Minggu, 12 Mei 2024

12 Mei 2024

Aku tahu kebahagiaan jenis apa yang aku ingin dan butuhkan. Aku tahu cinta dan welas asih seperti apa yang harus aku tarik. Aku tahu tujuan hidup apa yang perlu aku capai. Terima kasih, terima kasih, terima kasih.

Kamis, 09 Mei 2024

Perjalanan Mengenal Vedanta

Hari ini aku menemukan cahaya yang mengantarkanku lebih dekat pada apa yang kucari selama ini: Allah, atau yang punya nama lain Tuhan, Krisna, Atman. Aku berterima kasih pada Bagus yang telah membawaku ke IVS (International Vedanta Society) - Indonesia. Beberapa hari yang lalu Bagus DM Instagramku untuk mengikuti Retret Vedanta dan Meditasi bertema "Pikiran Murni Adalah Kunci Hidup Berwelas Asih" di Taman Rempoa Tangerang, Jakarta Selatan. Vedanta sedikit yang kukenal berasal dari India dan dikembangkan oleh resi-resi di India sana.

Aku kesana naik sepeda motor, dan cukup telat 24 menit (mayan jauh dan macet) karena acara sudah dimulai. Saat itu, Ust. M. Khasan (Founder Dialog Maya) sudah memulai materinya. Para peserta membentuk lingkaran besar di rumah Tante Chika yang luas dan teduh. Materi beliau terkait pengetahuan kuno yang akan berlaku secara abadi. Beliau bertanya, apa yang paling berharga dalam hidup? Kukira ini pertanyaan yang sangat berat. Dua peserta menjawab "hidup" dan "ruh", jawaban-jawaban yang dalam, Ustad Khasan lalu menjawab, yang berharga adalah "kesadaran".

Kesadaran yang membedakan manusia dengan tumbuhan. Tanpa kesadaran ini, orang yang terlihat hidup tapi hakikatnya mati. Kesadaran di sini adalah kesadaran yang holistik untuk sampai pada Atman. Namun, kesadaran ini melalui akal yang terisi dengan memori, emosi, dan imajinasi bisa melenceng (ilusi). Bagaimana memurnikan akal? Kesadaran ini bisa diaktivasi lewat chanting, kalau dalam Islam menggunakan zikir untuk mencapai kesadaran tanpa batas, kesadaran murni, atau Tuhan. Kesadaran pun masih bisa kita nilai sendiri levelnya, ada di tengah ke atas atau tengah ke bawah? 

Namun intinya, untuk mencapai kesadaran murni, perlu disadari jika "aku bukanlah apa yang aku pikirkan, aku persepsikan, aku asumsikan, aku adalah Allah". Hanya dengan itu kita bisa merasa kembali pada yang Maha Luas, seperti satu titik air yang kembali pada samudra atau kesadaran yang menyamudra. Batin jika simbolnya samudra, diberi kotoran pun akan tidak berpengaruh. Lewat dzikir atau mantra, maka bisa mengembalikan kita ke kesadaran murni. Kita membuat jalan kita yang sempit menjadi luas. Dzikir bisa memusnahkan batas-batas identitas yang kita ciptakan sendiri.

"Dzikir itu bukan mengingat, dzikir itu menyadari."

Efek dari dzikir adalah ketenangan dan kebahagiaan atau yang kita sebut sebagai surga. Dari sini, kita bisa menjawab, apa harta sesungguhnya kita? Allah. Semua hanya pinjaman. Kotoran bisa rontok dengan dzikir. Dzikir juga akan membuat kita sensitif dengan yang lain. Nama yang kita dzikirkan pun bukan nama yang dikarang, tapi nama yang diwahyukan. 

"Diri kita tak terbatas, kita berada di seluruh alas, meditasi untuk mengasihi, melampaui, ketenangan, kasih sayang yang hadir. Meditasi yang khusyuk."

Dan saat praktik meditasi pertama, sekitar hampir 45 menit gak terasa, kalau aku sendirian, pasti akan terasa sekali. Lalu juga ada sharing time dengan seorang teacher dari India, panggilan beliau Swamiji. Dari keterangannya Bagus, Guru di International Vedanta Society cuma satu: Bhagavan. Bagus diinisiasi oleh beliau. Bhagavan sudah lepas dari tubuh tahun lalu. Swamiji kaki-tangannya Bhagavan. Swamiji itu gelar monastery untuk Biksu yang cowo (sanyasin). Swamiji sebagai teacher aja bukan Guru.

Guru beda dengan teacher. Guru itu tinggi banget. Ibarat pohon pisang kan sulit dibakar, tapi sama si Guru itu bisa. Apa yang gak mungkin jadi mungkin. Guru tahu past, present future muridnya. "Makanya kalo dia kasih instruksi itu perlu diambil secara personal. Sebab si guru tahu apa yang akan membantu muridnya." Guru tak tergantikan. cintanya guru itu luar biasa.

Dalam narasinya yang singkat, Swamiju mengatakan, kita semua sebenarnya suci, tapi dalam keseharian mengapa tidak seperti itu? Untuk mengembalikan diri yang murni, kita perlu latihan spiritual, salah satunya menyebut nama Tuhan, memanifestasikannya dari dalam ke luar. 

Fungsi chanting adalah untuk menghapus layers. Kalau diibaratkan, diri kita itu serupa pohon besar. dan gangguan-gangguan yang datang seperti burung-burung yang hinggap di pohon tersebut. Untuk mengusir burung-burung itu kita manusia bisa menggunakan kata "hush". tapi dalam konteks ini kita menggunakan mantra atau dzikir. Memanggil nama Tuhan dengan jiwa, intim, dan intens. Khusyuk sungguh-sungguh kita tak jauh dari Tuhan.

Bagaimana kita tahu chanting kita itu benar? Tandanya akan kita rasakan di hati kita, Tuhan menjadi dekat, Tuhan tak ada dua hanya satu. Lalu ada keinginan untuk selalu berdzikir. Air mata bisa menghapus atau memurnikan atau mensucikan jiwa, seperti air membersihkan tangan yang kotor. Pada tiap orang tidak sama efeknya, tetapi kedamaian hati pasti ada. 

Sebenarnya aku ingin sharing dan bertanya juga pada Swami terkait pengalamanku barusan, "SometimesI felt empty when I was meditating, is it normal? What's indicator that showing to us that we connect to the God?" Lalu dari sharing-sharing dengan yang lain aku mendapatkan jawaban, nope, gak normal, sama aja kayak otakmu lagi kosong padahal kamu diminta fokus. Masak iya Is, lu solat tapi lu kosong? Kan berabe, itu lu gak solat, atau dengan kata lain, itu lu gak meditasi. 

Sebagai hiburan, tadi Tante Chika juga nyanyi lagu Chrisye, "Jangan biarkan damai ini pergi, jangan biarkan semuanya berlalu, hanya padaMu Tuhan, tempat berteduh, dari semua kepalsuan dunia." Lalu, Ibu Sraddha Maa yang pernah dikenalkan Bagus padaku pada acara SSRF (semacam institut riset spiritual internasional) berbagi pengalamannya lagi. Bernama lengkap Pravrajika Shraddhaprama Mata (praktisi Vedanta) mengenalkan meditasi Nidra, lewat tidur, meditasi ini jujur langsung kerasa efeknya, badan pas bangun langsung enteng. Metodenya pun mudah, kita diminta tidur dan Ibu Sraddha Maa memberikan kata-kata baik atau suatu manifestasi baik pada tubuh untuk lebih bersyukur.

Sesi terkahir atau penutup yang banyak mengubahku dan memberiku banyak pelajaran. Aku ingin mencatat, tapi Ibu Sraddha Maa bilang untuk fokus mendengarkan saja, jangan mencatat.

"Spiritual itu dari hati ke hati, bukan pada tulisan yang berakhir pada sebatas intelektual." Beliau bilang begitu aku langsung jleb, ini kalimat sepertinya ditujukan padaku dan langsung menusukku. "Hati ke hati, yang membuka hatinya dengan luas akan mendapatkan banyak. Tidak apa-apa dapatnya sedikit, karena ini juga butuh waktu."

Peserta retret
Lalu, Ibu Sraddha Maa menjlentrehkan tiga tingkatan level kualitas manusia:

1. Satvik (warna kuning): Ini tingkatan tertinggi, ketika manusia sudah stabil, bisa mengenal dirinya, dari wajah dan fisiknya pun bisa diidentifikasi, wajahnya tenang, teduh, tidak grusa-grusu, punya kontrol diri yang baik, dan tertata, dan dia tahu waktunya akan digunakan untuk apa. Ini adalah tingkatan di mana manusia telah mengenal diri dan Tuhannya.

2. Rajasik (warna merah): Tingkatan tengah, kedua, yang terdiri dari syahwat, nafsu, hal-hal yang sifatnya gerak dan aktif, seperti memasak, bersih-bersih, dan lain-lain. Ini tidak sepenuhnya bagus atau enggak bagus, tapi jika ini tak diarahkan ke yang benar, akan menjadi masalah.

3. Tamasik (warna hitam): Tingkat paling rendah. Ini ditandai dengan sikap diri yang malas, mageran, tidak mau bertindak dan usaha. Jika ada di titik ini harus cepat-cepat disadari untuk naik ke level atasnya.

Nah, dari ketiga ini, sebenarnya kita bisa mengira-ngira ada di mana. Lalu Ustadz Khasan menambahkan konsep serupa dari Al Ghazali (aku lupa arabnya apa). Kata Bagus, "Soal triguna (tiga kualitas) ini asalnya dari filsafat samkya-yoga, mbak isma bisa eksplor. Sebab  bukan ada di manusia aja, tp juga di alam. Biasanya kl udah tau jadi jauh lebih peka nnti."

Yang menarik pula pas sesi tanya jawab, ada salah satu peserta IVS yang sharing, ketika Swami bertanya padanya, "Apa bedanya tujuan hidup dan keperluan hidup?"  Ini tentu pertanyaan yang sangat susah. Sebenarnya bisa dianalisis lewat pertanyaan lagi, kita makan untuk hidup atau hidup untuk makan? Dia mengatakan, keperluan hidup itu seperti makan, tidur, kerja, menikah, mencapai karier, itu perlu untuk hidup. Tapi tujuan hidup kita apa? Tak lain dan tak bukan adalah Tuhan. Anehnya, manusia kadang tertipu. Ini sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Gus Baha, "Jangan jadi manusia bodoh yang meninggalkan sang pemberi rezeki dengan alasan mencari rezeki."

Acara dilanjutkan dengan meditasi penutup, di meditasi ini pengalamanku lebih baik, aku berusaha sadar, berusaha fokus, sembari dzikir. Ada beberapa peserta yang menangis, merintih, dan mengekspresikan spiritualitasnya dengan bersuara dan menggerakan tangan. Hingga cara ditutup dengan membaca Surat Al-Fatihah.

Lalu di akhir acara, aku dan Ibu Sraddha Maa bercakap-cakap lagi. Beliau banyak bercerita pengalaman pribadinya mencari dan mencari spiritualitas di berbagai tempat dan negara, hingga yang benar-benar cocok dengannya adalah Vedanta. "Serupa lebah mencari madunya kan, kalau udah nemu satu dia gak ke mana-mana lagi. Vedanta ini seperti nadiku. Dulu nyari-nyari juga di mana-mana tapi gak cocok." Lalu beliau bercerita sedikit tentang karma yang dihubungkan dengan pertemuan SSRF terakhir. Karma bisa dari orang-orang dekat: pasangan, orantua, adik-kakak, dlsb.

Wajah Ibu Sraddha Maa dan Tante Chika yang adem

Juga semacam empat jalan menuju (aku agak lupa) semacam yang hakiki gitu dengan jalan: pengetahuan, pengabdian, meditasi, karya bhakti. Yang terakhir ini paling cepat karena kita bekerja dengan ikhlas tanpa dibayar, tapi tak semua orang bisa karena butuh tenaga dan waktu. Beliau dan juga Tante Chika dan juga Om Aji kompak memuji Bagus, kata mereka Bagus itu pinter. Tante Chika juga bilang, Bagus sering ngisi kelas di sini dan ngajarnya jelas.

"Jelas banget konsep Vedanta kalau sama Bagus, dia bisa nerangin dengan sangat-sangat jelas, mudah, dan bisa dipahami, nanti kamu tanya Bagus, apalagi skripsinya tentang Vedanta. Dia itu young man with old soul. Bayangin umur 16 tahun ke Mas Aji dan mau belajar. Nadinya dia juga Vedanta," kata Bu Sraddha Maa yang pas saat aku mencatat kontaknya dinamai apa, beliau bilang, "Sraddha Maa saja atau Ibu angkatnya Bagus" hahaha. Bukan main emang Bagus. 

Meski Ibu Sraddha Maa mengatakan pula, Vedanta ini masih terbatas bagi orang Indonesia karena masyarakat masih sangat melihat form (bentuk), eh ini India, ini Hindu, udah antipati duluan. Padahal, ini ajaran yang universal (spiritual universality) untuk semua agama. Juga tak ada fanatisme di sini, isinya cinta, welas asih, kasih sayang pada semua macam keyakinan. Aku berniat belajar Vedanta lagi dengan pikiran yang terbuka. Vedanta menjadikan ke-Islamanku lebih kuat, menunjangnya ke arah yang lebih baik.

Yang bisa kucatat pula sebagai kesimpulan: Tujuan dari hidup adalah "merealisasikan Tuhan", merealisasikan sifat-Nya, karakter-Nya. Merealisasikan Tuhan berarti juga merealisasikan Diri. Mengutip Bagus dalam skripsinya:

"AV (Advaita Vedanta) membuka diri untuk semua agama, di tengah-tengah agama yang entah tidak tahu tujuannya apa, AV menawarkan jawaban: Self-realization/God-realization (moksha). Inilah tujuan agama bagi AV, tetapi sering dilupakan. Akibatnya agama tak punya dampak terharap diri sendiri atau dengan kata lain sebatas percaya, mengikuti nenek moyang sebagaimana quran larang dan membawa penderitaan. Maka menggunakan AV untuk memperkaya pemahaman ke-Islaman sangat mungkin sekali sebab keduanya dekat. Misalnya bagi penulis ketika membaca Islam dengan gaya AV akan menghasilkan pemahaman bahwa “syahadat” adalah tujuan, bukan formulir pendaftaran."

Kata Bagus juga padaku:

"Ini jalan sunyi, jalan yg sangat personal sekali mbak. Musuh kita diri sendiri🙏🏼aku juga masih berjuang menaklukan diri, khususnya yg disebut seven deadly sins itu. Jalan ini kadang naik kadang turun, makanya perlu jamaah, ada komunitasnya. Buat protect dan selalu terinspirasi di jalan self -realization ini.

Gak ada yg spesial dari Vedanta, dalam tradisi dianggap cuma sebatas petunjuk. Kalo kita disuruh ke pasar sama ibu ada daftar belanjaan. Daftar belanjaan itulah Vedanta. Jadi kalo udah tau barang apa yg mesti dibeli biasanya mampu melihat daftar belanjaan tradisi/agama lain. Tujuan agama cuma satu: memanifestasi keilahian diri, menjadi sempurna, menyempurnakan akhlak kalo kata agama. Jadi gak ada istilah konversi ke vedanta atau pindah agama jadi vedanta. 

Orang islam belajar vedanta hasilnya jadi muslim yg lebih baik. Begitu pun org kristen yg belajar vedanta, jadi kristen yg lebih baik. Begitupun orang buddha dst. Sebab yg ditunjukkan vedanta adalah pengetahuan utama, pengetahuan puncak."

Rabu, 08 Mei 2024

Long-Distance Nationalism: World Capitalism and The Rise of Identity Politics - Ben Anderson

Dalam perayaan esai yang ditulis pada tahun 1860, Katolik-liberal dan sejarawan/politisi terkenal Lord Acton memperingatkan sebagaimana yang telah diketahui sebelumnya, ada tiga gagasan kuat dan subversif tengah terancam dengan kehadiran sivilisasi (peradaban). Tiga gagasan tersebut adalah (1) egalitarianme, yang bertujuan pada prinsip aristokrasi, (2) komunisme, (yang dipikirkan oleh Baboeuf dibandingkan Marx) bertujuan untuk pada prinsip kepemilikan, (3) nasionalisme atau nasionalitas, yang bertujuan pada prinsip legitimasi. Ketiganya disebut Acton sebagai ideologi yang atraktif, kaya, dan menjanjikan saat ini.

Jika kita melihat dunia sekeliling kita, 130 tahun kemudian, apa yang dikatakan Acton adalah benar. Aristokrasi telah beralih rupa sebagai gagasan politik serius, dan hak pilih orang desa telah terjadi fakta di mana-mana. Komunisme dengan segala bentuknya terlihat menuju sampah sejarah. Tetapi legitimasi juga hampir terjadi di mana-mana menggulingkan tahta, seperti halnya keanggotaan PBB saat ini merupakan empat kali lipat dari Liga Bangsa-Bangsa pada tujuh dekade lalu. Satu demi satu kerjaan poliglot besar yang dibangun selama ratusan tahun telah hancur--kerjaan luas yang dikuasai dari London, Instanbul, Moscow, Madrid, Lisbon, Den Haag, Vienna, Paris, bahkan Addis Ababa. Hanya sisa-sisa Kerajaan Langit yang masih bertahan, dan siapa yang berani bertaruh bahwa dalam waktu dekat Tibet dan Taiwan, mungkin Mongolia Dalam dan Sinkiang, tidak akan mendapatkan kursi di PBB?

Namun, pada waktu yang sama, sebagai suatu proses disintegrasi yang besar, yang tentu juga suatu proses liberasi, dunia telah menjadi lebih kuat terintegrasi ke dalam ekonomi kapitalis tunggal--di mana, di zaman kita, miliaran dolar dapat disalurkan hampir secara instan ke seluruh dunia dengan menekan tombol komputer. Bagaimana gerakan ganda integrasi dan disintegrasi yang paradoks ini dapat dipahami? Apakah kekuatan-kekuatan ini bertentangan atau sekadar mengamati wajah-wajah dari satu proses sejarah? Lebih jauh lagi, apakah kapitalisme, dengan kebiasaannya yang gelisah, menghasilkan bentuk-bentuk nasionalisme baru?

Titik awal yang baik dalam menjawab eksplorasi pertanyaan ini berpasangan dengan pesan dari esai Acton secara lebih jauh. Salah satunya kutipan dari khotbah orator gereja besar abad 17, Bossuet, yang dikutip oleh sejarawan kita: "Masyarakat manusia menuntut kita untuk mencintai bumi tempat kita hidup bersama, atau menganggapnya sebagai ibu dan perawat bersama. Manusia sebenarnya merasa terikat oleh sesuatu yang kuat, ketika mereka berpikir bahwa bumi yang sama membawa dan memberi makan mereka semasa hidup, akan menerima mereka ke dalam pangkuannya ketika mereka mati." (La Societe humaine demande qu'on aime la terre ou I'on habite ensemble, ou la regarde comme une mere et une nourrice commune. Les hommes en effect se sentent lies par quelque chose de fort, lorsqu'ils songent, que la meme terre qui les a portes et nourris etants vivants, les recevra dans son sein quand ils seront morts.)

Aforisma kedua dari Acton yaitu, "eksil adalah perawat nasionalitas". Acton berusaha menggambarkan perbedaan antara dua tipe loyalitas politik, satu sangat cocok dengan legitimasi, dan lainnya sangat bertentangan dengannya (kita mungkin mengabaikannya sebagai patriotisme dan nasionalisme).

Terlihat normal baginya ketika orang-orang membayangkan mati di tempat di mana dia lahir dan dibesarkan. Imobilitas (keadaan tidak bergerak) terkandung pada batas yang tidak disengaja, peristiwa fatal dari kelahiran dan kematian, menyelaraskan diri dengan aksioma sosial masyarakat feodal: bahwa masyarakat dibangun sebagai hierarki yang diberikan Tuhan dan tidak dapat diubah. Apalagi ketika hal ini dikombinasikan dengan hubungan yang kuat dengan tanah lokal, penghubungan dari ratusan seperti komunitas, imperia, dan hubungannya dengan dinasti lainnya, dan juga perang.

Boussuet fokus pada "heimat" atau kata mungkin "patria", kata dalam Iberian yang bermakna "kampung-halaman" (home-village, home-town, home-region, home-country). Berkebalikan dengan hal itu, Acton percaya jika nasionalitas bangkit dari para eksil, ketika seseorang tidak lagi dengan mudahnya melamunkan kembali dan merawat tanah kelahiran. Hal ini tentu saja bahwa apa yang terutama dipikirkan sejarawan liberal adalah para pemimpin nasionalis besar pada masanya--Mazzini, Garibaldi, Kossuth, dll--dengan alasan politis, hidup dalam janga waktu yang lama di luar kampung halaman mereka dan mati di sana. Namun, insting akan memandunya ke arah yang tepat: Ia sama sekali tidak terkejut jika organisasi nasionalis Indonesia yang pertama, Perhimpoenan Indonesia, didirikan (pada tahun 1922) di belahan dunia lain dari Hindia Belanda.

Yang luput dari perhatian Acton, Bossuet telah menjadi suatu anakronisme, karena dia lahir pada tahun 1627, tujuh tahun setelah Bapak Peziarah Puritan (Puritan Pilgrim Fathers) mendarat di Plymouth Rock, dan lebih dari seabad setelah Catholic Herman Cortes menyebut kota dongeng Moctezuma. Pada abad ke-16 kemudian, jutaan penduduk Eropa, dan jutaan lebih dari budak Afrika menjadi eksil, melintasi Atlantik. Migrasi ini tidak mempunyai preseden sejarah dalam skala dan jaraknya, hanya dibuat oleh musuh bebuyutan feodalisme: kapitalisme. Investor besar mendirikan perahu-perahu lintas lautan yang memindahkan jutaan tubuh. Mereka diarahkan oleh kompas, peta, dan kumpulan pengetahuan besar, yang ilmu tersebut juga tertulis setelah 1453 oleh kapitalisme cetak. Apa yang membuat perpindahan sebesar ini? Kita dapat mengamati adanya gerakan yang sangat paralel dalam konsepsi yang muncul baik di kota-kota metropolitan yang sudah ketinggalan jaman maupun di koloni-koloni baru di berbagai kota seluruh dunia.

Ketika transformasi terjadi, panggung telah siap untuk munculnya gerakan-gerakan nasionalis dan negara-bangsa di dunia secara eksplosif. Transformasi ini juga menghasilkan restrukturisasi mendasar dalam kategori-kategori sosial-politik, yang paling baik dicontohkan oleh proklamasi bersejarah San Martin bahwa “di masa depan, penduduk asli tidak boleh disebut sebagai orang India atau native; mereka adalah anak-anak dan warga negara Peru dan mereka akan dikenal sebagai orang Peru asli atau Peruvians."

Merupakan hal yang sangat penting dalam sejarah bahwa orang-orang eksil pada akhirnya menjadikan tempat pengasingan mereka sebagai kampung halaman (heimat), dan keterikatan ini menghasilkan gerakan-gerakan nasionalis klasik yang menemukan bentuk politik terakhirnya di kelompok negara-bangsa sejati yang pertama di dunia; dan bahwa, betapa pun bergejolaknya kehidupan rumah tangga mereka, negara-negara ini tetap mempertahankan batas-batas mereka hingga zaman kita. Salah satu aspek penting dari sedimentasi ini adalah reintegrasi sentimen pribadi dengan ideologi masyarakat dan masyarakat.

Dalam konteks hari ini, ada dua hal penting: (1) migrasi besar-besaran buruh tani ke pusat urban karena Revolusi Industri menyebar dan mendalam, (2) di banyak tempat, dampak pengasingan dari program sentralisasi dan pembangunan negara-negara dinasti pada abad kesembilan belas melalui perluasan besar-besaran sistem sekolah standar dan penerbitan birokrasi. Dampak tunggal dari program-program ini adalah peningkatan bahasa daerah tertentu, atau dialek vernalucar, menjadi bahasa baru yang berisi kekuasaan dan ambisi sosial. Seperti halnya di Inggris, satu bahasa daerah sudah lama berlaku, dengan variasi heimat yang mencolok. Dari keterasingan ini muncullah perselisihan sosial dan politik yang penuh kekerasan, yang kemudian melahirkan gerakan nasionalis yang, setelah Perang Dunia I, membahayakan peta Barat yang sangat baru.

Sejak Perang Dunia II, dengan meningkatnya kecepatan,  dari banyak asumsi dari San Martin dan Woodrow Wilson yang dipertanyakan ke dalam pertanyaan, kapitalisme. Ada dua hal krusial dalam kepercayaan terhadap kapitalisme menurut Ben: transportasi dan komunikasi. Apalagi dalam hal transportasi, keberadaannya relatif murah, semisal dengan menggunakan penerbangan, suatu perkembangan moda transportasi yang berkembang pesat. Sementara untuk komunikasi, menyediakan jaringan komunikasi yang juga murah dengan berbagai varian teknologi yang berkembang. Kedua perkembangan ini mempunyai dampak yang besar terhadap pasar perburuhan nasional, migrasi transbenua, dan konsep identitas. Alasannya karena berhubungan besar dengan perubahan distribusi global dari kekayaan dan sumber daya. Meski dengan ketimpangan yang besar juga, pada tahun 1965-1990, perbedaan standar hidup di Eropa, serta India dan China meningkat dari rasio 40:1 menjadi 70:1.

Kapitalisme juga sangat mengubah pengalaman subjektif dan politik dengan signifikan pada migrasi, ketika dibandingkan dengan abad 19. Kemampuan untuk kembali ke dalam pola sirkuler migrasi bahkan ada di depan mata mereka. Mereka juga dapat menemukan jalan untuk ngobrol dengan kenalan melalui telepon, fax, telex, dengan aplikasi elektronik. Citra termediasi tentang rumah selalu bersama mereka. Bahkan hari ini, setiap migran datang dari negara-bangsa dengan waktu yang pendek, dengan membawa paspor dan kartu identitas internasional. Banyak orang yang terpapar pula dengan kosa kata nasional-internasional. Satu hasil pentingnya, adanya perasaan nasionalitas ganda, sebagai efek dari arah yang berlawanan.

Tidak diragukan lagi, kepentingan ini merefleksikan kegelisahan yang luas terkait "akar" di antara populasi yang heterogen. Dorongan terhadap "multikulturalisme" di sekolah dan universitas menurunkan kegelisahan yang sama. Kelahiran berbagai macam politik yang menimbulkan aura drama, kekerasan, penderitaan, kecepatan, heroisme, kerahasiaan, konspirasi. Sungguh, mereka membutuhkan banyak usaha untuk mengeksploitasi krisis identitas, kesadaran yang tidak mudah, ambisi, dan kesuksesan ekonomi untuk tujuan politis.

Anderson, Benedict R. O'G. (Benedict Richard O'Gorman), 1936-. Long-Distance Nationalism : World Capitalism and the Rise of Identity Politics. Amsterdam :Centre for Asian Studies Amsterdam, 1992.

Link: http://www.mariteslmendoza.com/english242dfiles/WL_Anderson.pdf

#60daysofindonesianisscholars #benedictanderson #nationalism #world #capitalism #identitypolitics  

PROFIL SCHOLAR:

Benedict Richard O'Gorman Anderson (26 Agustus 1936 – 13 Desember 2015) atau yang kerap disapa Ben Anderson merupakan sejarawan, pakar ilmu sosial dan politik, dan ahli kajian wilayah di lingkup Asia Tenggara. Beliau menyelesaikan pendidikan B.A. di King's College Universitas Cambridge (1957) dan Ph.D di Universitas Cornell. Dia hidup berpindah-pindah di banyak negara dan mempelajari banyak bahasa. Ben telah menulis lebih dari 400 publikasi dan karyanya telah diterjemahkan ke dalam lebi dari 30 bahasa. Beberapa karya penting Ben seperti buku  "Imagined Communities", "Revolusi Pemuda 1944-1966", dan "A Life Beyond Boundaries".

Catatan Film #13: The Architecture of Love (2024)

Sabtu lalu hidupku sangat overpriced, wkwk, ya, sebagai orang yang belum stabil finansial, aku merasa menonton film di bioskop dengan harga Rp 75.000 di Plaza Senayan dari harga biasa di hari weekday Rp 35.000 itu terasa memberatkan, apalagi hari tua (meski tanggalan muda), aku belum gajian. Belum lagi, aku beli pop corn yang tak kalah overpriced pula, Rp 38.000 untuk ukuran kecil. Tapi baiklah, itu hal lain, film juga hal lain.

Nonton The Architecture of Love (TAOL) sebenarnya karena tertarik itu film ada hubungannya dengan pekerjaan penulis, "kayaknya asyik nih" pas aku nonton thrillernya di bioskop. Terus ada Nicholas Saputra, itu alasan kedua, haha. Meski setelah kukulik ulang, ternyata ini film diangkat dari novel Ika Natasha dengan judul yang sama. Ekspektasiku jujur langsung berkurang, karena aku merasa, sebagaimana cerita Ika di film yang diangkat dari buku dia sebelumnya, bakal bertele-tele dan bisa ditebak. Setelah kutonton, gak salah sih.

Sebenarnya ceritanya sederhana, dua orang punya trauma melarikan diri ke New York, dan menganggap New York lebih romantis daripada Paris, ketemuan di acara PPI (eh), ya macam kumpulan para orang Indo di luar gitu lah, terus ketemu lagi di Central Park. Sebenarnya ini film manusiawi banget, kayak di kehidupan nyata, ini bisa terjadi. Yang aku suka dalam film ini lebih ke latar dan setting tempatnya, shoot ke beberapa bangunan iconik di New York dengan sedikit kilasan ceritanya menarik. Beberapa dialog juga asyik, misal kira-kira isi dialognya gini:

"Riv, itu bangunan udah lama dibangun tapi gak ditempati, kan bagus kalau ditempati. Bisa merajut kenangan-kenangan baru bagi banyak orang."

"Gak semua yang kosong harus diisi, bahkan ketika dipaksakan diisi, dia akan membuat kenangan baru yang merusak kenangan baik sebelumnya."

Nah, di luar itu, sebenarnya konflik batinnya itu konflik batin golongan manusia usia 30-an ke atas gitu. Cinta yang dialami si River dan Raia ini bukan cinta ala anak-anak yang harus bilang "I love you" atau clingy minta ampun. Nah, bagusnya, si River dan Raia ini meskipun sama-sama "butuh" dalam hal "mencintai-dicintai", keduanya bisa mikir logis, gak perlu seagresif itu, gak perlu mohon-mohon gak penting untuk bikin orang stay jika orangnya emang suka ngilangan. Aku suka sih bagian implisit terkait itu. 

Hal kedua yang buat aku related, pernyataan River ke Raia saat dia ngalami writer's block, "Raia, jangan berhenti menulis ya. Kamu penulis yang baik." Ya Allah, ini kalimat pengen kuganti, "Isma, jangan berhenti menulis. Kamu penulis yang baik." Wkwk. Aku juga dapat inspirasi bagaimana ide nulis itu bisa didapat darimana aja, termasuk di WC yang isinya westafel unyu. Juga tentang bagaimana bangunan bisa bersuara, menjadikan taman menjadi hidup.

Selebihnya, soal cinta-cinta, soal trauma, soal istri River bernama Andara yang meninggal ketabrak, River teriak-teriak, suami Raia yang selingkuh, soal Erin, soal Aga, soal teman Erin yang disukai Erin dan ternyata suka sama Raia, itu hal yang cheesy dan bisa dialami siapa saja.

Pertanyaannya, kapan ke New York? Kapan ke Central Park? One day, I wish.

Such a Warm Feeling

Yesterday, I went to EF's Kuningan City, my body was not good, I have been getting my periods, and the traffic was overwhelming. In the road, I prayed to God, "Ya Allah, if You give me this class, I will be happy, if it's not, I accept this Ya Allah. But, I wish, I can through this road and I can come to the class Ya Allah." Now in EF, I got my advanced level, but I still know nothing for many things in English. I still want to study, meet with my teachers and my friends.

I arrived at Kuncit's Park at 6 pm, so do the class was going, I ran, and finally I got the class although I was late for 3 minutes. I met with Fauzan and Mega from The Plaza, we talked about trade topics (sure, I have not had a better understanding about the topic), and the teacher was Angky, my favorite teacher after Q-Man. I like Angky, he is a friendly teacher, I like how he treats students with his understanding in English, how he teaches us about life. This is a simple like, "No judgemental, no sentimental about the topic you don't know well, after this class, you will forget that." Haha, I can't agree more, he hits the nail.

Then, in the second class, I met a trial student named Samudra. He asked me about my experience in EF. Honestly, I said to him, in EF, I do not only learn about English, but also about life. The happy thing, he was signing the contract in EF tho', I was happy having a new friend. Then, I continued the class, I followed EE with the question from some chatterbox. At 9 pm, I went to the dorm, but I took the ice cream. But, the EF's staff was busy, she could not give me the challenge, so she allowed me to take the ice cream. But, Angky shoted me, wkwk, he gave me the challenge.

This is a simple challenge guys, Angky asked me to spell "PROCRASTINATION" but spell it from the back. You know, I was very struggling, it looked hard for me, but Angky with his smile gave me motivation, come on Isma, you can! And, sure, with his help, I could, wkwk. Then he gave me the ice cream, and we made a hand toss. "Well deserved, Isma," said him. Thank you Angky, you made my day!

In the road, I learned one good thing: If something looked hard, complex, and unsolved for you, please make the troubleshoot by dividing it into a small thing. The example, procrastination, it can be divided to remember it from the back to be "pro-cras-tina-tion" into "noit-anit-sarc-orp". Thank you for this day semesta!