negosiasi, ekperimentasi, mungkin juga ekstasi pemainnya. Dengan seenaknya Eska ngusir penonton dari zona duduknya suruh duduk melingkar.

It works: Oong dan temannya datang bawa lampu neon, trus Harik pakai baju kodok biru, kurang kerjaan bawa meja setrikaan, trus keluar dan datang lagi bawa sound dan anak kesayangannya, kecapi.
mamang kecapi
Ridho yang mirip vampir gagal: pakaian gamis, wajah putih, dengan kupluk yang hendak pergi ke kelenteng nyuruh penonton mengeluarkan HP-nya. Dia ngintruksiin buat bunyiin ring tone, nyalain blitz, dan hal-hal yang dilarang lainnya saat pementasan. Ruangan jadi sangat crowded dan hidup.
vampir yang bisa baca
Di sisi lain, dua manusia robot yang pakai helm, dua orang ini diikat trus kerjaannya mukul-mukul kursi nggak jelas.
habis jatuh dari motor
Surya: kyai berhelm
Di beberapa sisi lainnya, ada fotografer-fotografer yang awalnya saya pikir cuma mau moto-moto doang, eh, ternyata aktor yang ikut main juga! Salah satunya fotografernya Sabiq (tak kusangka kamu main teater, sepanggung sama adek lagi, haha). Fotografer-fotografer itu yang jumlahnya empatan kalau nggak salah pada motret.
Sabiq: Cheers Ris! II Waris: Balon'e cuk.
Ridho: Biq, kamu moto apa?
Kejutan lagi ada semacam orang gila yang mirip boneka kotak musik wagu: rambutnya ungu, pake celana coklat muda sedengkul, dan seluruh tubuhnya dibalut cat putih. Ghoz, tubuhnya meliuk-liuk, ekspresinya dari bahagia, ketawa, sedih, sampai kayak orang mau sekarat.
Total ini orang.
Ghoz is ghost
 Trus ada juga Waris, dia malam itu mungkin mendeklrasikan diri jadi badut penghibur anak-anak atau orang yang sedang jualan balon, haha. Ekspresinya lucu dan agak gila. Dia memeluk balon dengan kesetanan, bulu kuduk tiba-tiba berdiri mbayangin balon itu meletus. Mungkin ia mewakili suara-suara joker di luar sana.
padahal dia sudah dibilangin dosen jangan makan balon.
Panggung tiba-tiba sangat noise banget dengan teror kecapi Harik dan suara pukul-pukul manusia helm. Tempo naik, lampu redup nyala kayak disko, kita seolah diajak menuju dunia malam para manusia abnormal. Pentas usai seiring matinya lampu-lampu. Prok-prok-prok. Kalian gila!
Issue
Saya tak tahu, kalau dihadapkan ke aliran-aliran teater, ini pentas masuk golongan mana. Yang saya tahu Eska menghadirkan semacam alternatif lain dalam panggung. Aneh, nakal, dan sedikit serampangan. Pendapat saya, jujur saya nangkapnya makna yang ingin disampaikan adalah tentang modernisasi. Dimana manusia sekarang dijejali berjibun informasi dari koran dan media elektronik.

Di sisi lainnya ada orang-orang yang bisa jadi ada dua kemungkinan: pertama, orang sekarang krisis eksistensi, karena setiap moment ingin dijepret, diabadikan, lantas mereka lupa dengan 'makna apa' yang sebenarnya mereka lakukan. Kedua, ada golongan-golongan tertentu yang sengaja menjual penderitaan orang-orang yang mewakili Ghoz, Waris, atau manusia helm. At some show, theatre enough. I don't need to photograph, analize, and think. Just enjoy, it's enough. 

Wacana lain, saat mendengar kata "issue" saya langsung teringat dengan rapat redaksi atau tentang ibu-ibu. Di rapat redaksi, isu semacam bahan berita yang dianalisis lalu diverifikasi. Di tataran ibu-ibu, isu adalah gosip.

Saya sebenarnya ingin  bertanya: kesatuan utuh apa yang sebenarnya ingin dibangun dari montase tiap aktornya ini? Kalau bahasanya orang awam: apaa ini?

NB: Semua foto "nyolong dari kamera ARENA" copyright.

_Is

Sabtu, 14 Februari 2015

semacam lukisan, I-A

ini hasil lukisan kita berdua kemarin A, haha...
kamu yang tak gampang mengeluh
kamu yang bilang:
"i'm not a human...
i just a unity of bloods and soul
didn't have a brain for thinking
didn't have a heart for feeling
just think's to my great Lord.."
Aku memaksakan ini sebagai John Lennon
Mistery--Di Atas Normal
Katanya kamu ingin membuat air terjun, tapi kok ada pohon kelapanya?
akhirnya
Jl. Kusbini 43--Balai Yasa
9 Februari 2015

Kamis, 12 Februari 2015

Jangan Malas. Jangan Lemah.


Sebuah refleksi aja.. pagi kelas seismologi kosong, saya gunakan untuk baca-baca buku tentang akhlak tasawuf, saya menemukan ini:
Malas dan lemah, Nabi saw. selalu meminta perlindungan kepada Allah swt. dari dua sifat tercela tersebut. Karena kedua sifat tersebut merupakan kunci segala kejelekan. Kedua sifat tersebut akan menimbulkan berbagai macam hal yang tidak baik, seperti sedih, gelisah, penakut, kikir, dililit utang, dianiaya dan dikuasai orang lain. Semua ini sumbernya hanya satu, yaitu sikap lemah dan malas. Dan, ciri-ciri sikap lemah dan malas adalah suka mengandai-andai. Rasulullah saw. bersabda:

“Sesungguhnya kalimat kalau (seandainya) membuka amal perbuatan setan”

Perlu diketahui juga bahwa sumber segala bentuk maksiat adalah sikap lemah dan malas. Karena, seorang hamba yang memiliki sikap lemah dan tidak mampu, berarti ia lemah dan tidak mampu melaksanakan amal perbuatan ketaatan dan tidak mampu melakukan hal-hal yang bisa membentengi dan menjauhkan dirinya dari perbuatan maksiat. Akhirnya, ia jatuh di dalam lubang kemaksiatan. 

Doa yang diucapkan Nabi saw. dalam hal ini mengandung pokok-pokok kejelekan sekaligus cabang-cabangnya dan mengandung sumber-sumber segala kejelekan. Doa Nabi saw. tersebut mengandung delapan sifat, setiap sifat memiliki gandengan sendiri-sendiri. Beliau berdoa:

“Ya Allah, hamba meminta perlindungan kepada-Mu dari kecemasan dan kesedihan.”

Al-Hamm (kecemasan) dan al-Huzn (kesedihan) adalah dua sifat yang bergandengan, karena sesuatu kejelekan yang tidak diinginkan terjadi berdasarkan sebabnya, terbagi menjadi dua bagian:
  • Sesuatu yang telah lewat dan ini akan menyebabkan kesedihan.
  • Berdasarkan perkiraan sesuatu yang akan terjadi di masa mendatang dan ini akan menimbulkan kecemasan.
Dan, keduanya bersumber dari sikap lemah dan tidak mampu. Karena, sesuatu yang telah terjadi, tidak mungkin dihapus atau diubah dengan kesedihan. 

Sumber:  Asy-Syaami, Shaleh Ahmad. 2005. Berakhlak dan Beradab Mulia. Jakarta: Gema Insani.