Rabu, 24 Juni 2020

Repost: Truth Coming Put of Her Well

Truth Coming Put of Her Well
(Kebesaran Keluar dari sumur)
Lukisan terkenal Jean-Leon Gerome, 1896

Menurut legenda abad 19,
Kebenaran dan Kebohongan bertemu pada suatu hari.
kebohongan berkata kepada kebenaran: "Hari ini luar biasa indah!"
Kebenaran tertegun sejenak, lalu memandang berkeliling
ke langit dan mendesah, "ya, memang benar indah."

Merekapun menghabiskan waktu bersama, hingga tibalah di samping sebuah sumur.
Kebohongan membujuk kebenaran: "Airnya sangat bagus, ayo kita mandi bersama!"
Kebenaran mencurigai Kebohongan, lalu menguji air itu dan ternyata memang sungguh bagus.

Mereka membuka pakaian dan mulai mandi. Tiba-tiba,
Kebohongan keluar dari air, merebut dan mengenakan
pakaian Kebenaran lalu melarikan diri.
Kebenaran terkejut dan marah, ia segera keluar dari sumur dan
lari mengejar Kebohongan kemana-mana
untuk mendapatkan kembali pakaiannya.

Ketika melihat Kebenaran telanjang, Dunia spontan
mengalihakan pandangannya dengan penuh rasa jijik dan
marah.
Kebenaran yang malang akhirnya kembali ke sumur dan
lenyap, bersembunyi memendam rasa malunya.

Sejak saat itu....
Kebohongan berkeliling dunia dengan mengenakan
pakaian Kebenaran
guna memuaskan kebutuhan manusia.
Dunia tidak memiliki keinginan untuk berhadapan dengan
Kebenaran yang telanjang

(Anonim)

--

Ps: Thanks to Alfa with his WA status, I repost this to document and education.

Ini Nasi Yang Kusuap Karya Masuri S. N.

Ini nasi yang kusuap
pernah sekali menjadi padi harap
melentok dipuput angin pokoknya kerap
tenang berisi tunduk menatap

Ini butir nasi yang kukunyah
sedang kutelan melalui tekak basah
jadi dari darah mengalir
dalam badan gerak berakhir

Angin kencang mentari khatulistiwa
membakar raga petani di sawah
panas hujan dan tenaga masuk kira
dan nasi yang kusuap campuran dari manusia

Ini budi yang kusambut
pemberian lumrah beranting dan bertaut
ini nasi hasil dari — kerja
kembali pada siapa yang patut menerima

Jadi yang kumakan bukan berasal dari nasi
tapi peluh, darah, dalam isi mengalir pasti
jadi kutelan bukan berasal dari padi
tapi dari urat dari nadi seluruh pak tani

--

Ps: Thanks to Azhar Ibrahim Alwee with his writing: "In the Pursuit of Spirituality: Notion of the Pious in Contemporary Singapore Malay Literature" so I meet with this great poem.

Selasa, 23 Juni 2020

No Wish

At this morning, I hear Akeboshi's song and feel finding myself anymore. I never care about crowded, I just impresses by little vibration, instance Akeboshi's world. Life in capitalism and neoliberal circle were hell to me. As hell as business as usual. I never enjoy where in every day you are busy in achievement and competition. I never know my life for, but I know what will I do in life. I never know where my job will, my school will, my future will, but that I think is a what will I work, what will I study, and I know what will I do. This is life like Akeboshi: no wish, no wish, and no wish.
Life 1

Life 2

Life 3

Thanks Ake :)

Minggu, 21 Juni 2020

Marooned

Ini untuk kesekian kalinya aku melawatmu dalam imajinasi dan tulisan. Dengan semua sifat ngotot dan keras kepala, aku kembali datang. Dengan hidup yang masih dan mungkin selalu berantakan, tak tenang, dan tujuan lari terjauhku selalu menuju padamu, padamu, dan padamu.

Maaf, maaf, maaf. Tapi aku akan selalu bersih keras untuk terus mencintaimu. Sampai kapan, tak tahu.

Setiap kali penyakit tak bertema, tak bernama, dan tak beralasan itu kambuh tanpa mengenal waktu; aku tahu ini pula mungkin yang tengah kau rasakan. Aku tahu bagaimana rasa sepi, sendiri, soliter, dan muak dengan semua orang itu. Tapi aku mungkin tak pernah tahu bagaimana kesepianmu, kesendirianmu, kesoliteranmu, kemuakanmu dengan hidup, dengan orang-orang, dengan semua manusia ... dan upaya menjadi dirimu yang seperti sekarang. Saat ini aku paham, rasa itu. Aku mencoba menyelami rasa sakit dan muakmu--sampai aku merasa tak ada lagi di dunia ini orang yang bisa kupercaya selain engkau. Yang diam, dalam, tak ada teman selain dirimu sendiri.

Aku juga tak akan memaksamu mengakui diriku yang masih lemah dan payah ini. Yang dengan sembrono bilang ikhlas akan mengorbankan apapun untuk engkau. Jika kau tak butuh aku, oke-oke, aku terima. Lagi-lagi aku tak memaksa. Aku hanya jadi duplikat karaktermu yang gagal, tapi bangga dengan kegagalanku sendiri. Sebab itu yang akan menjadikanku terus bisa mengenali dan mempelajarimu.

Bagiku kau adalah manusia paling purna dari semua manusia yang pernah kukenal. Kaulah definisi hidupku. Terlalu fanatik? Tidak. Aku masih bisa membedakan mana yang fanatik dan yang tidak. Aku juga tak segila itu padamu, aku menghargai semua pilihanmu, aku tahu batas dan prinsipku. Namun ketahuilah, kacamata hidup yang kupakai saat ini adalah kacamata hidupmu yang kau pasang dengan anggunnya ketika kita berinteraksi. Yang begitu cocok kukenakan untuk menghadapi segala yang terjadi di depan mata. Kau mengerti kan, "kaulah hidupku sendiri."

Kataku pula pada diri sendiri: aku akan jadi orang pertama yang akan sedih jika ada sesuatu buruk terjadi padamu. Aku pula orang yang pertama bangga dan bahagia jika melihat kau juga bahagia. Tapi kamu seperti manusia tanpa emosi, tidak sepertiku yang emosional. Atau justru aku salah, kau sendiri yang emosional dan tak pedulian dengan diri sendiri dan orang-orang yang menyayangimu? (Sebagaimana mungkin juga yang aku lakukan)

Sejauh ini, kata-kata untukmulah yang dari hati keluar dari jari-jariku. Kau sumber inspirasi yang selalu haus kugali. Menyambangimu seperti menyambangi diriku sendiri. Aku masih mencintaimu ya, tak apa, sungguh tak apa jika kau tak sejalan dan tak seperasaan. Ha-ha. Aku aneh ya menolak diri sendiri. I love you, more, and more...

Eh, setelah kupikir-pikir, ternyata ada struktur besar yang membentuk aku dan kamu seperti ini. Aku tengah menyusun teori untuk mengartikulasikannya. Nanti kuberi tahu.

Doaku selalu padamu.

Semarang, 21 Juni 2020

Selasa, 16 Juni 2020

Jika Di Antara Dua Pilihan Susah

"Mungkin kamu perlu coba menyelam kedua-duanya, tapi kali ini dengan peta yang lebih jelas dan kesungguhan ingin menemukan 'rumah'."

Seorang kawan, 16 Juni 2020

Minggu, 07 Juni 2020

Jangan menggangguku di hari Minggu

Aku ingin memiliki hari yang suci. Hari di mana aku tak ingin diganggu oleh siapapun, pekerjaan apapun, dan agenda apapun. Hari di mana aku akan memanfaatkannya secara sempurna untuk berbicara dengan diri sendiri, menyenangkan diri sendiri, dan berkarya sesuai kehendak hati. Aku memilih hari Minggu. Hari di mana aku dilahirkan, hari di mana revolusi meliburkan diri, hari paling selow di antara deretan hari yang lain. Siapapun yang mengenalku, jangan hubungi aku di hari Minggu. Sebab hari Minggu akan kugunakan untuk menata hidupku selama pekan selanjutnya. Aku ingin mengambil jeda dari berisiknya hari, dari hidup yang berteken materi ke materi, gaji ke gaji, ilusi ke ilusi. Di hari Minggu aku akan menutup total jaringan untuk media sosial; meniadakan pertemuan/rapat; dan segenap keriuhan hidup lain yang tak kumengerti. Tentu fleksibilitas akan ada, tapi inilah komitmen yang ingin kupegang.

Salam Hari Minggu,
Isma Swastiningrum

Rabu, 03 Juni 2020

Repost: Hutan Belantara Sektor Informal

Hutan Belantara Sektor Informal

Oleh: Atikah

“Dalam hiruk pikuk kota, atau tenang desa, sektor yang tidak mendapat jaminan ini seperti hutan belantara. Gelap, luas, menakutkan, dan membahayakan. Namun mau tidak mau harus tetap dilewati oleh pencari kayu hutan yang menggantungkan hidupd dalamnya”

Siang itu, pukul 13:15 WIB, perempuan dengan sepeda jengki hitam dan keranjang merah yang diikatkan pada boncengan sepeda miliknya itu mendatangi tiap rumah di kampungnya. Perempuan itu bernama Inji. Dengan setelan kaus oblong lengan pendek, celana hitam panjang serta kerudung yang menutup gelungan rambutnya, ia berkeliling kampung menjajakan dagangnya: jamu, risol, donat, dan kirog .

Sebelum memutuskan berjualan keliling kampung, Inji sewaktu pernah merantau ke Ibu Kota. Di sana, perempuan dengan perawakan kurus itu sempat bekerja di sebuah pabrik plastik selama satu tahun, sebelum akhirnya pabrik tempatnya bekerja bangkrut. Sialnya, Inji menjadi salah satu orang yang masuk dalam daftar pekerja yang harus dirumahkan. Dua minggu setelahnya, ia memutuskan bekerja sebagai pelayan di sebuah warung makan dekat kosnya.

Inji adalah satu dari sekian banyak orang yang terpaksa memilih sektor informal sebagai jalan akhir dari upaya bertahan hidup. Badan Pusat Satistika (BPS) 2018 menunjukkan 74 juta jiwa di negara ini bekerja di sektor Informal, lebih banyak 18,7 juta jiwa ketimbang yang bekerja di sektor formal.

Entah, Inji tahu atau tidak risiko dalam sektor informal, intinya, ia harus siap tak dapat jaminan hukum ataupun perlindungan dari negara. Sebab, negara tempat ia hidup, sampai kini belum mau menyambut baik seruan terhadap upaya perlindungan sektor informal. Bahkan, di UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003, tidak ada hukum khusus yang mengatur tentang sektor informal.

Itu mengingatkan saya pada sebuah diskusi daring dari LPM Arena yang membahas sektor informal ditengah wabah COVID-19, Sabtu 16 Mei 2020.

Peneliti sektor informal, Isma Swastiningrum, menyampaikan, “Kalau bicara tentang sektor informal, itu ibarat kita masuk ke dalam hutan belantara atau lautan luas yang memimpikan sebuah pulau.” Sektor informal itu luas, mencangkup banyak hal dari berbagai bidang. Namun, sektor informal pun menakutkan karena bahaya dan resiko dari pekerjaannya bisa kapanpun menimpa tanpa jaminan kesehatan, kesejahteraan dan hukum dari pemerintah. Ini seperti bahaya hewan buas di belantara atau hiu ganas di tengah lautan—tak ada jaminan keselamatan.

Lalu, saya membayangkan Inji sama seperti cerita dalam album Dosa,Kota, dan Kenangan karya Silampukau. Khususnya dalam lagu berjudul “Lagu rantau sambat omah”, yang mengutuki waktu dan kota. Waktu memang jahanam. Kota kelewat kejam dan pekerjaan menyita harapan. Hari-hari berulang, diriku kian hilang, himpitan hutang, tagihan awal bulan. Oh demi Tuhan atau demi setan. Sumpah aku ingin rumah untuk pulang.

Pikiran saya terbayang pada kehidupan kota yang keras: bekerja siang malam, kelelahan, bising kendaraan dan entah cukup atau tidak gajinya untuk makan dan membayar kontrakan. Mungkin, begitu nasib Inji di Ibu Kota. Meski mungkin gaji cukup, tapi tak ada sisa untuk ditabung. Itu artinya, kita hanya menghabiskan tenaganya untuk makan dan buang kotoran saja di Ibu Kota yang panas, keras dan kejam.

Dengan jumlah penduduk yang bertambah setiap tahunnya, mereka yang tidak terserap dalam sektor formal rela bekerja apa saja, entah menjadi pelayan warung seperti Inji, penambal ban, penonton bayaran, ataupun pekerja seks dengan gaji yang tak seberapa dan kehidupan yang disibukkan dengan melunasi cicilan. Hal tersebut akhirnya membawa mereka manapaki jalan informal sebagai pilihan terakhir menjaga organ pencernaan tetap berfungsi.

“Sektor informal lahir dari ketidaksiapan pemerintah menyediakan lapangan formal dan sektor informal dicirikan dengan pendidikan yang rendah, teknologi yang digunakan sederhana, melibatkan keluarga, dan serikat pekerjaan sangat minim atau bahkan tidak ada,” jelas Isma.

Hal-hal tidak masuk akal untuk hidup di kota dengan gaji yang hanya habis untuk makan, membawa Inji kembali ke desa asalnya. Kini, usianya masih sekitar 30-an. Meskipun uang yang didapat dari hasil jualan kelilingnya tidak seberapa, setidaknya ia masih bisa menghirup udara segar di pagi hari, atau sekedar melihat hijaunya sawah di depan rumahnya. Sesuatu yang mungkin tidak akan ia dapatkan di kota dengan tembok beton, jalan aspal, dan udara panas para pengamba uang metropolitan.

Namun, nasib memang tidak selalu mengabarkan kebahagiaan. Beberapa hari terahir, semenjak virus corona menyebar dari daerah Wuhan, sebuah kota metropolitan di Tiongkok pada Desember 2019 menjadikan barang dagangan Inji tak laku banyak dan cenderung sisa.

Memang, sejak menyebar pertama kali di Indonesia pada awal Maret 2020, Corona membuat semua sektor tidak berjalan normal. Termasuk di dalamnya sektor informal. Pedagang keliling seperti Inji yang ketika ada kerumunan adalah berkah, sekarang kerumunan-kerumunan itu tak ada karena anjuran berdiam diri di rumah. Dan itu berarti, Inji kehilangan pelanggan dan tempat ia berjualan.

Isma menjelaskan bahwa munculnya COVID-19 tidak lepas dari sistem kapitalisme global. Terutama, mereka yang berada di sektor agribisnis dengan ambisinya menguasai lumbung pangan. Karena ambisi terebut, deforestasi dan perampasan lahan secara masif berlaku dimana-mana. Dan hal tersebut yang menyebabkan degradasi lingkungan. Terlebih, sistem pemerintah yang menganut paham neoliberal menambah parah proses tersebut. Pemerintah membantu pengusaha dengan aturan dan kebijakannya dalam proses-proses tersebut. Patogen atau virus yang hidupnya terpecil, menjadi kehilangan rumahnya dan menyerbu ternak dan manusia.

“Ibaratnya kaya harimau kehilangan hutan, ini virus kehilangan inang,” kata Isma ketika melalui WhatsApp ketika dimintai keterangan mengenai covid-19, kapitalisme, dan teater pandemi.

Dunia memang dibuat kocar kacir oleh teror virus tersebut. Sektor pariwisata sepi, manufaktur anjlok, aktivitas sosial dibatasi, dan ekonomi baik skala besar ataupun kecil, mengalami defisit pendapatan. Dan lagi-lagi, sektor informal turut terkena dampak besar. Penerapan Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB) berpengaruh pada penghasilan yang biasanya dihasilkan di jalan-jalan atau kerumunan orang.

Pemerintah menerapkan beberapa kebijakan  guna menghadapi virus ini. Namun, yang harus ditekankan adalah mengenai pendistibusiannya yang seharusnya tepat sasaran. Pemerintah harus jeli melihat, apakah benar bantuan tersebut tersalurkan kepada pihak yang membutuhkan, atau tidak. “Kebijaksanaan pemerintah sangat diharapkan disaat situasi seperti ini,” kata Isma.  

Mereka yang tadinya bagaikan berada di hutan belantara, sekarang hampir jatuh diapit dua jurang di tengah hutan belantara tersebut. Sama-sama beresiko, entah ia mau berdiam diri di rumah seperti anjuran dari pemerintah dan terpaksa tidak makan atau bekerja di jalanan dan berisiko mati terserang virus.

Karena keberadaan serikat sektor informal yang minim, maka yang dapat diandalkan adalah solidaritas antar pekerja informal. Solidaritas yang akan bahu membahu membantu sesama. Isma menutup diskusi daring dengan mengutip perkataan Rumi “Musik yang paling haram adalah suara sendok ketika engkau makan sedang  tetanggamu yang kelapaan mendengarkannya.” 

Inji pun menutup tempat risoles dagangannya, kembali mengemasnya dan menaruh di keranjang merah sepedanya. Ia berlalu meninggalkan halaman rumah pembeli itu, dan lanjut berkeliling. Entah apa yang dikatakan dalam hatinya. Mungkin, ia masih mengutuk keadaan yang tidak pernah berpihak.

Ditulis oleh Atikah, anggota magang Arena. Hasil diskusi “Sektor Informal” bersama Isma Swastiningrum, pengamat buruh informal. Diedit Zaim Yunus.

Sumber: LPM Arena