Senin, 01 April 2024

Unquestioned Gender Lens in Contemporary Indonesian Shari‘ah-Ordinances (Perda Syari'ah) - Dewi Candraningrum

Menanggapi terkait Perda Syariah, tidak semua umat Islam sebenarnya setuju dengan aturan tersebut karena dianggap hanya mewakili satu dari banyak tafsir (mazhab) dalam Islam. Aturan ini juga dianggap sebagai proyek politik, bukan proyek keagamaan, dan lebih banyak membahas terkait isu-isu yang sifatnya tak berwujud seperti moralitas dan pelestarian budaya; alih-alih menyelesaikan masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, korupsi, dan pengangguran.

Ditambah lagi, aturan-aturan syariah sebelumnya lebih sibuk mengatur bagaimana perempuan berpakaian dan berperilaku di publik. Perempuan Muslim menjadi sasaran empuk dalam menanggung moral bangsa. Sebagian orang telah membajak agama untuk mendapatkan kekuasaan politik dalam pengesahan Perda Syariah, dengan memikul beban ganda pada tubuh perempuan. Lebih parah lagi, perempuan dipisahkan dari masyarakat berdasarkan pakaian yang harus dikenakan serta larangan berada di ruang publik setelah pukul 22.00. Dewi dalam paper ini membahas dilema terkait Perda Syariah yang menimbulkan perpecahan signifikan d kantong-kantong sosial di Indonesia. Fokusnya pada keberatan yang diajukan oleh aktivis perempuan, yang mengkritik bahwa materi hukum fomral Perda Syariah tidak sensitif gender dan tidak adil.

Penelitian terkait Islam di Asia Tenggara masih sedikit dilakukan, baik oleh sarjana Islam internasional maupun sarjana Asia Tenggara sendiri. Robert Hefner menyampaikan, secara historis, kawasan Asia Tenggara termasuk yang terbaru dalam bergantung dengan kafilah peradaban Islam. Sehingga sarjana lebih memilih budaya dan tradisi kawasan Timur Tengah yang dianggap lebih tua dan autentik. Ini sangat disayangkan karena umat Islam menjadi mayoritas penduduk Asia Tenggara.

Dewi mencermati pula, kemampuan umat Islam dalam menjalankan demokrasi tidak hanya pada tataran prosedural, tapi juga pada elemen dasar seperti ideologi pluralistik, masyarakat sipil, dan modal sosial. Umat Islam Indonesia sendiri mempunyai sejarah panjang dalam pengembangan demokrasi, meskipun ada beberapa aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok ekstremis, yang berpotensi menjadi sarang terorisme global. Berbagai penelitian juga menyebut, meningkatnya tren penggunaan bahasa dan simbol Islam untuk legitimasi tindakan kekerasan. Misalnya terlihat pada perang Jihad Muslim vs Nasrani di Ambon dan Poso, dengan korban ribuan jiwa. Teror yang terjadi ini memberi kesan yang salah untuk media internasional kaitannya kekerasan bisa menjadi pilihan untuk menegosiasikan kepentingan mereka.

Perdebatan yang muncul kemudian, wajah ganda perkembangan terkini di kalangan umat Islam di Asia Tenggara muncul ketika negara-negara Muslim menentang tren demokratisasi global. Sejumlah ahli menilai, ketidaksuburan demokrasi di negara-negara Muslim dikarenakan struktur agama dan budaya Islam. Sebagian berpendapat, Islam dasarnya tidak sesuai dengan nilai-nilai dan praktik demokrasi, karena tiga alasan.

Pertama, Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, dan tampaknya tidak mungkin bagi komunitas Muslim untuk mengembangkan sistem, lembaga, atau mekanisme apa pun di luar batas agama. Tidak ada sekularisasi dalam Islam dalam hal pemisahan politik dari agama, artinya dalam Islam kehidupan politik diatur oleh dogma agama yang memberi ruang terbatas bagi rasionalitas dan kemanusiaan, juga kreativitas.

Kedua, tidak adanya proses sekularisasi dalam Islam masyarakat mencegah munculnya dua lembaga dasar yang penting untuk demokrasi, yaitu negara-bangsa dan masyarakat sipil. Sejarah panjang Islam menjadikannya bersifat kliental dan hierarkis.

Ketiga, sejarah panjang konfrontasi antara dunia Islam dan Barat, membawa kecenderungan anti-Barat yang spesifik dalam budaya Islam. Sentimen ini menguat setelah penghapusan Islam Khilafah dan impotensinya dalam menghadapi modernitas barat. Sentimen anti-Barat juga telah berkembang, yang membuat umat Islam cenderung menolak segala produk budaya Barat termasuk demokrasi.

Partisipasi umat Islam Indonesia dalam kancah demokrasi juga diperebutkan dengan hadirnya proses desentralisasi di 423 kabupaten sejak tahun 1992. Gerakan yang paling menonjol yaitu pencarian identitas Islam dalam pembentukan Hukum Syariah yang dimaknai secara simbolis dan transkriptual. Regulasi ini belum menyadari pentingnya persoalan gender dalam praktiknya. Proses Islamisasi Hukum yang populer dengan istilah formalisasi syariat di Indonesia, menimbulkan keprihatinan mendalam di kalangan masyarakat domestik dan internasional setelah disahkannya Perda Syariah yang berlandaskan Islam.

Menurut data, hingga akhir tahun 2007, ada tidak kurang 63 kabupaten telah mengesahkan Perda Syariah. Umumnya, hukum syariah dirancang untuk mengatur tiga aspek kehidupan masyarakat: (1) memberantas kejahatan sosial yang berkenaan dengan prostitusi dan perjudian, (2) menegakkan ibadah-ibadah ritual seperti solat, puasa, dan membaca Al-Qur'an, (3) mengatur cara berpakaian masyarakat di ruang publik, terutama jilbab bagi perempuan. Ya, meskipun Islam merupakan agama mayoritas, tetapi non-Muslim juga ada di kalangan Indonesia, sehingga pengesahan Perda Syariah mengkhianati konsensus nasional yang telah disepakati oleh para founding fathers republik ini.

Di sisi lain, tidak semua umat Islam setuju dengan regulasi tersebut karena hanya mewakili satu dari banyak mazhab Islam. Regulasi ini dianggap sebagai proyek politik, bukan keagamaan, yang lebih banyak menangani masalah tak berwujud berupa moralitas dibandingkan masalah sosial, seperti kemiskinan, korupsi, pengangguran, dll.

Proses desentralisasi yang berkembang setelah kejatuhan Soeharto menciptakan aspirasi yang disuarakan gerakan politik Islam. Daerah-daerah dengan kantong Islam yang kuat seperti Aceh, Padang, Banten, Jombang, Bulukumba, Sumbawa telah meresmikan aspirasi politik Islamnya dengan mengesahkan Perda Syariah. Regulasi ini didasarkan pada UU Nomor 10/2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Di satu sisi, ini kabar baik bagi daerah untuk menyusun aturannya sendiri, tetapi di sisi lain, kabar baik ini tidak diikuti dengan penyusunan Perda yang berperspektif gender, yang peran ini malah disebarluaskan oleh aktor-aktor kecil seperti LSM-LSM perempuan. Proses desentralisasi di sisi lain juga mengancam, karena anggaran kesehatan reproduksi dipangkas dibanding pemerintahan sentralistik sebelumnya, dan kebebasan yang ditawarkan dalam proses pembuatan Perda Syariah menyebabkan objektifikasi perempuan dalam pengesahan beberapa peraturan daerah.

Konstruksi gender kemudian mengalami perubahan besar seiring dengan perubahan yang terjadi. Spektrumnya merentang dari perspektif patriarki hingga liberasi. Tubuh perempuan direbutkan dalam kancah politik, perdebatan muncul, LSM perempuan yang berbasis di perkotaan menolak RUU Anti-pornografi karena pandangan patriarki dalam penyusunan RUU tersebut. RUU itu menyebut tubuh perempuan sebagai sumber godaan yang harus diatur, sementara penontonnya tidak diatur.

Perbedaan konstruksi gender pun terjadi. Ada kelompok yang menganggap jika narasi keperempuanan didominasi oleh ungkapan kitab suci tanpa membaca kembali secara kritis konstruksi patriarki dalam penafsiran kitab suci. Di sisi lain, narasi besar harus ditinjau kembali dan diperbarui agar sesuai dengan konteks sejarah di mana regulasi berada.

Komnas Perempuan mencatat sekitar 48 peraturan yang diilhami dari penafsiran literal-kitab suci, Al-Qur'an dan Hadis. Peraturan-peraturan ini terutama mengatur tentang bagaimana perempuan harus berdandan, berperilaku di depan umum, pelarangan perempuan masuk ke ruang publik setelah pukul 10 malam. Seperti Perda Kabupaten Bulukumba Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pakaian Muslimah, yaitu menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Perda lain yang sejenis juga terjadi di Enrekang, Surat Kebijakan Bupati Cianjur, Kabupaten Solok, Instruksi Walikota Padang, Perda Maros, Perda Gowa, dlsb. Bahkan tanggung jawab moral juga menimpa perempuan pekerja migran, atas seruan moral membayar retribusi pada Pemda, alih-alih Pemda melindungi hak migran.

Sebanyak 63 dari 423 kabupaten dan kota di Indonesia kini telah memberlakukan peraturan berbasis syariah. Dilema Perda Syari'ah di kalangan umat Islam di Indonesia sebenarnya terletak pada penafsiran syariat yang berbeda-beda. Dari perspektif teologis, dua kutub yang menonjol yaitu konservatif dan progresif telah berkontribusi terhadap dinamika perdebatan syariah. Yang kurang dari kedua gerakan sebelumnya adalah dari sisi politik, yaitu gerakan perempuan Islam yang bisa mengakses dan mempengaruhi kebijakan publik. Gerakan politik gender di organisasi Islam Indonesia masih sangat rendah. Supremasi laki-laki dalam menafsirkan syariat telah menciptakan kesenjangan besar dalam kepemimpinan perempuan dibandingkan laki-laki. Dengan kurangnya kepemimpinan gender di arena politik, perlawanan perempuan di tingkat masyarakat sipil masih terus berlanjut dan semakin berkembang.

ABSTRAK:

Partisipasi umat Islam Indonesia dalam kancah demokrasi, kini diperebutkan dengan hadirnya proses desentralisasi di 423 kabupaten sejak tahun 1992. Gerakan yang paling menonjol adalah pencarian identitas keislaman dalam peremajaan syariat yang dimaknai secara simbolis dan transkriptual. Peraturan-peraturan ini belum menyadari pentingnya lensa gender dalam praktiknya. Tidak kurang dari 63 kabupaten telah mengesahkan Perda Syariah pada akhir tahun 2007. Ada tiga aspek kehidupan masyarakat yang diatur dalam peraturan tersebut: (1) pemberantasan kejahatan sosial khususnya prostitusi dan perjudian, (2) menegakkan ibadah-ibadah ritual di kalangan umat Islam seperti membaca Al-Qur'an, solat Jumat berjamaah, dan puasa Ramadan, (3) mengatur cara berpakaian masyarakat di ruang publik--khususnya jilbab bagi perempuan. Meskipun Islam merupakan agama mayoritas, namun ada pula non-Muslim di kalangan masyarakat, Indonesia sendiri secara konstitusional bukanlah negara Islam, karenanya, pengesahan Perda Syariah mengkhianati konsensus nasional yang telah disepakati oleh para founding fathers Republik ini.

Candraningrum, Dewi. "Unquestioned Gender Lens in Contemporary Indonesian Shari ‘ah-Ordinances (Perda Syariah)." Al-Jami'ah: Journal of Islamic Studies 45.2 (2007): 289-320.

Link: https://www.aljamiah.or.id/index.php/AJIS/article/view/72

#31daysofindonesianscholars #dewicandraningrum #perdasyariah #women #gender #kontemporer #hukum #desentralisasi

PROFIL SCHOLAR:

Dewi Candraningrum merupakan aktivis perempuan dan seniman kelahiran Boyolali, 12 September 1975. Menyelesaikan S1 di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), S2 di Universitas Monash Australia, dan S3 di Universitas Muenster Jerman. Dewi pernah menjadi pemimpin redaksi Jurnal Perempuan (2014-2016), serta menjadi pengajar di pengajar di UMS dan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dia juga pendiri dan koordinator Jejer Wadon Bentara Budaya Surakarta, serta menulis dan mengedit buku kajian terkait ekofeminisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar