Rabu, 13 Maret 2024

Indonesia's Original Sin: Mass Killings and Capitalist Expansion, 1965-66 - Hilmar Farid

Di dalam buku-buku sejarah rezim Soeharto, pembunuhan setengah juta anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan gerakan kiri pada tahun 1965-66 dianggap sebagai agenda di luar rencana. Pembunuhan pentingnya saat itu sebenarnya mengacu pada pembunuhan enam jenderal dan letnan tentara di Lubang Buaya pada 1 Oktober 1965. Hingga saat ini, rezim memperingati pembunuhan ini setiap tahun dengan sebutan Hari Kesaktian Pancasila. Menggunakan wahana buku teks, film, dan perjalanan lapangan ke museum, rezim mencoba membikin masyarakat berterima kasih bahwa Soeharto telah merebut kekuasaan untuk menyelamatkan negara dari tindakan kecurangan dan pengkhianatan. Buku propaganda komprehensif ditulis oleh tentara-sejarawan Nugroho Notosusanto dan jaksa penuntut umum, Ismail Saleh. Keduanya mengubah pembunuhan massal sebagai "pemberontakan" dan militer itu sendiri bahkan dianggap tidak berhubungan dengan pembunuhan tersebut.

Yang cukup mengejutkan, banyak akademisi yang tidak mempunyai kepentingan khusus dalam mendukung rezim tersebut, mendukung klaim mereka bahwa pembunuhan tersebut disebabkan oleh konflik yang sudah berlangsung lama di antara warga sipil. Iwan Gardono Sujatmiko (1992) barangkali menjadi penulis Indonesia pertama yang menulis disertasi terkait pembunuhan massal. Dia menyimpulkan bahwa pembunuhan massal itu tak terelakkan sejak PKI kehilangan arah yang salah, saat partai itu menjadi musuh rakyat. Antropolog Clifford Geertz (1995) juga berpendapat dalam memoarnya bahwa pembunuhan itu bukanlah hasil dari kekerasan negara. Kejatuhan Soeharto pada tahun 1998 dan banjirnya buku sejarah baru tidak menjurus pada kebangkitan yang serius terkait pembunuhan tersebut. Hermawan Sulistyo (2000) dalam bukunya terkait pembunuhan massa di Jawa Timur, kembali pada garis rezim Soeharto: hal ini merupakan "konsekuensi logis" dari konflik pahit yang sudah ada sebelumnya antara PKI dan partai politik saingannya.

Dalam sesi pertama esai ini, Hilmar berargumen bahwa pembunuhan massal mewakili suatu kasus vertikal yang berhubungan dengan kekerasan birokratik. Dia merasa perlu menuliskan outline ini singkat sejak banyak scholar Indonesia yang bahkan berhubungan dengan reformasi anti-Soeharto, yang secara absurd menjelaskan jika pembunuhan massal sifatnya horizontal, spontan, dan tergesa-gesa. Kebaruan yang dia tawarkan di sesi pertama, terpisah dari wawancara oral dengan mantan anggota PKI, adalah analisis pembunuhan massal sebagai kasus dari kekerasan birokratik, yang dibuat seolah-olah seperti kekerasan yang bersifat spontan. Sesi kedua, berkonsentrasi pada pembunuhan massal sebagai dasar pertumbuhan kapitalisme di Indonesia. Dia mengubah pandangan pembunuhan dari awalnya narasi masyarakat yang primitif menjadi akumulasi primitif.

"The mass killings and arrests, the expropriation of people from their houses and lands, and the elimination of working-class political formations, were integral parts of an economic strategy of the clique of army officers who were seizing state power."

Dengan tekanan dari perusahaan tambang dan perkebunan, hubungan antara represi politik dan strategi ekonomi akan terlihat jelas. Soeharto dan tentara sekutunya mengorkestrasikan represi dan tekanan dengan perebutan kekuasaan, mempromosikan pertumbuhan kapitalis, dan menguatkan ekonomi Indonesia pada Barat (melawan program anti-imperialisme) yang digagas oleh Soekarno. Mereka merencanakan adanya utang luar negeri dan investasi dari Barat. Kemudian rakyat dipisahkan dari sarana produksi dan subsistensinya.

Negara militer yang dihasilkan dari perluasan teror kampanye mengabdikan dirinya untuk mempromosikan kepentingan domestik dan modal asing. Semenjak negara militer Soeharto sepenuhnya tergantung kepada bantuan asing (hingga akhirnya mengalami overdosis pada akhir 1990an), pertumbuhan ekonomi kemudian menjadi legitimasi yang mengharmonisasikan kepentingan itu dengan modal. Ini bisa dipahami dalam berbagai literatur, jika ekonomi-politik Indonesia di bawah rezim Orde Baru secara radikal berubah dari masa ekonomi zaman Soekarno. Richard Robison (1986) mencatat, ekspansi kapitalisme setelah pertengahan 1960an memungkinkan kemenangan politik militer dari PKI dan rezim Soekarno. Kapitalisme di sini tidak hanya dilihat sebagai masalah kaum borjuis, atau melihat kelas pekerja yang bekerja di pabrik untuk mendapatkan gaji, tetapi mengikuti Marx sendiri, kapital sebagai relasi sosial yang melibatkan pembentukan kelas pekerja dan reproduksinya tahun ke tahun sebagai sebuah populasi yang bekerja di bawah komando mereka yang mengendalikan kapital.

Pada minggu-minggu setelah G30S, Soeharto dan kroninya di tentara mampu melakukan pengorganisasian efektif, teror negara karena mereka telah mengontrol seluruh tentara dengan dukungan material dari asing, khususnya Amerika Serikat (AS). Setelah Soeharto mendapatkan mandat dari Soekarno pada 1 Oktober, untuk membawa restorasi dan keamanan, maka yang sebenarnya terjadi yaitu pergantian hampir semua pemimpin puncak dalam tentara dan militer di luar Jakarta. Dia merancang tim investigasi di setiap tingkat militer untuk menahan personel militer yang terdeteksi berhubungan dengan G30S. Target pertamanya adalah dua batalion tentara, pasukan tentara, anggota Angkatan Laut, Angkatan Udara, yang dianggap sebagai loyalis Soekarno. Soeharto juga mengendalikan media dengan mengambil alih stasiun radio, menutup koran-koran dan penerbitan. Bahkan di Antara, ratusan jurnalis dipecat dan dipenjara.

Kelompok Soeharto menggunakan kuasanya terhadap media untuk mempromosikan citra PKI sebagai binatang buas. Media menyirkulasikan kisah terkait kekerasan sadir para jenderal di Lubang Buaya, termasuk pencukilan mata, mutilasi kelamin, hingga kesenangan orgiastik (gila) yang menimbulkan rasa sakit. Kampanye teror Soeharto didesain tidak hanya untuk membuat masyarakat membenci PKI, tetapi juga merasa diancam oleh mereka. Di berbagai daerah Indonesia, tentara mendeklarasikan bahwa telah menemukan daftar PKI yang akan dieksekusi, yang bahkan mereka tidak ada hubungannya dengan politik komunis. Media memberitakannya secara sensasional dan terpabrikisasi.

Alih-alih mengkonsolidasikan kekuatan untuk meraih kekuasaan sebagaimana propaganda militer, pimpinan dan anggota PKI serta organisasi massa lainnya yang berhaluan kiri menjadi pasif dan bingung kala itu. Mereka bahkan tidak sadar apa yang terjadi dan diambil dari peristiwa I Oktober. Anggota dan pendukung biasa dari organisasi kiri juga bahkan tidak yakin dan bingung, tak tahu apa yang mesti dilakukan. Kondisi menjadi mencekam, ada jam malam, orang-orang mencoba menyelamatkan diri masing-masing. Beberapa kembali ke kampung, dan beberapa tetap bertahan. Situasi yang jelas adalah tak adanya kader atau anggota gerakan kiri yang siap membuat konfrontasi dengan militer. Kemudian, bagaimana Gerwani, CC-PKI, BTI, dihancurkan.

"It is often noted that every large-scale killing is preceded by a dehumanization of the victims."

Komunis Indonesia didehumanisasi sehingga publik tidak melihat komunis sebagai kawan rakyat, tetapi hanyalah para iblis yang membawa pada ateisme dan sadisisme. Anggota PKI adalah pembunuh bahaya dan siap untuk dibunuh. Namun, poin yang perlu dikenali adalah, atmosfer dan situasi ini dihasilkan oleh militer. Konflik sosial sebenarnya terdiri dari serangan unilateral. Anggota dari partai dan gerakan organisasi kiri menawarkan secara fisik tanpa perlawanan untuk melawan kantor dan rumah mereka.

Militer Indonesia mengorganisasikan paramiliter, kelompok warga negara yang berpartisipasi pada kampanye teror. Militer memobilisasi kelompok pemuda non-komunis di seluruh Indonesia untuk melawan kekerasan yang berhubungan dengan PKI. Publik figur yang berasal dari organisasi Muslim seperti Ansor (sayap kanan NU), meminimalisasi konfrontasi yang terjadi antara PKI dan tentara. Masuknya paramiliter dan organisasi masyarakat ini membingungkan beberapa akademisi, karena kurangnya sumber. Sementara kelompok ahistoris menganggap memang sudah naturalnya rakyat melawan konflik dengan kekerasan. Ini tidak hanya salah, tapi juga menyesatkan, karena mengganggu pandangan kita dari aktor penting pada kekerasan 1965-66, salah satunya militer.

Ketika melihat secara lebih dekat peristiwa 1965-66, bagaimana di daerah-daerah seperti Sumatra Utara militer mulai memprovokasi kelompok pemuda non-komunis untuk menyerang pendukung PKI dengan mengatakan bahwa PKI akan membunuh mereka. Di Jawa Tengah juga demikian. Di berbagai kesempatan, mereka yang tidak mengikuti gerakan melawan PKI dianggap sebagai pendukung PKI dan akan menjadi korban mereka sendiri. Dari wawancara Hilmar dengan mereka yang telah ditahan, korban ada yang mengaku "dibon", yakni daftar nama yang digunakan untuk mengeluarkan mereka dari penjara kemudian dibunuh di suatu tempat. Bahkan korbannya tidak tahu apa salah mereka, dan dipaksa bersumpah ini dan itu.

Bingkai umum yang sering digunakan dalam memahami pemusnahan massal 65 adalah diskursus Hak Asasi Manusia (HAM). Menggunakan instrumen hukum HAM sebagai parameter, sayangnya ada blindspot nyata hubungannya dengan negara atau kekerasan militer terhadap perjuangan ekonomi. Pembunuhan yang terjadi di perkebunan di Sumatra Utara, lebih dari kekerasan terhadap HAM, juga bagaimana pekerja direduksi kehendaknya, kapasitasnya untuk melawan pemilik perkebunan.

Di sini Hilmar menegaskan, akumulasi primitif harus dipahami sebagai sesuatu yang, selain menjadi titik awal kapitalisme, juga kembali lagi dan lagi, sebagai landasan atau prasyarat dasar yang diperlukan untuk tahapan akumulasi kapital selanjutnya. Ini terulang kembali secara khusus ketika krisis. Pemisahan produsen dari alat produksi dan penghidupannya merupakan ciri penting akumulasi primitif melalui kekuatan ekonomi ekstra secara langsung, khususnya yang terjadi pada tingkat negara. Ini bisa dilihat bagaimana Jawa sepanjang penjajahan ketika tanah dan sumber daya dirampas dari rakyat, pajak dipertinggi, dan membuat rakyat menjadi orang yang tak memiliki tanah.

“Here, I do not want to delve into the question on the origins of capitalism in Indonesia and the creation of a proletariat. I only wish to contend that the extermination of 1965–66 represents one specific, epochal moment in the history of capitalism in Indonesia, a moment that is written in ‘letters of blood and fire’.”

Pada saat program reformasi lahan awal 1960an, sekitar setengah juta hektar tanah pertanian didistribusikan kembali oleh tentara lokal dan perkantoran (Utrecht 1970). Kemudian pada masa Revolusi Hijau, program ini membuat petani miskin meninggalkan pola tradisional mereka, meninggalkan kampung, mereka yang menolak akan dianggap sebagai anggota BTI. Di Jawa, statistik menunjukkan angka petani miskin yang kehilangan tanah meningkat lima kali lipat pada periode 1973-80.

Pekerja menjadi target kekerasan 1965-66. Operasi pembersihan termasuk industri, perserikatan kiri dilakukan. Penahanan dan pembunuhan massal secara dramatis mengubah relasi kekuasaan antara kapital dan buruh di tempat kerja.  Kemudian, jumlah serikat pekerja dan anggotanya secara drastis berkurang setelah 1965. Pemerintah menutup semua serikat independen dan disatukan ke dalam kontrol serikat pemerintah. “Satu fakta yang sering diabaikan adalah bahwa tentara menciptakan kembali kerja paksa setelah tahun 1965.”

Para survivor kemudian diteror dan kehilangan pekerjaan, rumah, tanah, pensiun, dan kepemilikan mereka. Keluarga mereka juga sebagian kehilangan pendapatan. Para tapol yang lepas dari penjara tidak mendapatkan pekerjaan di sektor publik atau perusahaan swasta, karena regulasi larangan bagi mantan tapol untuk bekerja. Anak-anak mereka juga menghadapi kesulitan dengan perundungan. Pelaporan berkala juga harus dilakukan.

Kekerasan sistematis juga terjadi pada perempuan pada konteks ini. Terutama yang dialami oleh Gerwani yang dianggap menyiksa dan menghukum para jenderal pada peristiwa 1 Oktober 1965 dengan cara memulitasi tubuh dan memotong kelamin sembari menari dan bertelanjang.

"The military state was subconsciously imagined as a beast around which one must tiptoe and whisper. It was such fear that made people acquiesce to mistreatment, from forced labour to unequal work relations, from land grabbings to military violence against women."

ABSTRAK:

Mengacu pada gagalnya gerakan Oktober 1965, pasukan militer Indonesia mengorganisasikan salah satu sejarah kelam abad 20, pembunuhan besar-besaran lebih dari setengah juta orang dan ribuan lain dipenjara bertahun-tahun ke kamp konsentrasi. Paper ini mengangkat dua hal penting, pertama, pembunuhan adalah fakta kekerasan negara meskipun usaha itu dibuat seolah-olah kekerasan yang bersifat spontan. Kedua, pembunuhan besar-besaran ini krusial bagi ekspansi kapitalisme di Indonesia. Menggunakan konsep dari Karl Marx terkait akumulasi primitif, paper ini berusaha menunjukkan bahwa fenomena pembunuhan massa dan penahanan, perampasan tanah dan rumah, dan pembersihan politik kelas pekerja serta formasinya, merupakan bagian integral dari strategi ekonomi di masa Orde Baru.

Farid, Hilmar. "Indonesia's original sin: Mass killings and capitalist expansion, 1965–66." The Inter-Asia Cultural Studies Reader. Routledge, 2015. 207-222.

Link: https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/1462394042000326879

PROFIL SCHOLAR:

Hilmar Farid merupakan sejarawan, pengajar, dan aktivis. Menyelesaikan S1 Sejarah di Universitas Indonesia (UI) dengan judul skripsi "Politik, Bacaan dan Bahasa Pada Masa Pergerakan: Sebuah Studi Awal". Lalu gelar doktor di National University of Singapore (NUS) pada bidang kajian budaya, dengan disertasi "Rewriting the Nation: Pramoedya and the Politics of Decolonization" (2014). Saat ini juga bekerja sebagai Dirjen Kebudayaan di Kemendikbud, Dosen di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), dan Komisaris Utama Balai Pustaka. Website beliau: hilmarfarid.id.

#31daysofindonesianscholars #hilmarfarid #indonesia #sin #capitalism #culturalstudies #65

Tidak ada komentar:

Posting Komentar