Sabtu, 28 Juni 2014

Lirik “Lagu Wajib” – Sisir Tanah


 
Yang wajib dari hujan adalah basah
Yang wajib dari basah adalah tanah
Yang wajib dari tanah adalah hutan
Yang wajib dari hutan adalah tanam
Yang wajib dari tanam adalah tekad
Yang wajib dari tekad adalah hati
Yang wajib dari hati adalah kata
Yang wajib dari kata adalah tanya        
Yang wajib dari tanya adalah kita
Yang wajib dari kita adalah cinta
Yang wajib dari cinta adalah mesra
Yang wajib dari mesra adalah rasa
Yang wajib dari rasa adalah luka
(Adalah luka) 18X

Selasa, 24 Juni 2014

Lirik Lagu Bakar Petamu (Lagu Baik) - Sisir Tanah

Seumpama sedih, hidup memang tugas manusia
Jangan ada benar takkan pernah ada tempat yang sungguh merdeka
Seumpama lelah masih tersisa banyak waktu

Menjelmakan mimpi, menggerakkan kawan, hadirkan perubahan
Menjelmakan mimpi, menggerakkan kawan, mendatangkan damai

Seumpama suka kau ambillah jantungku saja
Di situ ada kepastian meski degupnya tergesa
Tapi bukan untuk bercumbu

Bakar petamu jejak baru
Bakar petamu jejak baru
Bakar petamu jejak baru

Panjang umur….. keberanian, mati kau kecemasan dan ketakutan
Panjang umur…… keberanian, mati kau ketidakadilan dan penindasan
Panjang umur…… keberanian, mati kau kebenaran yang dipaksakan
Panjang umur...........

(Semangat baik) 26X

Minggu, 08 Juni 2014

Review Film Girl Rising

Sumber Gambar

Film ini bercerita tentang 9 orang perempuan muda di berbagai negara dengan semua problematika ya dihadapi untuk mewujudkan sebuah cita-cita yang mulia.
Film dibuka dengan seorang perempuan Kamboja bernama Sokha yang sedang menari sebuah tari tradisional dan memakai pakaian tradisional.
Dan inilah teman-teman Sokha…

WADLEY-HAITI
Ia bermimpi ada di sebuah tempat yang indah, taman hijau dan berbunga dengan langit biru. Ia tersenyum sambil berlari-lari.
Ia seorang anak kecil dari Haiti ayahnya telah meninggal, dan ibunya berjualan di depan rumah. Flasback ke belakang, saat wilayah Haiti porak poranda, dimana banyak korban meninggal dan ia masih hidup. Wadley berasal dari keluarga miskin, tapi ia sangat ingin sekali sekolah. Ia yakin bahwa dia adalah orang yang “special” karena Tuhan masih membiarkannya hidup. Saat orang-orang yang dikasihi, dari tanah menjadi tanah, dari debu kembali ke debu.  Ia ingin sekolah lagi, ia datangi guru bernama Bu Roy, tapi guru ini mengusirnya sebab ibunya tak bisa membayar untuk Wadley sekolah. Tapi Wadley tidak menyerah, keesokkan harinya ia datang lagi. Kembali diusir lagi, tapi Wadley bersikukuh bicara..
“Walau ibu usir, saya akan tetap kembali kesini”
Guru itu pun luluh dan membiarkannya ikut bersekolah.
Bunga-bunga Azalea, sepatu, tampak cerah karena kebahagiaan itu. Saat anak-anak di luar sana hanya menjadikan pendidikan sebagai status, di sini Wadley berjuang..

SUMA – NEPAL                                                                        
Sejak umur 4 tahun anak ini telah dijadikan budak (di negara Nepal disebut kamlari) yang harus mengabdi pada majikan. Dari jam 4 pagi ia bekerja sampai malam saat ia bekerja di majikannya yang pertama yang bernama Fagu Tharu, ia bertugas mengurus rumah, menjaga anak, dan mencari kayu. Di majikan kedua yang sangat kejam, ia dipanggil “gadis sial”. Suma tidur di kandang kambing, ia melakukan pekerjaan berat, dari pekerjaan rumah sampai mengurus anak sebayanya dan menggembala kambing. Karena pakaianya sobek-sobek, ia sering dihina oleh anak-anak yang dijaganya, menurutnya menggembala kambing lebih membahagiakan daripada mengurus anak-anak itu. Hanya lagu dan nyanyian yang sangat Suma cintai dan menguatkannya. Kadang ia iri pada saudara lelakinya yang bisa belajar sedangkan dia menjadi budak. Trus cerita mengenai majikan Suma yang ketiga, dia bertemu dengan seorang guru bernama Bimal Sir yang mengubah hidup dan pola pikir dia. Ia mengikuti sekolah malam yang diajarkan oleh sang guru. Namun suatu hari Suma tak bisa melanjutkan pendidikannya lagi gara-gara majikannya potes.
Sekarang, Suma adalah majikan untuk dirinya sendiri. Di luar sana banyak perempuan-perempuan yang ingin bebas seperti dirinya. Perubahan itu seperti menyanyi, ia tak bisa ditahan, dari satu orang ke orang lainnya. Dan pada tahun 2000 kasus kamlari telah dilarang dan illegal di Nepal.

YASMIN – KAIRO, MESIR
Anak ini memang super sekali. Umurnya 12 tahun, ia terlibat kasus pembunuhan. Suatu hari Yasmin dan temanya Aya pergi bersama untuk membeli jus. Di jalan ia bertemu dengan pembawa gerobak, pembawa gerobak itu mengantar Yasmin dan Aya untuk membeli tapi, jalannya berbelok, kata pembawa gerobak, itu adalah jalan pintas. Tapi lama kelamaan mereka tahu jika mereka ditipu. Si Aya memutuskan untuk loncat dari gerobak dan berlari. Sedang Yasmin bertahan, dia dibawa ke rumah pembawa gerobak. Disana Yasmin diberikan jus tapi rasanya asam dan itu buka jus tapi bir. Pembawa gerobak membawa Yasmin pergi ke temapat yang gelap. Pembawa gerobak berencana ingin memperkosa Yasmin, tapi Yasmin yakin dia lebih kuat, dia cepat, Yasmin lebih cepat. Hingga pembawa gerobak itu mengeluarkan pedang dan Yasmin mengeluarkan pisau kecil dari bajunya. Mereka bertarung dengan sengit, tapi pembawa gerobak itu tidak memberi Yasmin pilihan, pisau itu meluncur ke tubuh pembawa gerobak dan ia meninggal demi membela kehormatan. Yasmin bilang: “saya adalah pahlawan super. Saya tidak pernah takut”. Polisi tercengang mendengar penuturan Yasmin, dan malah si polisi bicra pada Yasmin: Mari saya ajak ke rumah, akan saya perkenalkan anak saya ke kamu. Saya ingin dia belajar jadi super juga”

AZMERA – ETIOPIA
Ia gadis Etiopia berumur 14 tahun yang hidup bersama ibu dan kakak lelakinya dan ayahnya telah meninggal. Di Etiopia pernikahan dini merupakan budaya. Dari umur 7 tahun sampai umur 13 tahun dianggap sudah aman (untuk menikah). Karena ada mitos jika seorang wanita menikah maka kesedihan dan bebannya akan dibagi bersama suami. Tapi dalam diri Azmera ada keyakinan untuk menantang Dia teringat dengan sebuah mitos dari langit, tentang seorang pemuda yang terbang menggunakan sayap lilin menuju maatahari. Ayahnya telah mengingatkan pada pemuda untuk jangan terbang terlalu tinggi, sang pemuda melawan dan akhirnya lilin-lilin di sayapnya leleh dan ia jatuh. Azmera sadar untuk bis terbang kita tidak bias memaki lilin dan keputusasaan. Mitos langit ini serupa dengan kakak lelaki Azmera. Kakaknya ini bekerja keras untuk Azmera agar dia bisa bersekolah. Dan saat setiap lelaki dating ke rumah Azmera untuk melamar, maka Azmera dan dibantu kakaknya menolak. Karena ia bilang: “Aku ingin kehidupan yang lebih baik”. Ia ingin bisa membaca dan menulis. Melihat buku yang akan membawanya ke sebuah perjalanan ke depan dan ke atas.

RUKSANA – INDIA
Ia seorang gadis kecil, yang mempunyai kesempatan untuk bersekolah. Saat pelajaran matematika, ia malah menggambar, gurunya tahu dan memarahinya kemudian menyuruh Ruksana keluar. Di rumah ia dipanggil Ayahnya karena kejadian dikeluarkan ia dari kelas. Ayahnya bilang: “kita sudah susah, aku ingin kau belajar yang baik”. Kemudian ayah Ruksana membawa Ruksana pergi ke sebuah tempat, toko lukis. Disana ayah Ruksana membelikan Ruksana buku gambar dan pensil warna. Ruksana sangat amat bahagia. Mulai saat itu ia berjanji akan hanya menggambar di buku ini dan belajar yang tekun di pelajaran yang lain. Jujur, aku nangis pas bagian ini. Betapa bijaknya ayah Ruksana, meski ia orang tak punya, bahkan rumah saja tak ada tapi.. Subhanallah. Ibu Ruksana bekerja sebagai pembantu di sebuah rumah, disana Ruksana iseng menonton TV dan dimarahi majikan untuk melanjutkan pekerjaan. Ia bertanya: Tuhan kenapa kebaikan dan keburukan ada dalam satu keadaan yang sama? Kayak majikan itu dengan TV-nya dan aku dengan pekerjaanku? Cobaan tak hanya disitu, rumah liar orang tua ruksana digusur satpol PP-nya orang India. Mereka sekeluarga kehujanan di jalan. Ayah Ruksana ingin membawa keluarganya untuk pulang kampung saja, tapi istrinya berkta: “Kita sudah cukup berhasil, kita sudah belajar untuk tidak menyerah…”. Keluarga ini bangkit, bekerja dengan keras, dan Ruksana dengan kecintaannya dengan lukisan memajang karya-karyanya di jalan. Ia yakin dengan mimpi-mimpinya, karena ia tahu di setiap hal yang ia lakuka teman-teman yang ia cintai (mimpi-mimpi) ada disana.

SENNA –PERU
Gadis 14 tahun yang inspiratif dan mandiri. Ia sangat menyukai puisi, khususnya puisi berjudul “Bentara Hitam”. Ayahnya menamai ia Senna karena terinspirasi dari seorang prajurit wanita yang hebat bernama Xena. Tapi karena ayahnya tidak tahu kalau Xena itu pakai X gak pakai S, makanya jadi Senna. Ayahnya berharap Senna bisa menjadi wanita hebat seperti Xena. Senna hidup di sebuah Negara yang dikaruniai berkah berupa emas., di sebuah daratan yang tertutup salju abadi di pegunungan Andes. Yang untuk mendapatkan 1 buah cincin wmas saja harus memindahkan 2000 ton emas. Dan tragisnya orang-orang di sekitarnya hidup serba kekurangan, dan mungkin juga alam yang marah karena keserakahan. Ayahnya dulu bekerja sebagai tukang tambang emas, namun karena kecelakaan ia jadi sakit, dan tugas keluarga pindah ke ibu yang bekerja sebagi pemecah batu di pegunungan Andes. Untuk membantu keluarga, Senna bekerja sebagai tukang bersih toilet. Ayahnya bangga pada kemandirian Senna, ayahnya berharap suatu hari ia bisa menjadi insinyur. Karena insinyur adalah bos pemilik penambangan. Suatu hari ibu Senna membawa ayah Senna berobat, tapi karena kondisi fisik dan keadaan yang buruk ayahnya meninggal. Senna amat sangat sedih, ia berjanji pada ayahnya nanti saya akan jadi insinyur. Baginya kata-kata adalah perkasa. Senna mengikuti kontes-kontes puisi dan membacakannya di seoklah. Dan puisi “Bentara Hitam” ntah yang nulis siapa #lupa, mewakili kehidupnnya.

MARIAMA – SIERRA LEONE
Ia adalah gadis remaja yang beruntung, karena ia dikaruniai keluarga yang baik dan bisa sekolah. Ia sangat mencintai sains, di saat teman-temannya menganggap sains itu membosankan. Baginya sains itu seperti Isaac Newton, persoalannya adalah kita bertanya dan menemukan jawabannya, karena baginya masalah adalah bagian yang paling menarik. Selain sebagai siswa ia juga bekerja sampingan sebagai pemandu radio di sebuah chanel radio paling keren di kotanya dan didengar banyak orang. Dari sini ia menghibur, bicara dengan banyak orang dan membantu menyelesaikan masalah-masalah mereka. Nanti ia juga bermimpi ingin punya TV sendiri, ia ingin mebuat acara Talkshow Dr. Mariama yang bisa menyelesaian maslah-masalah pemirsa. Tapi, pekerjaannya ini mendapat tentangan dari ayah Mariama, ia dilarang untuk siaran lagi. Mariama pusing dengan masalahnya ini, ini masalah paling pusing dalam hidupnya, jika Isaac Newton menghadapi ini apa yang akan ia lakukan? Pikirnya. Kemudia ia menemukan jalan keluar, jawaban ada pada Hawa, istri ayahnya itu. Dengan penjelasa-penjelasan dan pengertian akhirnya ayahnya mengizinkan, asal tiap selesai siaran Mariama harus pulang. Ia terus berjuang hingga mimpinya membuat acara TV sendiri berhasil

AMINA – AFGANISTAN
Budaya yang sangat amat tertutup menurutku bagi seorang wanita. Bayangkan, pakiaannya aneh dan wajah dan kepalanya seperti ditutup menggunakan sarung yang pokoknya aneh. Saat berumur 3 tahun anak ini telah bekerja. Dari sebelum fajar hingga malam. Saat berumur 11 tahun ia sudah harus menikah dengan sepupunya. Meski batinnya menolak dan sangat sedih karena ia seperti dijadikan bahan jualan. Dari pernikahan ini orang tua Amina mendapatkan uang $ 5000 dan tragisnya uang itu digunakan untuk membeli mobil bekas untuk saudara laki-lakinya. Menikah di usia muda, memaksanya melahirkan di usia muda. Amina menolak semua itu, di negaranya banyak wanita-wanita hebat, ia berkata: Saya adalah perubahan. Jangan bilang Anda memihak saya, karena keheningan Anda telah mewakili.
Sumber Gambar
Film ini diangkat dari kisah nyata. Dalam banget pesan yang ingin disampaikan. Membawa visi tentang perempuan. Sekolahkan mereka, jangan jadikan budak, jangan nikahkan dengan usia muda, dll. Banyak statistik yang saya rasakan mengerikan tentang wanita sendiri dan itu membuat saya sedih.
Karena menurut saya, saat sebuah negara ingin berubah, ubahlah kualitas perempuannya.

Perpustakaan Kota Yogyakarta, 8 Juni 2014

Senin, 02 Juni 2014

Membaca Pentas “Labirin Retakan Bayang-bayangmu” Teater Eska (II)

Sedikit kecewa karena saya merasa tertipu kalau pentas kedua ini adalah lanjutan dari yang sabtu kemarin, ternyata kisahnya masih sama (hanya diulang) dan ini murni karena ketidaktahuan saya. Malam itu di depan gelanggang banyak anak sanggar (nuun) yang nonton bareng. Kemarin cuma beberapa aja yang saya lihat, hari ini anak satu kontrakan hadir, saya jadi bersemangat menonton lagi.

Kami duduk di bagian belakang. Samping kiri, kanan, belakang anak sanggar semua. Sampingku ada Mila dan Richa. Setelah menunggu  Kang Amin dengan wajah yang lebih cerah dari yang kemarin datang membuka acara. Ibaratnya menonton ulang ‘film’ lagi, saya lebih paham, lebih bisa merasakan, sekaligus lebih detail memperhatikan. Pemetaan yang saya tulis di tulisan kemarin pun bisa saya revisi (karena itu bersumber dari ingatan saja—saya sadar masih banyak yang keloncat-loncat).

Baiklah, karena kisahnya tak jauh berbeda dari yang kemarin, saya ingin mengulas perbedaan antara pentas 1 dan pentas 2 dari kacamata saya pribadi. 

Perbedaan yang paling terasa, pentas 2 saya rasakan lebih cepat daripada pentas 1. Lalu, setting lempar botol/kaleng hanya dari sisi sayap saja, yang dari atas tidak ada, nglemparnya pun tak seelok yang kemarin. Kalau kemarin rata, malam ini lebih timpang ke panggung sebelah kiri. Terakhir, kalau kemarin yang masuk kurungan pas ending adalah sang kakek, namun di pentas 2 ini yang masuk kurungan adalah aktor pencari Tuhan yang berpakaian merah. Ada yang lain-lain juga, sampai yang kecil-kecil, tapi lebih ke teknis aja sih.

Pentas 2 ini saya merasa intrepretasi saya lebih baik daripada yang kemarin. Di pembukaan saya jadi paham, oh, kakek ini mungkin adalah orang tua yang memberi pesan dan bertanya kepada cucu-cucunya tentang Tuhan. Zaman yang dilalui kakek tentu berbeda dengan zaman sekarang yang dijalani cucu-cucunya (aktor wanita satu, wanita dua, lelaki satu, lelaki dua yang membawa payung dan carrier (tas gunung) yang besar. Lalu empat cucunya ini melakukan perjalanan. Disana sejarah ketuhanan peradaban seolah diungkap, dari kepercayaan Tuhan a la dinamisme/animisme (yang diadegankan oleh para tokoh primitif). Lalu ke kerajaan, hingga akhirnya di zaman modern ini apa yang diebut sebagai “Tuhan” terus dicari. Tentu dalam pencarian ini ke-empat cucu kakek memiliki kisahnya yang berbeda-beda, dengan aktor-aktor latar sebagai simbol penjelasnya. Kritik, ironi, kegelisahan, pertanyaan dihadirkan dalam setiap latar, aktivitas, dan monolog-monolog tokoh.

Entah ide darimana, saya jadi curiga jangan-jangan ke-empat tokoh pencari tadi adalah satu orang? Lalu mereka terbagi menjadi bayangan-bayangan terpisah dan terjebak dalam labirin-labirin mereka sendiri? Itu saya baca di bagian mau ending, saat ada aktor tinggi pakaiannya kayak preman yang dia mewakili kaum antagonis. Lalu ia bercakap dengan salah satu tokoh pencari Tuhan yang berpakaian hitam dan berdialektika berdua, seolah yang satu adalah malaikat baik, yang satu adalah syaiton. Lalu tokoh wanita dua datang. Mereka bertiga main cilup baa bersama. Namun saat “Baa” nya tak terbalas, wanita dua dan lelaki berpakaian hitam gelisah dan bingung. Lalu aktor yang mewakili dunia hitam pun berkata kira-kira, “Ternyata kalian takut kehilangan saya, haha” – silahkan intrepretasi sendiri. Diakhiri dengan aktor pencari Tuhan yang berpakaian merah, dikurung dalam kurungan.

Berkutnya saya ingin membahas tentang evaluasi yang dilaksanakan usai pementasan. Banyak tokoh-tokoh teater yang memberikan komentar.

Dari Shohifur Ridho Illahi sendiri selaku salah satu tim kreatif dan penulis naskah. Cerita ini berawal dari bukunya Karen Armstrong. Sumber primer adalah buku Karen yang berjudul Sejarah Tuhan.

Lalu Pak Munir dari Sanggar Nuun mengawali komentar saat melihat pentas ini seperti kembali kuliah sosiologi agama 2 SKS.  Pak Munir bertanya, sebenarnya ini itu kerinduan atau kesangsian (akan Tuhan)? Mas Ridho menjelaskan ketika manusia bertemu dengan fenomena alam, ia akan sangsi dan bertanya, ini siapa yang membuat (alam semesta)? Pasti ada yang menciptakan itu.

Ada juga yang berkomentar jika manusia itu berteater. Tuhan sendiri Maha Teater. Berbicara tentang teater kampus itu tidak lepas dari dua hal; teater wacana dan teater eksperimental. Persoalannya adalah saat teater sudah terbentuk, sistem terjadinya bagaimana? Bapak kritikus yang duduk di sebelah kang Amin ini mengkritik tentang “kedodolan/kedodoran” yang terjadi sepanjang pementasan. Seperti, kenapa pakaian yang dikenakan ala mahasiswa semua? Kenapa tasnya juga sama semua? Apa yang mencari Tuhan itu cuma mahasiswa? Kenapa tidak mewakili keseragaman masyarakat. Pencuri, pelacur, petani, politisi itu juga mencari lho. Ia juga menilai jika dibagian awal belum mewakili, lebih bisa menikmati yang terakhir, karena lebih simbolis dan sunyi. Ia menyarankan untuk kembali ke proses dan mencari simbol atau idiom yang lebih pas. Ada kata-kata menarik dari bapak ini, “Kerinduan teater diikuti dengan kebersihan teater. Teater akan selalu ada di diri Anda.”

Lalu komentar dari, ekhm, Mas Rendra Narendra (aktor, penulis naskah, sutradara, sekaligus dosen ISI Jogja), dia bilang kesan pertama yang didapatkan ‘manis’. Dalam tanggapan dia warna dan setting manis dilihat. Kedua, konten pertunjukkan ini padat, poetika tinggi tetapi hubungan dari satu ke lainnya kedodoran sekali. Ia bertanya (mungkin juga menantang teater eska) bagaimana mendialogkan pada penonton dan diri sendiri agar lakon itu menjadi milik dan tidak bias? Ketiga, mas Rendra melihat aktor yang membahasakan itu punya jarak. And the last statement from him is, “Teater adalah perayaan atas gagasan”.

Kemudian, aneka komentar itu ditanggapi oleh sang tukang lem (supervisor) teater eska. Ia berujar, ketika konsepnya tidak memakai sutradara, kok jadi kangen ya? Namun saat ia datang kok yang dirindukan tak seindah ketika dirindukan? Lalu, kenapa propertinya sedikit? agar kedodoran itu sempit. Masalahnya kedodoran yang terjadi itu apakah kedodoran teknis? Atau malah kedodoran konseptual? Jika masalahnya masih berkutat pada teknis, mungkin latihan harus ditambah 6 bulan lagi dan itu tidak menjamin menjadi sempurna. Hal teknis dijadikan alasan, alibi, dll padahal tiap orang berbeda, ia punya mood dan pikiran. Kritik tulisan saya yang kemarin saya sadari juga masih berkutat di teknis. Jujur, saya masih dodol mengartikan teater surealis. Yang menjadi kritik saya, meski teknis itu mungkin kedua, hal teknis juga akan tetap menjadi nyawa. Teater bukannya selain rasa kita juga diajari teriak, diajari blocking, dan sohib-sohibnya itu? Catatannya ya itu, "Jangan dijadikan alasan atau alibi".

Di luar konseptual baginya hanyalah masalah jam terbang. Kedodoran di wilayah konspetual lebih diidentifikasi lagi. Seperti kasus yang dikatakan bapak di samping kang Amin, “Kenapa tasnya mahasiswa semua? Tas anak Mapalaska semua?” Ini pertunjukannya yang kedodoran atau kitanya yang isi kepalanya salah?

Diakhiri dengan pertanyaan, “Kenapa teater Eska kok selalu menampilkan pementasan yang surealis?”. Dijawab, karena menghindari wacana yang berbau syariah. Realis disandung kritik syariah.
Labirin (Sumber: Teater Eska)
Akhirnya, ada hubungan yang lebih besar yang dibawa teater, yaitu hubungan sosial pun kebersamaan.

Minggu, 01 Juni 2014

Membaca Pentas “Labirin Retakan Bayang-bayangmu” Teater Eska


Bahkan saat aku tak menyapa-Mu, kita sudah bercakap dalam diam.
 Habis rapat redaksi di Arena, sekitar jam 19.35 WIB, saya keluar menuju gelanggang untuk nonton produksi Teater Eska ke XXXII. Kamis kemarin saya sudah pesan 2 tiket sama Mas Zulfan (anak Sanggar Nuun) tapi tidak ketemu dia lagi. Beruntungnya, dapat tiket gratis dari Mas Robi Arena (terima kasih Mas Sabiq, loh?). 

Seperti hawa-hawa pementasan. Ngisi daftar tamu trus nulis nama disana. Saya masuk sendirian (sebenarnya tadi bareng Jevi, entah dia kemana). Setelah masuk gelanggang, saya memilih duduk di tangga ke dua dari belakang. Disitu saya menikmati peran saya sebagai “penonton”. Saya sengaja tidak membuka-buka bookleaf yang dibagikan panitia. Alasan pertama, kalau saya tahu nama para aktornya dan saya kenal, saya bisa menelanjangi kelemahan mereka satu-per satu sekaligus mengurangi keobjektifan saya. Kedua, saya sengaja tidak ingin membaca sinopsis (yang mungkin dihadirkan dalam bookleaf itu), biar surprise

Setelah menunggu sambil observasi keadaan. Akhirnya, Kang Amin sang MC keluar. Setelah menjelaskan gambaran proses dan ucapan terima kasih, lampu mati. Cerita dimulai…….

Seorang kakek berpakaian putih berjanggut lebat berdiri di tengah panggung. Ia berada dalam kurungan (yang dalam konteks ini mungkin itu labirinnya) dan bermonolog, yang saya tangkap ia sedang gelisah menanyakan Tuhannya. Di luar kurungan, banyak orang ber-riwa-riwi berjalan membawa mawar merah. Pakaiaan mereka beragam, mungkin ini simbol kemajemukan hamba Tuhan yang mereka sama-sama bingung mencari bolak-balik Tuhanku dimana? Tentang Mawar merah, bukankah itu simbol cinta?

Lalu, seorang aktor wanita berkerudung biru (sebut wanita satu) sambil membawa payung ia bertanya tentang Tuhannya. Ada beberapa dialog yang saya ingat kira-kira begini: Sejak dalam kandungan aku mengenal-Mu, sejak kecil orang tuaku mengajariku menyebut-nyebut nama-Mu, belajar kitab-Mu, mengenalkan makhluk suci tanpa nafsu bernama malaikat,  dan menyembah-Mu. Lalu Kau dimana?

Pertanyaan yang sama dilontarkan dengan tiga aktor lain yang habis melakukan simbol solat, wirid, dll (yang juga membawa payung dan tas panjat gunung), lalu mereka melalui perjalanan spiritualnya masing-masing mereka melakukan perjalanan. Kenapa mereka bawa payung? Asumsi saya, payung adalah simbol rumah. Nah, di tengah perjalanan itu panggung diisi dengan banyak adegan. Pemetaan saya seperti ini:

Adegan seorang mencuri komputer, lalu bentrokan terjadi. Berganti dengan aktivitas manusia sehari-hari dengan alatnya masing-masing seperti panci, bak sampah, boneka yang digantung-gantung sambil kutangkap satu nilai: manusia-manusia ini sama-sama bingung. Seorang aktor wanita berpakaiaan merah (sebut wanita dua), ia datang bermonolog dan membersihkan barang-barang yang ditinggalkan manusia-manusia bingung tadi.

Lalu, sebuah suku primitif gitu dihadirkan di atas panggung. Sang pencari Tuhan bermonolog, siapa Tuhan mereka? Ada satu pertanyaan yang membuatku mengganjal: Tuhan, pernahkah Kau cemas?

Lalu adegan perang. Antara dua kerajaan gitu, sebut kerajaan putih dan merah (karena pakaian mereka putih dan merah). Dari kerajaan merah senjatanya bambu runcing dan kerajaan putih pedang yang gedhe banget. Dua kerajaan ini perang, lalu satu persatu aktor pencari Tuhan bermonolog, dan aktor yang menjadi latar bergerak statis. Disini seolah waktu berhenti berputar, lalu manusia dari dunia lain datang dengan kegelisahannya. Saya jadi berfikir tentang mati. Saya membayangkan, latar-latar itu adalah masa lalu saya dan aktor yang bermonolog adalah saya yang sadar bahwa ‘dulu aku begini ya?’.

Lalu hal yang paling menarik dan paling saya suka dari semua setting adalah saat panggung dilempari banyak botol/kaleng dari arah kedua sayap dan atas panggung. Di tengahnya kalau ada orang bilang will you marry me pada kekasihnya? Romantis sekali #LOL. Lalu datang aktor pencari Tuhan dan aktor latar yang berjalan mundur.  Saya duga ini pemutar balikan waktu. Aktor pencari Tuhan bertanya-tanya lagi.

Masuklah dua orang penari gitu. Lalu tiba-tiba dengan lucu dan kontrasnya seorang penyanyi religi (wanita) datang dengan single religinya “Tuhan Yang Maha Keren” konser dengan pemain musik dan penonton-penonton yang membawa bendera. Lalu keluarlah semacam satpol PP mengamankan penonton, terjadilah bentrok. Penyanyinya memaksakan diri menyanyi, lalu semua pergi. Hebat, bisa menghadirkan ironi yang dibungkus keren kayak gini, haha. Menurut saya ini realitas sekaligus kritik terhadap musik di Indonesia dan sikap penonton yang tidak dewasa dalam pertunjukan konser. Nilai poin-nya adalah “religi’nya itu lho.

Diteruskan dengan masuknya para buruh yang menggendong karungan goni berisi beras ntah apa di dalamnya lalu dikumpulkan di sisi kiri panggung, lalu ada orang mati dalam tumpukannya (mungkin ibarat tikus mati di lumbung padi). Datanglah aktor lagi, dia tinggi dan berbicara lagi mengenai kebobrokan sekarang. Aku nggak ingat bagaimana dialog persisnya, aktor itu bilang: …….. adalah gabungan dari kesalahan-kesalahan. Ia juga mengatakan kalimat yang ditulis di tiket, leaflet, pementasan…

 Yang pasti bukan permainan kartu atau dadu.
Melainkan permainan yang ada dalam dirimu sendiri.
berani hidup ialah kesediaan bermain.”

Lalu sang kakek tua dalam kurungan yang muncul di depan datang lagi. Ia bebas lalu kurungan dari atas mengurungnya lagi. Lampu mati. Pentas pertama usai.
Para Aktor dan Tim Kerja
Episode satu ini masih menggantung menurut saya. Yang ingin saya analisa tentang kelemahan, kelebihan, dan pesan kesan yang saya dapatkan dari sudut pandang saya pribadi. Kelebihannya, pementasan ini menurut saya digarap dengan ‘rapi’. Itu  saya lihat dari keluar masuk aktor yang enak dilihat, tidak saling menutupi, titik foskus tidak saling mengaburkan, move-move-nya juga keren. Hebatnya, ini adalah pentas pertama yang saya tonton tanpa blackout. Eska bisa mensiasati itu dengan sangat menarik. Musiknya sendiri, saya suka pas bagian perang. Gila, menghentak banget dan membuat takut. Apalagi pas di awal perang, rasanya kayak kamu sedang tidur trus drum yang besar jatuh tepat di kupingmu. Untuk keaktoran, saya sih yes.

Kelemahannya mungkin, kostum (di aktor tertentu) terlalu dipaksakan. Apalagi dua wanita pencari Tuhan itu. Nyambung nggak sih bawa tas gunung (carrier) yang segedhe itu tapi bajunya kayak mau pergi ke pesta? Sandalnya jinjit? Kerudung hijaber seperti itu? Mengalahkan penyanyi religi yang menurutku nggak begitu glamor? Catatan juga, set panggungnya kok menurut saya kurang ya? Akan lebih menarik kalau di bagian-bagian tertentu setting-nya dibuat jelas, ini sedang dimana sih? Kadang-kadang (di bagian tertentu) saya membaca, tidak jelas latarnya dimana. Apa karena efek dari non blackout? Juga di bagian-bagian tertentu musik belum menimbulkan kesan mistis. Ini saran saja (bisa diterima/ditolak/disanggah)…

Mengenai pesan kesan. Pesan yang  saya dapat setelah pulang, sesuatu apa pun itu akan terjawab “karena aku mencari, karena aku melintasi”. Pun juga, Tuhan itu kalau dalam bahasa jurnalistik bukan 5W+1H, bukan siapa? apa? kapan? dimana? Mengapa? Bagaimana? Dia tidak dapat kita jangkau meski dengan pikiran kita yang memukau sekalipun. Saya jadi teringat pertanyaan teman sekelas saya yang bertanya: “Tuhan itu demokratis atau otoriter?” Lalu guru itu menjawab, “Tuhan  bukan kedua-duanya. Karena bahasa Tuhan tidak sama dengan bahasa kita, manusia”. Kita adalah pecahan-pecahan yang menunggu dan mencari, bergerak kesana-kemari. Manusia akan terus memburu-Nya. Terus memburu-Nya.

Ya, setiap pentas teater memberikan kesan tersendiri, yang menjadi alternatif lain di tengah benturan budaya elektronik. Meski amat disayangkan teater hanya ada di kota-kota besar saja. Tidak saya temui teater di desa saya, pun di kota saya.

Baiklah, kita saksikan episode kedua “Labirin Retakan Bayang-bayangmu” malam ini 1 Juni 2014 bertepatan dengan hari kelahiran pancasila jam 19.30 di gelanggang teater eska UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.