Selasa, 12 Maret 2024

The Cosmopolitan Grassroots City as Megaphone - Rita Padawangi

Demonstrasi menjadi kunci dari gerakan sosial, yang menunjukkan agenda gerakan dan tertampilkan secara publik. Pemilihan tempat demo penting dalam menambah tingkat tersampainya pesan kepada publik. Pemilihan ruang publik ini berdasarkan pada makna simbolik suatu tempat yang diturunkan dari memori suatu tempat dan penggunaan ruang setiap hari.

Jasper (1997) secara metaforis menjelaskannya pada kalimat "Caesars are best killed on the steps of capitols".

Artikel ini mendiskusikan pertanyaan terkait gerakan sosial dan tempat, khususnya penggunaan ruang publik untuk demonstrasi, protes, dan rapat umum. Artikel ini melihat Jakarta sebagai ruang demonstrasi dengan merujuk ulang gagasan kota sebagai sistem kehidupan. Apalagi sejak gerakan reformasi tahun 1998, demonstrasi kerap terjadi di Jakarta.

Pertanyaan yang ingin dijawab: Apa signifikansi dari ruang urban publik dalam rapat umum massa? Bagaimana pesan disampaikan di dalam ruang-ruang ini terbang melintasi dunia?

Kota menjadi tanah bagi benih untuk pertunjukkan gerakan sosial. Alasannya, pertama, ada banyak kontradiksi dan ketidakadilan dalam hirarki kekuasaan dan disparitas di antara kelompok sosial. Kedua, kota sebagai konsentrasi kekuasaan dan kesejahteraan secara alami menjadi pusat perhatian. Selanjutnya, kota menjadi panggung bagi ketidakpuasan, contohnya, Jakarta.

Jakarta mempunyai distrik bisnis yang merupakan rumah bagi bos-bos perusahaan lokal maupun internasional. Tak heran, kota menjalankan fungsinya sebagai pusat politik dan ekonomi. Pengalaman kehidupan masyarakat bersatu dengan bentuk-bentuk fisik dari kota, dalam suatu hubungan yang dialektik, mengondisikan kota sebagai pusat gerakan sosial: proses mobilisasi dalam protes sosial dan perjuangan mendemontrasikan kekuatan.

Sentralitas kota dalam gerakan sosial tak dilepaskan dari kualitas budaya dan politik yang dimilikinya. Ini telah dibuktikan oleh berbagai sarjana. Seperti Redfield dan Singer (1954), yang mengamati kota sebagai simbol kekuasaan di mana pun dia ada. Mumford (1938), menteorisasikan kota sebagai konsentrasi kuasa, dan Geertz (1980), mendiskusikan simbol budaya dalam masa pra-kolonial dari otoritas politik sebagai panggung.

Ada kebutuhan untuk melihat lebih dekat terkait peran kota sebagai agen dari dinamika identitas dan menjalankan peran aktif di dalam pembentukan kembali dan pendefinisian kembali kota. Kota merupakan tempat bagi gerakan sosial. Kota merupakan pusat pertukaran informasi. Meskipun teknologi telah dibuat untuk mengakses berbagai layanan informasi, proliferasi media memiliki peran yang lebih sentral, sebagai saluran urban dan gerakan sosial di kota. Media menjadi saluran diseminasi simbol dan gagasan yang mengangkat ruang urban. Kebanyakan aktivis akan setuju jika peliputan media menjadi ukuran dari suksesnya demonstrasi. Dengan peningkatan media dan internet secara global, kepentingan untuk mendapatkan perhatian media tumbuh dalam demonstrasi yang terjadi di kota, ia juga berperan sebagai "megafon" untuk gerakan akar rumput.

Idealnya, ruang publik bisa diakses oleh semua rakyat. Praktiknya, ruang publik memiliki hirarkinya tersendiri di dalam kota, menjadi tempat bagaimana kekuasaan digulingkan. Carr et al. (1992) menyebut, ruang publik urban didesain untuk memenuhi lima kebutuhan: kesejahteraan publik, perbaikan visual, perbaikan lingkungan, pengembangan ekonomi, dan perbaikan citra pemerintah/perusahaan terhadap publik.

"In an unequal society, the subjection of public space provision under the authority of the ruling power makes those spaces more prone to become celebratory spaces of power and wealth."


Contoh jelasnya bisa kita temukan di pusat kota, khususnya di sekitar Taman Medan Merdeka, yang dikelilingi oleh berbagai kementerian, Monas, dan menjadi tempat perayaan perguliran kekuasaan melalui upacara dan festival.

Pada awal kemerdekaan (1945-66), koridor utama Thamrin-Sudirman merupakan konstruksi kembali dari tata letak kolonial kota. Koridor ini menjadi kunci perayaan berbagai Games tingkat dunia, juga adanya patung Selamat Datang di depan Hotel Indonesia dibuat untuk menyambut para atlet. Adanya air mancur yang melingkar ini juga pernah menjadi backdrop kampanye Ganyang Malaysia yang diinisiasi oleh Presiden Soekarno melawan Malaysia. Fokus di sini terletak dari bagaimana Jakarta menunjukkan kehebatannya sebagai sebuah negara baru dengan gagasan "urbanisme nasionalis" yang ditawarkan oleh Abidin Kusno (2004). Pada masa ini, media nasional berfokus pada peliputan kampanye terkait pidato Soekarno terkait kepentingan nasional.

Kemudian pada rezim Orde Baru (1966-98), koridor Thamrin-Sudirman digunakan untuk berbagai festival, termasuk Parade Pembangunan tahunan, untuk memberikan julukan Bapak Pembangunan kepada Soeharto. Gagasan pembangunan menggema pada masa rezim Soeharto, menggantikan gagasan Soekarno terkait revolusi dan politik populis. Sialnya, pada masa Orba, demonstrasi oleh orang-orang yang "tidak diinginkan" tersebut diredam.

Di dalam sub-bab ruang publik dan media, Rita menjelaskan, kontrol Orba terhadap berbagai tempat telah melampaui ruang publik, juga terhadap media, dengan menjaga elemen dinamika struktural dari media massa sebagai komponen peluang politik. Konsentrasi elemen struktural dalam kepemilikan dan pola konsumsi media, dan hubungannya dengan partai politik dan negara. Strategi gerakan sosial untuk memenangkan perhatian media membutuhkan "kebaruan, polemik, dan konfrontasi" sering bertolak belakang dengan tujuan gerakan secara institusional (Gamson dan Meyer, 1996). Ini mempertegas, media bukan hanya menyampaikan informasi, tetapi juga alat bingkai. Pendapatan dan pendidikan di Indonesia salah satunya ditentukan oleh bagaimana masyarakat menggunakan media, dan media perlu mencocokkan diri dengan background masyarakat dalam rangka menyenangkan publik. Kepemilikan media sangat bergantung tinggi pada ekonomi dan demokrasi.

Saluran televisi publik di bawah rezim Orba menjadi alat propaganda politik dan negara, yang hanya mengizinkan berita dan isu terkait agenda pemerintahan. Bahkan media lokal juga diawasi untuk mengontrol isu-isu yang tersebar. Media yang berani mempublikasikan kebenaran akan dilarang, seperti terjadi pada Tempo, DeTIK, dan Editor. Insiden ini membuat lebih dari 1.500 jurnalis turun ke jalan untuk protes, dengan penjagaan ketat dari militer. Protes lain yang signifikan di zaman Orba, adalah suara-suara dari ibu-ibu pada Februari 1998, meski hanya berlangsung selama 20 menit. Fokus utama otoritas merepresi pada pendemo adalah untuk melindungi kepentingan rezim, namun malah mendapat perlawanan demonstrasi di sepanjang koridor utama.

Pada akhir-akhir kekuasaan Orba, internet tumbuh perlahan, khususnya di kalangan mahasiswa di universitas. Internet ini kemudian menjadi alat komunikasi underground yang melampaui kontrol rezim autoritarian.

"The interaction between place and the media creates a megaphonic effect that carries the messages from public campaigns to a broader audience.”

Kejatuhan Soeharto pada tahun 1998 melalui series protes yang berulang telah menggiring pada terbukanya ruang publik untuk demonstrasi dan demokratisasi media. Meskipun kekerasan mayor masih terjadi pada protes setelah reformasi, protes di ruang publik menjadi lebih sering dan beragam. Isu yang diangkat juga lebih spesifik terkait ekonomi dan sosial, seperti becak yang dilarang di jalanan Jakarta pada tahun 2001. Ribuan pengendara becak protes di koridor Thamrin-Sudirman dan menduduki lingkar Hotel Indonesia.

Email juga menjadi alat komunikan untuk persiapan demonstrasi. Internet menjadi katalis komunikasi yang mempercepat proses mobilisasi.

Untuk kalangan urban papa, ruang protes membantu menyebarkan pesan mereka pada kelas menengah dan atas.  Lalu, ada pula aktivis yang lebih memilih berdemo di depan kantor pemerintahan, seperti aksi Kamisan di depan Istana Presiden.

Jakarta, saat ini menjadi agen demokratisasi. Menjadi rumah bagi organisasi akar rumput menyuarakan suara mereka. Khususnya di kawasan Bundaran HI yang menjadi jantungnya kota dan keindahan. Meski saat ini, demonstrasi yang terjadi di Bundaran HI tidak selalu menjalin ketertarikan media untuk meliput. Selain itu juga sedikit mendapat respos dari pemerintah terkait perkembagnan suatu kota.

"Therefore, a demonstration in the Thamrin-Sudirman corridor does not guarantee its ability to integrate with the space as a megaphone. While under the New Order the state became the filter of what should be broadcast through the megaphone, post-reform the media themselves acted as filter. This filter is also moulded by society’s liberty to choose the issues that it can relate to, manifesting itself as a broadening public skepticism about demonstrations."

Merujuk pada gerakan akar rumput kosmopolitan di kota pada berbagai tempat di dunia, seperti di Sydney, para demonstrator membentuk formasi dengan membawa payung warna biru di depan Opera House untuk memprotes perubahan iklim. Di New York, massa juga berdemo di Times Square terkait iklim.

Gerakan-gerakan lain dengan isu yang berbeda terjadi di berbagai kota di dunia seperti Kuala Lumpur, London, Washington DC, Islamabad, Plaza De Mayo, dll. "The transformation into people’s megaphone occurs when there is a change in the socio-political context that spirals out from the movement."

Abstrak:

Perdebatan terkait gerakan sosial di kota-kota Asia tidak bisa dilepaskan dari banyaknya tempat-tempat berkumpul. Dalam artikel ini, Rita melihat koridor Thamrin-Sudirman sebagai jalan utama lalu lintas di Jakarta.

Tujuannya untuk menemukan bagaimana ruang urban yang bersifat fisik menjadi ruang pengganti dari kota, kota sebagai sistem kehidupan yang lebih luas untuk mencapai agenda gerakan sosial.

Artikel ini menganalisis tempat-tempat publik yang digunakan untuk berkumpul dengan sebutan "megafon", berdasarkan pada pola fitur wacana dalam ruang berkumpul, partisipasi kelompok, dan titik-titik bagaimana mereka dibangun oleh media. Tempat-tempat khusus di kota menjadi tempat di mana informasi disebarkan, didistribusikan, dan ditransfer melalui media, fasilitasi jaringan sepanjang kota.

Artikel ini menyimpulkan bahwa kota adalah agen aksi politik yang mengeraskan gagasan dan menyebarkannya lintas dunia. Pusat urban memiliki fungsi megafon yang dihasilkan dari sinergi antara ruang dan media, dan refleksinya untuk mendesentralisasikan kota.

Padawangi, Rita. "The Cosmopolitan Grassroots City as Megaphone: Reconstructing Public Spaces through Urban Activism in Jakarta." International Journal of Urban and Regional Research 37.3 (2013): 849-863.

Profil Scholar:

Rita Padawangi menyelesaikan pendidikan sarjananya di jurusan Arsitektur Universitas Katolik Parahyangan (2008), serta S2-nya di jurusan Urban Design di National University of Singapore (2003) dan Sosiologi di Loyola University Chicago (2005). Kemudian, pada tahun 2008, Rita menamatkan Ph.D di jurusan Sosiologi, Loyola University Chicago. Bekerja sebagai Associate Professor of Sociology di Centre for University Core, Singapore University of Social Sciences. Buku beliau yang penting untuk dibaca, "Routledge Handbook of Urbanization in Southeast Asia" (2019).

Link: https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/j.1468-2427.2013.01210.x

#31daysonindonesianscholar #ritapadawangi #urbanactivism #jakarta #urbanism #sudrimanthamrin #jalansudirman #jalanthamrin #bundaranhi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar