Rabu, 31 Januari 2018

Wartawan

Rabu (24/01/2018), di sebuah bus, ada seorang bapak yang bertanya tentang cita-cita saya, “Mbak, setelah lulus ingin jadi apa?”. Saya menjawab, “Jadi wartawan, Pak.” Lalu, bapak setengah baya berjaket kulit hitam itupun menasehati saya. Pertama, wartawan itu banyak musuhnya. Kedua, wartawan segala harus bisa, ilmunya harus luas, dan siap ditempatkan (alih-alih dibuang) dimanapun. Ketiga, semua perusahaan media cetak milik swasta, tidak ada yang negeri, dan tak ada jaminan di hari tua. Dan saya berpikir ulang. Kata-kata tersebut semakin membuat tubuh saya yang kecil menjadi semakin kecil; tapi tak menyurutkan apapun.

Jumat, 05 Januari 2018

Mengenang Kakung Yon Koeswoyo

2018 seperti bukan tahun yang ramah bagi dunia permusikan Indonesia. Setidaknya ada dua keping duka yang saya baca sampai tanggal 5 Januari ini: 1) Edisi cetak Rolling Stone Indonesia bubar; 2) Musisi idola bapak, Yon Koeswoyo meninggal. Saya punya kenangan pribadi yang cukup dalam dengan grup musik Koes Plus. Sejak kecil, vokal Yon Koeswoyo yang unik, jernih, dan khas sering saya dengar.

***

Koes Plus adalah musik pertama yang kukukenal sebelum kumengenal karya musik-musik lain saat kecil. Bapak sering memutarnya, entah di pagi hari, siang, atau malam. Lewat kaset atau dia mainkan sendiri. Entah yang liriknya Indonesia, Jawa, atau yang "Why Do You Love Me". Tak hanya Bapak, keluarga besar Bapak di Bojonegoro pun pecinta Koes Plus, lagu-lagu mereka jadi lagu wajib yang dinyanyikan saat kumpul besar keluarga, sembari bapak/Lik Yon/Lik Heri memainkan organ. Sungguh, mereka seperti Bambang Sunaryo Bersaudara. 

Suara Mbah Kung Yon bagiku ada ciri khas sendiri (magis, jernih, berkarakter) yang memberi ruang spesial di bagian sub musikku, Cak Nun menyebutnya sebagai unikum. "Unikum membuat seseorang yang memilikinya berposisi sebagai fenomena. Ia memiliki dan menciptakan kursinya sendiri di dalam jiwa kita." Aku sepakat jika Koes Plus disebut sebagai musisi kehidupan, bukan musisi bentukan ala studio, textbooks, dan skolastik. 

Lagu mereka sangat merakyat, mudah dicerna, nada yang oke punya, suara jernih, dan selalu menghadirkan perasaan yang sosial, guyub, dan meski mellow tetap trasenden, seperti di video "Cintamu Telah Berlalu" karya the head brothe of Koes Bersaudara, Tonny Koeswoyo ini--yang karya musiknya udah ribuan. Koes Plus membalut simbol-simbol di dalam lirik menjadi begitu egaliter dan semua menerimanya, seperti pada lagu "Bunga di Tepi Jalan" yang bermaksud untuk tak hanya mengentas derita bunga-bunga yang bekerja di pinggir jalan, tapi sekaligus memuliakannya di lirik "biarlah kan ku ambil sebagai penghias rumahku". 

Koes Plus sekarang hanya menyisakan Mbah Kung Yok Koeswoyo. Bahagia dulu pernah melihat konsernya sekali pas acara dies natalis Akamigas Cepu. Dia sudah tua, tapi semangatnya tetaplah semangat kehidupan. Koes Plus telah memposisikan diri untuk mengalir dan hidup bersama "mereka", semua lapisan kelas.

***

Salah satu Pop Jawa yang sering bapak putar di rumah

wong arep, ngundhuh klopo, ora biso menek
Mbok ojo, kondo kondo, klapane elek
Sore sore, lungguh ngebuk, do mangan tempe
Ojo ngece, omah gubuk omahe dewe 


RIP Kakung Yoon... Terima kasih suara kakung udah nemeni saya sejak kecil. Lewat lagu-lagu yang sering bapak putar. Di Jogja pun saya selalu menantikan konser reinkarnasi Koes Plus lain di Gardena lantai 4.. Atau gank bapak-bapak pas konser kecil di Kecamatan Gondokusuman yang joget-joget dan nyanyi-nyayi nyanyiin lagu Koes Plus.