Selasa, 31 Oktober 2023

Abidin Kusno - Back to the City: A Note on Urban Architecture in the New Indonesia

Poin-poin:

Tulisan ini dimulai dengan kutipan yang menarik dari Edward Said dalam karya Beginnings: Intention and Method: “Beginning is not only a kind of action; it is also a frame of mind, a kind of work, an attitude, a consciousness… beginning is making or producing difference.”

Arsitektur Indonesia berhubungan erat dengan "mood" suatu era. Gagasan terkait arsitektur ini jauh dari kata otonom, melainkan berjalan berdasarkan formasi sosial.

Abidin mempertanyakan, jenis arsitektur yang bagaimana yang dibuat untuk membantu bergantinya suatu masa? Kondisi arsitektur baru yang bagaimana bentuknya? Apa dampak dari pergantian teoritis, budaya, dan politik tersebut?

Abidin memulai studinya ini dengan melihat arsitektur setelah kerusuhan 1998. Meski tak diketahui bagaimana dunia arsitektur berubah karena peristiwa itu, tapi arsitek menjadi sensitif dengan budaya lokal yang ada sehingga bisa diterima oleh masyarakat/lingkungan. Pagar diminimalisir bahkan dibongkar, karena mereka sadar perencanaan kota yang baik akan gagal tanpa dikelilingi oleh komunitas sosial. Arsitektur yang memungkinkan seseorang berdialog dengan tetangga, sebagaimana dilihat di kampung, dan juga untuk mengurangi tekanan sosial.

Kemunculan "Kota Wisata" di Jakarta tahun 2002, berupa bangunan eksklusif dan mewah berusaha meminimalisir ketegangan dengan menghadirkan "taman". Ruang ini sebagai tempat bertemu kelas-kelas sosial yang berbeda, atau menjadi zona penyangga.

Apalagi Ikatan Arsitektur Indonesia (IAI) bersepakat, bahwa penghargaan terhadap arsitektur tertinggi itu diberikan pada arsitektur yang meningkatkan peradaban kemanusian, bertanggungjawab terhadap lingkungan sosial, peka terhadap konteks sosial di mana bangunan itu didirikan, tidak artifisial, tidak bersandar pada material bangunan yang mewah, inovatif, kreatif, sederhana tetapi genius, mendidik, dan visioner.

Pada masa itu 1998-2000an, tak ada satu pun proyek bangunan pemerintah yang dianggap layak oleh IAI untuk menerima penghargaan seiring dengna pergantian kekuasaan Orde Baru. Meski Soekarno pernah mendapat penghargaan karena konsennya terhadap diskursus arsitektur di Indonesia.

IAI tahun 1999 percaya, arsitektur Indonesia di milenium selanjutnya adalah arsitektur yang melayani rakyat. Seutopia apa pun agendanya nanti, hal ini bukanlah sesuatu yang naif.

Abidin melihat dua tipe arsitektur urban yang berhubungan dengan imajinasi kelas menengah atas: rumah privat dan bangunan komersial publik.

Menggunakan analisis semiotika, dirinya membongkar pengertian sosial dari arsitektur yang teah didesain di masyarakat, bagaimana gaya arsitektur dan tata letak ruang mengembangkan dan mendefinisikan ulang relasi kuasa.

Dirinya meniti dari praktik-praktik arsitektur marjinal ke desain-desain dominan yang ada di pusat Jakarta (superblock). Dia berpendapat, konsep negara dan kampung untuk memproduksi representasi arsitektur urban tidak hanya terkait desain budaya, tetapi juga ekonomi-politik yang dampaknya sangat problematik terhadap alam.

Terkait arsitektur kampung semisal, Adi "Mamo" Purnomo dikenal sebagai aristek yang ramah alam dan mengganggap plot kecil dari tanah di kota metropolitan sebagai tantangan untnuk menciptaan ruang-ruang yang baru. Mencari titik rekonsiliasi dari kota yang secara dalam dibagi antara si miskin dan si kaya. Udara, cahaya, corak, tanaman mengizinkan komponen dari alam untuk masuk ke ruang interior bangunan. Halaman fungsinya melebihi pajangan saja, tetapi juga interaksinya dengan alam dan menjadi komponen sentral dalam proses desain.

Arsitektur Mamo seringkali tidak mempunyai fasad yang cenderung untuk disombongkan, tapi sebagi titik keberangkatan yang didominasi oleh budaya setempat, dalam konteks ini Jakarta. Ini juga dalam rangka meng-counter "label besar" arsitektur yang sering dikarakterisasi secara mahal dengan banyaknya penggunaan volume AC. Mamo berusaha untuk merombak tren dominan tersebut dengan penggunaan material lokal, dan berkarakterkan kota di Indonesia.

Ini ditunjukkan pula dengan pembangunan rumah di Tanjung Duren, yang eksteriornya dipagari oleh bambu, dan berhubungan dengan tipologi kampung urban. Mamo menolak gagasan elitisme arsitektur, urban biasa menjadi inspirasi dari arsitektur baru. Ada pula Rumah Ragunan (2001) milik kelas keluarga menengah atas yang berlokasi dekat dengan kampung kota dan real estate dibangun dengan teknik serupa.

Mamo di sini mengeksplorasi kemungkinan perbedaan kelas kehidupan secara bersama di ruang urban. Di mana yang lemah dan yang kuat dapat berbagai ruang yang sama. Konsep "magersari" menjadi kata untuk menunjukkan bagaimana ruang bagi yang lemah ini diberi tempat untuk tumbuh.

Mamo juga bilang seharusnya orang miskin yang tak memiliki rumah diizinkan untuk menempati ruang di bawah flyover, dekat rel kereta api, dekat sungai, dll, dengan perumahan blok bagi orang miskin. Seperti diekspresikan dalam desain Kampung Tanggul Indah (2002), sebuah multiblok  beraneka ukuran di tepi sungai. Pembangunannya dengan mempertimbangkan memori kognitif bersama, karena arsitektur berperan merawat hubungan antara memori kolektif dan lingkungan. Ini dipraktikkan pula oleh Romo Mangunwijaya di Yogyakarta.

Di Kampung Tunggal Indah, ruang komunal untuk masak dan mencuci juga disediakan. Bagaimana antar tetangga bisa berbagai tanggung jawab untuk merawat fasilitas dan ruang terbuka hijau.

Superblok dan branding bangsa menjadi fenomena lain yang menjadi komponen dalam pembentukan arsitektur baru. Fakta ini didukung dengan pembangunan megaproyek di pusat kota, di mana tempat itu mengandung tempat-tempat bersejarah bagi bangsa. Jantung kota menjadi arena konsolidasi kekuasaan, indentitas, dan pertukaran nilai, yang ini tentu berpengaruh pada diskursus arsitektur urban.

Superblok diartikan sebagai ruang yang megnandung berbagai fungsi untuk layanan komersil publik. Superblok bukan hanya menunjukkan pencapaian dan perkembangan negara, tetapi juga sebagai struktur untuk mereproduksi bentuk masyarakat yang berdasarkan kelas.

Desain yang baik tidak menjamin produksi masyarakat yang baik. Malahan dengan berbagai disiplin ukuran diperlukan keamanan seperti satpam. Beberapa contoh superblok itu seperti Senayan Ciy, The Archipelago, proyek Rasuna Episentrum, dan Grand Indonesia di kawasan Bundaran HI.

Senayan City (SC) menjadi superblok pertama di Indonesia. Dibuka tahun 2006, SC terdiri dari berbagai tempat belanja berkelas tinggi. Terdiri dari mal 5 lantai, 21 kantor, 23 apartemen, hotel bintang lima dengan 255 ruangan. Mal ini didirikan di sekitar area bersejarah, Senayan, yang didirikan tahun 1962 saat pelaksanaan Asian Games di zaman Soekarno. Pembangunannya dimiliki oleh developer grup Agung Podomoro, dengan jumlah investasi sebesar 1,3 triliun rupiah. Apalagi dikembangkannya fasilitas olahraga menjadi lebih modern. SC juga dianggap sebagai maestro pascakrisis yang membantu pertumbuhan ekonomi saat krisis.

Begitu juga dengan The Archipelago, bangunan yang diarsiteki oleh Ridwan Kamil (lulusan UC Berkeley) mengkarakterisasi proyek bangunan yang berdampak besar. Meski ruang publik yang didesain oleh RK dimiliki secara swasta. Menciptakan zona ekonomi khusus, distrik bisnis, serta menciptakan efek domino. Di mana salah satu capaian dari suatu bangunan adalah bangunan tersebut mendapat pengakuan internasional.

Serta superblok lain yaitu kompleks bangunan Grand Indonesia (GI), yang diarsiteki oleh firma yang berasal dari Los Angeles. Superblok yang mengusung misi klasik, modern, dan futuristik. Proyek ini telah mengubah wajah Jakarta dan meningkatkan nilai dari BUndaran HI, di sana ada bangunan-bangunan seperti Wisma Nusantara, Hotel Nikko (yang berganti menjadi Hotel Pulman, dengan arsitek Kenzo Tange Associates). Juga kawasan mall mewah, hotel bintang 6, pusat perkantoran elite, dlsb.

Quote:

“a good house is a house that unites with its surroundings.”

"What is also clear is that money and building are indeed coming “back to the city” with a vengeance."

"A “good design,” the architect urgently suggests, will not guarantee the production of a good citizen."

“visitors who have no such purchasing power, however, could hang around and do window shopping (activities of which) may still offer some satisfaction while they hope some day they will buy the items that now they can only dream of.” (wkwk, bullshit words)

" In a way, we can say that the superblock, via a powerful image of a new kind of urban form in the city, addresses such contested space of the metropolis by providing a microcosm for those who seek to escape from it."


Link: https://read.dukeupress.edu/books/book/1425/chapter-abstract/168952/Back-to-the-City-Urban-Architecture-in-the-New?redirectedFrom=fulltext

#abidinkusno #urbancity #mamo #architecture #senayancity #grandindonsia #superblock

Minggu, 29 Oktober 2023

29 Oktober 2023

Diingatkan sama kata-kata Mas Opik Arena, "Jurnalis itu dasarnya journey. Jurnalisme yg tidak berangkat dari journey ibarat ngebir zero alkohol, nyambel tanpa cabe."

Wakatobi, 29/10/2023

Pelajaran dari Wakatobi

 I.

The basic of the evolution of life: survival of the fittest. It did on Wallace's paper, "On the Tendency of Varieties to Depart Indefinitely from the Original Type".

Alfred Russel Wallace OM FRS adalah naturalis sekaligus penjelajah, geografer, antropolog, biolog, dan ilustrator berkebangsaan Inggris yang mencetuskan teori evolusi lewat seleksi alam. Makalah yang ia tulis mengenai pokok bahasan tersebut terbit berbarengan dengan sejumlah karya tulis Charles Darwin pada tahun 1858.

Toma tala na nena tosidagi ri futu se wange toma sanang madaha, di rumah ini kuhabiskan siang dan malamku nan bahagia 

II.

Dari buku Pak Hugua: Miskin dan Kaya Adalah Pilihan

Hidup hanya selalu berada pada bayang-bayang kekayaan orang lain.
Lalu benci dengan orang kaya, bersikap kritis terhadap kemapanan, dan bersahabat dengan para pecundang sambil saling membagi kesamaan pandangan dengan mereka.
Pikiran, perasaan, tindakan, hasil


Pikiran adalah respon pertama dari otak Anda terhadap sebuah input atau informasi, baik yang berasal dari sumber maupun banyak sumber informasi.
Perasaan adalah respon kedua setelah menyatunya otak dan hati anda. Fase ini punya dua respon, positive jika otak dan hati searah. Dan negatif jika otak dan hati bertolak belakang. Respon positif akan menuntun ke arah tindakan positif.


Inti kekayaan adalah kekuatan pikiran dan perasaan untuk membuat orang lain dan alam semesta menjadi kaya raya.
Orang menjadi berpikiran buruk karena mengambil sumber dari pikiran yang berguru kepada diri sendiri.
Orang kaya berkomitmen untuk hidup kaya, sedangkan orang miskin berkeinginan untuk kaya.

Pendapatan melebihi kebutuhan.
Uang bertelur uang.
 

Cetak biru keuangan merupakan program awal atau sikap Anda terhadap uang. Cetak biru keuangan merupakan kombinasi pikiran, perasaan, dan tindakan dalam bidang keuangan.
Nyatakan dalam benak Anda jumlah uang yang Anda niatkan dalam satuan waktu tertentu. Ucap syukur, terima kasih, dan lihat keajaiban yang muncul
 

Jika anda ingin mengubah buah, ubah akarnya. Ingin mengubah yang tampak, ubah yang tak tampak.
Memberi dulu baru menerima. Kalau enggak, kamu gila barangkali.
 

Kecerdasan spiritual: thanks to God, to people, to nature
Tipping point, pemicu
Invisible hand yang dilupakan
 

Selama ini, mindset kebanyakan orang adalah mengambil senjata untuk menembak orang lain. Sekarang, ambil senjata untuk menembak diri sendiri.

Most people don't lead their lives, they accept their lives

Inaction creates terror 

III.

O iya ya, orang sukses ga mungkin baca kek-kek gini.

Tentang Pak Enuh Nugraha

Nonton video ini rasanya kayak terapi, gimana manusia bisa memanusiakan manusia lain. YouTube Sinau Hurip dari Pak Adi ini memang mengambil bagian yang belum digarap: menyajikan konten humanis dan ngobrol dengan orang gila yang ditemui di jalan. Di episode ini dia wawancara dengan alumnus ITB jurusan Teknik Kelautan '97, yang mengalami ODGJ diduga karena ditinggal kekasihnya.


 

Orang itu bernama Pak Enuh Nugraha. Pemberitaannya menjadi viral di berbagai media karena latar belakangnya yang bagi sebagian besar orang "sangar". Prestasinya dijelentrehkan dari pernah mengenyam Farmasi di Unpad, lalu setahun kemudian pindah ke Kampus Ganesha. Sisi SMA-nya pun tak lepas dari prestasi, jurusan IPA, dapat NEM tinggi, dan lulus dengan IPK 2,97 (angka yang cukup tinggi bagi generasi saat itu mengingat para alumninya seingatku berkomentar nilai itu susah banget di ITB, bahkan orang yang lulus dengan IPK 2,5 saja telah bersyukur, beda emang dengan kampus yang cuma ngejar nilai tinggi). 

Yang epik, akibat ODGJ Pak Enuh ini narasi utama yang diceritakan adalah karena ditinggal kekasihnya yang pergi/meninggal bernama Sri Indah. Namun sumber lain menyebut karena hubungannya dengan Sri yang jurusan Kedokteran Unpad tak direstui oleh calon mertua. Salah satu pelajaran moral singkatnya: Sepinter apapun, cinta bisa membuat orang jadi gila, dan sedihnya, kurikulum pendidikan hingga hari ini tak memasukkan bab khusus terkait "cinta" ini sebagai mata pelajaran.

Salut dengan cara Pak Adi ini memotong kuku Pak Enuh, mencukur rambut, sampai memandikannya hingga (((bersih banget))) di POM bensin--ngeramasinya sampai berkali-kali. Lalu diberi air dan orang gila yang cenderung gak dianggap sama masyarakat itu dimanusiakan.

Selasa, 24 Oktober 2023

Runaway City: Jakarta Bay, The Pioneer and The Last Frontier - Abidin Kusno

Judulnya puitis ya, bagaimana teluk Jakarta menjadi "pelarian" juga benteng terakhir seseorang untuk hidup.

Kata "pantai" sendiri di Indonesia berhubungan dengan berbagai konsep dan kenyataan mistik, penggabungan, dan perluasan. Atau orang menyebutnya sebagai "oceanic feeling" yang kerap ditemui di negara-negara Asia Tenggara.

Seno Gumira Ajidarma pun pernah menulis di ceritanya terkait Sukab dan Alina, jika rumah yang menghadap ke pantai itu sesuatu yang misterius, bisa jadi aneh. Kisah Seno itu mengungkap metafora bagaimana dirinya mendefisikan era baru pantai di Jakarta.

Semenjak mereka yang punya kuasa memindahkan pemerintahannya ke daerah yang lebih tinggi agar tak kena banjir, maka di pantai hanya tertinggal para nelayan, kuli miskin, hingga komunitas ras yang melanjutkan hidup dan kerja di Utara Jakarta. Pesisir Utara menjadi layanan halaman belakang.

Narasi gentrifikasi pun meluas. Dikuatkan dengan kebijakan, baik dari presiden, gubernur, dan bawahannya. Disambut oleh tepuk tangan dan rangkulan para pengembang, kontraktor, dan bank.

Sementara, para binatang laut dan pesisir dipaksa menjalani eksodus mereka yang menyakitkan.

Sejarah pantai utara Jakarta ini menujukkan betapa berlapisnya sejarah Jakarta dari sisi pinggiran.

Teluk Jakarta merupakan proyek tepi laut yang besar di pantai utara Jakarta. Posisi geografinya menawarkan kekuasaan kota hingga kritik gerakan lingkungan. Kota-kota yang terletak di pesisir juga berhubungan dengan diaspora, para komunitas migran dan pedagang yang menghubungkan kota-kota pelabuan.

Dalam sejarah, pantai, pelabuhan, laut juga mengingatkan seseorang pada ingatan lain, nostalgia penjajah. Atau petualangan-petualangan terkait perubatan wilayah dan kekuasaan. Mereka pergi dan barangkali tak kembali. Meskipun mereka dikalahkan oleh "arus balik" orang-orang yang secara politis lebih mementingkan tanah.

Daerah sekelilingnya kemudian mengundang legenda dan keangkeran baru, seperti Ancol yang dipotret sebagai tempat yang dihuni oleh hantu perempuan. Mayorits orang Jakarta berpikir, gagasan kota-kota pesisir sebagai suatu hal yang ironis (tertinggal), meskipun Jakarta sendiri merupakan kota pesisir.

Abidin dalam esai ini berpendapat, kepentingan untuk kembali ke pesisir bukan hanya keharusan bagi kompetisi kapital di tepi laut, tetapi juga krisis pencitraan diri yang dihadapi negara, menyusul pembangunan yang berlebihan di ibu kota.

Dampak dari reklamasi yang terjadi di Utara Jakarta semisal, memperburuk kondisi ekologis kota. Reklamasi itu menciptakan 2700 hektare tanah sepanjang 32 kilometer di garis pantai Utara. Reklamasi ini digunakan sebagai lokasi hotel, pusat bisnis, mal, perkantoran, kompleks hiburan, industri, dan residen.

Proyek Teluk Jakarta dianggap sebagai salah satu dari megaproyek yang tak hanya untuk kota, tapi juga negara. Proyek ini diharapkan bisa sukses seperti yang terjadi di Singapura dan Tokyo. Para pembuat kebijakan sadar, tak mungkin mempercantik pantai tanpa melakukan make up pada area di sekitarnya; atau tanpa mengubah arsitektur dan tempat di sana.

Kemudian timbullah ide revitalisasi Jakarta. Sektor publik dan swasta saling bekerja sama, digembungkan dengan sejarah maritim dan pengaruhnya. Koridor Sejarah Jakarta dirancang untuk mendidik masyarakat terkait sejarah dan perjuangan bangsa akan peran kota pesisir Jakarta.

Lalu melihat ke depan, pesisir Jakarta semakin diperindah. Naga dipercaya oleh orang-orang Cina tinggal di sana, karena menjadi basis tempat beekrja mereka. Gambaran pun dibuat, pantai utara Jakarta menjadi pusat kompetisi.

Perkembangan arsitekturnya dibuat melampui sekadar simbol atau status, tapi juga kuasa dan perluasan kapital--sekaligus 'pelarian' bagi 'orang-orang kalah'.

Quote:

-I show how the coast can be seen as both the pioneer of and the last frontier for capitalist urban development in Jakarta. 

-I argue that the urgency of returning to the coast as a catalyst for globalization is not only the imperative of waterfront competition in the region, but rather a particular crisis of self-imaging faced by the nation following the overdevelopment in the capital city.  

-‘I don’t have to say how much economic and financial loss has been inflicted by traffic jams’ (Kompas 1995a).

-In Sepotong Senja untuk Pacarku (A Piece of Twilight for my Lover), he satirizes Jakarta and its relation with the coast. In one of the stories, Sukab, the protagonist from the inland, is so impressed by the twilight he saw on the coast of Jakarta that he decided to steal it for Alina, his lover. He cut out what he saw in the horizon and put it in his pocket, leaving a hole as big as a postcard in the sky. Seno’s story offers reflection on how it is possible to steal and own the twilight and the cost of owning it.

Kusno, A. (2011). Runaway city: Jakarta Bay, the pioneer and the last frontier. Inter-Asia Cultural Studies, 12(4), 513-531.

Link: https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/14649373.2011.603916

#abidinkusno #pantaiutara #jakarta #pesisir #pantai #coast #waterfront #runawaycity

Sabtu, 21 Oktober 2023

The Transformation Problem - Riccardo Bellofiore and Andrea Coveri

Poin-poin:

Setelah lama vakum, komunitas Simulakra mengadakan diskusi kembali terkait bahasan berjudul "The Transformation Problem". Di bab 10 bagian satu The SAGE Handbook of Marxism kali ini, kami membahas tulisan Riccardo Bellofiore dan Andrea Coveri. Riccardo Bellofirore merupakan profesor ekonomi politik. Andrea Coveri adalah muridnya yang ambil Posdoc di Universitas Urbino. Minat riset keduanya terkait ekonomi dan teori nilai Marxian.

Bahasan-bahasan awal isinya sangat rumus dan itung-itungan. Ada beberapa problem terkait transformasi nilai dan eksploitasi. Eksploitasi lebih dipahami sebagai kontrol secara langsung atau tidak langsung yang berdampak pada buruh. Ternyata kontrol itu gak bisa dihilangkan. "Exploitation should be understood as the direct and indirect imposition and control that affects all labour, in its quantity and nature."

Menurut pembacaan Sulkhan, dua penulis esai ini terkait kontrol terhadap kekuasaan terhadap kapitalis, bagaimana kapitalisme mengabstraksi nilai tenaga kerja yang diekstrak dari para buruh. Komoditas dipandang seolah dia punya nilai sendiri. Kemudian ada konsep fetisisme pertukaran barang ke barang. Misal pas bahas keris, kerja dan manusianya tak terpisah. Ketika Ofek jadi empu keris, Ofek tak terpisah dari keris itu. Kapitalisme enggak, komoditas dipisahkan dengan orang, kita jadi mesin, ketika rusak, diganti dengan pekerja lain. Dulu empu keris tak tergantikan karena sakralitasnya misal (atau tirakatnya).

Lina menambahkan, eksploitasi didasari oleh abstraksi nilai, kalau ditaruh lebih lanjut eksploitasi dari unsur-unsur lain seperti gender, apa itu masih bisa dikatakan seperti itu? Ketika menambah indikator lain. Jadi terkesan reduksionis. Terlepas dari masalah gender, ras, dll, Sulkhan melihat dua penulis ini memperluas lagi ngomong eksploitasi. Kontrol jadi layer yang penting untuk ngomongin eksploitasi, dia juga membaca adanya kecenderungan di buku ini yang ingin memperluas konsep Marx.

Diskusi bersepakat perhitungan yang matematis dalam teori Marx cenderung muter-muter. Ketika Marx nyoba matematis, bolak-ballik lagi ternyata ada variabel yang mubazir. Meski matematis, tapi kesimpulannya bukan matematis. Gagasan Marx tentang eksploitasi harus menjauhkan diri dari sekadar medan wacana matematis dan hubungan palsu terkait transformasi, karena menurut profesor dan muridnya, semua diskusi telah dinodai oleh gagasan bahwa eksploitasi berkaitan dengan kemungkinan menyelesaikan nilai lebih dengan tenaga kerja berlebih.

Surplus ini sifatnya sekunder, ciri khas gagasan Marxian: di bawah kapitalisme, seluruh tenaga kerja yang hidup, yang diambil dari pekerja berupah yang awalnya 'bebas dan setara' menjadi aktivitas yang 'dipaksakan' dan 'diasingkan'. Paksaan langsung untuk melakukan kerja. Dia hidup memompa keringat, atau hidup seperti vampir. Eksploitasi seharusnya dipahami sebagai pemaksaan dan kontrol langsung dan tidak langsung yang mempengaruhi semua tenaga kerja, baik kuantitas maupun sifatnya.

Soal tulisan Profesor Bellofiore dan mas2 murid jametnya ini (:D), yang selalu menarik dari diskusi adalah cerita dan refleksi dari teman-teman. Misal bagaimana Pambudi merefleksikan terkait pekerjaannya sebagai buruh akademik atau para buruh pabrik yang kerjanya overtime. Lalu bagaimana teori itu dikontekstualisasi dengan kerja-kerja yang ada sekarang.

"Kita terasa seperti zaman Marx, buruh tereksploitasi, waktu yang dihabiskan. Marx tidak melihat yang kita alami sekarang. Kapitalisme bergerak sangat cepat, nilai lebihnya juga cepat bertambah. Nilai lebih itu semua yang tidak dibayarkan ke pekerja, seperti memberikan review di MarketPlace, memberi Google review, mereka buruh tapi tak merasa buruh. Ada nilai-nilai tenaga kerja tak terbayarkan," ungkapnya.

Trus Dipa nerangin panjang lebar pengalamannya dan analisisnya terkait bagaimana "misteriusnya gaji", bahkan dengan indikator macam waktu, skill, tenaga, dll. Apalagi dia baru aja ngalami kejadian, kolega dia salah ngirim email gaji anak-anak. Emailnya ke Dipa, harusnya sendiri-sendiri. Yang koleganya kirim satu list semua, di kantor jadi ribut, ada yang malesan tapi gajinya lebih, gaji itu abstrak.

Misal kerja public relation (PR) itu 24 jam dan itu berita yang tak bisa ditebak jam waktunya, core-nya menyiapkan statement media terkait brand. Isunya bisa jadi berita nasional naiknya dengan deadline jam sekian. Kadangkala, yang sering terjadi, anak-anak PR suka dibilangnya cuma modal bacot, padal enggak. Mikirin banget sampai di conference, hingga fashion harus diatur. Itu yang bikin kerja itu sangat misterius.

Distingsi orang kerja abstrak dan fisik itu bisa jadi hal yang saling berkaitan. Misal ada white dan blue collar workers, meski kategori bermasalah, itu masih ada jelasnya. Misal jadi dosen gajinya bisa di bawah pekerja buruh Astra, itu meruncing ke hal-hal yang tak penting, misal diminta ngebayangin, "kamu aja yang jadi buruh Astra." Kalau nglihat kayak gitu akan terus bermasalah.

Yang coba dibongkar Marx, itu. Kita bisa ngitung jam kerja, tapi bisa gak ngitung variabel lain misal skills? Variabel apa yang menyebabkan orang A dan B bisa beda/sama? Motivator kan bilang, antara miliarder dan gak  miliarder itu punya jam yang sama. Nyatanya kagak nyet. Misal tukang gudeg yang kerja jam 5 subuh kurang kerja keras apa? Buruh yang sampai shift malam kurang kerja keras apa? Kerja serius, gaji bercanda.

Kalau di perusahaan PR, itu bisa di-reimburse duit kalau lembur, tapi kalau dosen, harus ngecek kerjaan mahasiswa bisa satu minggu. Bisa dibilang, blue collar punya kesempatan lebih baik daripada white collar workers. Ekspresi matematis tak berubah, tapi variabel-variabel akan berubah. "Gaji adalah variabel yang sangat misterius."

Sulkhan terus nambahi fenomena yang dijelasin Dipa, andai waktu menjadi tolak ukur dalam menentukan nilai, karena itu lebih kompleks dari waktu. Misal seorang penuli itu bisa nulis buku itu bertahun-tahun, harusnya dapat duit lebih banyak, tapi realitasnya hanya dapat 10-20 persen. Sekarang itu abstrak lagi soal upah, nilai surplus, dll.

Aziz mengompori, Jangan-jangan Indonesia sudah di utopia, di mana orang-orang yang kerja di blue collars ternyat lebih tinggi dihargai daripada kerja-kerja abstrak kayak dosen di white collars. Dan emang bener sih, baca teori kiri itu cuma ada dua mimpi, mimpi indah atau mimpi buruk. Ofek menutup, teori-teori ini kasi kacamata yang gelap banget, selalu suram, wkwk.

Jumat, 20 Oktober 2023

Middling Urbanism: The Megacity and The Kampung - Abidin Kusno

Esai ini menunjukkan bagaimana perkampungan dan area peri-urban menjadi bagian pokok dari perkembangan urban. Posisinya berada di pinggiran atau di tengah-tengah kota, yang disebut sebagai "middling-urbanism".

Abidin mengamati, kota-kota di Asia Tenggara atau global south khususnya, memiliki fenomena middling-uranism, atau mudahnya, bangunan-bangunan kecil yang relatif tergencet di antara gedung-gedung besar/pencakar langit.

"I define middling-urbanism as an urban condition characterized by the existence of the kampung in formation of urban center or suburban areas. It follows that the kampung plays an important social, economic and political role in the functioning of the city."

Esai ini berfokus pada Jakarta, bahwa desakota mengambil peran dalam pembentukan kota, yaitu interaksi antara area formal kota dan perkampungan tidak tetap yang disebut kampung. Kampung dianggap menjadi bagian penting yang memiliki relasi pokok dengan kota, dan dia bisa berada di tengah-tengah. Middling ini diartikan sebagai relasi termporal untuk berbagi.
 
Secara spasial, kampung merupakan ruang antara di mana para pendatang dari desa ke kota atau dikenal sebagai kaum urban diartikan tidak hanya secara teritori, tetapi juga praktik sosial-budaya.

Keberadaan kampung dibutuhkan untuk menstabilkan polarisasi sistem rural-urban. Sementara keberadaan bangunan middling ini tuh kontras dengan kota, juga kontras dengan sumber daya dan sederhananya menjadi korban dari modernisasi kapitalis. Middling-urbanism merujuk pula pada hubungan dan mobilasasi kelas dengan formalisasi kota. Yang rentan banjir, kebakaran, dan berbagai situasi epidemik lain.

Meski ada oposisi biner antara kota vs kampung atau gedongan vs kampungan, keberadaan keduanya sama-sama memberi keuntungan. Semisal, bagi buruh di pencakar langit, keberadaan pekerja sektor informal bisa membantu mereka berhemat. Di mana sektor informal ini justru melakukan subsidi terhadap sektor formal. Tanpa ada bantuan dari sektor informal, sektor formal tak akan mampu bertahan pada tingkat upah yang diterimanya.

Kampung menjadi ruang resisten untuk meminimilasasi kejamnya hidup, ada kekerabatan, kerja bakti, acara adat istiadat, majelis kampung, musyawarah, dlsb.

Dalam konteks middling-urbanism ini ada pula kekuatannya (the middle power) yang terdiri dari preman, oknum, dll, yang menjaga keteraturan dan keamanan.

Kampung juga sering dihubungan dengan ekonomi informal. Menurut Abidin, studi terkait sektor informal ini dimulai sejak zaman kolonial.

Pada tahun 1910-an, sarjana Belanda bernama Julius Herman Boeke mengungkap sektor ekonomi zaman kolonial yang bertahan, dia melihat seperti PKL, nelayan, pengrajin, yang didukung oleh keluarga mereka.

Sektor ini kontras dengan prinsip kapitalis, dengan teknologi dan segenap perkembangannya.

Scholar lain, Keith Hart kemudian memberikan arah baru dari penjelasan Boeke. Dia memperkenalkan konsep sektor formal dan informal pada tahun 1971.

Dia mengkarakterkan sektor informal dengan ciri berskala kecil, beroperasi dengan bantuan kelaurga, modal yang rendah, beroperasi di area yang kadang tak resmi, dan berketerampilan rendah. Fleksibilitas menjadi nadi untuk bertahan hidup.

Kusno, A. (2020). Middling urbanism: the megacity and the kampung. Urban Geography, 41(7), 954-970.

Quote:

-[t]he kampung is part of a system of power that organizes societal relations with capital and the state. One might consider that such production of the kampung is a form of subordination of the kampung to capital, but such a scenario also suggests that the eradication of kampungs would contradict capitalist accumulation.

-The kampung as the locus of household that sustains both semi-proletarian work forces and the informal sector thus plays a key role in the formation of middling urbanism in what one could call the middle city
.

-Handbook of Southeast Asian Urbanization, edited by Rita Padawangi. New York: Routledge, 2018

Link: https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/02723638.2019.1688535

#abidinkusno #urban #geography #middlingurbanism #jakarta #kampung #governance

Kamis, 19 Oktober 2023

Power and Time Turning: The Capital, The State and The Kampung in Jakarta - Abidin Kusno

Poin-poin:

Abidin Kusno dalam artikelnya ini memulai dengan pertanyaan menarik, bagaimana kota-kota menunjukkan kekuasaan? Pertanyaan ini tentu tepat bagi pihak-pihak yang telah melatih atau mendapatkan kekuasaan, seperti negara, gubernur, militer, pembuat kebijakan, arsitek, hingga golongan masyarakat tertentu.

Dia menegaskan, "Yang menambah pluralitas kekuasaan adalah jaringan geo-ekonomi dan politik yang lebih luas di mana kota berada."

Lebih khusus, kota yang dianalisis adalah Jakarta. Jokowi pernah mengatakan juka progres negara dapat dilihat di Jakarta. Dari teknologi, gaya hidup baru, hedonisme, bisnis, hingga reproduksi kemiskinan ada semua. Sejarah kekuasaan di Jakarta terhitung panjang, dari masa kependudukan Belanda.

Bahkan Pram juga pernah menulis, "angin bertiup melintasi provinsi-provinsi membisikkan bahwa seseorang tidak dapat menjadi orang Indonesia sepenuhnya sebelum ia melihat Jakarta" (Toer, 1955).

Pram menganggap kekuasaan dan pengaruh Jakarta dalam konteks dekolonisasi ketika kota menjulangkan imajinasi Jakarta sebagai tempat yang berhubungan dengna kekuasaan, kemajuan, hingga peluang melakukan hal-hal besar.

Abidin Kusno dalam paper ini menerangkan, kota seperti Jakarta terbentuk oleh tiga kekuatan yang saling tumpang tindih dan memiliki rentang irama waktu yang berbeda:

1. Destruksi kreatif kapitalisme: Yang dipahami sebagai penyisihan tradisi lama untuk menciptakan tatanan yang baru. Modernisasi kapitalis dalam perkembangan sejarah Jakarta melalui destruksi kreatif ini menggerakkan Jakarta memasuki masa poskolonial. Transformasi urban Jakarta dan kluster di tepinya, menjadikan pembangunan menjadi-jadi. Selanjutnya, modernisasi kapitalis menggiring pada kembalinya informalitas, yang pro terhadap rezim buruh murah.

2. Kategori wilayah dan kekerasan negara dalam mengelola populasi: Ini terjadi khususnya pada masa Orde Baru, di mana isu sentralisasi menjadi lebih kuat. Kenaikan Soeharto diiringi dengan adanya program "stabilitasi dan rehabilitasi", tetapi di sisi lain terjadi "depolitisasi" dalam aspek kehidupan sehari-hari, dan kemudian menciptakan massa mengambang. Massa yang bisa dimobilisasi untuk tujuan politis dan menjadi salah satu kelas yang berbahaya. Kategori horisontal lain selain massa mengambang ini seperti gali (kriminal), Cina, kampung, dll, yang tak jarang menciptakan oposisi biner dan segregasi.

3. Tekanan dari lingkungan vernakular atau kampung yang membentuk kekuasaan kota: Dalam bahasan ini, Abidin menjelaskan jika kampung merupakan ruang modal karena menampung sebagian besar pekerja, baik itu di sektor informal maupun formal. Kampung menjadi ruang aktif yang mengubah dinamika kapitalisme dan formasi negara. Kampung beroperasi sebagai modal ruang yang temporal. Kampung memproduksi berbagai bentuk praktis residu sehari-hari yang kompleks.

Kusno, A. (2015). Power and time turning: The capital, the state and the kampung in Jakarta. International Journal of Urban Sciences, 19(1), 53-63.

Link: https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/12265934.2014.992938

#abidinkusno #power #jakarta #capitalism #nationstate #kampung #urban #desakota #UBC #canada

Rabu, 18 Oktober 2023

Housing The Margin: Perumahan Rakyat and The Future Urban Form of Jakarta - Abidin Kusno

Esai ini dibuka oleh cerita dari Abidin Kusno terkait Kongres Perumahan Rakyat II di Jakarta pada tanggal 19 Mei 2009. Kongres ini mendeklarasikan: Perumahan merupakan tanggung jawab negara sebagaimana amanat UUD 1945 dan HAM, setiap orang memiliki hak atas kehidupan dan perumahan yang layak, baik secara material maupun spiritual.


Berbagai inisiatif baru muncul yang lebih spesifik dan terumuskan. Di dalam kongres itu menyatakan, negara dan sektor swasta tidak hendak mendiktat kebijakan terkait bagaimana perumahan didirikan, tetapi lebih mengharapkan peran pemerintah daerah dalam pembangunan perumahan, terutama yang berpihak pada perumahan orang-orang yang tidak mampu. Institusi yang berhubungan dengan perumahan diharapkan bisa lebih akuntabel, transparan, dan responsif terhadap kebutuhan publik.

Misi kongres itu sebagaimana dikatakan Hatta pada Kongres Perumahan Rakyat tahun 1950, yang rasa-rasanya cita-cita semakin jauh saja: “Tujuan kami [menyediakan perumahan bagi semua orang] tidak akan terwujud dalam dua tahun. Ini tidak akan selesai sepenuhnya dalam sepuluh atau dua puluh tahun. Namun, dalam empat puluh tahun atau setengah abad, kita akan mampu mewujudkan keinginan kita, jika kita berkomitmen dan berusaha dengan percaya diri.” Perumahan yang semakin membaik itu tentunya cita-cita banyak orang, termasuk jurnalis senior yang menulis "Jakarta: 500 Tahun".

Pada tahun 50-an, perumahan rakyat menjadi bahasan yang cukup eksis, pasalnya perumahan rakyat kolonial sangat mahal dan tidak praktis bagi mereka yang berpenghasilan rendah. Bahkan dibentuk Djawatan Perumahan Rakyat yang didirikan pada 1951 untuk membantu pembiayaan perumhan bagi rakyat jelata.

Juga Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), KPR perumahan yang memberikan dukungan pembiayaan perumahan kepada Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) agar memiliki rumah, yang sebagian besar dana berasal dari pemerintah dan bank meski berkaitan erat dengan program pensertifikatan tanah. Tahun 2010, sebanyak 2,68 triliun dari APBN diinvestasikan. Meski akhirnya menyisakan masalah akut di pemerintahan yang baru.

Kondisi ini tentu berseberangan dengan semakin luasnya residen yang dihuni oleh kelas menengah di kota-kota yang dikembangkan oleh sektor swasta. Hari ini, alih-alih mengembalikannya pada etika yang lebih sosialis, semenjak Orde Baru, manipulasi pasar terhadap kebijakan pro-rakyat dimanipulasi. Negara diajak mengikuti paradigma bank dunia bahwa negara diharapkan tidak mensubsidi perumahan berbiaya rendah menggunakan anggaran negara.

Era baru dimulai, subsidi terhadap perumahan dikurangi dan diganti menjadi subsidi dengan skema investasi atau parsel perumahan dengan iklan-iklan bombastis dekat jalan tol dan mal. Kota diharapkan bisa menciptakan iklim investasi yang baik.

Dalam perkembangannya, Sri Mulyani dan Boediono yang dikenal sebagai ekonom profesional yang percaya terhadap mekanisme pasar untuk menghasilkan produktivitas urban meneken beberapa kebijakan yang mengikuti paradigma bank dunia.

Saat kota-kota dan tempat-tempat perlahan menyeleksimu dan keberuntungan diwariskan bagi orang-orang terpilih, kasarannya kalau boleh ngegas, "Tak ada yang memberimu rumah, jangan meminta-minta!"

Abidin dalam tulisannya mengingatkan pada dualisme pertanahan di urban Indonesia, yaitu terkait dualisme formal dan informal, atau merujuk pada tanah yang terdaftar dan tidak terdaftar.

Dalam peraturan, semua tanah harus terdaftar di dalam Badan Pertanahan Nasional (BPN). Sayangnya, di Jakarta semisal, data pada pertengahan tahun 1990-an menunjukkan 70 persennya belum terdaftar.

Banyak kepemilikan tanah yang pemiliknya bukan resmi, atau tanah yang hanya diakui berdasarkan klaim. Sehingga muncul paradigma untuk memformalkan yang informal dengan undang-undang.

Di sisi lain, okupasi informal terhadap tanah terjadi secara institusional dengan peran dari pembuat regulasi, juga aksi kolektif seperti broker dan mafia tanah.

Sertifikasi tanah kemudian menjadi jawaban perlindungan legal dan menambah nilai tanah. Bahkan bisa menjadi jaminan untuk pengajuan pinjaman. Lalu lahir program Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Tanah (Larasita).

Reformasi sertifikasi inilah yang kemudian menjadi program pokok "reformasi agraria" a la Indonesia, yang menurut Gunawan Wiradi berhubungan dengan bagaimana pemerintah mengkuantifikasi tanah yang dimiliki, karena tak seorang pun yang tahu secara tepat berapa banyak tanah yang dimiliki oleh pemerintah dan bagaimana itu digunakan. Sertifikasi juga memainkan peran penting dalam mengontrol pertumbuhan populasi urban.

Sertifikasi tanah juga digunakan untuk mengakomodasi tanah terlantar yang tak digunakan, seperti tanah sepanjang sungai atau jalur kereta api. Tanah yang juga digunakan oleh kaum marginal untuk menjadi perumahan sementara.

Hal lain sebagai upaya pemberian perumahan layak ini ada program yang bernama rusunami (rumah susun sederhana milik)/rusunawa (rumah susun sederhana sewa) atau istilahnya rumah seribu menara. Yang diharapkan bisa mengurangi lingkungan kumuh yang ada di dekat-dekat sungai atau slum area Jakarta.

Apalagi orang sudah banyak paham, Jakarta tidak ada ruang untuk perumahan murah. Sayangnya program ini jauh dari target pihak-pihak yang diproyeksikan, yang secara mudah bisa dikonversikan menjadi apartemen bagi kalangan kelas menengah atas.

Quote:
- Institute of Asian Research, University of British Columbia
-it would be unrealistic today to expect a return to the socialist ethic that advocates providing affordable housing for all after years of Suharto’s New Order market revolution.
- Jakarta: 500 Years, by Zaenuddin HM
-without the informal sector, workers would simply be unable to survive on the level of salary they are receiving
-“Indeed, our goal [to provide housing for everyone] won’t be realized in two years. It won’t be fully completed in ten or twenty years. However, in forty years or in half a century, we will be able to fulfill our wish, if we are committed and make the effort with confidence.”

Kesan: ini tulisan Abidin Kusno panjang tapi poinnya jelas dan gak ngebosenin.

Link: https://ecommons.cornell.edu/items/f77f20e1-f305-4c86-a312-07cb9c7274a1

#abidinkusno #perumahan #rakyat #urban #rusunawa #rusunami #land

Minggu, 15 Oktober 2023

Adin

Tiap barisnya saya ambil dari buku antologi puisi karya Adin Hysteria berjudul Lobang Pertama:

seperti tiang listrik yang dipukul dini hari
kita, yang muram dan tak terpahami
betapa banyak luka yang disimpan di angka-angka
kata-kata sedang mengajarimu
memahami sesuatu
apa kabarmu hari ini? sedang aku tak pernah baik-baik saja
mencintaimu seperti cuaca buruk malam hari
subuh yang berdebar ketika menunggu pagi
laut yang gelisah memahami ombak
dipermalukan mimpi-mimpi yang dulu gagah berani
dilahirkan lagi, menjadi orang lain
rindu telah dibaringkan pada tidurnya yang pulas
tidak ada lagi penantian pada kereta yang datang terlambat
kita pun tidur seperti bepergian jauh
segala pedih diigiring di tepi (kabung dan murung)
sedang waktu amatlah runcing
kesedihan terbaik yang dibagi-bagi tapi kita selalu suka
segala yang sementara, termasuk cinta
ada jarak kecemasan, yang tak bisa diselesaikan dengan jembatan
kita sedih tapi tak perlu berjujur
rodaku kemana-mana lagi

Semarang, 15 Oktober 2023

Mendalami Ini

.....murung, kabung, sendirian, sedih, luka, jahat, telanjang, kegelapan, sembunyi, kehilangan, rebah, tercuri, tajam, padam, takut, rumit, karam, buruk, rusak, gelap, sepi, kutuk, lindap, redup, rentan, kabur, rawan, pecah, kesalahpahaman, porak poranda, mantan, kecemasan, perkara, jauh, ....

Selasa, 10 Oktober 2023

How To Study in Europe

The objective: there is a way to study in Europe without a scholarship. This is so interesting lecture from EF's student. The presentator is a Reggy Permadi. The secret to study in Europe is a no tuition fee. You need to make the Dora's philosophy deeps on you.

Average tuition fee in top countries in UK and Europe (masterportal.com):
1. England: Rp95-575 millions
2. Netherland: Rp130-330 millions
3. France: Rp3,3-165 millions
4. Sweden: Rp123-420 millions

Reggy chooses Germany as the country. Public universities in Germany do not charge tuition fees for Bachelor's and Master's programs. So do Hungary and Belgium. Checking on studyportals.com.

You don't need miniso things. It's really long journeys. You have to save 190 millions or 11.208 euros. He said that he cooked. Plans your dreams and hipotesis.

 









Jumat, 06 Oktober 2023

Berbincang Jawa Bersama George Quinn


Tulisan ini merupakan catatan dari diskusi "Temu Penulis-Penerjemah: George Quinn" yang diadakan di Teater Utan Kayu, Jalan Utan Kayu Raya 68-H, Matraman, Jakarta Timur, Jumat (6/10/2023). Diskusi ini menghadirkan pembicara George Quinn (Penerjemah "She Wanted To Be A Beauty Queen") dan dimoderatori oleh Nirwan Dewanto.

Direktur Program Ayu Utami mengatakan, dirinya berbahagia bertemu dengan George Quinn. Tempat diskusi juga merupakan tempat bertemunya aktivis dan berbagai Seniman. Ketua Yayasan Lontar, John McGlynn menyampaikan, diskusi ini merupakan peristiwa bersejarah. Kemudian dilanjutkan pembacaan cerpen BMW18I, yang dibacakan oleh Widhi Kusumawardhani. Dilanjutkan pembacaan cerpen bahasa Inggris.

Nirwan bercerita terkait ortunya orang Jawa, Banyuwangi dan Ponorogo. Dia Jawanya lebih ngoko khas Malang atau Madura. Dia mengetahui berbagai sastrawan Jawa. Peran George Quinn sangat luar biasa karena menerjemahkan berbagai karya Jawa. Jadi Jawa itu mengasyikkan tapi repot. Orang Jawa sangat bangga dengan dirinya (inward looking). Kiprahnya lebih dari setengah abad mendalami Jawa.

George Quinn memulai ceritanya dengan sejarah ketertarikannya pada Jawa. Pada tahun sekitar 1967, dia diutus sebagai sukarelawan mengajar bahasa Inggris dari negara New Zealand. Indonesia saat itu tak mengenal bahasa Inggris. Lalu dirinya mempelajari bahasa Indonesia, dan kemudian dia mendengar bahasa lain, bahasa Jawa di Salatiga. 500 tahun sebelumnya, bahasa Jawa sudah menghasilkan sastra tulis. Hikayat Pasai juga berbahasa Jawa. Dengan sifatnya yang istimewa, dirinya langsung ingin menguasai. Ternyata bahasa Jawa susah dikuasai.

Selesai bekerja di UKSW, dia mengambil kuliah di UGM tingkat 1, di Sastra Indonesia. Saat itu belum ada SKS, ada 10-15 pelajaran semua wajib (sistem Belanda). Saat itu ada mata kuliah bahasa Jawa dan bahasa Inggris. Waktu itu dia dipanggil dekan dan bilang tak boleh ambil bahasa Inggris. Ketika masuk kelas, 15 orang berbahasa Jawa, mengalami bottom of the class. Kemudian dia mencari kelas tambahan. Dia kenal putri Jawa, yang bersedia mengajar bahasa Jawa ke saya. Lalu dia jatuh cinta padanya. Tak ada motivasi yang kuat daripada cinta. Dengan demikian dia belajar bahasa Jawa. Namun cintanya pada gurunya, Mbak Umi dari Kudus tidak berbalas. Dan pembelajaran itu bercampur kesedihan.

George belajar bahasa Jawa sudah lebih 50 tahun, dan merasa dirinya masih mentah. Proses kisah cinta itu hanya langkah pertama. Di rumahnya di Australia, dirinya belajar bahasa Jawa.

Nirwan bertanya, bagaimana unggah-ungguh diterjemahkan dalam bahasa Inggris? George menjawab hal itu sangat sulit, karena bahasa Inggris tak ada itu. Juga masalah kekerabatan, belum lagi lambang-lambang metafora. Yang diambil dari dunia wayang sulit juga. Penerjemah ada tantangan, dengan dibuat catatan kaki atau memberi glosarium atau menjelaskan ke teks langsung. Itu sulit sekali. Dirinya menggunakan berbagai strategi untuk menguasai itu.

Nirwan bertanya lagi, sebagai orang Jawa di buku George sebenarnya tak dia butuhkan, tapi apakah pengantar itu menunjukkan pengalaman atau bagaimana? George menjawab iya, membantu memberi konteks. Dia ambil satu konteks yang menarik dan membangkitkan cita rasa untuk membaca. Misal ada tokoh namanya Pal Gunadi, yang merupakan tokoh wayang. Ada konotasi yang tak bisa dijelaskan secara panjang.

George suka blusukan, buku "Wali Berandal Tanah Jawa". Dirinya tertarik ketika belajar di UGM, ada pelajaran bahasa Arab oleh Prof. Sumardi. Setelah satu semester dia sakit. Teman-teman sekelas takut pada Profesor, dia memberi tugas rumah, lalu akan bertanya perihal tugas. Jika tak bisa jawab, dia ditatap terus-terusan. Tentu saja mahasiswa gemetar. Lalu, ada strategi, memberi tahu jawaban. Ketika beliau dirawat di kelas, bentuk rencan penjagaan. Supaya kamar beliau tak pernah kosong, ada anak didik yang menjaga. George dapat giliran, dua kali menjaga sekian jam pada tengah malam, jam 1-4 dini hari. Akhirnya, professor meninggal. Dikubur di pemakaman UGM. Menjelang ujian terakhir, sekelas memutuskan berkunjung ke makam Pak Sumardi untuk berdoa. Jam 2 siang, kurang lebih 15 orang berangkat ke Makam Gadjah Mada. Adat orang Jawa saat itu belum dikijing. Berdoa pada beliau supaya lulus ujian. Ternyata yang lulus 2 orang. Lalu dia tertarik pada tradisi berdoa di kuburan.

Dia meneliti beberapa Makam keramat, mengalami secara langsung cerita-cerita melalui juru kunci. Dia mengalami ketertarikan pada masyarakat Jawa, dia berkunjung ke berbagai makam keramat di Jawa, Madura, Bali. Dia menghitung ada 132 makam. Dia pertama ke Makam Bayyat, Sunan Pandanaran, tahun 74. Lalu dia meneliti secara profesional pada 1997, mengalami kurang lebih 20 tahun.

Sesi kedua dilanjutkan dengan membaca cerpen Jawa kedua.

SESI II:

George mengungkapkan ada tiga faktor kebangkitan sastra Jawa. Pertama, terjadi proses desentralisasi. Sehingga pengarang Jawa yang harus tunduk pada pusat tak begitu simpatik dengan sastra bahasa daerah. Mereka bisa mengungkapkan kejawaannya. Kedua, Indonesia mengalami pertumbuhan yang luar biasa. Kelas menengah lebih kaya, para pengarang Jawa bisa untuk beli buku. Pengarang bisa melanjutkan usaha itu. Sekarang terbit terlalu banyak. Ketiga, timbulnya era digital, lebih mudah mengedit dan memasarkan. Pengarang dan sastra Jawa kemudian meledak 20 tahun yang lalu. Perlu dilalukan penelitian yang jelas siapa pembaca sastra Jawa. Meski sebagian besar pegawai negeri.

George melanjutkan, ketika bertanya pada sastrawan Jawa, mengapa menulis bahasa Jawa? Ada yang merasa kebudayaan daerah tersingkir, khususnya sastrawan Jawa menjadi pewaris khazanah Jawa 100 tahun yang lalu. Hal itu sangat mereka rasakan. Warisan yang mereka terima ingin dipelihara dan dikembangkan. Kebudayaan tidak baik ketika mematikan bahasa daerah. Mereka ingin supaya kekayaan yang ada dibangkitkan dan dipelihara. Bagi orang Jawa hal itu penting sekali.

Kemudian, orang Jawa itu menulis untuk kalangan sendiri. Tidak menulis untuk yang bukan Jawa. Pernah ada yang mengatakan, penulis Indonesia yang pengen dikenal internasional, hal itu sebenarnya gak baru. Kalau cari daya cipta, cari di lingkungan lokal. Menulis secara internasional itu gak unik. Kekayaan lokal sumber terbaik kalau ingin berdaya cipta secara baik.

Ada beberapa pengarang Jawa yang menempatkan dirinya ke kota besar atau terjadi di luar negeri. Pengarang Jawa memandang keluar, meski masih terjadi di pinggiran kota besar. Pengarang Jawa jika melihat cerkak diterima baik, mengumpulkan yang terbaik kemudian dijadikan antologi.

Nirwan kemudian bertanya, apakah Islam sekarang dari heterodoks menjadi ortodoks? George kembali menjawab itu butuh penelitian. Menurut tradisi NU, berjuta orang berziarah, sementara MU berbeda. Ada pembauran antara heterodoks dan ortodoks. Makan keramat jadi tempat berlindung dua sayap yang dianggap berjauhan satu sama lain.

Ketika menulis di perguruan tinggi, ada kaidah orang harus menulis serius, tidak emosional, dan aku terhapus. Sementara dalam kenyataan kita semua manusia dan berinteraksi sebagaimana manusia. Ketika menulis dengan gaya menghapus diri, itu munafik dan menyesatkan, itu tidak ilmiah. Ada kalanya manusia berkelakar atau sedih. Apalagi masuk makam keramat, sering menemukan hal-hal yang emosional. Tak jarang orang menangis, ada suasana emosional. Ketika nulis ziarah tanpa emosi, seolah saya tak mencerminkan kenyataan. Ada keistimewaan pribadi-pribadi tertentu.

Kalau jadi akademikus yang baik, tak hnya menulis untuk kalangan sendiri apalagi ketenaran. Tapi bagaimana mendukung atau membuat orang lain jadi meneruskan penelitian diri sendiri. 



SESI DISKUSI:

1. Sastra lisan Jawa dalam dakwah, ke Malang, ada Batu TV dan Malang TV ada dakwah itu populer dan ramai. Ada musik di dalam cara mereka bertutur. Di lokal Jawa ada banyak DAI Jawa yang populer. Apa Pak George pernah menyaksikan itu.

Jawab: Ini menarik sekali, bahasa daerah bisa tumbuh di lingkungan yang bersifat agamis. Misal Katolik punya aliran Kristen Jawa. Ini perlu diteliti lebih lanjut. Seringkali percampuran Jawa-Indonesia. Latar belakang bahasa yang bagaimana yang digunakan DAI. Bahasa Jawa dalam lingkungan agama perlu dapat penelitian.


2. Ayu Utami: Bangkitnya sastra Jawa ada desentralisasi, tapi dia ragu, masa Soeharto Jawa itu sentral. Representasi Jawa itu bahasa kekuasaan. Apa betul alasan itu? Kedua, sebagai orang Jawa, dia menolak bahasa Jawa karena unggah-ungguh yang tak egaliter. Setelah dewasa senang bahasa daerah hidup, fungsi unggah-ungguh itu apa?

Jawab: Jawa sebagai ciri Orba, di dalam ulasan buku ada tindakan Orba pada pengarang Jawa yang bersikap menindas. Pak Harto ketika ikut Kongres bahasa Jawa di Semarang tahun 1991, dia bawa pidato, kertas pidato itu kemudian dibuang. Lalu menjelaskan arti spiritual aksara Jawa secara spontan. Benar, Orba kuasa itu besar, tapi pengarang tak memperoleh manfaat. Mereka ditindas. Jawanologi termasuk proyek Orba, tindakan sewenang-wenang pada kejawaan. Menteri baru kemudian menghapus Jawanologi menjadi Indonesialogi.

Mengenai unggah-ungguh itu juga diperdebatkan. Itu bertentangan dengan semangat kesetaraan. Ada gerakan Jawa dwipa yang menghapus unggah-ungguh. Kromo sudah melemah 150 tahun yang lalu, menuju keadaan yang lebih lemah daripada dulu. "Unggah-ungguh bukan musuh kesetaraan."

3. Armet (Maluku): Dirinya tak paham bahasa Jawa. Ada problem linguistik kuat, ada kesadaran bagaimana penutur non bahasa Jawa perlu menuturkan Jawa. Di daerah-daerah, berbahasa lokal di kota itu norak. Apakah Mr. Quinn tertarik karya sastra luar Jawa?

Jawab: Sebenarnya berminat, tapi sekarang sudah sepuh, sudah tua sekali. Dia pernah ke Maluku dan tertarik pada kebahasaan di Ternate. Ada yang muda dan punya semangat, silahkan. Karena bahasa di Indonesia Timur cukup merana dan mengkhawatirkan. Bahasa Keton dapat perlindungan di Timur Timor. Bahasa Indonesia seolah-olah menguasai segala. Perlindungan negara sangat penting dalam melindungi bahasa. Misal di India ada bahasa daerah yang menjadi bahasa resmi. Jadi, pemerintah sangat penting dalam menjaga dan mengembangkan bahasa daerah. Di New Zealand pun demikian. Banyak bahasa yang hampir punah, ini jadi tantangan bagaimana menghadapi bahaya terhapusnya bahasa daerah. Padahal, bahasa Indonesia itu bahasa merusak, ini perlu ditanggulangi.

Terima kasih Pak George Quinn

Surya Paloh dan Yohanes Surya

Baca berita soal kembalinya kader Nasdem jadi tersangka korupsi, tiba-tiba langsung keingat awal jadi Maba dulu ada kuliah umum. Pengisinya saat itu Surya Paloh (Ketua Partai Nasdem), aku dan banyak maba lain mendengarkan di ruang utama Masjid UIN Sunan Kalijaga yang juga dianggap sebagai "laboratorium agama". Waktu itu dia kasi ceramah soal perjalanan hidupnya, yang tentu hal-hal seperti itu juga pernah dia ceritakan entah puluhan atau ratusan kali di tempat yang lain. 

Sebagaimana watak pejabat/politisi yang malas membaca (tolong, membaca gak cuma soal buku tapi juga lingkungan) argumennya seperti kaset yang selalu diputar-putar ulang. Kini aku mengingat itu sebagai keabsurdan lain: kenapa kok ya UIN dari sekian banyak tokoh milihnya dia? Apa hubungan UIN dengan politisi lingkar Senayan?

Aku lebih suka membayangkan jika yang mengisi kuliah umum adalah orang-orang yang ahli atau expertise di bidang jurusan atau paling enggak fakultas. Barangkali, kalau saat itu yang dipanggil jadi narasumber adalah Yohanes Surya bukan Surya Paloh, barangkali ketika menghadapi hari-hari berat di Fisika, aku tak sefrustasi itu, ada pilar lain yang bisa kujadikan pijakan. Namun begitulah, para sosok besar di Gedung Rektorat tak berpikir sejauh itu. Koneksi-koneksi tanpa substansi.

Takdir mengizinkanku pernah ketemu dengan keduanya: Yohanes Surya dan Surya Paloh. Jika tak salah itung, tiga kali pernah ketemu Pak YS. Secara penampilan beliau memang kaku, tapi secara pikiran tidak. Beliau membuat satu tradisi baru dalam berhitung yang kini dikembangkan lewat bantuan Jokowi, Luhut, Tito, dkk, sampai lingkar Papua. Lewat metodenya GASING.

Senin, 02 Oktober 2023

Diskusi Buku Ultimus "Angin Menerpa Menara" Karya Han Suyin

Catatan ini merupakan ringkasan dari diskusi karya Han Suyin berjudul "Angin Menerpa Menara: Mao Zedong dan Revolusi Tiongkok (1949-1975)" di Beranda Rakyat Garuda, Jakarta, Minggu (1/10/2023). Bahas buku ini menghadirkan narasumber: Dede Mulyanto, Tatiana Lukman, dan dimoderatori oleh Reza Muharam.

Bilven Sandalista mengatakan, buku ini terbit tahun 2019. Namun karena prosesnya berat dan mengalami covid-19, jadi terhalang. Pihaknya menyesal kenapa buru-buru. Apalagi Ultimus juga menerbitkan buku berjudul Singapura (Poh So Kai). Buku ini dibedah dua kali di Jogja. Pak Te mengedit tiga buku, dua buku memoar dari Ir. Djoko Muljono. Tentang Banten dan memoar di Pulau Buru. 



Narasumber Tatiana Lukman menjelaskan, revolusi Tiongkok sangat penting, meski sudah tak ada. Pengaruh Mao banyak dan meningkat di pergerakan rakyat. Mao meninggal 1976, kemudian komplotan revolusionis melakukan kudeta. Anggota diundang untuk rapat politbiro, kemudian dieksekusi. Terjadi perselisihan antara oportunis kanan dan kiri (opor kaki)--oleh pemimpin-pemimpin partai. Tema pokok di buku Han Suyin yaitu perjuangan dua kelas dan ideologis di negara China, yang memungkinkan restorasi kapitalisme. Perjuangan dua garis, dua partai, di negara. Ada kontradiksi kelas dan perjuangan kelas.

Karena partai hidup di masa perjuangan kelas, anggota partai komunis membawa ideologi kelas sendiri. Mereka partai pelopor, anggotanya paling maju di kelas buruh, meski membawa ideologi dari kelas asal. Mendidik diri itu sampai mati, berjuang supaya ideologi proletar mendominasi. Membimbing dia punya sepak terjang di masyarakat. Sehingga menunaikan tugas, merealisasikan cita-cita partai komunis. Dalam praktik, sekali komunis tetap komunis.

Sosialisme lahir dari kesadaran penghisapan manusia atas manusia. Kekurangan dari buku, kenapa gak bahas peran Tan Sioping yang merupakan sekjen partai. Padahal perannya sangat penting.

Dia melanjutkan, lompatan jauh ke depan Mao digunakan oleh kaum setelahnya. Membangun sosialisme dengan berdikari, bersamaan dengan revolusi agraria. Ada komune rakyat. Semua proses ada perjuangan dua garis. Makanya penting buku Han Suyin. Bahwa Mao tidak sepenuhnya bersalah atas berbagai dampak yang disebabkan oleh revolusi, yang perspektifnya mendenominasi Mao.

Di sisi lain, narasumber Dede Mulyanto menjelaskan, setidaknya ada tiga hal yang ditangkap Dede dalam buku Han Suyin. Pertama, deklarasi republik rakyat Tiongkok, yang menjadi gerbang pintu kemerdekaan. Mao mengantarkan ke gerbang dengan berdirinya rakyat Tiongkok. Revolusi bukan soal durasi, seminggu atau sepekan, atau bagaimana masyarakat mengalami pembenturan, yang penting adalah "perubahan substansi". Struktur sosial ada perubahan, bukan hanya di bidang politik. Misal penelitian terkait ketimpangan lahan, ada golongan petani kaya dan kaya. Yang dimaksud Mao dalam  Oktober 49, revolusi timbul dari sana.

Mao dari sudut pandang Marxis, beberapa hal yang dia cetuskan tidak ada sanadnya. Ketika memutuskan revolusi Tiongkok, mustahil terjadi revolusi di proletariat perkotaan, tapi proletariat pedesaan, yang secara internal feodal. Peta Tiongkok udah dipetak-petak, negara mana saja yang menguasai. Konsesi untuk Inggris, Prancis, Jerman, dll. Dalam Marxisme berpangku pada proletariat perkotaan. Ketika kaum komunis berkumpul, jadi mudah dihabisi. Ternyata Mao berhasil, padal pas Lenin itu perkotaan. Apakah Mao reformis atau revolusionis? "Dia kreatif," ujarnya.

Konteksnya berbeda antara komune Paris, dibandingkan dengan Tiongkok. Pengalihan Mao ada nasabnya, terletak pada inti Marxisme. Martin Suryajaya menulis, inti Marxisme adalah metode. Sanad kreatif Mao ada di metode materialisme.

Kedua, ada lompatan ke depan. Mao melakukan reforma agraria dengan menghabisi tuan tanah feodal yang dibagi-bagi pada rakyat. Meski setelah itu, ada borjuis kecil. Petani mau menghasilkan kekayaan secara individual dan kolektif. Misal tahun 1951, Mao mengusulkan kolektifasi. Sayangnya tak semua petani punya pengetahuan dan teknologi, makanya saat itu menghasilkan kegagalan ekonomi. Sebab orang-orang yang tak paham dan punya pengetahuan gagal, karena lebih terbiasa untuk disuruh-suruh.

Namun, tahun 1978, ada 18 petani desa menulis curhat ke partai, dengan menceritakan desanya ke partai. Penduduk desa yang awalnya 120 tinggal 67 karena kelaparan. Karena ada sistem kuota setor kepada negara. Butuh modal besar termasuk kebutuhan akan alat berat. Ide itu masih diterapkan. Semua industri berat diusahakan, dari traktor sampai peniti. Problemnya sistem kuota sifatnya kuota tetap, seringkali ada yang bisa memenuhi ada yang habis disetor ke negara. Ini yang menjadi cikal bakal reformasi. Ketidakmakmuran mayoritas itu sumber ketidakstabilan.

Setelah 49 terjadi hal-hal besar, termasuk Perang Korea. Termasuk kisruh komunis internasional, demonisasi atas Al Mukarom Stalin. Ini berhubungan dengan kesinambungan moral. Ide soal demokrasi baru, yang penting menyelesaikan kontradiksi dari partai dan rakyat, yang non-antagonistik. Itu tidak antagonistik. Rakyat adalah presentasi, keinginan rakyat direpresentasikan dalam bentuk partai. Terjadi kecenderungan representasi rakyat dengan yang diwakilinya (birokratisme).

Tantiana mengungkapkan beda pendapatnya dengan Dede. Kaum opor kaki hanya menggunakan Marxisme untuk polesan bibir dan menghancurkan intisari dari Marxisme. Ini sebab dari keruntuhan sosialisme di Tiongkok. Mereka yang menang yaitu yang menjalankan kapitalisme. Mao melakukan RBKP dengan memobilisasi massa dan kampanye. Akhirnya mengerti, memecah orang yang ada di garis itu efeknya tak banyak, yang penting di kepala. Lalu soal kaum tani, Mao melakukan analisa kelas. Kaum tani berideologi borjuis kecil, pengen membesar untuk kepentingan sendiri. Lalu Mao bikin grup gotongroyong, selain untuk menyelesaikan teknologi tapi juga pengetahuan. Adanya grup saling bantu, untuk mendidik ideologi, di mana borjuis kecil tujuannya untuk diri sendiri. Supaya mereka sadar semua dilakukan secara kolektif, ini ideologi.

Hal itu diteruskan ke RBKP mengurangi egoisme. Dengan terjangkitnya revolusi itu, ada revolusi yang orang itu tak sadar. Apa yang dilakukan kudeta 46, tak ada hubungannya dengan Mao. RBKP berhasil melakukan sosialisme. Ada sosok baru Kruschev di sana. Mao melakukan perjuangan dua garis di partai, di militer. Mao percaya manusia bisa berubah, dia berusaha menyelematkan Ting Sio Pi yang lebih licik. Dia diterima setelah melakukan otokritik meski itu palsu, munafik.

Mao ngomong ada "perjuangan kelas", diperlukan revolusi dalam perjuangan proletariat. Revisionisme diangkat oleh tokoh-tokoh Indonesia termasuk Ibrahim Isa. Lompatan jauh ke depan dia berhasil melakukan revolusi tanpa utang sepersen pun. Ini juga tentang proses berdikari.

Dede menambahkan, untuk membangun industri berat termasuk dari nonindustri itu berasal dari industri berat. Itu kenapa kolektivisasi merupakan hal penting. Terjadi kecenderungan rekolektivasi diri baik di lingkungan pertanian dll. Rekolektivasi bisa berkembang di masa teknologi. Sistem demokrasi Baru Mao terasa manfaatnya, "menghancurkan ide tentang orang hebat dan berkedudukan." Rakyat mensentralisasi diri.

Industri atau perdagangan lebih tua daripada kapitalisme muncul di Eropa. Artinya tak bisa menyamakan industri/perdagangan dengan kapitalisme. Kapitalisme ada syarat ekopol, kekuasaan kelas tertentu terhadap institusi kolektif, negara. Salah satu kekeliruan Salvador Allende membiarkan alat negara dipegang oleh kapitalis, sehingga muncul Augosto Pinochet baru.

Tantiana mengatakan, Jack Ma pengusaha besar dunia itu anggota partai. Hubungan dengan Indonesia, sebelum Mao meninggal banyak orang dilindungi di Tiongkok. Tapi pas zaman Deng Xiaoping, orang Indonesia diusir. Partai yang dipilih kaum revisionis itu dikhianati. Kapitalisme yang dibangun di China itu sekarang kapitalisme kronis, karena punya hubungan dengan penguasa (pengangguran di China lebih dari 20℅ dan tak diumumkan). Di Indonesia juga begitu. Padal Mao selalu membela massa dan revisionis itu membelakangi massa. Bagaimana kaum revisionis menyabotase. 



DISKUSI:

Daniel Sihombing mengapresiasi adanya diskusi yang menarik ini. Daniel posisinya lebih netral, dia belajar dari tradisi kiri di luar, diskusi tentang sosialisme Tiongkok sangat minim. Salah satu yang ia pelajari, di CPA (Communist Party of Australia), prosesnya sangat sulit. Untuk jadi anggota juga gak mudah. Ada begitu banyak partai komunis dunia yang berelasi dengan Tiongkok. Dari pengalamannya tak demikian. Di Aussie ada program untuk studi banding terkait partai komunis. Partai-partai komunis yang ada di solid map ada di mana-mana. Mereka secara rutin bertemu. Buku ini harapannya bisa memperkaya sosialisme Tiongkok. Belum ada yang sekuat RRC dalam mengancam imperialisme. Apa RRC punya potensi membebaskan negara-negara tertindas?

Tantiana menjawab, China udah partai kapitalis. Yang ngomong aktivis Tiongkok, sensornya sangat kuat yang melawan kapitalisme Tiongkok. Sensor luar biasa terjadi pada Maoisme yang baru. Masalah lain, membedakan partai adalah soal penghisapan. Negara sosialis menghancurkan penghisapan manusia atas manusia. Di Tiongkok setelah Deng Xiaoping naik, banyak hak buruh yang diamputasi. Misal Suar Suroso, tahu-tahu setelah di Tiongkok, malah ngomong apakah salahnya pabrik ngambil nilai lebih? Di mana otaknya? Apalagi buruh migran banyak terjadi penghisapan. Ibrahim Isa gak pernah mengatakan penghisapan, yang diceritakan banyak kelas menengah ke atas. Buruh cuma jadi keset. "Saya nangis lihat itu," katanya. Zaman dia di sana ajarannya merah dan api. Bisa jadi penghisap sekaligus anggota partai!

Dede menjawab, tak ada hadis masyarakat sosilis. Pembangunan tak bisa dilakukan sekehendak hati. Membangun komune satu kota ala terbitan buku Marjin Kiri itu gak bisa. Revolusi bukan soal durasi. Kapitalisme sebagai individu atau kelas tak bisa mempengaruhi program 100 tahun, 1949-2049. Ada perencanaan jangka panjang yang individu tak bisa jalan.

Peserta diskusi Siauw menjabarkan, saya simpati dengan bapaknya. Ada konglomerat yang utangnya 3.000 miliar dollar, anggota komunis 30 tahun, lalu masuk bui. Belajarnya ke Harvard. Mengenai revolusi Kebudayaan terjadi kanibalisme, awal sebabnya keterusan konferensi 7 ribu orang yang mengkritik Mao. Mengekstrasi surplus pertanian desa ke kota. Banyak data yang cuma slogan, ada tulisan Tom Stone, dari berbagai data, total orang mati tercatat 35 juta. China yang populasinya besar jadi minus. Bukan karena bencana, tapi karena orang. Sekitar tahun 60-70 itu periode, tentang opini kekirian itu bukan cuma Asia tapi juga Amerika berkat dekolonisasi. Para wartawan kiri itu perlu. "Saya bisa jadi sponsor (untuk penerjemahan buku)." Tembok China itu cantik, tapi ngikutin rekomendasi Soviet untuk 10 proyek besar. "Kalau mengagungkan revolusi kebudayaan itu gak bener, saya gak setuju." Perlu membimbing pembelajaran bahasa China. Sekarang udah mase kapitalisme finansial.

Tanggapan berikutnya Iwan mengatakan, China itu kompleks sekali. Kita menjajaki sungai dengan menjajaki batu-batu. Cari kebenaran dari fakta. Yang nulis ini ngerti jiwanya China, bukan teorinya. Orang yang menang itu bisa mabuk, harus benerin cara berpikirnya. Dua cara berpikir itu akan terus hidup, benar yang dikatakan Tantiana. Janganlah kita merasa lebih pinter dari Mao dan Deng. Bukan penting kucing hitam atau putih tapi bisa nangkap tikus.

Tanggapan berikutnya Rudi dari GSPI, dirinya pernah baca, melakukan sesuatu ada landasannya. Berdisiplin pada teori. Tapi kok China ini gak lagi sosialisme. Contohnya di ketenagakerjaan tak hanya modal tapi juga tenaga kerja. Paling besar TKA itu dari China. Di China, sudah ada kapitalisme monopoli negara dan swasta. Ada birokrat yang ada di kapitalisme dan partai. Juga terjadi tusi yang melahirkan oligarki finance di China. Tidak hanya mengekspor barang tapi juga modal surplus.

Dede menyampaikan, Tom Stone belum melihat faktor iklim karena hal itu juga berpengaruh ke gagal panen. Beda daerah tropis dengan yang subtropis.

Tatiana tidak sependapat dengan Dede, bukan akumulasi ke barang berat, tapi ke alat-alat pertanian. Seperti mekanisasi pertanian, bukan kota eksploitasi desa, bukan, nei-nei. 



Poin-poin lain:
-Marx tidak pernah mengaku jika dirinya adalah marxis.
-Kebenaran itu seperti cermin besar yang dijatuhkan Tuhan ke bumi, dan siapa pun yang menemukan pecahannya mendaku seolah telah menemukan kebenaran.
-Siapa rakyat, bisa pakai analisa kelas, ala Mao, kaum buruh dan tani.
-Generasi muda diharapkan bisa meningkatkan literasi.
-Kemampuan Mao dalam membaca rakyatnya, bangsanya, itu panduan buat kota. Belajarnya melalui fakta.
-"Dalam Islam, kemiskinan dekat dengan kekufuran. Menjadikan orang lemah dan bisa digiring tak hanya fisik, tapi jiwanya juga. Dalam sosialisme, kemiskinan itu kontrarevolusi."