Minggu, 28 September 2014

Tentang Sunmor, Ulang Tahun Perkereta Apian Ke-69, dan Ikan

Hari ini saya untuk pertama kalinya ke Sunday Morning (Sunmor). Sekitar jam enam pagi berangkat. Saya terkesan dengan banyaknya pedagang disana yang menjual apa saja.
Saya jadi ingat ketika kecil. Khususnya saat desa lagi mengadakan ketoprak, sedikit pedagang (mainan) saja sudah membuat saya senang apalagi sebanyak itu panjangnya, rupa-rupanya.
Niat saya sebenarnya ingin merehatkan otak gara-gara saya stuck nulis tulisan buat lomba yang DL-nya dua hari lagi. Juga setumpuk kegiatan yang mengejar.
Lalu, saya membeli sesuatu yang ingin saya beli. Saya menyebut mereka teman. Sungguh sudah lama saya ingin memilikinya. Teman itu adalah: ikan. Saya membeli tiga ekor seharga Rp 2000,- juga membeli buku berjudul Jalan Terbuka karya Ali Audah seharga Rp 5000,-

Next, saya pulang dan kaget karena tak biasanya UPT Balai Yasa (sejenis bengkel/tempat memperbaiki kereta api) disana ramai sekali. Setelah setahun lamanya saya tidak pernah masuk ke bangunan Belanda itu, saya masuk. Ternyata hari ini adalah hari ulang tahun perkereta apian yang ke-69.
Disana banyak stand yang menjual barang-barang dan ada lomba menggambar juga.
Saya sedikit keliling di tempat itu. Ada kalimat menarik di sebuah temboknya: "Tiada hari tanpa produksi. Tiada produksi tanpa mutu." Saya rasa juga begitu, haha.
Kereta api itu membuatnya susah. Bahannya tak cuma besi/baja, kadang juga manusia.
Kemudian saya berjalan lagi, ada masjid Al-Ikhlas disana, di depan air mancur adalagi kalimat: "Peliharalah perusahaanmu, meski tidak membuatmu kaya setidaknya bisa membuatmu hidup." Saya berpikir, 'hidup' disini tidak sekedar bisa makan, hidup dalam arti yang luas khususnya spiritual. Saya pun pergi, kembali ke kos.
Langsung saya memindahkan tiga ikan itu ke dalam gelas aqua. Mereka sudah kuberi nama semua sesuai tokoh dalam cerita yang saya buat.
Usai mandi saya menengok tiga ikan itu lagi, ternyata satu hilang, yang namanya i. Saya berpikir mungkin dia sedang melompat. Sedih sebenarnya, saya mencoba untuk sabar. Mungkin i sedang terkapar, tapi dimana? Tak kutemukan tubuhnya.
Saat sedang nglanjutin nulis lagi, saya mendengar suara kelepak-kelepak gitu. Di dalam kardus, saya mengeceknya dan ternyata i sekarat disana. Langsung saya ambil dan saya celupkan di air lagi. Ajaib! i masih hidup. Padahal kayaknya sudah sejam dia hilang. Meski dia kecil ternyata dia kuat, haha.

#Ditulis di stand Arena pas KCF 2014 sore-sore mau hujan.

Sabtu, 27 September 2014

Lirik Lagu Kita Mungkin - Sisir Tanah

Kita mungkin bertemunya mata air
Mungkin pula sungai yang mengalir
Kita mungkin hanya jejak luka
Yang letakkan letih sebentar

Kita mungkin janji air pada tanah
Mungkin pula janji angin pada api
Hidup agar tetap membuat tumbuh
Tak padamkan setiap janji

Kumencari kau di pusat raga
Kumencari kau di pusat rasa
Kumencari kau di pusat raga
Kumencari kau di pusa rasa

Jika kau mengalir sebagai dusta, aku adalah kata
Jika kau dendam, aku sebagai damai
Jika kau berhembus sebagai maut, aku adalah waktu
jika kau dosa, aku sebagai doa
Huuuu...huuuu...... huuu...u... u.... uu

Selasa, 23 September 2014

Untuk Rakyat, Untuk Kita

Nulis ini agak telat, tapi tak apa-apa, mumpung masih ada kesempatan. Sesuatu yang berharga akan terus diingat, tapi seberapa detail mengingatnya... itu hanya terkonkretisasi lewat tulisan... Ya, ini tentang Arena, tentang Eska, tentang Sisir Tanah, tentang kritik, tentang seni, dan tentang... emm  (kamu).

Hari yang tidak pernah datar, pertunjukan "Untuk Rakyat" di bawah pohon beringin rindang depan MP diadakan. Tepatnya hari Jumat, 19 September 2014 atas kerjasama Teater Eska dan LPM Arena.

Sebelum ke acara itu aku ingin cerita sedikit tentang hari Jumat ini. Di hari ini aku ngonfirmasi proposal sama temanku, tapi tak begitu sukses. Pengalaman yang minim membuatku gelagapan. Lalu temanku mengajakku main ke kosnya. Sempit memang, tapi terasa adem dan banyak buku tentunya. Kami berdua bercerita banyak tentang sastra, pengalaman menulis, penulis keren dan karyanya, dll. Temanku ini sering mengisi acara pembacaan puisi, lomba puisi, menulis puisi. Dua puisi karyanya yang dimuat di Pikiran Rakyat juga Minggu Pagi dan siang itu ia tunjukkan padaku. Aku membacanya, keren, iri juga, haha. Ia bercerita tentang bagaimana dulu berjualan koran, jauhnya jarak ke kuliah, atau mencoba berkata pada orang tua kalau 'aku disini berkecukupan', dll. Yang aku ingat, jangan dulu cari nama, dalami proses dulu. Disisi lain, temanku berpendapat: banyak orang yang membesar-besarkan proses, tapi sedikit sekali mereka yang benar-benar 'mencintai' proses.

Sorenya, ke UIN. Aku ada kumpul Hima-Fis divisi minat bakat. Ketemu Risbay dan Meriza, agendanya adalah membuat tulisan semacam leaflet tentang fisika untuk disebarkan ke anak baru pas makrab esok pagi (sayang aku tak bisa ikut makrabnya). Kalau di sanggar sendiri acaranya penyambutan Teater Asa Semarang buat pentas di gelanggang mahasiswa (20/9).

Usai sholat magrib, agenda yang kutunggu-tunggu, pertunukan Untuk Rakyat digelar. Persiapan acara sebenarnya udah dari siang, dimulainya magrib. Lelahku hari ini terobati...
Sebelum pentas
Konsep acara ini sederhana memang, tapi memiliki arti yang bermakna melebihi konser-konser besar di hotel atau auditorium dengan pengisi acara band internasional atau jazz yang mendayu-dayu. Begitu merakyat, romantis, dan apa adanya.

Sebagai pembuka acara, kakek Rimba (Hartanto Ardi Saputro) berkisah tentang liputan yang ia lakukan mengenai para pemulung dan orang jalanan di Jogja. Ia tulis dalam tulisan "Bocah-bocah Mayeng". Rimba berkisah bagaimana ia hidup dengan mereka, bagaimana mereka tidur, konflik antar sesama pemulung, atau tentang semangat mereka yang sanggup bekerja hingga 18 jam per hari. Atau tentang kampung Mak'e. Yang dilakukan Rimba bukan bentuk pencitraan seperti reality show di TV-TV yang dalam tanda kutip malah menjual "orang kecil" itu sendiri.

Lalu ada pula penampilan dari SPOER (Seni Pertunjukan Oentuk Rakyat) dengan lagu-lagu sosialnya. Sedang dari segi puisi dan refleksi ada Roesly Khaeza, Rusli Baihaqi, Selendang Sulaiman, Shohifur Ridho Ilahi, dengan renungan dan wacananya masing-masing. Ada juga mbak Maya dengan lukisan revolusi mental, juga Habibburahman dengan monolognya.
SPOER
Habib: Tawa dari dasar sakit
Revolusi Mental
Yang dinamakan "hidup" itu seperti ini
Dan yang aku nanti-nanti adalah Sisir Tanah! Yaph, rencana main ke UIN-nya terjadi juga jumat itu #senangggg. Mas Danto datang sendiri, mengenakan style khas dia dan gitar keramatnya, haha. Mas Danto menyanyikan tujuh lagu euy, lagu yang di awal aku nggak tahu judulnya, lagu yang lain kenal: Lagu Baik, Pidato Retak, Lagu Wajib, Konservasi Konflik, Kita mungkin, dan ditutup dengan Bebal.
Kerasa banget tuh pas Mas Danto teriak: TUAN DAN NYONYA BELAJAR LOGIKA SUDAH SAMPAI MANA?!!
Mas Danto: Teriakan untuk Tuan dan Nyonya YTH
Lalu ada stand up comedy juga dari si Bikhu Miftah Farid Paulus (Ayik). Nggak jelas tuh anak, haha. Maaf ya, kalau namamu kucantumkan dalam pemberitaan. Dia ngomong tentang agent of change, ngajak syahadat bareng, memihak kepolisian, dan kisah-kisah anak-anak Eska, dari Ridho, Harik, Sabiq, Dede, Obeng, dll. Mungkin beberapa kalimat dia perlu aku tulis:
Ayik: Sedang memba'iat, haha
"Allah semakin didekati, ia akan semakin jauh. Semakin engkau menjauh pada Allah, Allah akan mendekatimu, karena kamu merasa rindu pada Dia. Yang sedikit itu akan membuat Anda merasa kurang dan ingin menambah sendiri... *Ajaran darimana coba? Tapi masih rasional*
"Ini teman saya Harikimura Sanada. Dia jomblo sejati. Mottonya dia: Kalau butuh kehangatan pakai Salonpas. Jauh dari maksiat.... *Hahahaha. Edan.*
"Di belakang saya Subakun Muhammad, dia ayah saya yang mengajari saya banyak hal. Yang sering membuat saya menjadi manusia sejati. Nasehat dia yang dia kirim ke saya: rakyat Indonesia sebenarnya kaya raya tapi sedang ditutup semen... *Setuju*
"Selama lima tahun kuliah dididik jadi miskin, masya Allah. Karena kalau tidak miskin tidak disayang negara.... *Berarti yang disayang negara orang kaya dong?*
"Kalau kawan Arena mencari nafkah lewat tulisan. Saya lewat tulisan juga, kirim SMS ke orang tua. Bu, minta kiriman uang 1,5 juta.... *Hahaha, sak karepmu*
Dan masih panjang lagi sebenarnya.
Acara dilanjutkan dengan gitaran Mas Harik yang nyanyiin lagu-lagu kala kecil, juga saudara Mas Harik, Mas Sabiq, yang duet sama Mas Abdillah menyanyiakan tembang-tembang Pidi Baiq.
Harikimura Sanada
Singing Pidi's song
Yang menjadi catatan aku pribadi adalah... benar yang dikatakan Mas Ridho, acara seperti ini itu mungkin bisa dibuat rutin dan ditindaklanjuti. Tempat berkumpul bareng, curhat bareng, penyaluran aspirasi bareng, juga senang-senang bareng tentunya, haha. Semacam apa yang dilakukan Rendra di upacara kaum urakan.

Aku bahagia.

Senin, 22 September 2014

Ikrar Damai Di Hari Perdamaian 21 September

Kemarin pas main di perpus kota, saya dapat info dari Mbak Iim di FB kalau tanggal 21 September ada aksi perdamaian bersama Aliansi Pelajar dan Mahasiswa Cinta Damai (APMCD) di Nol Kilometer YK. Entah kenapa saya tidak pernah meninggalkan moment-moment aksi seperti ini. Bisa dikatakan salah satu hobi saya adalah demo (yang anti vandalisme). Dan salah satu guru besar saya dalam demo adalah Eko Prasetyo. Saya kagum dengan apa yang Pak Eko lakukan. "Hidup itu harus ada petualangan" kredonya yang saya anut.

Siang yang panas, usai makan dan sholat, saya langsung mengayuh pit ke TKP, sendirian. Sekitar pukul satu di sana ternyata massanya belum begitu banyak. Beberapa mahasiswa membawa spanduk, banner, juga selebaran. Usai memarkir sepeda, saya mendatangi mereka. Tak ada satu pun yang saya kenal. Lalu saya mendekati tempat tanda-tangan deklarasi damai, salah seorang panitianya memberi saya spidol dan saya tanda tangan. Dari depan benteng serangan umum saya menyebrang ke depan museum batik bersama simpatisan yang lain. Saya duduk-duduk, ada seorang mas-mas tinggi berkaos merah menghampiri saya dan bertanya. "Darimana?". Saya menjawab, "Dari LPM Arena UIN." Dunia memang sempit, mas ini ternyata anak UIN juga. Namanya Mas Ngarjito, mahasiswa perbandingan agama. Dia bertugas sebagai korlap (koordinator lapangan di aksi damai ini). Lalu saya dikenalkan dengan anak-anak yang lain. Ada anak UNS juga, tapi saya lupa namanya. Mas Ngar memberi saya selebaran damai untuk dibagikan pada pengendara jalan yang lewat.
Aksi solidaritas damai

Mas Ngar (merah)-Mas Betriq (pinggir kiri)
Spanduk berisi bermacam-macam kalimat. Dari Jogja berhati damai hingga Tindak kekerasan adalah bentuk kelemahan jiwa berjejeran di tepi jalan. Makin lama massa yang datang makin banyak. Bermacam-macam mahasiswa dari UIN, UII, UGM, UKDW, UPN, juga komunitas lintas iman dan etnis bersatu.
Peace for better future
Seru. Pengalaman baru saya dapat lagi. Dari bagaimana rasanya menyebarkan selebaran pada pengendara sekaligus memperhatikan respon mereka, sampai Mas Ngar memberi saya naskah puisi untuk dibacakan di pinggir jalan. Saya juga memegang spanduk bertulis: Dunia damai karena perbedaan. Di samping saya juga berdiri mahasiswa cowok yang tak hentinya berorasi (meski orasinya diulang-ulang kata-katanya, haha).

Aksi dilakukan hingga pukul tiga sore. Puncaknya adalah menyanyikan lagu Tanah Air Beta dan pembacaan Ikrar Damai yang isinya:
  1. Perbedaan adalah sebuah anugerah dari Tuhan yang harus dirayakan dan dihormati.
  2. Perdamaian dimulai dari diri sendiri.
  3. Menghilangkan prasangka adalah awal dari mewujudkan perdamaian.
  4. Perdamaian adalah kondisi yang bebas dari situasi kekerasan dan diskriminasi.
Ikrar damai ini draft--nya dibuat oleh Mas Betriq Kindy Arrazy (koordianator umum aliansi) lalu dievaluasi, dikoreksi, dan dimodifikasi oleh tim pengonsep ikrar yang diwakili oleh masing-masing komunitas yang tergabung dalam APMCD.

Saya berkesempatan wawancara juga sama Mas Betriq. Satu hal yang berkesan adalah dengan kritis Mas Betriq mempertanyakan ulang slogan Yogyakarta yang bilang: Yogyakarta berhati nyaman (damai). Slogan itu dibenturkan dengan kasus-kasus diskriminasi orang-orang Papua, kasus Cebongan, juga kasus Florence. Menurut Mas Betriq, masyarakat yang kritis adalah masyarakat yang tidak terhegemoni oleh slogan-slogan. Ia memberikan dua tawaran atas persoalan ini, yaitu: pertama, memangkas prasangka. Prasangka yang ada dalam benak masyarakat adalah bentuk kejahatan pemikiran. Jika dalam berpikir saja sudah mulai jahat, apalagi dalam melakukan tindakan. Kedua, masyarakat perlu bersikap terbuka dan jujur sehingga terjadi arus informasi dan komunikasi yang bisa diterima secara objektif oleh pihak-pihak yang berbeda.

Yogyakarta (yang damai), 22 September 2014
 Is

Rabu, 17 September 2014

Diksi “Cinta” yang Kelelahan


Merasa beruntung sekali bisa hadir di acara bedah buku Maha Cinta karya Aguk Irawan. Sekilas saya membaca pamphlet pengumuman sendiri, dari judulnya yang tentang ‘cinta’ saya skeptis isinya pasti tentang kisah-kisah ingusan yang banyak berceceran di FTV-FTV. Begitu membaca testimoni dari Goenawan Mohamad tentang novel itu saya jadi ‘ngeh’, apalagi salah satu pembicaranya adalah salah satu penulis besar yang dimiliki Indonesia, yang sosoknya dulu hanya bisa saya bayangkan dalam gugusan huruf bernama Ahmad Tohari dalam novelnya Ronggeng Dukuh Paruk. Juga sastrawan (atau filsuf) yang agak gila dari Madura bernama Kuswaidi Syafi’e.

Novel Maha Cinta
Di seminar ini seolah saya disodori perspektif dan alternatif baru tentang apa itu C-I-N-T-A. Yang jauh dari apa yang diumbar-umbarkan sinetron, lagu-lagu pop, atau celotehan kafe. Karena diksi ‘cinta’ yang begitu agung seperti diperkosa hingga ia kelelahan, saking seringnya dikatakan dan mengudara menjadi diksi berbau gombal dan intermezo. Larat makna.

Kuswaidi di awal berujar, penulis novel itu seperti Tuhan. Ada aktor, suasana, acting, plot, karakter yang dibangun. Ia tak ubahnya Tuhan kecil yang menciptakan dunia sendiri (writer is a little god).

Cinta bisa menukar malapetaka. Dalam cinta, nikmat adalah sengsara dan sengsara adalah nikmat itu sendiri. Cinta menumbuhkan keabadian yang menembus kefanaan. Imran (tokoh dalam novel) jasadnya boleh fana, tapi ‘cinta’nya akan tetap membahana. Kisah dalam novel Aguk menurut Kus bukanlah cinta ingusan tapi cinta sufistik yang mengalahkan alam semesta. Dan uniknya lagi, orang yang terserang penyakit cinta, ia tak ingin sembuh dari penyakit cinta (karena merupakan kenikmatan yang tak terkira). Duri paling duri sekalipun adalah duri yang paling nikmat. Kus menambahkan, karena sastra adalah bahasa simbol yang minta untuk dijamah, pembacalah yang menimbulkan makna. Semakin cerdas pembaca yang ia memiliki simpanan ilmu yang kaya maka akan semakin menimbulkan makna yang lebih besar.

Sedangkan dari Pak Tohari, ia berceloteh tentang kisah cintanya di masa lalu. Saat itu gadis yang dicintainya jadian dengan seorang penerbang. Lalu ia pulang dan patah hati. Tohari lalu menulis puisi, cerpen, dan sejenisnya untuk gadis yang dicintainya itu. Ajaib, gadis itu berpaling ke Tohari.
Bahkan dalam salah satu novelnya yang berjumlah 400-an halaman, novel yang berbicara tentang cinta itu nir kata cinta! Saking Tohari ketakutan menulis kata ‘cinta’ yang begitu agung. Cinta itu ilahi. Motivasi terciptanya alam semesta adalah cinta. Jika ada yang bilang “aku sayang kamu” itu gombal, yang benar adalah “aku birahi pada kamu”. Cinta lebih mengena jika kita mengungkapkannya lewat bahasa tubuh. 

Aguk sendiri bercerita jika novel ini lahir dari kisah nyata gurunya. Hebatnya hanya dalam 14 hari bisa tercipta novel setebal itu (bajigur). Yang nyentuh juga ada sebuah ayat yang menerangkan, jika seseorang memiliki cinta yang langgeng maka ia mati syahid. Bagi saya ini ‘sesuatu’ sekali, haha. Saya (atau Anda) bisa saja mati syahid hanya gara-gara setia mencintai seseorang sampai mati. Menurut Aguk, kenapa dalam asmaul husna tidak ada ‘yang maha cinta?’ karena cinta adalah rangkuman dari asmaul husna. Dengan nada menyesal Aguk sedih betapa murahnya ia mengumbar cinta dalam bukunya sendiri.

Diceritakan pula bahwa pernikahan hanya melegalkan nafsu. Pernikahan adalah akad (jual beli), maka ada kredo yang mengatakan nikahi si A karena ketampanan, kecantikan, harta, keturuanan, dan lain-lain. Tapi jika cinta, ia tak harus menikah. Ia berdasar ketulusan dan tak meminta aprosiasi apapun. Cinta hanya dipinjamkan bagi orang yang hatinya bersih. So sweet juga dengan kisah Rasulullah, bahwa istri yang paling beliau cintai sebenarnya adalah Khadijah bukan Aisyah. Meski Aisyah lebih cantik, lebih cerdas, dan lebih lainnya. 

Yang menyentuh hati saya juga adalah kisah dari Aguk yang mengatakan bahwa 'dengan menulis saya bahagia'. Ia berpacaran dengan laptop, tidak peduli nanti akan dibuang atau apa tulisannya.. Dalam menulis ada imajinasi yang membanggakan. “Bahagia adalah ketika hati kita hidup, menulis dengan cara bahagia. Menulis adalah penghayatan yang paling total,” tutur Mas Aguk.

Kritikan tajam menurut saya datang dari peserta bernama Fajar. Ia berkata jika sangat disayangkan sekali kalau isinya bagus tapi judul dan covernya ngepop. Dari penerbitnya sendiri bilang jika penerbit memerlukan oplah, karena yang booming sekarang adalah Mahadewa (Mahabarata) maka judul novel ‘dimiripkan’ dengan novel itu. (Naif).

Kembali berbicara tentang cinta, ada pepatah yang mengatakan: dalam lintasan cinta semua orang bisa jadi seniman.  Semoga dengan kehadiran novel Aguk ini (yang kata Tohari ditulis dengan bahasa yang menyanyi) cinta kembali menemukan dirinya atau ia malah semakin kelelahan?

Minggu, 14 September 2014

Mbento Ning Ndalan

Pagi tadi sekitar jam setengah sembilan, Sanggar ada agenda observasi. Sebelumnya kita mengenakan baju yang lain dari keseharian. Bajunya unik banget. Kayak si Wahyu yang memakai kebaya, celana pendek coklat preman yang berhias unik. Madam yang makai sarung. Mila yang makai celana aladin merah. Mbak Isti yang modis banget, baju koko putih, kain merah yang dibentuk indah banget di pinggangnya, dan kain penutup kepala warna merah. Dia mirip bunda Teresa saat muda mungkin, haha. Jevi dengan baju kuning bulu milik Menik pas pentas TUK dulu. Dan busana-busana aneh yang lain.
Setelah prep, lalu kita berjalan satu-satu dari arah UIN sampai Tugu Jogja. Bisa dibilang mirip orang gila... Aku sendiri pakai celana biru pudar, sedikit sobek di dengkulnya. Trus jaketan warna putih, dan ditambah kemeja kotak-kotak yang kebesaran...
Pak sutradara sebenarnya menyuruh kita menyadari eksistensi kita di depan publik. Bagaimana pandangan orang-orang terhadap kita. Bagaimana respon tubuh yang diberi sebuah kejutan dengan memakai dan melakukan sesuatu yang di luar kebiasaan? Juga untuk mendalami peran kita masing-masih di pentas Oktober nanti. Entah sebagai aktor, deklamator, atau narator. 
Pengalamanku sendiri, sesekali aku berteriak mengucapkan isi dialogku. Namun aku benar-benar ingin jadi orang gila. Merasakan jadi orang gila kayak apa. Aku ambil bunga indah warna kuning, aku pasang di telinga. Lalu ada cabang pohon kecil, aku ambil aku putar-putar kayak peri. Trus aku berimajinasi sendiri di jalan. ngomong terus... Tentang masa lalu, tentang cinta, tentang apa pun yang kuingat dan membekas di hatiku saat itu. Orang-orang di jalan melihatku. Aku tak peduli. Aku hanya ingin jadi orang gila, sensasinya menyenangkan. Semacam terapi juga... (Meski aku sedih aktingku gagal, seorang bapak parkir bilang aku ini mahasiswa universitas X yang sedang OSPEK).
Ngedan sithik
Puas
Aku bahagia... Makasih untuk tatapan-tatapan hari ini... Makasih untuk perjalanan hari ini bersama awak Sanggar Nuun... Makasih untuk tawa yang tiada henti di depan CH kemarin, kita main kucing-tikus... Makasih Allah, terima kasih...
Last, Selamat Ulang Tahun ke-20 sahabatku...

Jogja, 14 September 2014

Selasa, 09 September 2014

Kumpulan Absen

Antara Thevenin dan Norton
Aku merasa khawatir

:jika kuliahku hanya sekumpulan absen.

Jogja, 09.2014