Madura mempunyai tradisi keagamaan yang kuat, yang muncul sebagai dampak dari proses Islamisasi yang panjang di pulau tersebut, mungkin bisa kita bandingkan dengan temuan Islam di Banten dan Aceh. Setidaknya, ada dua bentuk Islam yang bisa diidentifikasi di Madura: budaya santri dan non-santri. Tradisi pesantren dan menjadi santri merupakan budaya Muslim mayoritas di Madura, pendukung Islam yang global, Islam Sunni. Sementara, budaya non-santri merupakan minoritas di Madura, yang masih terpengaruh dengan sistem kepercayaan mistis.
Penulis artikel ini menggambarkan tiga elemen utama dunia santri di Madura: lembaga pendidikan Islam, kelompok Islam, dan pemimpin Islam. Kiai merupakan aktor utama dalam hubungan sosial-kemasyarakatan di Madura. Bersama dengan kelompok pemimpin lokal lainnya, seperti blater (orang kuat setempat) dan klebun (kepala desa), mereka menjadi perantara sosial, politik, ekonomi, dan budaya, yang fungsinya memberikan kontribusi tersendiri terhadap dinamika masyarakat.
Yanwar berikutnya menggambarkan bagaimana pesantren menjadi inti dari pendidikan Islam di Madura. Pesantren merupakan istilah yang menunjukkan pendidikan agama tradisional, dalam proses pengajaran, dan dikelola oleh ulama (pemimpin agama). Setidaknya ada tiga peran utama pesantren dalam komunitas Islam: pusat penyebaran ilmu agama, penjaga tradisi Islam, dan pusat reproduksi ulama. Fungsi pesantren ini sama seperti surau atau langgar kalau di daerah lain. Menurut catatan Kemenag, ada sekitar 1.195 pesantren dengan jumlah santri sebanyak 677.384 jiwa pada tahun 1977. Jumlah ini meningkat drastis pada 2003-2004 dengan jumlah mencapai 9.338 pesantren dan 1.770.768 santri.
Di Madura, Bangkalan dan Pamekasan disebut sebagai kota santri, sebagaimana daerah Madura lain seperti Sampang dan Sumenep. Seperti pada tahun 2006, Bangkalan mempunyai 205 pesantren dengan jumlah 34.013 santri putra dan 30.013 santri putri. Sementara jumlah kiai laki-laki pesantren ada 2.427 dan jumlah kiai perempuan ada 1.283 jiwa. Salah satu faktor penting mengapa pesantren ini terus hidup di Madura adalah karena kemampuan mereka yang bisa beradaptasi secara cepat dalam berbagai perubahan situasi tanpa kehilangan karakteristik dasar tradisional mereka.
Banyak pesantren modern di Madura juga telah menggabungkan pengajaran Islam dan ajaran-ajaran yang sekuler. Selama masa Orde Baru, sebagian besar pesantren telah mengembangkan pola pikir yang dinamis dalam merespons perubahan kepemimpinan Soeharto, dengan mengikuti rencana pembangunan dan administrasi baru. Proses modernisasi ini menjadi bukti partisipasi masyarakat pesantren di dalam politik. Meskipun kiai di Madura memiliki kecenderungan mendukung Partai Persatuan Pembanguan (PPP).
Yanwar mengambil studi kasus di Bangkalan, di mana Pesantren Demangan dan Pesantren As Shomadiyah menjadi tempat yang mengukuhkan aspirasi politik masyarakat pada era Soeharto. Di Sampang, Pesantren At Taroqqi dengan Kiainya Kiai Alawy Muhammad juga memberikan fungsi yang sama. Mereka menjadi pendukung PPP untuk menang. Sementara di Sumenep, area seperti Prenduan dan Guluk-guluk dianggap lebih ortodoks dalam keagamaan dibandingkan dengan daerah Madura lainnya. Juga daerah dengan penganut Muhammadiyah, berupaya untuk memurnikan tradisi Islam, dan tidak diterimanya bid'ah yang melanggar hukum.
NU memiliki dampak yang besar bagi Madura. Seperti pada pemilu 1971, jumlah suara di seluruh wilayah di Madura, sebanyak 817.561 memilih Partai NU dan 300.399 memilih Golkar. Bandingkan dengan Provinsi Jawa Timur, sebanyak 4.379.806 memilih Partai NU, dan 6.837.384 memilih Golkar. Sejauh ini NU memang menjadi organisasi Islam terbesar di Indonesia. NU didirikan pada 31 Januari 1926 di Surabaya oleh para kiai, termasuk Kiai Hasyim Asy'ari dari Jombang dan Kiai Wahab Hasbullah dari Surabaya.
NU memandang fungsinya sebagai penjaga tradisi suci dengan tetap menjaga empat ajaran mazhab, meskipun mazhab Syafi’i-lah yang mayoritas dianut umat Islam Indonesia. Sebagai tambahan, terkenalnya Kiai Kholil di Bangkalan juga digunakan oleh pemimpin NU untuk meningkatkan perasaan bangga di antara pemimpin Islam Madura, dengan menekankan bahwa Kiai Hasyim Ashari, Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Bisri Syansuri, dan Kiai Maksum, merupakan murid dari Kiai Kholil.
Pesantren di Madura juga mempunyai kesamaan dengan yang ada di Jawa dengan mengajarkan kitab kuning sebagai buku klasik pengetahuan Islam. Pesantren secara eksklusif dimiliki oleh kiai atau keluarga kiai, yang para aktornya merupakan pemimpin agama. Pondok didirikan untuk memfasilitasi santri yang rumahnya jauh. Sementara, anak-anak Madura yang lebih elite memiliki pilihan sekolah yang lebih sekuler.
Berdasarkan pandangan banyak santri di Madura, menjadi Muslim berarti menjadi simpatisan NU. Ini menjadi identifikasi yang kuat bahwa NU tidak secara otomatis mereka secara resmi menjadi anggota organisasi. Mereka dianggap dilahirkan sebagai Nahdliyin yang lurus, yang akan menjaga ajaran Islam Sunni dan taat pada kiai. Ini berarti juga, tidak memilih partai NU atau yang berhubungan dengan NU sebagai dosa. Mundurnya NU dari PPP pasca Pemilu 1982 juga menyebabkan kebingungan dalam konteks lokal. Ketidakpastian ini dikarenakan banyak kiai, tidak seperti kiai di Jawa, masih berafiliasi dengan PPP.
Sejumlah kiai di Madura menilai memilih Golkar berarti pengkhianatan terhadap Islam. Hasilnya, PPP tetap menjadi satu-satunya partai yang berhak memilih. Untuk menghindari kebingungan, kiai memutuskan untuk mengambil sikap yang lebih pragmatis dan membujuk kaum Nahdliyin untuk memilih partai yang membela dan memajukan nilai-nilai Islam. Hal ini dianggap Nahdliyin sebagai imbauan untuk memilih PPP.
Setelah Orba bangkrut, banyak kiai di Madura menjadi lebih pragmatis mengenai orientasi politik mereka. Pada dua kali pemilihan umum tahun 1999 dan 2004, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menjadi partai yang didukung oleh tokoh NU dan mendapatkan kemenangannya di seluruh kabupaten di Madura.
Para tokoh agama juga tidak menolak berbagai elemen budaya seperti karapan sapi yang sebenarnya bertentangan dengan syariah.
Adat lain di NU yaitu istighosah, muktamar, dll. Seorang Madura dengan bangga bercerita bahwa Gus Dur menyampaikan, 99 persen masyarakat Madura adalah pengikut NU, dan hanya 1 persen yang Muhammadiyah. Kisah ini sebagai cerita melebih-lebihkan terkait penolakan terhadap Muhammadiyah.
Dalam era kontemporer di Madura, ada beberapa tipe kiai. Kiai pesantren dianggap menempati puncak tertinggi. Ada pula kiai tarekat, kiai dukun (untuk berobat), dll. Kiai sebagai agen sosial-politik-budaya di Madura.
Di Madura, Kiai Kholil tidak hanya dianggap sebagai wali, tetapi juga ahli bahasa Arab, ahli fiqh, dan memiliki kekuatan mistis. Dia dihormati sebagai figur penting dalam pembentukan komunitas santri di kepulauan Indonesia.
Masyarakat Madura senantiasa menjaga nilai-nilai sakral yang dimilikinya, seperti tiga unsur utama budaya santri, pesantren, NU dan Kiai mempunyai pengaruh yang besar terhadap masyarakat, baik dalam ranah keagamaan maupun duniawi.
Apalagi ketiga unsur utama budaya santri inilah yang membentuk jaringan keagamaan di Madura. Jaringan-jaringan tersebut dikendalikan oleh para kiai yang seolah-olah menjadi penghubung vital antara ketiga elemen di atas.
Ikatan penting kedua adalah antara pesantren dan NU. Berbeda dengan Muhammadiyah yang sekolah formalnya tersebar di seluruh tanah air, NU tidak pernah banyak membangun sekolah formal. Kiai NU meyakini pesantren, bahkan dalam bentuknya yang paling modern sekalipun, masih merupakan tempat paling tepat untuk melakukan pembelajaran agama dan pendidikan sekuler. Mereka juga percaya bahwa mendirikan pesantren akan membantu menjaga reputasi pribadi kiai sebagai penjaga nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika hingga tahun 1974, jumlah lembaga pendidikan berbasis agama (pondok pesantren dan madrasah) di Madura lebih banyak dibandingkan jumlah sekolah umum.
Yang terakhir adalah ikatan antara NU dan kiai. NU telah membekali para kiai dengan jaringan luas yang menghubungkan kiai dengan para kiai dunia yang lebih luas. Organisasi ini juga telah memperkenalkan kiai kepada dunia politik dan kesejahteraan sosial. Sebaliknya, NU menikmati jumlah yang besar dari warga desa ke partai politik dan kemudian ke partai politik yang berafiliasi dengan NU seperti PPP, PKB atau PKNU. Dukungan Kiai juga ada telah berperan dalam membiayai acara-acara rutin NU, seperti pengajian agung atau tabligh akbar (tabligh agung, istilah tabligh berarti dakwah dakwah Islam).
Perlu diingat pula, situasi umum di perdesaan Madura tidak lepas dari konflik, tidak hanya antara pegawai desa dan kiai, tetapi juga antar individu. Pedesaan dibagi ke dalam kelompok yang terpisah-pisah dengan orientasi dan kepentingannya sendiri. Pemerintah daerah melalui stafnya telah berusaha mengurangi pengaruh politik kiai selama pemilihan umum. Sayangnya, melalui jaringan pesantren dan NU, kiai kemudian menanggapi kekuasaan pemerintah, termasuk dengan menjauhkan diri dari kekuasaan pemerintah. Hal ini menciptakan situasi aneh, faktanya kiai dibutuhkan oleh pemerintah untuk menjamin kelancaran politik di tingkat akar rumput. Ini sebagaimana yang diamati oleh Elly Touwen-Bouswma bahwa di tingkat desa, dukungan kiai merupakan kunci untuk melibatkan masyarakat desa dalam pelaksanaan program pemerintah.
ABSTRAK:
Tulisan ini membahas tiga institusi dalam budaya santri Madura: pesantren (sistem pendidikan tradisional Islam), Nahdlatul Ulama (NU), dan kiai (otoritas tradisional Islam). Tiga elemen ini telah mengkarakterisasi dan menjadi pusat bagian bagian dari Islam dan politik di Madura. Permasalahan yang diangkat dalam paper ini adalah hakikat pesantren, peran NU, dan kiai dalam keseluruhan tradisi santri Islam di Madura. Bagaimana hubungan masing-masing elemen ini? Pertanyaan kuncinya: Apakah Islam di Madura berbeda dari Islam di tempat lain di Indonesia? Hari ini tampak jelas dalam persepsi pendidikan modern, orang-orang Madura tetap menjaga nilai-nali sakralnya, ketiga hal yang disebut di atas memiliki pengaruh yang besar di dalam masyarakat, baik dalam ranah keagamaan maupun duniawi. Masyarakat membagikan pandangan bahwa hukum Islam (syaria) merupakan hal yang fundamental dalam kehidupan kesejarian dan harus berintegrasi dalam berbagai aspek kehidupan. Meksipun sebagaimana Islam di tempat lain, karakteristik Islam di Madura tidak terlepas pada aspek-aspek seperti mistisisme dan budaya lokal.
Pribadi, Yanwar. "Religious networks in Madura: pesantren, Nahdlatul Ulama, and kiai as the core of santri culture." Al-Jami'ah: Journal of Islamic Studies 51.1 (2013): 1-32.
Link: https://aljamiah.or.id/index.php/AJIS/article/view/151
#31daysofindonesianscholars #yanwarpribadi #madura #religiousnetworks #nahdlatululama #santri #culture
PROFIL SCHOLAR:
Yanwar Pribadi merupakan dosen di UIN Sultan Hasanuddin Banten dan sekretaris di Fakultas Studi Islam Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Depok. Beliau menyelesaikan studi S1 di jurusan Sejarah Universitas Padjajaran, kemudian MA dan Ph.D di Universitas Leiden Belanda. Minat penelitiannya: politik kontemporer Islam, ekspresi Muslim Urban, politik perdesaan, jaringan agama, dan sejarah Islam kontemporer. Pernah menjadi visiting fellow di KITLV, SOAS, Alwaleed Centre for the Study of Islam in the Contemporary World di Universitas Edinburgh. Buku beliau yang penting untuk dibaca, "Islam, State and Society in Indonesia: Local Politics in Madura".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar