Senin, 31 Maret 2014

Study Pentas Teater Lakon "TUK" dan "CIPOA"

Sebelumnya, entah kalimat apa yang tepat untuk menuliskan proses panjang ini. Saya sebagai orang yang terlibat mencoba menggambarkan tentang semua yang saya (eh, “KAMI”) alami, rasakan, dapatkan, dan kompleksitasnya. Kalau pas tahap II Sanggar Nuun kemarin ada IV kelompok. Dalam tahap III ini ada dua kelompok: TUK dan CIPOA. Let’s story begin… :)
Dimulai di kontrakan Nuun tanggal 28 Januari 2014 kita berkumpul. Meski yang datang tidak banyak (karena libur UAS dan pada pulang kampung) kita diskusi tentang study pentas ini. Intinya, apa pun yang kita lakukan dengan gembira itu asyik. Disusul 2 hari kemudian bedah naskah Tuk di SC sampai SC mau tutup 2 hari kemudian lagi bedah naskah Cipoa ruangnya anak Cepedi. Hari-hari beerikutnya, tanpa libur, tiap jam 7 hingga jam 10 malam lebih, kita reading naskah bareng-bareng di depan kantin dakwah (yang dulu masih sepi, beda dengan sekarang yang ramai karena SK CafĂ©-nya serta acara-acara diskusi malam, dan aku sekarang kepikiran dengan nasib “Gorong-gorong Institute”, apakah mereka terganggu? :D). Hingga malam itu tanggal 7 Februari kita dibagi menjadi dua kelompok. Kita tutup mata kemudian dituntun ke sebuah tempat, kita bukakan mata dan teranglah kita dimana. Masih ku ingat malam itu, aku melihat bapak Munir dan mas Ilham menyambut kami. Kulihat di samping dan depanku ada Madam, mbak Aim, Kiky, Mita, Chandra, dll (aku lupa siapa aja yang datang malam itu, yang pasti ada satu anak baru bernama “Isnain” yang masuk Sanggar). Bapak bilang: “Mari bersama-sama membuat kesaksian di Magersaren. Menghidupkan Magersaren”
Agenda selanjutnya diisi dengan latihan, kerja keras, dan latihan. Dari jam empat sore sampai jam enam buat olah tubuh dan materi-materi teater. Lanjut lagi jam tujuh sampai jam dua belas malam (bahkan di TUK sampai jam satu dan dua dini hari) untuk eksekusi naskah tiap kelompoknya. Kita latihan dimana aja. Di panggung demokrasi, di depan MP, di depan kantin dakwah, di belakang SC, di parkir tarbiyah, di lorong bawah tanah, di area sport venue, dll. Rasa-rasanya hampir setiap sudut UIN pernah kita kunjungi buat latihan :) Ya, itulah Sanggar Nuun, bisa menjadikan tempat yang kurang layak menjadi layak.
 

bersambung

Sekilas Tentang Tokoh “Sum” dalam Lakon Tuk

Ini bukan bermaksud narsis-narsisan atau apa yaa? Hehehe. Karena dalam study pentas teater (lakonTUK karya pak Bambang Widoyo SP) kemarin aku meranin Sum makanya, aku nulisnya Sum, kalau aku berperan sebagai Mbah Kawit atau Mbokdhe Jemprit, akan beda lagi judulnya :D Tulisan ini juga aku tujukan kepada pelaku teater yang mungkin saja suatu hari meranin si “Sum”, kita lebih expert di tokoh yang kita perankan bukan?
Romli dan Sum
Sebelumnya, terima kasih buat suamiku Romli (a.k.a Faruqi Munif) yang menambahkan nama lanjutan di namaku yang singkat ini. Dulu, sehabis aku kesrempet mobil sampai dibawa ke kantor polisi tapi Alhamdulillah masih bisa latihan, malam itu pak Munir (sutradara) meminta kita memperkenalkan latar belakang peran kita masing-masing. Malam itu aku ditanya, nama lengkapnya siapa? Aku bingunglah, ada nama-nama yang ku kenal, dari Sumi (penjual jajan di kampungku) dan Sumiati (teman SD ku), lalu kau yang waktu itu ada di dekatku #eaa #dan kita di “suit-suitin”, memberi tawaran “Sumarto atau Sumarni?” Gila apa kau ngasi aku nama Sumarto, haha, okelah “Sumarni” nggak jelek-jelek amat. Mulai saat itu, warga se-Magersaren manggil aku “Sum, Sumarni”. Next, aku akan menceritakan latar belakang yang pernah aku imajinasikan dan aku sampaikan dulu: Sum umurnya 29 tahun. Asal Bojonegoro (ini sih asal ayah aku, haha). Pendidikan SMP. Pekerjaannya tukang cuci, dia punya tiga anak (melenceng sama Romli yang bilang dua anak, haha). Seingatku itu dulu.

Sum muncul di babak I, karakter dia menurutku ngenes. Sejak pertama kali baca dialognya Sum di naskah asli, gila nih istri, bahasanya vulgar banget, apalagi pas di dialog “Tak jejeg muntu sisan m*n*kmu”. Si Sum ngomong gini bukan tanpa alasan. Bayangin deh, kamu punya suami yang sering selingkuh, Sum tahu itu tapi dia pura-pura tak tahu. Dia sakit nge-diemin si Romli sambil berdoa semoga dia sadar. Namun apa balasannya? SI ROMLI MENGHAMILI PERAWAN. Disana puncak kemarahan si Sum. Selama latihan beberapa hari itu, aku belum bisa paham, Sum itu maunya apa sih? Sampai mas Ilham (asisten sutradara) bilang, “Bayangin, kamu lagi hamil muda dan suamimu selingkuh sampai membuat selingkuhannya hamil”. Aku denger aja udah saaakiiit banget, apalagi bayangin aku hamil muda. Bukan lebai atau apa, haha, aku tuh pernah ya, habis latihan tanggal 24 Februari, malam itu nangis di kos gara-gara bayangin jadi si Sum.

Selama pengalaman aku latihan, hal paling susah itu sebenarnya di emosi. Dan emosi dimulai sejak dari luar panggung. Tiap latihan harus marah-marah, vokal tinggi, dan teknis-teknis lainnya itu tantangan banget.

Pernah suatu hari di tengah kejenuhan, suami Sum si Romli buat gebrakan. Pas Sum minggat dia bilang gini, “Sayaaangggg, kamu mau kemana?”. What? Dia manggil apa? “Sayang”, kami pada cekikik’an di luar panggung. Beneran, baru kali ini ada yang manggil aku sayang (Helloww, bukan elo Is, tuh si Sum, wkwk). Namun, sebagai pemeran si Sum, Isma merasa tersanjung sekali #gubrak :D

Yang jadi masalah itu sebenarnya aku yang belum bisa menikmati panggung. Entahlah, di acting terparahku, saat malam itu (ntah tanggal berapa), pas pertama-tama diiringi musik gamelan. Kesalahanku masih ku-ingat: aku ngelewatin adegan Marto Krusuk, aku dialognya kecepetan, lupa dialog, blank, parah. Sampai si Faruqi bilang, “Kamu tuh tenang, nikmati panggung. Jangan kamu pikirin, kamu kebanyakan mikir, biarlah apa kata orang”. Dan aku nyurhatin hal ini pas evaluasi. Aku jujur-jujuran.

Nah, pas gladi resik, aku merasa itu penampilan terbaik yang pernah aku rasakan selama aku jadi Sum. Dimana aku bisa tenang, bisa nikmati panggung, nggak keburu-buru, dialogku nggak mblibet-mblibet, emosiku pas dan yang paling penting aku bisa merasakan di situ ada Romli suamiku (suami Sum).

Hingga puncaknya tanggal 21 Maret 2014, tepat di hari ulang tahun aku yang ke-21, kami pentas. Perasaanku campur aduk. Siang-siang pas lagi kumpul warga Magersaren gitu, karena mereka tahu aku ulang tahun, mereka godain aku sama Faruqi. Aku Cuma senyum-senyum doang, nggak salting juga sih, emang aku nggak ada apa-apa sama dia, haha. Lagian, umurnya tua’an aku (aku 93, dia 94) -_- aku udah sepakat sama diri sendiri, nyari cowok yang umurnya di atas aku, haha. Sebenarnya yang bikin aku senang tuh saat Faruqi ngucapin selamat ulang tahunnya ke aku. Pas senyum-senyum GJ, dia berdiri di depanku menghadap belakang dan melepas kemejanya. Disana, di kaos warna putihnya dia nulis kira-kira gini:

“SELAMAT ULANG TAHUN SUMARNI”

Ya Allah, siapa coba yang nggak tersipu malu. So sweet banget. Kayak terbang ke langit ke-tujuh. Di depan anak-anak lagi, Faruqi bilang: “Aku udah ngasi ini ke kamu, kamu mau ngasi apa?”. Anak-anak pada teriak: “Sun… sun.. sun..”. Dalam hati aku bilang: “apa’an sih??”. Kelakar-kelakar ini jadi kado indah, haha. Karena waktu itu hari jumat, anak-anak cowok pada jumatan. Dalam hati aku bilang: Makasih Qi, makasih Magersaren.

Malamnya.. saat latihan terakhir. Eksekusi di depan penonton. Aku sedih banget, motivasiku malam ini entah menguap kemana. Dari adegan lempar piring yang gak neror. Sampai aku masuk panggung, padahal cuma ini doang kesempatan aku, porsiku nggak banyak. DIINGAT atau DILUPAKAN.

“Tenag-tenang… kamu tadi kecepetan. Kamu yang tenang yaa” kata Faruqi. Makasih udah buat aku tenang. Dan, aku bisa menikmati peranku lagi di dialogku terakhir. Saat minggat bawa magic com dan tas besar sambil bilang: “Duh Gusti, Ya Allaaah, aku ra kuat. Mbah Kawit, aku pamit”. Si Romli pakai improve dialog segala lagi, “Sumarni sayaaangg kamu mau kemana? Jangan pergi sayaang, aku janji tak akan selingkuh lagi”. But, it hears romantic in my ear.. :D

Dan pas evaluasi, aku senang dikritik. Sama Pak Dhe Untung (seorang aktor, seniman, yang pernah berproses bareng WS Rendra. Meski beliau sudah berumur, tapi semangatnya keren). Beliau mengkritik intinya: 1) Saat adegan pertengkaran, itu aktor vokalnya tinggi, kecepatan tinggi, maknanya jadi hilang. 2) Irama kurang diolah, irama dan pemenggalan sama. Saat tutup mata jenuh. “GERRR” dari penonton itu bukan berarti sukses, ada unsur lain yang membuat “GERRR”. *dan esoknya pas evaluasi Cipoa, dapat kritikan lagi* 3) Di Magersari, bertengkar seperti itu, meski sedikit saja, bisa jadi tawur. Sutradara harus pinter meng-intrepretasi itu (merujuk pak Munir, aku yang meranin ngrasa “…..”). Dan kritik-kritik tak terdengar lainnya.

Dan sekarang, saya sudah legowo dengan semua yang terjadi di panggung. Mungkin juga baru pertama kali yaa, ya, setidaknya saya tahu dimana letak kesalahan saya :) Seperti kata Mas Ilham dulu: Nggak usah disesali, nggak usah ngrasa bersalah :D

Itulah, sedikit pengalaman yang bisa aku bagikan tentang Sum, Sumarni. Aku juga tidak menyangka, Sumarni itu nama tantenya mas Zulfan, ada lagi yang bilang nama ibunya Doni (Tivri “Cipoa”), haha.
Terakhir, aku mengucapkan terima kasih tak terhingga buat seluruh tim produksi, ntah apa kata yang tepat untuk mengucapkan terima kasih. Rasanya ingin saya katakan pada dunia: "Saya bangga berproses di Sanggar Nuun". Dan secara pribadi aku mengucapkan terima kasih untuk Mas Aji Duta dan temannya yang udah mau jauh-jauh datang dari ISI Solo cuma buat menghadiri undanganku di pentas perdana TUK Sanggar Nuun ini. Terima kasih Mas Aji buat ilmu-ilmunya, masukan-masukannya, cerita-ceritanya. Malam itu kau bilang: “Jika tidak ada proses, aku malah sakit”. Rasa-rasanya memang begitu. Selamat berrproses disana yaa, di tempat yang keren, berharap September nanti aku bisa memenuhi undanganmu :)

Djogja, 31 Maret 2014

Minggu, 30 Maret 2014

Review Film Tentang “Jurnalisme Investigasi”

Tanggal 4 Februari 2014 kemarin (udah lama banget), aku diajak sama anak-anak LPM Arena ke basecamp Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI). Jam setengah 8-an malam itu masih kuingat, kita bareng-bareng kesana, dibelaiin muter-muter gara-gara gak apal jalan :D Dihadiri mahasiswa-mahasiswa pers kampus di Yogyakarta. Daripada tulisan tentang film ini karatan di laptop, mending aku bagi-bagi aja :) Film ini dibagi menjadi lima babak.

Pertama, tentang Jurnalisme Investigasi itu sendiri. Sejarah-sejarah yang dirintis pers Indonesia dalam melakukan jurnalisme investigasi dari zaman orde lama hingga masa kini. Dari pembredelan dan tokoh-tokoh yang berjuang melahirkan tulisan investigasi. Tokoh-tokoh tersebut diantaranya: pimpinan redaksi Sinar Harapan Aristides Katoppo yang mengisahkan tentang keluarga cendana. Bondan Winarno yang mengusut tentang kasus busang dan bunuh diri jadi-jadiaan Michael de Guzman. Dan dari media elektronik tentang investigasi reporting yaitu Dadi Sumaatmadja dalam acaranya Metro Realitas yang tayang di Metro TV. Banyak hal kecil yang bisa di-investigasi menjadi hal menarik.

Kedua, tentang profil jurnalis. Mengisahkan siapa dan bagaimana jurnalis (investigasi) itu. Ada Yuliwati (wartawan majalah Tempo), yang meng-investigasi tentang aborsi illegal dan tentang mewahnya penjara Artalita Suryani. Dari media layar kaca ada Johan Heru (repoter Metro Realitas) yang ingin memberikan sesuatu lain daripada yang sudah beredar. Ada pula kisah dari wartawan majalah Tempo yang lain, Metta Dharmasaputra yang meng-investigasi tentang korupsi yang terjadi di Asian AGRI, sebuah perkebunan dan perusahaan kelapa sawit. Ia juga bercerita tentang rintangan-rintangannya, dari disomasi, disadap, sampai diteror.Kata dia (mengutip seorang tokoh), “Kita boleh lelah tapi jangan menyerah. Kita boleh kalah tapi jangan takluk.” 

Ketiga, tentang perencanaan peliputan (investigasi). Di majalah Tempo sendiri, Wahyu Dhyatmika menuturkan urutan-urutan melakukan reportasi. Dari ide kemudian dicari bahan mentah dan dokumen (seperti video, catatan, testimoni). Bahan mentah dan dokumen ini kemudian diverifikasi. Setelah itu menentukan sumber babon/utama. Kemudian dilakukan rapat besar, pembabatan dan penentuan angle, pembagian tugas (yang meliputi daftar narasumber, daftar pertanyaan, daftar dokumen). Setelah lengkap dilakukan penulisan dan terakhir editing. Sebagai tambahan sebelum dilempar ke publik, naskah itu diserahkan ke lawyer/seseorang yang mengerti tentang hukum dan jurnalistik agar tidak punya celah untuk digugat. Lain dengan Tempo, reporter investigasi media elektronik Dadhy Dwi Laksono punya langkahnya sendiri Ada lima langkah dari membentuk tim multispesialisasi, melakukan riset, menentukan angle, merancang strategi eksekusi, dan menerapkan skenario paska publikasi.  

Ke-empat, tentang Metode Penelusuran. Ada tiga metode investigasi. Pertama material trail, yaitu berupa dokumen, foto, rekaman, audio. People trail, yaitu siapa-siapa aja yang terlibat. Ketiga, money trail, yang merupakan motif utama segala masalah. Bahkan, kliping-kliping koran yang mengabarkan orang-orang kaya yang meninggal itu bisa berguna sebagai sumber dokumen. Investigasi itu tidak lepas dari menyamar. Menyamar itu ada tiga jenis. Dari melebur (menjadi bagian dari subjek), menempel (memanfaatkan subjek lain sebagai kuda troya), dan berjarak (tidak berinteraksi, mengamati dari jauh). 

Kelima, tentang etika dan hukum. Seorang jurnalis harus mematuhi kode etiknya sebagai seorang jurnalis. Paling sedikit ada empat kode etik yang harus dipenuhi. Pertama, jangan mau disuap. Kedua, jangan melakukan plagiat. Ketiga, jangan membuka identitas narasumber. Ke-empat, jangan menulis kebohongan yang Anda tulis sebgai kebenaran.

Sabtu, 22 Maret 2014

21th

Kak Ginan: Selamat ulang tahun isma. semoga kamu selalu dalam lindungan Allah dan dipermudah untuk mendapatkan kemudahan yang mudah. teruslah jadi isma swatiningrum yang keren. kamu belum mencaapai langit tertinggi, terbanglah terus dengan perbuatan baik dan pikiranmu yang canggih. (y)

Mas Sabiq: creatip is the child who surpipe,,, just keep playing above the grave...
nice old-day.

Selasa, 11 Maret 2014

If You Are Actor, Show Who You Are


“Setiap kita memberikan pengalaman gerak pada tubuh, maka otak akan semakin cerdas.” Ya, begitulah kata Mas Elek Suwek sore itu. Setiap rangsangan gerak yang diberikan pada tubuh menggulirkan baling-baling otak kita berputar. Kita menjadi cepat mengambil keputusan, cepat dalam bertindak. Latihan adalah sebuah bentuk kontinuitas. Dilakukan tiap hari, jika perlu menjadi kebiasaan. Misalkan bicara menggunakan nafas perut. Saat sudah terbiasa, di panggung nggak perlu mikir ‘ini udah gunain nafas perut belum?’. Kalau kata Pak Sutradara aku, bapak Munir, ‘tidak hanya biasa, tapi menjadi naluri’. Pas malam itu (7/3) kita latian nafas pakai sedotan, biuh… gila sensasinya, hirup nafas pakai hidung, dikelurkan lewat sedotan yang dipasang dalam mulut, sikap kaki kuda-kuda. Kita terengah-engah, pusing, serasa mau semaput. Pak Munir bilang apa coba? “Kalau mau pingsan, pingsan sekalian. Mari kita nekat-nekatan, meski di teater nggak ada asuransi!”. I think that is happy process to conquer oneself. Let’s we find the sensation of theatre. Show your creativity! Your idea! Your spirit!
 
Dan latihan malam ini (9/3), aku menemukan sensasi itu sendiri. Perjalanan spiritualku ikut berteater. Legowo adalah salah satu kunci berteater. Sekecil dan sesingkat apa pun peran kamu jangan berkecil hati. Satu pesan yang akan selalu teringiang terus dalam otak aku, dulu Mas Okta pernah bilang, “Tidak ada peran yang kecil, adanya aktor yang kecil”.  Aktor professional akan melakukan sebagus dan sebaik mungkin peran yang diberikan, sekecil apa pun itu. Dan saat diberi porsi banyak, “show who you are”. Kebanyakan, rekan-rekanku sering down ketika bolak balik di cut. Entah mimik, respon, atau semangat mereka. Ntah kenapa aku sebaliknya, diulang 100 kali pun aku siap. Karena aku tahu itu untuk kebaikanku. Selama menonton teman yang acting di luar panggung dan menunggu giliran lagi, malam ini (9/3) aku merasakan sensasi itu lagi. Tiap kali aku tampil awal-awal aku merasa grogi. Ntah dihantui perassan takut, acting jelek, emosi nggak dapat, motivasi nggak jelas, bisnis acting kacau, dll. Setelah aku pikir-pikir, aku nggak sendiri, teman-teman yang latihan di panggung pun tak jauh beda. So, why you must feel like that? Just focus and preserve your concentration. Kedua, hanya sekedar mengingatkan aktor yang di panggung, “Berbahagialah kalian berdiri disana. Karena kalian lebih baik daripada kami yang cuma menonton dan duduk-duduk. Kalian punya nilai dan daya eksplor lebih. TUNJUKKAN!” Yaa, pikiran ini adalah manifestasi aku dari ke-benci-anku terhadap ke’statis’an. Dari sifat aku yang kagum pada orang yang selalu melakukan lebih dan bertindak - bersikap lebih tinggi. Perbandingannya seperti pelaku dan penonton, ‘you are actor man!’. Ketiga, semakin banyak berlatih tanpa disadari banyak yang kita kuasai dan dapatkan. Misalkan, dulu aku kesulitan banget berbicara dengan karakter orang tua seperti warna vokal Mbah Kawit dalam naskah tuk, pas latihan malam itu, nggak tahu darimana datangnya gitu, aku bisa menirukan Isti yang ber-vokal tua. Ke-empat, lebih berupa usul. Pembacaan dan penghafalan sebaiknya tidak cuma berfokus pada peran sendiri, tapi juga ke yang lain agar jika suatu hari pas latihan aktor berhalangan hadir, bisa digantikan yang lain. Bukan berarti merebut simpati atau berniat mengambil/menggantikan peran orang lain, daripada pas latihan tokoh yang berhalangan hanya bentuk udara yang abstrak mending digantiin aktor lain yang nunggu, karena menurutku lebih nyata dan real :D
"Sinbad" koleksi Sanggar Nuun

Djogja, 10 Maret 2014

Sabtu, 08 Maret 2014

Membaca Karakter Ala Mas Opik


Ini salah satu kenangan IHT 2 di Banguntapan minggu (2/3) lalu :D 
Manusia satu ini selalu menghadirkan hal-hal gila dalam hidup, haha. Siang itu habis makan, kita lagi rame-ramean gitu kan, aku, Ekmil, Anis, Oli lagi duduk-duduk. Mas Opik datang ngasi pertanyaan: ”Pernah nemuin hewan bunuh diri nggak?” pertanyaan nyleneh macam apa pula ini. Ada yang jawab pernah, tapi nggak masuk juga penyebab bunuh dirinya, haha. Dalam hati sih aku ber-asumsi secara logika umum, ‘enggak’. Jawabannya, Mas Opik ingin menyampaikan ini: “Hewan itu nggak ada yang bunuh diri. Mereka kuat.. Anjing misalnya, meski dia dihina tiap hari, dia nggak pernah tuh bunuh diri”.  Menarik sekali :D Manusia sepertinya kudhu mencontoh sifat hewan yang haram hukumnya ‘bunuh diri’.

Setelah ngajuin pertanyaan itu, mas Opik ngasi soal lagi:

 “Coba kalian urutkan kelima hewan ini: tikus, macan, sapi, kuda, kucing. Terserah…” jawaban urutan kita macam-macam. Aku jawab: “kuda, macan, sapi, kucing, tikus”. Oli jawab yang pertama sapi, yang ke-empat macan. Si Ekmil dan Anis beda lagi. Kata mas Opik apa coba? Dia bilang sama Oli, “ternyata kamu meletakkan harga diri kamu di nomor  4, haha..dan kau lebih memilihk ekayaan..” kita ketawa bareng, si Oli protes. Gila, seru banget debatnya. Kenapa aku meletakkan kuda di nomor 1, karena kuda lebih fungsional dan larinya cepet :D Kata mas Opik, “Kuda itu simbol kekuasaan” -_-. Nah, simbol yang lainnya tuh yang masih jadi rahasia… :D Dari gaya ngomongnya sih sepertinya dia ngarang, ngarang tapi pas, haha.

Trus, pertanyaan lagi: “Apa yang kalian pikirkan tentang anjing?”.Oli jawab “imut”, Anis njawab “idih”, Ekmil “…..” (aku lupa). Aku jawab “setia”. Mas Opik bilang: “Komentar itu menunjukkan diri kalian dalam menilai diri sendiri” hahaha, ini baru tepat, dan si Anis protes berat :DD “Masak aku idih sih sama diri aku sendiri” kata dia.

Pertanyaan selanjutnya: “Apa pendapat kalian tentang bunga?”. Oli:  “romantis”. Aku: “Cantik”. Anis dan Ekmil lupa -_- Selanjutnya, “apa pendapat kalian tentang laut?”Aku dan Ekmil menjawab “Luas”. Kata Mas Opik, itu simbol wawasan, #ea… berarti wawasan aku dan Ekmil luas dong? :D

Trus, terakhir nih yang kontroversial: “Apa pendapat kalian tentang kopi?”.Oli: “Manis (so sweet)”. Anis: “Bikin kecanduan”. Ekmil: “Nggak bikin ngantuk”. Aku: “………..”. And you know what he says? “Itu simbol SEX kalian” ALAMAK! Ketawa guling-guling deh, saling menertawakan. Si Anis yang digoda paling parah. Kalau Ekmil, mas Opik bilang, “Berarti kalau ngantuk, gitu-gituan yuk..”. Kalau aku rahasia pabrik aja yaa, soalnya yang satu ini mas Opik sepertinya salah (alibi gara-gara jawaban tak menuntungkan, wkwk).

NB: Teknik pembacaan ini hanylah fiktif belaka, jika ada yang ditanyakan “Situ sama Oom Opik” :D

Djogja, 8 Maret 2014

Jumat, 07 Maret 2014

Nggembel


Ingin sharing pengalaman tadi malam aja (6/3/14) :D 

Tadi malam, usai latihan sanggar jam satu malam lebih. Aku pulang ke kos, dan betapa malangnya pintu udah dikunci. Ia, sangat tabu perempuan pulang malam-malam. Aku sadar tapi aku bangga dan berterima kasih pada diriku sendiri: ‘Is, ternyata lu kuat’. Disaat teman-teman yang lain tertidur pulas dengan mimpi-mimpinya, kita teriak-teriak acting kayak orang gila. Back to topic, aku udah down mau tidur dimana. Udah beli gudeg, kopi sachet sama roti buat nemenin aku nyelesaiin tugas dan berita di LPM ARENA, eh dikunci. HP udah mampus dari siang tadi lagi. Mau tidur dimana coba? Mau ngubungin siapa coba? Gebrak-gebrak pintu ya nggak mungkin. Daerah tempat aku kos (depan UPT Balai Yasa, perumahan PT KAI yang sepi, ke-Belandaan dan banyak pohon besar) kadang-kadang buat bulu kuduk merinding.

Akhirnya ide lama bersemi kembali: nggembel di Malioboro! Ya, pertama kali aku menginjakkan kaki di Jogja, jalan sepanjang Malioboro adalah hotel luar biasa aku dan bapak (hobi nggembel sepertinya aku arisi dari bapak). Nggak peduli dilihatin orang lalu lalang, kami mengambil tempat disana untuk melepaskan tubuh yang lelah, tidur sambil dengerin musik-musik jalanan Maioboro yang tak pernah sepi hingga pagi.

Dengan tubuh yang lelah aku menuju Malioboro, musik angklung adalah elemen paling aku rindukan dari tempat ini. Yaa, seperti dugaanku, jalanan sekitar benteng Vredenburg dipenuhi oleh nyanyian-nyanyian para pemuda pemudi. Tiba-tiba mentalku kerut. Aku jadi nggak yakin mau nglakuin hal kayak dulu lagi. Dulu aku ditemanin bapak? Nah sekarang? Tempat ini serasa asing. Aku memilih berjalan terus menuju masjid gedhe Kauman (berharap bisa tidur disana). Kebetulan malam ini aku lapar. Aku beli nasi 2 ribu di warung depan masjid dan dungaren dapat banyak :D Aku masuk masjid. Di gerbang mau masuk ada pengemis yang sedang tidur. Dan apa yang terjadi? Pintu masuk ke masjid digembok!! Aku menghirup nafas panjang.

Duduk di bangunan pintu. Aku buka nasi dan gudeg, aku makan dengan sedikit tak berselera. Aku sudah tidak peduli kalau malam ini itu malam jumat. Aku berkeyakinan ‘penunggu’ masjid dan area keraton ini dihuni oleh makhluk yang baik-baik. Usai makan, aku bersandar di salah satu temboknya, memejamkan mata sebentar, melepas lelah. Olah rasa. Oh, gini yaa rasanya orang nggak punya rumah? Ini belum apa-apanya Is. Dari jauh ku lihat pintu masjid dibuka sedikit, lampu yang tadinya gelap tiba-tiba terang. Sudah menunjuk pukul 3 pagi ternyata. Daripada ntar dikira dan ditanya yang bukan-bukan aku putuskan untuk keluar. Nyari tempat lain yang lebih tepat. Tapi, cari ku cari sepanjang perjalanan. Semua tempat seolah menolakku. Di jalan ku alami juga ketakutan-ketakutan. Dari sindiran orang-orang di jalan (yang godain gitu), pengemudi motor yang nggak tahu adab membuat jantung terkejut, hantu malam jumat belum termasuk #ehnggakding.

Akhirnya, aku sampai di kos juga. Beberapa jam lagi Is pintu dibuka. Sabar.

Tanpa pikir panjang, aku tidur di depan pintu sebelah barat. Di atas paving tanpa alas tanpa bantal (tas ku isi laptop yang mati suri juga, berat banget bawanya, nggak enak juga kalau aku jadiin bantal). Kedinginan. Bersyukur ‘sedikit’ menikmati tidurku. Hingga akhirnya, jam 5 pagi-an. Pintu itu dibuka oleh mbak yang bekerja di rumah eyang (pemilik kos). Aku masuk. Tanpa basi-basi masuk kamar ambil selimut tidur!

Jam 7 aku baru bangun beneran. Bertepatan dengan kelas Mekanika jam 7 pagi. Aku cukup stress mikir. Berita ARENA tentang demo di fakultas saintek kemarin belum aku revisi juga lagi. Belum lagi DL RR (Rapat Redaksi) kemarin. Yow wis, mikir kelamaan di waktu yang sempit bakal ngrugiin banyak hal. Mandi bebek dan datang ke kelas Mekanika! Meski telat 25 menit, pak Joko masih berbaik hati mengijinkan aku masuk. Meski di kelas masih sempet molor #tak-patut #instropeksi-banyak

Usai mekanika, aku beli sayur, lauk, dan cilok. Nasi gudeg yang tadi malam masih bersarang di keranjang sepedaku, aku makan nasi itu di depan bank X yang ada di sepanjang jalan KOPMA. Sendirian. Beli gelas aqua kecil, makan cilok di pinggir jalan. Serasa nggembel lagi (dan aku menikati ke-gembel-anku)

Semoga kisah tak penting ku ini bisa memberikan sesuatu, hehe. Aku tutup dengan kalimat indah dari Ki Pandji Kusmin, kemarin warga PSDM ARENA diskusi tentang satu-satunya cerpen beliau yang keren beud berjudul “Langit Makin Mendung” (recommended banget buat dibaca :D)

“Kebahagiaan berlebihan justru siksaan bagi manusia yang biasa berjuang.”

Jogja, 7 Maret 2014