Selasa, 26 Maret 2024

Piety and Sexuality in a Public Sphere - Kurniawati Hastuti Dewi

Setelah Soeharto lengser pada Mei 1998, Indonesia mamasuki era demokrasi. Hal ini mengubah secara substansial politik lokal, terlebih dengan diterbitkannya UU Nomor 32/2004 yang membahas terkait pemilu lokal kepala daerah yang diperkenalkan pada tahun 2005. Selanjutnya, UU tersebut diamandemen menjadi UU Nomor 10/2016. Menariknya pemilihan langsung ini memberikan dampak positif bagi partisipasi perempuan karena jumlah pemimpin perempuan meningkat secara signifikan. Dari tahun 2005-2015, ada total 26 pemimpin perempuan terpilih (18 di Jawa dan 8 di luar Jawa) baik periode pertama maupun kedua . Terlebih lagi, pada pemilukada serentak yang diselenggarakan pada 9 Desember 2015, total ada 24 pemimpin perempuan yang terpilih menjadi kepala daerah.


Ada banyak penelitian terkait Pemilukada sejak 2005, mulai dari praktek politik uang, pembiayaan kampanye ilegal, penguatan identitas daerah, kolusi, hingga pertumbuhan ekonomi, pelayanan publik, dan SDA. Namun sedikit yang memahami terkait peningkatan kepemimpinan daerah bagi perempuan dalam pemilihan. Lebih jauh lagi, tidak ada analisis menyeluruh terkait persaingan gagasan berkaitan dengan kesalehan Islam dan seksualitas yang menjadi dasar naiknya kepemimpinan perempuan di Pemilukada. Yang menarik pula, di dalam tubuh pengetahuan kepemimpinan perempuan di Asia, jalinan antara kesalehan dan seksualitas ini belum banyak dibahas.

Dewi menanyakan beberapa hal: Pertama, apa yang menyebabkan meningkatnya keterlibatan perempuan Muslim Jawa dalam kepemimpinan politik? Kedua, bagaimana perempuan menegosiasikan narasi gender dan kesalehan Islam dalam politik? Ketiga, bagaimana perempuan menggunakan atau menegosiasikan seksualitas dalam politik? Suara asli perempuan menjadi ruang yang spesial dalam paper ini. Dengan menggunakan metodologi penelitian interview mendalam, melalui fokus pada pengalaman perempuan di dalam konteks yang spesifik untuk mendapatkan pengetahuan berdasarkan pada pengalaman hidup sehari-hari.

Material utama paper ini berasal dari wawancara mendalam pada empat pemimpin perempuan, yang semuanya Muslim Jawa. Mereka terdiri dari BD kepala daerah di GK; SSW kepala daerah di BT; SM wakil kepala daerah di KL; dan YS wakil kepala daerah di SL. Empat narasumber ini dipilih karena dekat dengan Provinsi DIY. Untuk melengkapi informasi, Dewi juga mewawancarai lima orang anggota tim kampanye yang beberapa merupakan aktivis perempuan. Penelitian dilaksanakan antara tanggal 25-31 Juli 2016 di GK, BT, SL, dan KL.

Paper ini melihat tren naiknya jumlah pemimpin perempuan Muslim dalam politik pada bingkai politik perempuan di kawasan Asia. Secara umum, perempuan Asia Tenggara relatif memiliki posisi yang tinggi di masyarakat dan menikmati privilese ekonomi yang setara dengan laki-laki. Peran sentral perempuan di Asia Tenggara juga dapat dilihat melalui posisi kepemimpinan mereka. Mayoritas akademisi mengidentifikasi faktor keturunan keluarga sebagai hubungan yang dominan dan menjadi faktor vital dalam naiknya mereka di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Hal ini seperti terjadi di India, Bangladesh, Pakistan, dan Sri Lanka.

Selain itu, faktor lainnya yang berpengaruh adalah "modal moral" dengan merujuk pada kasus Aung San Suu Kyi yang modal moralnya telah bertransformasi ke dalam otoritas dalam perlawanannya terhadap kediktatoran militer. Kasus lainnya, kampanye moral dalam lingkungan semi-otoriter Wan Azizah di Malaysia dengan Partai Keadilan Nasional yang dipimpinnya dan Presiden Korea Selatan kesebelas, Park Geun-hye yang memimpin Partai Nasional Agung. Juga ada Tanaka Makiko, anggota Partai Demokrat Liberal (LDP) Jepang dan Menteri Luar Negeri Jepang dari tahun 2001 hingga 2002, yang mendorong reformasi politik radikal namun tetap mengikuti teladan “ibu rumah tangga yang baik".

Sebelum menjelaskan dengan detail gelombang Islamisasi di Indonesia, dibutuhkan ilustrasi penting yang mengubah ekspansi kepemimpinan perempuan di Indonesia. Dewi mengidentifikasi ada tiga tahap terkait hal ini. Pertama, akhir abad 19 hingga Orde Baru. Kedua, masa Islamisasi dan awal demokratisasi. Ketiga, demokratisasi pada periode pasca-Soeharto yang memperluas pandangan peran perempuan di dalam politik.

Selama masa Orde Baru (1966-1998), perempuan Indonesia tidak diberikan otonomi politik di bawah ideologi ibuisme negara, yang mengharapkan pengabdian perempuan Indonesia secara total sebagai istri dan ibu. Lalu, pada tahun 1970an, seiring dengan tumbuhnya sektor industri, perempuan lebih memiliki kepercayaan diri, karena pendapatan dan keterampilan yang lebih baik. Tren penambahan jumlah perempuan Indonesia yang mengejar karier politik di tingkat lokal juga berkembang di sini, di gelombang ketiga Islamisasi pasca-Soeharto.

Fase kedua, gelombang Islamisasi di Indonesia, yang ditandai dengan meningkatkan semangat Islam di berbagai negara termasuk Malaysia dan Indonesia, perubahan yang terjadi yaitu dengan penambahan penggunaan kerudung pada perempuan Muslim. Pada periode ini juga munculnya generasi intelektual Islam dalam organisasi seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU).

Pada fase gelombang ketiga, akademisi memperhatikan pada perubahan hidup dan peran perempuan Muslim, baik secara individu maupun kolektif. Pembangunan penting Islam ini berubah menjadi pusat dan membentuk keterlihatan perempuan Muslim Indonesia di ruang publik. Dewi dalam paper ini menekankan bagaimana dua elemen, yang disebut kesalehan Islam dan seksualitas, menjadi elemen penting dalam analisis.

Sementara, diskusi tentang seksualitas selalu berhubungan erat dengan gender, yang pengaturannya mempromosikan tatanan biner laki-laki/perempuan, yang telah mereproduksi diri mereka sebagai sistem dominasi laki-laki dalam hubungan seksual heteroseksual. Wacana dan praktik seksualitas menjadi semakin dinamis dalam konteks globalisasi. Menurut Giddens (2000), salah satu dampak globalisasi adalah munculnya hal-hal baru gagasan tentang pernikahan dan orientasi seksual yang tidak sesuai dengan norma heteroseksual karena generasi baru hidup di dunia kosmopolitan, yang lebih bebas mengekspresikan keinginannya. Hal ini mewakili pengawasan terhadap batasan-batasan yang diperbolehkan secara seksual.

Karier politik keempat pemimpin politik perempuan Muslim Jawa yang diamati difasilitasi oleh karier awal suami mereka. Mereka semua adalah pemain yang relatif baru karena tidak satu pun dari mereka yang pernah menjadi politisi profesional sebelum debut politiknya. Mereka adalah pengusaha wanita atau ibu rumah tangga biasa. Pertama, SSW umur 65 tahun, sebagai kepala daerah di BT. Dia merupakan istri dari IS yang juga mantan kepala daerah di sana. IS merupakan pengusaha kaya dan kader PDIP. Kedua, BD, umur 67, kepala daerah GK berasal dari keluarga kaya dan sukses. BD menikah dengan WSD, politisi dan kepala Golkar cabang GK. Ketiga, SM, umur 39 tahun, wakil kepala daerah di KL. KL sendiri merupakan merupakan istri dari SN, dia menjabat sebagai ketua PDIP cabang KL. Keempat, YS, umur 48 tahun, wakil kepala daerah di SL. Ayah YS merupakan anggota militer, sementara ibunya politisi terkenal Golkar. YS sendiri adalah seorang pengusaha, aktivis, dan ibu dari dua anak. Suaminya juga pebisnis dari Palembang dan kader PDIP. Menariknya, semua perempuan ini berasal dari kalangan kelas menengah, yang memungkinkan mereka masuk ke dalam ranah publik, dengan tetap menyeimbangkan perannya di ranah domestik. Kesemuanya juga mengalami penolakan yang relatif kecil dari tokoh agama.

Demi harkat dan martabat suaminya, seorang perempuan Jawa diharapkan melakukan cancut tali wanda (berinisiatif melakukan segala sesuatu, terutama ketika keluarganya dalam kesulitan) dan memberikan punggung bagi prestasi suaminya. Wanita sejati adalah wanita yang dapat melayani dengan baik di rumah baik sebagai ibu maupun istri, baik di dapur maupun di tempat tidur, serta tidak berperan di depan umum karena dapat merendahkan martabat suaminya. Pertanyaannya kemudian, bagaimana kiprah pemimpin perempuan Muslim Jawa tersebut di ranah politik?

Melalui kasus keempat pemimpin perempuan tersebut, kita dapat mengidentifikasi hal menarik mengenai relasi gender. Daripada menganggap remeh standar normatif gender, keempat pemimpin perempuan Muslim Jawa ini menegosiasikannya dan menyusun strategi untuk mencapai kekuasaan. Semuanya memosisikan suami sebagai kepala keluarga. Mereka meminta saran atau izin untuk melakukan sesuatu, termasuk berpartisipasi dalam politik. Namun, mereka menunjukkan tingkat ekspresi yang bervariasi dan menghadapi batasan yang berbeda ketika memainkan peran mereka masing-masing.

Budaya Jawa kuno mengharapkan laki-laki menjadi pencari nafkah dan perempuan menjalankan peran sebagai ibu dan istri. Sebaliknya, dalam situasi di Jawa saat ini, norma tersebut telah berubah. Memang benar bahwa keempat perempuan Muslim Jawa tersebut masih menganggap suaminya sebagai kepala keluarga, namun mereka menikmati kebebasan untuk berpartisipasi di ruang publik dengan menjalankan bisnis dan terlibat dalam politik secara bebas.

Tindakan mereka yang juga menggunakan atribut agama serta melakukan sesuatu yang bernuansa keagamaan, tentu saja telah mengubah gagasan tentang kesalehan Islam: dari tindakan pribadi beribadah kepada Tuhan menjadi kesalehan publik di mana gagasan dan norma-norma kesalehan Islam berperan penting dalam politik dalam mendefinisikan apa yang saya sebut 'aturan perilaku umum' untuk menunjukkan kesopanan dalam masyarakat yang semakin terislamisasi dalam politik kontemporer Indonesia”. Hal ini dapat menjadi peringatan bagi kita karena proses tersebut mungkin mengindikasikan menguatnya politik identitas berdasarkan agama, etnis, dan ras.

Terkait seksualitas, norma gender ideal yang ditetapkan dalam Undang-undang Perkawinan tahun 1974 dan norma-norma di Jawa berpusat pada heteroseksualitas sebagai hal yang penting dalam keluarga dan tatanan masyarakat. Meskipun saat ini terdapat wacana dan perdebatan di kalangan kosmopolitan yang menentang norma heteroseksual, norma yang umumnya tersebar luas di masyarakat Indonesia mencakup bagaimana masyarakat Muslim Jawa memandang heteroseksualitas sebagai norma yang dapat diterima. Gagasan tentang seksualitas romantis yang didasarkan pada norma heteroseksual tentang hubungan harmonis suami-istri, digunakan secara strategis dalam kampanye politik untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat dan memenuhi ekspektasi gender masyarakat Jawa.

ABSTRAK:

Ikatan kekeluargaan, dinasti politik, dan modal moral merupakan beberapa faktor yang sebelumnya dipercaya bisa menjelaskan kepemimpinan perempuan di Asia. Sayangnya, faktor-faktor ini tidak cukup untuk memahami peningkatan perempuan Muslim di Indonesia dalam politik, terlebih sejak gelombang ketiga dan globalisasi di abad ke-21. Paper ini menganalisis persaingan gagasan kesalehan dan seksualitas Islam di balik kebangkitan perempuan Muslim dalam politik lokal Indonesia. Di dalamnya mengeksplorasi cerita kepemimpinan empat perempuan Muslim Jawa menggunakan gagasan gender, kesalehan, dan seksualitas dalam ranah pribadi dan sebagai strategi politik. Paper ini memperlihatkan bahwa, gagasan terkait kesalehan Islam seperti menggunakan kerudung untuk memperlihatkan kesederhanaan bisa menambah keterlibatan (engagement) masyarakat Indonesia kaitannya dengan politik. Diskursus dan praktik seksualitas difokuskan pada norma heteroseksual yang telah menjadi bagian utama dalam membentuk harapan sosial dan digunakan sebagai kampanye politik. Paper ini melihat bahwa standar normatif gender yang ditempatkan pada posisi yang tepat serta peran antara perempuan dan laki-laki di dalam masyarakat Jawa telah berubah, mendukung partisipasi yang lebih besar dari perempuan Muslim di ruang publik.

Dewi, Kurniawati Hastuti. "Piety and sexuality in a public sphere: Experiences of Javanese Muslim women’s political leadership." Asian Journal of Women's Studies 23.3 (2017): 340-362.

Link: https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/12259276.2017.1352250

#31daysofindonesianscholars #women #muslim #javanese #politicalleader #piety #sexuality #publicsphere

PROFIL SCHOLAR:


Kurniawati Hastuti Dewi merupakan Peneliti Senior Pusat Riset Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Menyelesaikan pendidikan doktoral di Universitas Kyoto, master di Universitas Nasional Australia, dan sarjana di Universitas Diponegoro. Minat penelitiannya terkait gender dan politik. Buku beliau yang penting untuk dibaca, "Indonesian Women and Local Politics: Islam, Gender and Networks in Post-Suharto Indonesia". Website untuk membaca tulisannya lebih lanjut: kurniawatihastutidewi.wordpress.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar