Sabtu, 30 September 2023

Petualangan Sherina 2 (2023): Hidup Mendewasa Itu Susah dan Banyak Masalah

Kesan pertama lihat layar film Petualangan Sherina 2 saat nonton di Gama Plaza Jakarta, yaitu, "Hidup mendewasa itu susah dan banyak masalah." Warna dan situasi layar sangat berbeda dibandingkan dengan PS 1 yang sangat rural, Bandung, dan katakanlah "perumahan". Di layar pertama, aku sudah disambut oleh duniaku keseharian akan Jakarta: beton-beton yang keras, menara pencakar langit, kostum-kostum profesional, KRL yang penuh, jalan raya yang macet, dan bekerja menjadi jurnalis. 

Kenapa semua hal itu jadi sangat dekat dengan diriku? Sherina juga membuka film dengan menyanyi di jalan raya bahwa hidup itu membahagiakan beserta semua rasa optimistisnya. Belum lagi pas liputan di Gedung Nusantara DPR, duh, rasanya jadi ingat Mbak Puan, Pak Tito, dan kawan-kawannya. 

Sampai akhirnya, Sherina mendapat masalah karena dia gak jadi liputan World Economic Forum di Davos, Swiss. Tim yang berangkat adalah dia yang punya aliran darah dengan si pemilik media. Sementara Sherina dikirim ke KALIMANTAN! untuk meliput orangutan dan bagaimana reservasinya di sebuah LSM bernama OUKAL. Tentu telah menjadi karakter Sherina jika dia suka konfrontasi, dia tak suka dengan keputusan atasan yang sepihak. Memutuskan pulang menemui ayah dan ibunya dan berniat resign dari kantor. Namun, ayah dan ibunya mengingatkan Sherina untuk melanjutkan petualangan dan "menerima nasib".

Namanya juga film kan ya, di Kalimantan, sebentar, aku mau berlebai dulu dengan Kalimantan. Sepanjang film ini yang latarnya diambil di Kalimantan, Kalimantan Tengah tepatnya menurut pengamatanku, di daerah Katingan dan Bukit Raya. Sontak aku langsung teringat dengan petulangan pertamaku pergi keluar Jawa naik kapal sendirian, tersesat di Pangkalan Bun, dan menempuh perjalanan hampir sehari untuk sampai ke Palangkaraya. Lalu, bersama teman-teman dari berbagai wilayah di Indonesia, melakukan studi wisata di Katingan, terkait pendoaan mayat, bakar babi, sampai hal terkecil: nyebrang sungai dengan perahu yang memuat mobil-mobil itu. 

Terus hutan itu, Ya Allah, hutan itu, sungai itu. Aku mengingat air sungainya bisa diminum langsung tanpa ada efek batuk dan alergi, terus rasanya segeeer dan bening banget. Melihat film Sherina seperti mengajakku bernostalgia secara double, gak cuma saat Sherina dan Saddam kecil berubah jadi gedhe, aku pun juga ikut gedhe, tapi tentang hutan Kalimantan dan binatang endemiknya. Itu pengalaman-pengalaman yang rasanya menarik untuk dihidupi kembali, entah dalam bentuk yang lain ataupun dalam bentuk yang sama.

Di Kalimantanlah, Sherina ketemu sahabat masa kecilnya, Sadam atau Yayang. Dia jadi project manager di OUKAL, LSM yang melindungi orangutan di Kalimantan. Di sana juga ada tokoh namanya Sindai, anak SD yang melindungi orangutan. Konflik utama yang diangkat pada PS2 yaitu, pembalakan binatang-binatang langka. Pelakunya tentu orang-orang kaya yang gak ngotak dan hobinya memberi makan ego saja seperti Syailendra (Chandra Satria) dan istri mudanya Ratih (Isyana Sarasvati), dibantu dengan body guard perempuan, Pinkan (Kelly Tandiano). Lagu musikal dari Ratih dan Syailendra pun secara literal menyebut, koleksi binatang langka itu sebagai gengsi dan eksistensi.

Sherina dan Sadam akhirnya melalui petualangan mereka untuk kesekian kalinya. Bukan di Observatorium Bosscha, tapi di rumah pembalak liar yang hendak menumpas mereka. Di situ akhirnya masa lalu keduanya diungkap dengan intim. Pernah gak sih ngalami moment berdua seperti itu? Cerita masa lalu terus ngebicarain diri masing-masing secara jujur. Merefleksikan berapa lama cahaya bintang bisa sampai ke bumi, bukan dengan obrolan yang sok filsafat atau bagaimana, tapi obrolan yang sifatnya lebih ke pengetahuan.

Misal, Sadam jengah dan meninggalkan Sherina karena anaknya selalu pengen mengontrol, selalu pengan mimpin, sering sok tahu, dan apa-apa dia lakukan dengan kehendaknya sendiri tanpa memikirkan yang lain? Sherina tak sadar itu. Sejak kematian papi Sadam dan maminya yang hidup di Sydney bersama kakak-kakaknya, Sadam memilih jalannya sendiri. Namun ada juga kesamaan-kesamaan yang menyatukan keduanya, terutama bintang-bintang di langit, vega dan canopus, atau capella. Jika aku boleh berdoa, aku pengen hidup selamanya dengan sahabatku, sahabat yang telah mengenalku sangat lama. Bukan hanya soal waktu, tapi juga perkenalan itu sendiri.

Dan, setelah 23 tahun, Sherina dan Sadam tak mudah berubah karakternya. Mereka punya kehidupan masing-masing, tapi kumelihat Derby Romero seperti telah melalui berbagai pengalaman yang membuat wajahnya jadi teduh seperti itu. Sherina pun sebagaimana trend perempuan kiwari, tumbuh menjadi perempuan yang glowing dan bak princess dari negeri Disney. Meski part tersedih yang aku rasakan sebagai perempuan, di tokoh Sherina yang dewasa, nilai-nilai stereotip yang dilekatkan ke perempuan jadi semakin dinormalisasi. Aku merasakannya sangat halus, semisal pemimpin itu ya laki-laki, perempuan sekonfontratif apa pun harus dijinakkan, dan perempuan harus nurut. Haha. Ya, argumennya gak salah, konteksnya juga, bukanlah hidup harus dinikmati? Terlepas dari stereotip-stereotip ini?

Jumat, 29 September 2023

Petualangan Sherina (2000): Mendidik Anak Perempuan Seperti Sherina

Film ini dianggap sebagai film 'pahlawan' pada masanya, karena berhasil mengangkat dunia hiburan yang saat lesu usai reformasi 98 dan aneka krisis masa itu jadi terkerek naik. Setelah menontonnya, kurasa keberhasilan film ini dilandasi pada satu hal: KETULUSAN. Semua pihak yang membuat film ini melaksanakan tugas-tugasnya dengan gembira, passion mereka telah melampui waktu, sehingga bisa menghadirkan nafas lanjutan di film Petualangan Sherina 2, yang dirilis kemarin, 28 September 2023.

Aku memperhatikan, dari penulis skenario Jujur Prananto, sang sutradara Riri Riza, produser Mira Lesmana, hingga kehadiran aktor-aktor klasik Indonesia dari Butet Kertaradjasa, Didi Petet, Djaduk Ferianto, Matias Muchus, sampai artis-artis cilik/muda Sherina Munaf dan Derby Romero. Dari behind scene, aku melihat film ini dibikin dengan gembira sehingga sampai kepada penonton juga dalam perasaan yang gembira. 

Poin kedua, Sherina adalah simbol dari anak perempuan yang meruntuhkan berbagai stereotipe akan anak perempuan. Dia juga sangat egaliter, membuka mata lawan mainnya Sadam yang menjadi karakter mainstream pertelevisian Indonesia. Sherina adalah gadis cilik yang banyak akal, tidak lemah ketika diculik, mandiri, bersahabat dengan siapa saja, menjaga hak-haknya bahkan sampai di hal detail: Sadam harus mencuci roknya yang kena permen karet gara-gara kelakukan temannya itu, meskipun si ibu telah menyederhanakan persoalan bisa dia cuci sendiri, "Oh, TIDAK!" pekik Sherina dalam hati. Sherina sebagai anak perempuan berani melakukan "konfrontasi", sungguh skill langka.

Poin ketiga, aku senang terkait cara orangtua Sherina mendidik anak perempuan satu-satunya itu. Salah satu adegan yang menyentuhku secara personal, ketika ayahnya Pak Darmawan (Mathias Muchus) memberi tahu Sherian akan kepindahannya dari Jakarta ke Bandung. Dialog mereka menyentuhku, si ayah pertama menjelaskan terkait mimpinya yang menjadi alasan kuat kepindahannya, lalu memberi pemahaman pelan-pelan pada Sherina. Meski kesedihan tak bisa ditampik, tapi akhirnya Sherina bisa mengerti pula. Dia menemukan kehidupan lain yang lebih menarik. Si ayah lulusan S1 IPB di bidang pertanian (bukan bank) dan melanjutkan pendidikannya di Jepang. Ibunya sebagai seorang yang ahli musik juga digambarkan berhati lembut dan sangat keibuan.

Poin keempat, berbagai interior, fashion, tempat, dan property yang dipilih dalam film ini sangat unik. Aku sangat suka dengan latar perkebunan di Bandung yang sangat hijau, observatorium Bosscha yang didesain oleh arsitek favoritku Schoemaker untuk melihat bintang-bintang, boneka pink Piglet (aku juga punya!), sampai interior yang dipilih di rumah Sadam, homey banget. Jika diberikan hidup lain, jadi orangtua Sadam yang punya perkebunan besar di wilayah yang sesejuk itu adalah mimpi besarku. Komposisi itu membuat Wes Anderson pun rasa-rasanya kalah dan Indonesia bisa buat film yang gak ke-Wes-Wes-an tapi punya karakternya sendiri. Kostum yang dipakai Sherina dan Sadam juga khas anak-anak nan trendy gak berlebihan. Sinematografi kita sendiri.

Poin kelima, cerita film ini punya narasi intertekstual dengan kisah lain di dunia. Tentu kamu masih ingat dengan dongeng Hans dan Gretel dari Jerman yang dibuang orangtua tirinya ke hutan, tapi bisa kembali berkat taburan kue. Nah, di film Sherina, dia memakai permen warna-warni untuk menandai jejaknya. Aku jadi berpikir terkait banyak narasi interstekstual yang menarik untuk dikolasekan ke dalam satu cerita yang utuh.

Poin keenam, film ini didukung dengan musikalisasi dan koreografi yang mudah diingat. Lagu-lagu yang dinyanyikan Sherina enak didengar, easy listening. Ini perpaduan yang sangat oke.

Sebenarnya pola Sherina ini coba ditawarkan oleh film garapan Riri Riza yang lain, "Kulari Ke Pantai" (2018) yang dibintangi oleh Marsha Timothy. Meskipun kurang se-hype Sherina, namun nilai-nilai kekeluargaan masih sangat lekat. Film-film ini membuatku yakin, berkeluarga tak seburuk itu. Haha.

Cerita-Cerita Jakarta (2021): Membongkar Kegelisahan-Kegelisahan Pusat Urban Indonesia

Ada 10 cerpen dalam buku ini, semuanya terkait Jakarta dan menarik. Kota ini rasa-rasanya jadi tempat yang tak habis untuk digali. Karakter orang-orangnya beragam, moral hidup dan matinya juga beragam. Ada yang memilih berjalan di atas sepatu ketakutan, atau karena saking kayanya, bisa kebal bencana terhadap apa pun.

Cerita berpusat soal pola relasi urban khas Tinder pemuda Jakarta, yang sehari sebelum pernikahan masih pergi bareng stranger keliling pinggiran kota dan makan makanan serupa pecel lele di pinggiran jalan (B217AN, Ratri Ninditya). Judulnya singkatan dari 'Berdua 1 Tujuan', wkwk).

Sebagai etnia China, aku tak menyadari jika membuat paspor akan bisa serumit dan memusingkan itu seperti dialami oleh cici muda yang ngurus paspor di cerpen "Aroma Terasi" karya Hanna Fransisca. Dia bahkan harus memakai calo agar proses dipercepat, dia juga harus mengaku sebagai anak di luar nikah karena ngurus surat nikah ortunya yang susah. Di kejengkelan yang puncak, si cici tokoh utama harus meminjam sarung bau terasi penjual makanan di luar kantor imigrasi karena dia pakai celana pendek.

Hal lain tentu, urban tak lepas dari pengamen. Aku memperkirakan 90℅ pengamen hidup di urban daripada rural, hal itu yang diangkat Sabda Armandio dalam cerpen "Masalah", si tokoh Yuli, Gembok, dan kawannya yang diduga intel menjalani hidup khas jalanan. Meski ilmu mereka akan musik terlalu tinggi pula seperti bukan khas anak-anak jalanan, tapi lebih ke pengetahuan anak-anak skena. Yang pokok di cerpen Dio, bagaimana negara dan suprastruktur yang dimiliki bisa menindas siapa pun. Bahkan lewat orang-orang yang mengaku teman tapi bukan teman.

Cerpen "Buyan" dari utiuts seperti mengajak tamasya ke masa depan dengan menghadirkan tokoh yang terjebak dalam kendaraan yang tak ada sopirnya, lalu dia terjebak di banjir Jakarta. Driverless car ini nyasar dan tokoh kebingungan.

Berbeda dengan cerpen-cerpen sebelumnya, di cerpen "Rahasia dari Kramat Tunggak" karya Dewi Kharisma Michellia bercerita terkait nasib PSK Kramat Tunggak yang memiliki anak di luar nikah. Lalu mereka harus melarikan diri dari ayah kandung yang mau lepas dari penjara. Yang menarik di cerpen Michel ini lebih ke penggambaran suasana hidup dan tinggal si ibu sebagai PSK.

Lalu, cerita dari Ziggy Zesyazeoviennazabriskie selalu bisa mengernyitkan dahi, tema-tema pilihannya selalu jarang ditulis. Seperti saat dia menulis "Anak-Anak Dewasa", tentang para manula di kompleks yang ingin main di sebuah wahana hysteria di Ancol, tapi berakhir dengan kematian beberapa teman manula tokoh utama. Penyebabnya, si pihak pembikin wahana ini cuma mau untung tapi tak memikirkan keselamatan penumpang. Jadi sadar pula begitu kompleksnya hari tua itu. Orang-orang berubah.

Di cerpen Ben Sohib berjudul "Haji Syiah", lebih legowo lagi. Cerpen ini tak ada kaitan sebenarnya dengan ideologi Syiah, tapi si tokoh hanya memasang gambar Ayatollah Khomeini saja, karena merasa wajah die teduh. Tapi secara prinsip ibadah kagak ikut-ikutan. Tapi simbol itu justru jadi bumerang buat yang masang.

Berikutnya, kisah dari Cyntha Hariadi sebagaimana cerita-ceritanya di "Mimi Lemon", dari pandangan anak keturunan Tionghoa di masa Mei 1998. Ya, kerusuhan itu membuat persahabatan yang erat antara Tata dan Ace jadi bercerai berai.

Yang menyedihkan lagi yaitu kisah yang diceritakan oleh Afrizal Malna dalam "Pengakuan Teater Palsu". Mengambil cerita yang dekat dengan dirinya, Afrizal mengungkap salah satu kisah seniman di TIM bernama Frans yang malas menjadi manusia. Dia melakukan berbagai hal yang aneh dan dianggap gila untuk membuktikan jika dirinya aktor. Meski hasil yang dia dapat hanya kesia-siaan.

Terakhir, cerita dari Yusi Avianto Pareanom berjudul "Suatu Hari dalam Kehidupan Seorang Warga Depok yang Pergi ke Jakarta". Warga Depok ini hanya pergi ke Jakarta ketika keperluan khusus saja, dan tujuannya tak cuma satu, tapi banyak sehingga waktunya tak sia-sia. Dia lebih suka menghabiskan waktunya hanya untuk di rumah. Selama perjalanan di Jakarta selama seharian penuh itu, si warga Depok tokoh utama yang kita cintai itu bertemu dengan banyak orang, dan dia pulang kenyang dengan dongeng. Dari pembuatan visa yang dia lupa bawa paspor, pertemuan dengan teman sejurusan pas kuliah, dll

Dari 10 tulisan yang juga terbit lebih dulu dalam bahasa Inggris berjudul "The Book of Jakarta" yang diterbitkan oleh Comma Press, UK, aku paling suka cerpen Ziggy dan Cyntha. Bagiku terasa unik dan gaya penceritaannya segar.

Refleksi yang coba aku susun:

-Kota tak ada bedanya seperti laut, menerima yang baik dan buruk yang kesemuanya akan ditelan. Dari mereka yang duduk di pusat, hingga yang paling pinggir. Dari tokoh Ace yang kaya raya seolah hidupnya bebas bencana, sampai ibu PSK di Kramat Tunggak. Dari paling wangi sampai busuknya. Dari yang paling serius sampai paling remeh-temeh. Jakarta dagrasinya sekeren itu. Meski dia selalu disalahkan oleh banyak daerah karena dianggap sebagai daerah prioritas apa-apa (DIISTEMEWAKAN), tapi dia juga menanggung "beban" yang paling besar.

-Bagi sebagian orang, kota Jakarta memang "menjijikkan" untuk disentuh, yang membuat seseorang jadi lupa untuk memikirkan dirinya sendiri, apalagi orang lain (menyedihkan bukan?). Meskipun begitu, kota ini juga adalah kota kehidupan.

Rabu, 27 September 2023

Yang Tidak Banyak Dikatakan Soal Pekerja Media (2022): Membongkar Sistem Ekonomi Politik Eksploitasi Pekerja Media

Di bukunya "Yang Tidak Banyak Dikatakan Soal Pekerja Media" ini, aku sevisi dengan Citra Maudy Mahanani dalam banyak hal. Tentang kerentanan pekerja media, prekarisasi, dan membongkar bagaimana struktur ekonomi-politik itu terjadi. Dan secara lebih emosional, apa yang ditulis Citra juga pernah aku alami di masa-masa bekerja. Aku suka metode Citra yang menulis buku ini dengan referensi-referensi yang serius dan yang paling pokok, membongkar sistem struktural mengapa pekerja media bisa mengalami kerentanan yang sedemikian rupa.

Pergantian rezim kepemimpinan tak mengubah banyak, prekarisasi dan informalisasi masih terus berjalan entah sampai kapan. Di titik yang rasanya nadir, aku sadar, aku hanya satu orang pekerja di antara miliaran pekerja lainnya yang siap jadi "cadangan pekerja" para perusahaan. Pemiliknya tak memikirkan kesejahteraan pekerja, yang lebih dipikirkan adalah bagaimana akumulasi kapital yang terus memperkaya segelintir individu berjalan.

Titik menyedihkan lainnya adalah deskillisasi. Dengan banyaknya beban kerja para pekerja media (golongan muda terlebih), yang sehari-hari harus menulis 5-12 berita sehari, membuat mereka hanya menulis yang kelihatan-kelihatan saja, sementara kemampuan analitisnya diamputasi entah kemana. Kondisi ini tentu menguntungkan sistem karena kadar kritisisme menjadi semakin berkurang. Aku seneng Citra gak meromantisasi perjuangan dan individu yang mungkin akan berakhir jadi problem personal dan menghilangkan gambaran besar. Narasumber yang dia wawancara telah menjelaskan senyata mungkin yang mereka alami.

Citra juga tak lupa membeberkan pentingnya membangun dan bergabung dengan serikat pekerja, yang fungsinya untuk memberi perlindungan pada para buruh yang rentan terkait hubungan industrial yang mereka jalani. Hubungan industrial di sini luas: hubungan buruh dengan bos, dengan sesama pekerja, atau konflik lain yang berhubungan dengan hukum. Minimnya kesadaran kolektif itu ditengarai salah satunya, buruh tak merasakan guna dan fungsi dari serikat pekerja itu sendiri. Ditambah beban kerja mereka yang banyak membuat mereka lebih suka beristirahat daripada sibuk-sibuk mikir dan kerja-kerja "volunteer" lagi. Kerja-kerja sosial itu yang dilakukan semisal oleh SINDIKASI dan Serikat Pekerja Lintas Media (SPLM).

Aku berterima kasih pada Citra yang juga rekanku di Remotivi karena telah menulis ini. Semakin membuka mataku akan berbagai kerentanan yang terjadi pada pekerja media, juga kesempatan lain yang terlihat menggiurkan tapi sejatinya prekarisasi juga. Aku ingin mencontohkan seperti program P3K, yang meski haknya sama dengan PNS, tetapi dasarnya adalah kontrak juga, dan mereka tidak mendapat pensiun. Telah sebegitu menggurita neoliberalisasi ini menjangkiti segala lini, tak hanya di swasta, tapi juga pemerintahan. 

Penelitian Citra ini bisa menjadi penelitian longitudinal yang menarik untuk dikembangkan, meski banyak bahasa dan frasa tinggi yang susah untuk dibumikan, namun tanpa susah payah mempelajari itu, orang juga tak akan membaca struktur besar yang terjadi. Analisis yang bukan menyangkut basis struktur rasanya susah mengubah apa-apa, sementara perang di tanah basis ekonomi dan politik ini terjadi di mana-mana.

Selasa, 26 September 2023

Masih Adakah Spiritualitas di Kota?

Catatan ini diambil dari Seri Diskusi Publik Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) berjudul "Masih Adakah yang Spiritual di Kota?". Diskusi menghadirkan narasumber: Adin Hysteria (Art Enthusiasts), Jecko Siompo (Choreographer), Ardianti Permata Ayu (Dosen dan Peneliti), serta dimoderatori oleh Saras Dewi (Komite Tari DKJ). Pertemuan dilaksanakan di Teater Wahyu Sihombing, TIM Jakarta, Selasa (26/9/2023).

Ketua Komite Tari DKJ Josh mengatakan, pihaknya melakukan riset di Banyuwangi tentang Tari Sablang Bakungan. Spiritualitas tak hanya terjadi secara vertikal tetapi juga horizontal. Dari proses itu, pihaknya membuat esai visual singkat bagaimana spiritualitas menjadi inspirasi untuk diperbincangkan.

Lalu, Dave dari DKJ mengatakan, ritual itu dilakukan pada hari Minggu. Sudah ada keluarga yang telah membuat bunga-bunga. Ada juga ibu yang memasak sajen, yang juga menjadi pengudang Mbah Witri. Lalu ke makam, bersih desa, dan ritual berjalan. Acara berlangsung sampai jam 10-11 malam.

Saras Dewi mengatakan, Banyuwangi telah berkembang perkotaannya. Bagaimana warta di Bakungan, juga berbagai elemen masyarakat mengalami urbanisasi. Dari tuturan lisan, ini sudah 300an tahun yang lalu. Tarian ini tarian kuno yang bermakna di tengah urbanisasi. Bagaimana dari tarian itu, bukan bagian perspektif semata, tapi bagaimana sosial dan ekologis.

Narasumber Adin Hysteria menyampaikan terkait anomali imajinasi budaya urban. Ada Festival Bukit Jatiwayang, di sana ada ritual siraman dan cucuk rampah. Ada hal yang ingin disakralkan. Imajinasi terkait urban tak melulu personal. Dia memperhatikan masih primordial. Di Bustaman, ada kuliner petengan. Alasannya kangen listrik mati. Ada kerinduan terhadap itu.

Juga ada tumpengan yang bukan hasil alam, tapi tumpeng makanan sachet. Gunungan bukan hasil sayur mayur, tapi jajanan ringan. Filosofinya, tidak ada lagi tradisi, sudah tak ada orang yang kirim saji ke pohon, kecuali di periperi seperti di dekat Kendal. Atau moment tertentu seperti Agustusan.

Dalam konteks ini, primordialisme bisa dideskripsikan ulang: agama, asal usul, etnisitas, dll, yang bisa mengikat mereka secara bersama-sama. Dia bertanya, apakah doa mereka sudah ditemukan ratusan lalu? Itu dikarang-karang. Dulu tak ada tradisi ke makam, tapi kemudian digawat-gawatkan, harus dibikin sakral. Ada hal seperti itu di kampung-kota.

Realitas itu tunggal, tapi perspektif macam-macam. Misal di beringin, kasi lampu artistik, tapi beda ketika ada yang turun dari pohon. Menurutnya, kampung di Semarang banyak hilang karena pembangunan, perebutan tanah, dan pengilangan laut. Kampung-kampung terancam hilang oleh banyak hal. Industri pariwisata dipakai dalam rangka mengurangi kemiskinan, mesti tak selalu seperti itu. Ada kerinduan kangen main bareng, ngobrol bareng, ada kekangenan atau kohesi sosial. Pemerintah datang dan itu saja yang dia pahami. Dinas Kebudayaan jadi hal krusial, meski dianaktirikan.

"Aktivisme bertemu kebutuhan, konteks sehingga relevan," jelasnya.

Spiritualitas bukan satu-satunya aspek, aktivasi ruang dan aktor menjadi signifikansi dalam place making project. Tapi tak pernah bilang urbanisasi itu apa, dan climate change tak disuarakan. Apa memori kolektif yang disepakati bersama? Siapa yang berkepentingan dan berpengaruh. Di kampung-kota hal ini bisa dilakukan.

Di sisi lain, Ardianti Permata Ayu mengatakan, seni punya spiritualitas di urban. Ruang merupakan lingkungan tempat manusia berada. Ruang juga merupakan bagian dari masyarakat dan kebutuhan (Hoed, 2011). Jika dilihat dari segi morfologi kota, ruang kota bisa dianggap sebagai ruang budaya, bukan hanya sebagai ruang industri dan ekonomi.

Kota harus memfasilitasi warganya bisa berinteraksi secara individual dan komunal. Di sini, komunitas menjadi penting dalam produksi ruang kota. Penting ketika ada interaksi, sebagaimana yang dikatakan Harvey, warga memiliki hak untuk membentuk dan mengubah kota, serta dapat mereformasi struktur kota sesuai dengan kebutuhan dan keinginan secara komunal.

Lefebvre bilang, kota merupakan hasil interaksi kompleks antara elemen fisik dan non-fisik. Tradisi dan kepercayaan merupakan salah satu aspek dalam produksi ruangnya. Ruang fisik kota dipengaruhi yang material maupun non-material, termasuk spiritualitas.

Spiritual tak selalu vertikal, tetapi juga hubungan dengan masyarakat. Bagaimana setiap manusia punya jiwa. Ketika dikaitkan dengan seni tradisi, ada yang disebut roh. Dari penelitiannya terkait Tari Ballet yang dimasukkan dengan seni tradisi (yang hanya menjadi dekorasi saja). Spiritualitas memiliki rasa, intuisi, kelestarian, dll.

Kehidupan di kota banyak, dari kepadatan, kriminal, kerusakan lingkungan, dll. Lalu masyarakat mencari spiritualitas. Mereka keinginannya mau healing dan healing. Bukan sekadar pelarian, tapi juga berhubungan dengan alam. Ada kehati-hatian untuk bertindak. Ini bisa membuat komunitas menjaga lingkungan hidup. Kita bisa mencoba pendekatan kesenian untuk memberikan wawasan.

Masih adalah yang spiritual di kota saat ini? Dalam konteks urban Jakarta, Jakarta merupakan kota warisan kolonial dan patron-patron setelahnya. Masyarakat yang majemuk membuat suatu kebudayaan yang baru. Punya potensi menumbuhkan suatu spiritualitas baru. Ada sense of place, ketika sudah milik publik, ada rasa yang berubah. Ada kampung batik, dll, tapi tidak riset kota butuhnya apa? 

Dia menanyakan, bagaimana cara menggali dan menumbuhkan kembali spiritual yang pernah hadir? Bagaiman kesenian tradisi dengan spiritualitasnya dimaknai masyarakat kota saat ini? Bagaimana regulasi ikut berperan dalam hal ini? 

Lalu, narasumber Jecko Siompo mengisahkan ceritanya di Papua. Berbicara spiritualitas harus ada yang faktual. Budaya spirit, itu perjuangan individu lalu kelompok dan kesepakatan bersama. Seperti fosil menjadi fosil. Ketika hanya orang-orang tertentu, itu akan menjadi kepercayaan baru. Ada bahasa baru yang berkembang.

Pada tahun 80an, dia mengikuti di Senayan ada break dance, dia terapkan itu di Papua jadi battle. Dia menciptakan itu. Dia menemukan spiritualitas individu. Ada logika dan matematis. Ada penelitian, orang US ke Indonesia, mempelajarinya, tapi ketika diterapkan di negara dia, pesertanya cedera.

Sesi diskusi:

1. Hasan Aspahani: Apa hubungannya spiritualitas dan religiusitas? Seperti kisah Mauludan, 40 hari berturut-turut. Ada imam muda dari Jatim di Batam, dan ramai. Ini ternyata bisa tumbuh.

2. Isma: Berkaca pada kasus Kendal, tak dipungkiri tradisi makin lama akan hilang, berbagai seni tradisi juga udah malih lupa ke bentuk yang lain, dan spiritualitas pun tergerus, dan diganti dengan hal-hal yang tak masuk akal, tak berhubungan, dan mengais-ais mitos masa lalu. Apa pendapat narasumber terkait hilangnya tradisi itu? Bagaimana relevansinya?

Tanggapan:

Menurut Anti, ada mindset tentang hidup sejahtera. Misal ART cari uang aja. Artinya nilai yang ditimbuhkan beda. Pendidikan kita arahnya di situ. Rangking dianggap penting, spiritualitas itu hilang. Sudah jadi orang sukses, mereka hilang, akan punya rasa di situ.

Menurut Adin, religiusitas itu agama, spirit kembali ke jiwa. Apapun itu, mau maulidan, semua hal yang berpotensi menggalang massa itu politis. Seni itu bukan bidang istimewa dibandingkan yang lainnya. 

Betapa kota-kota pesisir, Jakarta dan Semarang yang sebenarnya tak jelas. Tak ada beban menjadi Jawa. Itu beban administratif dari Jawa. Termasuk yang anak, warak ngendok. Hewan paling tidak jelas, tapi dibikin paradoks. Itu fenomena sepele, itu mainan yang tak jelas. Misal waraknya harus ngendok, itu puasa, harus jaga nafsu. Orang Tionghoa punya tafsir lain, begitu kebudayaan kota. Supaya lebih spiritual, dikasi tafsir yang aneh-aneh. Misal Maesa Jenar dari Jogja, jadi nama klub sepak bola. Dari assembling itu punya budaya baru. Yang paling penting, memori kolektif apa dulu? Dan orang yang berkepentingan dan berpengaruh. Kelas-kelas yang punya suara bisa menawarkan corak kebudayaan tertentu.

Menurut Jacko, dari caranya melihat agama, sampai saat ini, tradisi ya tradisi, tapi tradisi jadi agama. Ada kebiasaan nenek moyang yang itu dijadikan agama. Misal Maulidan, gunung bukan jadi kebiasaan spiritual. Ketika masuk tradisi tak ada hubungannya sama sekali, seperti bumi dan langit. Bumi dan laut wkwk. Kemudian mereka mengaitkan, misal jilbab, itu tradisi. Dikolaborasi tidak bisa. Yang kuat sebenarnya spiritualitas individu. Tradisi ya tradisi, agama ya agama. Misal juga terkait Haji, itu tradisi, tapi sebenarnya ibadah. Ini ada hubungannya dengan penjajah. Dia menekankan pada spiritualitas individu yang harus dicari dulu. Gak butuh healing tapi dealing.

Mimi Lemon (2023): Menyelami Pola Hubungan Anak-Ibu, Majikan-Bos, Istri-Suami

Kesan setelah membaca buku ini seperti yang dikatakan Lusia di cerita "Lusia et ses Enfants", dia mengatakan, "Hidup ini sudah menyedihkan, kita jangan." Delapan cerpen yang Cyntha Hariadi tulis dalam buku "Mimi Lemon" semua tokohnya punya keberpihakan yang kuat dengan ibu, anak, dan dunia perempuan. Tokoh-tokohnya punya satu garis merah yang sama: Sejahat apa pun yang terjadi pada hidup, toh semuanya akan berlalu dan kita bisa tertawa lagi.

Cerpen yang paling kusukai adalah cerpen terakhir, "Bella Biutiful". Cerita menyentuh tentang seorang pembantu dari Lampung bernama Ida yang bekerja sebagai ART di Jakarta di rumah nyonya bernama Lisa. Sebelum ke Jakarta, hidup Ida di Lampung sungguh menguras empati. Suaminya lumpuh, anak tertua pemalas, dan anak kedua si Bella punya keterbelakangan mental. Dengan segala cara Ida bertahan dan bekerja apa pun asal menghasilkan uang, menghidupi keluarganya. Circle Lisa sendiri tipe keluarga kelas menengah yang rentan depresi, dan punya anak laki-laki queer yang tak mau membuka identitas diri. Semua bertautan dan saling melengkapi.

Cyntha dalam buku ini juga intens menjelaskan dengan detail pola hubungan antara majikan dan pembantu, tuan dan sopir, atau hubungan serupa itu dengan baik. Melalui cerita itu jadi paham latar-latar psikologis kedua kelas berbeda ini dalam menjalani hidup. Dan dapat kusimpulkan, apa pun posisinya, semua orang punya deritanya masing-masing yang tak bisa disamaratakan. Seperti diceritakan dalam cerpen mayan thriller berjudul "Ikatan", saat seorang sopir menyelematkan harkat dan martabat si bos (direktur keuangan perusahaan yang hidupnya tak kurang apapun) yang bunuh diri, dengan menutupi kasusnya seolah-olah dia kena serangan jantung. Meski di akhir cerita saya masih mangkel tidak diberi alasan kenapa si bos mati?

Yang paling berkesan tentu, buku ini dengan indah menceritakan pola hubungan antara ibu dan anak. Seperti kisah dalam "Holy Orange Bottles", si ibu digambarkan menjadi sahabat paling dekat bagi si anak, tak ada cerita apa pun yang hebat bagi si ibu kecuali cerita terkait apa yang terjadi pada si anak dan orang-orang di sekitar si anak. Anaknya pun sayang pada ibunya, meskipun dia juga sedih karena ibunya menderita kanker yang harus minum obat warna orange tiap hari. Pola hubungan ibu-anak ini juga tampak di cerpen "Ke Planet Lain Bersama Aluna" dan "Mimi Lemon", bagaimana dunia anak dan orangtua begitu berseberangan, susah disatukan dan menciptakan teror mental.

Meski di balik itu, kita bisa dengan mudah menghayati kehidupan yang sekuler dan liberal ala Lusia di cerpen "Lusia et ses Enfants", yang hidup bebas dan menggunakan kebebasannya untuk menolong jiwanya sendiri. Prinsip bebas dan mandiri itu pula yang nampak dalam cerpen " Coco De Mer". Atau memilih dunia kerangkeng seperti dalam cerpen "Formula 44", suatu paradoks kehidupan tetangga yang satu milih single, yang satu orangtua yang punya lima anak. Dan tentu, orang single lah yang justru cari moment untuk terhubung dengan yang lain. Keseluruhan, cerpen-cerpen Cyntha mengingatkanku dengan cerpen-cerpen Budi Darma, yang tokohnya punya rentang dimensi yang tidak hitam-putih dan punya motif kuat untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan.

Cyntha dalam buku ini juga intens menjelaskan dengan detail pola hubungan antara majikan dan pembantu, tuan dan sopir, atau hubungan serupa itu dengan baik. Melalui cerita itu jadi paham latar-latar psikologis kedua kelas berbeda ini dalam menjalani hidup. Dan dapat kusimpulkan, apa pun posisinya, semua orang punya deritanya masing-masing yang tak bisa disamaratakan. Seperti dikisahkan dalam cerpen mayan thriller berjudul "Ikatan", saat seorang sopir menyelematkan harkat dan martabat si bos (direktur keuangan perusahaan yang hidupnya tak kurang apapun) yang bunuh diri, dengan menutupi kasusnya seolah-olah dia kena serangan jantung. Meski di akhir cerita saya masih mangkel tidak diberi alasan kenapa si bos mati? Pola ini juga ada di cerpen "Formula 44" dan "Bella Biutiful".

Senin, 25 September 2023

Mbak Andina Dwifatma Inspirasiku

Bersama Andina Dwifatma, aku melihat masa depan media studies di Indonesia. Tulisan ini aku salin dari website berikut: https://duniadosen.com/andina-dwifatma-kuli-tinta-yang-beralih-jadi-dosen-muda/


duniadosen.com

Andina Dwifatma, Kuli Tinta yang Beralih Jadi Dosen Muda - Dunia Dosen

Redaksi

Dosen program studi (prodi) Ilmu Komunikasi, Universitas Katolik Indonesia (Unika) Atma Jaya Jakarta, Andina Dwifatma, S.I.Kom., M.Si., sama sekali tak memiliki bayangan bagaimana mengajar mahasiswa di kelas saat masih belia. Profesi dosen tak pernah terlintas di benak Andin, sapaan karib Andina Dwifatma, sebagai pekerjaan yang ia tekuni di kemudian hari. Sejak kecil, Andin ingin menjadi wartawan. Dan bagaimana perjalanan karir Andin dari kuli tinta dan beralih profesi menjadi dosen muda? Simak wawancara duniadosen.com berikut.

Sejak kecil, Andin gemar membaca dan menulis. Berawal dari kesukaannya membaca komik Tintin, keinginan untuk menjadi wartawan makin membuncah. Untuk mengakomodasi keinginannya tersebut, pada 2004 Andin mengambil jurusan Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Jawa Tengah.

Semasa kuliah, dosen muda ini rutin menulis artikel di rubrik kajian budaya di harian Suara Merdeka setiap dua minggu sekali. Dia menulis ulasan terkait tayangan televisi, film, sinetron, dan acara realitas menggunakan teori-teori kajian media yang ia dapatkan di kelas perkuliahan. Kegiatan tersebut dia tekuni sampai lulus dari Undip Semarang pada tahun 2009.

Menjadi Wartawan Agar Bisa Melihat Dunia Lebih Luas

Menjadi wartawan, bagi Andin adalah kegiatan yang menyenangkan karena dia bisa melihat kehidupan secara lebih luas. ”Saat itu, beberapa dosen yang dekat dengan saya sudah menyarankan agar saya mengajar saja. Tapi, saya nggak mau karena ya itu tadi, maunya jadi wartawan biar bisa lihat dunia,” ujar perempuan kelahiran 15 September 1986 di Jakarta tersebut.

Setelah lulus dari Undip Semarang, Andin kembali ke rumah orang tuanya di Jakarta. Sempat bekerja di sebuah agensi hubungan masyarakat multinasional selama dua bulan, Andin kemudian melamar posisi wartawan di Kompas Gramedia Majalah. ”Saat diterima, saya ditempatkan sebagai wartawan ekonomi bisnis untuk majalah Fortune Indonesia,” cerita dosen muda tersebut.

Andin bekerja di majalah Fortune Indonesia sejak tahun 2010. Pada 2012, sambil tetap bekerja, Andin memutuskan untuk melanjutkan pendidikan master di Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (UI). Awalnya, Andin mengaku ragu untuk mendaftar S2 karena meski suka membaca, Andin tidak suka sekolah, apalagi harus berlama-lama di dalam kelas.

Andin mengakui keputusannya untuk melanjutkan pendidikan tinggi berkat dorongan dari suaminya. ”Suami saya, dengan setengah memaksa, meminta saya ambil kuliah S2 karena menurut dia saya punya kemampuan di bidang akademik,” ceritanya. Andin mengambil kelas pagi sedangkan siang sampai menjelang malam digunakan untuk bekerja.

Andin menganggap keputusannya untuk melanjutkan pendidikan S2 sebagai momentum untuk menaklukkan diri sendiri. ”Saya belajar untuk tidak alergi pada struktur, tidak malas mengikuti jadwal, tidak anti pada rutinitas. Pada akhirnya saya merasakan bahwa aturan dibuat bukan hanya untuk membatasi, tapi bisa juga memberdayakan. Saya bahkan jadi punya keinginan untuk sekolah sampai ke jenjang yang setinggi-tingginya,” akunya.

Saat Liputan, Ditawari Menjadi Dosen oleh Narasumber

Karirnya sebagai dosen diawali oleh kejadian unik ketika masih bekerja sebagai wartawan. Tak disangka, profesi dosen yang saat ini dia ampu berawal dari tawaran seorang narasumber yang juga dosen di Unika Atma Jaya Jakarta saat Andin melaksanakan pekerjaannya sebagai wartawan.

Andina Dwifatma (paling kanan) bersama novel pertamanya, Semusim dan Semusim Lagi. (doc. Andin)

”Suatu hari, saya harus mewawancarai salah satu narasumber, ekonom Unika Atma Jaya, Agustinus Prasetyantoko. Dari situ, Pak Pras tahu saya sedang kuliah S2. Beliau langsung bersemangat karena Prodi Ilmu Komunikasi ternyata sedang membutuhkan banyak dosen. Saya lalu melamar dan diterima,” cerita Andin. Tahun 2014, Andin memutuskan untuk mengundurkan diri dari Kompas Gramedia dan bergabung menjadi dosen di Unika Atma Jaya Jakarta sampai sekarang.

Bagi Andin, ada hal-hal yang hanya bisa dilakukan ketika dirinya menjadi dosen. ”Saya ingin jadi pakar di bidang tertentu, syukur-syukur kepakaran saya bisa menyumbangkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat. Maka dari itu, saya harus pintar dulu, sekolah setinggi-tingginya dan berupaya membagikan ilmu sebanyak-banyaknya. Hal seperti itu hanya bisa saya capai dengan menerjunkan diri di bidang akademik,” ujar perempuan yang bertempat tinggal di Tangerang Selatan tersebut.

Andin masih ingat perkataan seniornya ketika masih menjadi wartawan di majalah Fortune Indonesia. ”Dia mengatakan bahwa wartawan tahu sedikit tentang banyak hal, sedangkan akademisi tahu banyak tentang sedikit hal. Saya terus memikirkan ucapan itu dan menyadari yang ingin saya lakukan adalah memperdalam ilmu saya,” tegas Andin.

Dosen Muda Harus Progresif

Saat ini, Andin berusia 32, terbilang usia yang cukup muda. Menurutnya, usia muda memiliki beberapa keuntungan, terutama kaitannya dengan interaksi kepada mahasiswa. ”Saya merasa lebih mudah mendekati mahasiswa. Saya tahu istilah-istilah gaul dan hal yang sedang nge-tren di kalangan mereka. Ini menjadi senjata saya dalam mengajar. Dengan menganggap saya menarik dan tidak kaku, mahasiswa jadi lebih rileks dan lebih mudah menerima pengetahuan baru,” katanya.

Andina Dwifatma menjadi salah satu pembicara dalam diskusi A Conversation Between Peter Fray and Andina Dwifatma. (doc.UAJ Jakarta)

Pun, dosen muda juga memiliki kesempatan lebih luas untuk belajar banyak hal baru. ”Saya ‘diperbolehkan’ untuk terus merasa kurang. Maksudnya begini, dosen itu kan identik dengan kepandaian dan kebijaksanaan, dan ini biasanya dimiliki oleh orang-orang yang sudah matang. Nah, berhubung saya masih muda, saya masih mengejar kedua hal itu,” lanjut perempuan yang memeroleh gelar master pada 2014 tersebut.

Andin merasa lebih terpacu untuk belajar banyak hal ketika dirinya merasa ‘kurang’. Andin mengakui, empat tahun menjadi dosen tak membuatnya merasa cukup, tapi dia merasa semakin banyak yang belum dia ketahui. ”Saya merasakan paradoks: semakin banyak hal yang saya pelajari, semakin saya merasa pengetahuan saya sedikit sekali. Saya jadi makin terpacu untuk belajar terus. Perasaan seperti ini mungkin tidak saya dapatkan kalau saya jadi dosen ketika sudah tua,” ujarnya.

Bagi Andin, dosen muda harus meningkatkan kemampuan diri selaras dengan perkembangan keilmuan yang ada. Andin menyebut sangat mudah bagi dosen untuk cepat merasa puas karena dihormati dan dianggap orang yang pintar. Padahal, lanjut Andin, ketika dosen tidak meningkatkan diri melalui proses membaca dan menulis, tak akan ada kemajuan bagi dosen tersebut.

Menjadi dosen muda adalah tentang menjadi sosok progresif. ”Sekadar muda jika tidak progresif ya buat apa? Sebaliknya, banyak kok dosen-dosen senior yang sampai tua tetap progresif,” ujarnya.

Bagi Andin, dosen yang progresif adalah mereka yang banyak membaca, banyak menulis, dan selalu punya mental pembelajar. “Kalau rasa ingin tahu kita sudah habis, berarti karier kita akan stagnan,” imbuhnya.

Menjadi Dosen, Ingin Membuat Karya yang Diterima Masyarakat

 Sebagai dosen, Andin selalu ingin meningkatkan kualitas keilmuannya. Kedepan, dia ingin melanjutkan pendidikan doktoral. ”Saya punya target untuk menjadi doktor sebelum umur 40 tahun,” ujar perempuan yang ingin mengambil program doktoral di Melbourne, Australia tersebut.

Tak hanya itu, Andin tak mau menjadi dosen yang biasa saja. Dia ingin membuat karya-karya yang bisa diterima oleh masyarakat secara luas. ”Saya kagum dengan sosok-sosok akademisi yang karyanya bisa dinikmati secara populer, bahkan memicu diskusi publik. Menurut saya, itulah setinggi-tingginya prestasi seorang akademisi. Karyanya tidak hanya dimuat di jurnal-jurnal ilmiah dan dibaca oleh sesama akademisi, tapi juga didiskusikan dan mencerahkan bagi kalangan di luar kampus,” ungkapnya.

Dalam proses pengajaran sehari-hari di kelas, Andin selalu mendapat pengalaman berkesan. Menurutnya, interaksi dengan mahasiswa adalah hal yang sangat menyenangkan. ”Bertemu mahasiswa itu selalu menyenangkan, apalagi kalau bisa membangkitkan rasa ingin tahu mereka,” ujar Andin.

Meski begitu, ada satu pengalaman berkesan yang tak bisa ia lupakan. ”Pengalaman paling berkesan mungkin pas pertama kali mengajar. Saking gugupnya saya hampir nggak bisa ngomong!,” lanjutnya seraya tertawa.

Tantangan: Kemampuan Berpikir Kritis dan Minat Baca

Menurut Andin, dari banyaknya tantangan yang dihadapi oleh dosen, ada dua hal yang menjadi fokusnya, yaitu peningkatan kemampuan berpikir kritis dan mendorong minat baca mahasiswa. ”Mahasiswa kadang segan mengemukakan pendapat karena takut salah. Karena itu, di kelas saya selalu bilang nggak ada opini yang jelek. Nggak ada pertanyaan yang konyol. Semuanya sahih, sejauh hasil pemikiran sendiri,” katanya tegas.

Andin menilai praktik hafalan yang diterapkan sejak jenjang pendidikan dasar membuat mahasiswa menjadi gagap ketika diminta menganalisis masalah. Bagi Andin, kenyataan tersebut adalah sebuah masalah besar karena mustahil mengharapkan solusi pemecahan masalah dari mahasiswa jika mereka tak mampu berpikir kritis.

Ihwal minat baca, Andin tak mau menyebut mahasiswa memiliki minat baca yang rendah. Hanya saja, mahasiswa perlu memperhatikan kebutuhan bacaan yang dia baca. ”Sebenarnya kalau kita dengar cerita kawan-kawan penggiat pustaka di pelosok Indonesia, minat baca rendah itu nggak benar. Anak-anak itu mau baca, tapi enggak ada sumbernya. Buku hanya sedikit,” ceritanya.

Dalam proses pengajaran di kelas, Andin mengaku cukup sulit mendorong mahasiswa untuk membaca buku teks, jurnal, dan laporan yang seharusnya menjadi santapan wajib. Meski begitu, Andin punya kiat khusus untuk mengatasi kesulitan tersebut.

”Solusinya, saya yang mengalah. Saya sering mengawali kelas dengan baca berita bareng di LINE Today. Atau mengajak mereka belajar dengan nonton video atau film. Kadang saya minta mereka menganalisis artikel-artikel populer yang relevan dengan topik. Pokoknya saya ikutin saja apa yang mereka suka. Pelan-pelan saya arahkan ke tema-tema yang menurut saya penting dan relevan,” jelas pendiri panajournal.com tersebut.

Tak hanya itu, memasuki era revolusi industri 4.0, dosen juga menghadapi proses digitalisasi yang mau tak mau kudu diterapkan dalam proses kegiatan akademik. Andin berusaha untuk selalu menyesuaikan materi ajar dengan perkembangan teknologi. Pun, Andin juga sebisa mungkin mengekspos mahasiswa kepada industri.

”Tapi, yang paling penting adalah mempersiapkan mereka dengan skill berpikir kritis atau critical thinking. Kalau mahasiswa punya sense tersebut, mereka tidak perlu hanya dididik jadi lulusan siap kerja, tapi siap dilatih kembali. Ini penting karena perkembangan industri itu pesat sekali,” ujar dosen yang juga seorang penulis novel tersebut.

Perempuan yang memiliki keinginan untuk menjadi pimpinan usaha lahan parkir tersebut tak hanya memiliki kegiatan di kampus dan dunia sastra, namun Andin juga harus meluangkan waktu untuk keluarga. Bagaimana kiatnya membagi waktu? Menurutnya, suami sangat suportif dalam urusan mengurus keluarga. Dia bersama suami berkolaborasi untuk melakukan berbagai kegiatan sebaik mungkin. ”Peran dalam keluarga dikerjakan bersama. Hal tersebut yang membuat saya bisa membagi waktu di sela kesibukan,” tutupnya. (duniadosen.com/az)

Suara Pers, Suara Siapa? (2019): Media Tak Boleh Kebal Kritik

Berterima kasih pada Mas Wisnu Prasetya Utomo yang tak pelit bagi ilmu sama anak-anak Arena pada masanya, juga kontribusi untuk tulisan majalah Sektor Informal. Blio tak bisa kupingkiri adalah sarjana kiwari yang fokus pada media dan jurnalisme, serta mengabdikan diri ke penelitian terkait itu. Di buku "Suara Pers Suara Siapa?" merupakan rangkuman dari publikasinya di banyak media online, dari Remotivi, Tempo, Jakpos, sampai Pindai. 

Buku ini terdiri dari 26 menu artikel yang dibagi menjadi tiga sesi. Sebagai hidangan pembuka ada bab terkait politik, agama, dan komodifikasi layar kaca; bab main course ada ekonomi politik media; terakhir media dan etika jurnalisme. Menghabiskan buku ini membawa saya pada skeptisisme lain yang ternyata belum banyak disadari kalau ngomong media. Sepakat, kritik harus bertanggungjawab atau kritik harus kasi solusi itu itu semacam perilaku defensif yang justru ingin melarikan diri dari kritik, khususnya dalam dunia media.

Menua dengan Gembira (2023): Merayakan Hidup Sehari-Hari

Tiga buku yang diterbitkan oleh Andina Dwifatma telah tamat saya selesaikan. Semakin kesini, kesederhanaannya dalam menulis kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan banyak orang membuat saya mengaguminya sebagai penulis perempuan Indonesia. Di buku "Menua dengan Gembira" (2023) merupakan buku esai nonfiksi pertama Andina yang terkait hal-hal yang terlihat remeh tapi dibahasakan dengan asyik dan renyah, misal tentang grup WA keluarga, status medsos tetangga, kafe senja-senjaan sepanjang jalan di Ciputat, WFH, film, budaya layar, sampai terkait anaknya, Nina. 

Gaya penceritaannya juga lucu, mengajak pembaca menertawai kekonyolan hidup sehari-hari, dan tak kalah penting membawa orang yang baca terlibat dalam kisahnya. Misalkan dalam tulisan "Numpang Parkir", di situ bicar tetangganya yang beli mobil tapi markir di depan rumah tetangga sampa menimbulkan pertengkaran. Di antara kritiknya, bersama obrolan dengan suaminya, Andina menulis, " Bagus juga ya, ruas jalan kita kalau malam. Seperti showroom mobil yang buka 24 jam." 

Dalam tulisan-tulisan di buku ini, saya juga seperti diajak mendewasa terkait berbagai budaya populer seperti film-film apa yang saya tonton, sampai tokoh siapa yang saya idolakan. Studi kasusnya dalam film Meteor Garden, dulu saat kecil dia beranggapan film itu keren, tapi setelah dewasa dirinya sadar, itu film toxic terkait relationship yang banyak adegan cringe dan kekerasan. Yang menormalisasi kaya-ganteng adalah segalanya. Atau saat dia mengidolakan Sherman Alexie, setelah idolanya itu adalah pelaku predator seksual, Andina sadar harus mengambil sikap terhadap aktor kesukaannya itu dalam bentuk personal dan politis dalam laku sehari-hari.

 Dibandingkan dengan buku Andina yang pertama, "Semusim dan Semusim Lagi" yang memenangkan sayembara novel DKJ 2012, buku ini tak seberat buku pertama yang dipenuhi banyak referensi filsuf, rekomendasi film, list daftar lagu, dsb. Buku pertama Andina yang sebenarnya sangat eksistensialis dan individualis dari tokoh utama Aku tak bernama. Di buku ini Andina mengaku jika menulis hal-hal domestik itu tak kalah kerennya. Sikap itu membawanya pada aliran-aliran penulis lain seperti Elena Ferrante, Chitra Banerjee Divakarumi, hingga Alice Munro. 

Semangat itu pula yang kemudian dia terapkan ketika menulis "Lebih Senyap dari Bisikan" (2021). Yang sangat menggambarkan kisah-kisah perempuan dengan jujur dari kacamata perempuan itu sendiri.

Jumat, 22 September 2023

Sleep Call (2023): Hidup di Dunia Nyata Lebih Baik Daripada Dunia Maya

Keinginanku untuk menonton film terbaru "Sleep Call" yang disutradarai oleh Fajar Nugros ini cukup tinggi. Pasalnya, sangat relate dengan kehidupan pribadi: mantan pengguna aplikasi kencan dan pernah melakukan sleep call (panggilan tidur) dengan stranger untuk mengusir rasa sepi yang kukenal dari aplikasi kencan juga tentunya. Kalau di film ini nama aplikasinya Jodohku. Aku juga merasa pengalamanku akan itu cukup panjang dan valid bahkan untuk menjadi sebuah buku bertemakan kesehatan mental. 

Diceritakan tokoh utama bernama Dina (Laura Basuki), seorang perempuan usia menjelang 30 tahun yang harus membiayai ibunya (Jenny Zhang) yang dirawat di balai rumah sakit jiwa. Ibunya mengalami goncangan setelah mendapatkan kekerasan fisik dan verbal dari suami, rumah tangga yang tidak bahagia dan membuatnya hidup serupa di neraka. Dina kecil pun sudah menunjukkan tanda-tanda ketidaksehatan jiwa. Ketika bermain boneka dia serupa psikopat yang menali tangan dan kaki si boneka, lalu juga membunuh kucing hitam kesayangan ibunya dengan pisau.

Dina ketika dewasa, usai gagal menjadi pramugari, dia jadi karyawan perusahaan pinjol. Dia ngekos di sebuah rumah susun nan padat di pinggiran Jakarta. Hidup dan makan seadaanya. Namun pemasukannya itu tak cukup untuk membiayai diri sendiri dan ibunya. Dia sampai terlibat pinjol juga yang berbunga banyak. Setiap hari, pekerjaan Dina menawarkan produk pinjol dan penagih orang-orang yang susah membayar dengan berbagai cara, dari sebar kontak, membuka aib, sampai pakai dalil-dalil agama yang membawa masuk ke neraka.

Salah satu korbannya adalah Pak Iwan yang sampai bunuh diri karena pinjol. Namun bosnya memaksa Dina untuk datang ke rumah Pak Iwan, bahkan saat keluarganya sedang melakukan tahlilan. Dina yang mempunyai tanda-tanda perubahan karakter yang begitu cepat merasa stres, di satu sisi dia tak tega, di satu sisi hal itu harus dilakukan sebagai bagian dari profesionalitas kerja. Beban lain yaitu utangnya yang banyak pada pinjol membuatnya melakukan hubungan affair, perselingkuhan dengan bos besar, Tommy (Bront Palarae). Dengan wajah khas bangsawan, tokoh ini kesepian dan memerlukan kehangatan dari sosok Dina. Maka terjadilah perselingkuhan itu, meski Tommy telah menikah dan beranak satu. Kegiatan seks mereka direkam oleh Tommy sebagai alat untuk menekan Dina agar tetap tunduk dan takluk, KBGO sih ini. Hubungan ini sebenarnya menguntungkan karena Dina merasa "dilindungi" dan "diselamatkan".

Sebab kecantikannya, atasan Dina yang lain bernama Bayu (Kristo Imanuel) juga menaruh hati padanya. Bayu terus mendekati Dino meskipun Dina sering menolaknya. Meski suatu hari, Bayu seperti berubah menjadi Rama (Bio One), sosok stranger yang menjadi haluan Dina melewati rasa-rasa sepi tiap malam. Bersama Rama dia membayangkan berbagai hal indah, kencan di pecel lele dekat jalan, menemaninya di KRL, mandi bersama, ke kafe bersama, dan hal-hal lain yang menenangkan hati Dina, meski semua itu hanya "khayalan". Bersama Bayu, Dina suatu kali menyangka dia adalah Rama, dan terjadilah persetubuhan itu di hotel. Parahnya, Bayu mengunggah malam kesalahan bersama itu di story medsosnya. Di kantor, Dina berkali-kali mengumpat pada Bayu.

Film ini banyak mengandung plot twist. Dina ternyata menderita semacam skizofrenia atau gejala bipolar. Dirinya tak sadar memukil wajah Bayu di mobil hingga dia tak sadarkan diri dan koma di rumah sakit. Tak hanya itu, Dina juga membunuh Tommy dengan pisau, menggorok lehernya. Dina juga karena dendam pada Rama, mencari rumahnya di kawasan elite dan menusuknya. Rama ini sudah beristri Via (Erika Carlina) seorang perempuan karier. Rama menganggap apa yang dilakukan dia dan Dina hanya sekadar have fun dan tak ada arti apa-apa bagi Rama. Meski sebagai perempuan, Dina menganggap itu segalanya. Haluan Dina bahkan juga terjadi ketika Iwan (Rokman Rusadi) dianggap Dina telah mengikutinya dan hampir membunuh dirinya, yang membuat Dina tak masuk kerja sampai empat hari.

Kisah persahabatan juga kental di film ini. Misal hubungan Dina dengan Bella (Della Dartyan), karyawan pinjol terbaik yang jago marah-marah. Kelucuan yang menarik juga ada pada sosok Surya (Benedictus Siregar) dengan berbagai guyonannya yang renyah. Juga karakter-karakter lain seperti Noor (Rachel Vennya) yang alim tapi mulutnya pedas; Mona (Nada Suwandi) yang Jawani, bermimik flat, dan polos; Budi (Dimas Danang) yang berkarakter blak-blakan dan suka menghujat, mengeluh; Mitro (Aldo Gudel) yang kelihatannya polos tapi suka ngikut yang lain juga.

Moment brengsek tak terlupakan lagi terjadi ketika genk pinjol ini diundang Tommy untuk pesta ulang tahun. Di sana, mereka diberi makanan sisa, sosis gosong dan berbagai makanan buangan lain. Sementara steak dan makanan enak untuk kenalan Tommy yang punya pangkat dan jabatan, yang punya seragam jenderal dan militer tinggi lain. Itu tragis banget sih menurutku. Kok ya mereka terima-terima saja, meski memang tak ada pilihan lain.

Film ini berakhir dengan presmis, Dina ini gila, dan dia harus dirawat di rumah sakit gila juga bersama ibunya. Di rumah sakit itu apalagi ada banyak orang gila lain, salah satunya mbak-mbak yang suka membaca buku Rama-Shinta dengan keras, yang ternyata buku itu lembaran kosong saja. Untungnya, si perawat Niken Anjani sabar merawat orang-orang gila. Film bergenre thriller ini juga menampilkan lanskap kehidupan kelas pekerja yang menarik, dari dempet-dempetan di KRL, kemacetan, pemukiman yang padat, hingga pada dimensi psikologis seperti kesepian, dire in money, dan rentan dengan isu-isu kesehatan mental.

Dari film Sleep Call aku belajar: (1) Seburuk apapun dunia nyata, lebih baik untuk dihidupi daripada dunia maya, (2) Cinta memang punya beragam bentuk, tapi yang paling bisa dipercayai adalah tindakan daripada bacotan, (3) Bukan salah pinjol, salah kemiskinan dan koruptor, (4) Buat diri lu sebisa mungkin aman di mental dan finansial biar lu gak gila, (5) sejauh apapun melarikan diri di dunia maya, lu ga bisa lari dari dunia nyata, (6) jangan banyak halu biar gak kecewa, (7) kalau orang terdekat lu sakit, jangan kebawa sakit, (8) senyum dan marah bukan obat, (9) jaga privasi, (10) jangan mudah percaya sama mulut manis dan jebakan yang membinasakan, lu gak seistimewa itu. Terakhir: kalau stress, mending cari mie ayam/bakso yang enak. Trus pesen minuman yang lu suka juga.

Senin, 18 September 2023

Educated oleh Tara Westover: Upaya Menemukan Kontrak Diri dengan Tuhan

Akhirnya memoar Tara Westover sebanyak 500 halaman dalam versi terjemahan Indonesia ini selesai juga kubaca. Menyelesaikannya cukup lama dan tersendat-sendat. Dalam berbagai sisi, kisah Tara seperti sangat dekat: tinggal di daerah terpencil, hidup di keluarga yang punya saudara banyak, memiliki orangtua yang sangat strick dengan agama, hingga sisi yang ekstrim, orangtua yang tak percaya sekolah, rumah sakit, dan apapun fasilitas yang dibuat pemerintah. 

Sabda Tuhan benar-benar dijaga oleh sosok sang ayah, bahkan ketika dia mengalami kebakaran hampir di seluruh tubuh, pantang memanggil dokter, rumah sakit, dan institusi resmi lainnya. Semua etika dan moral yang telah ditetapkan oleh kepercayaan Mormonism harus diikuti oleh semua anggota keluarga, baik cara berpakaian, cara bergaul, dan cara-cara keseharian lain. Dalam latar seperti itu, Tara mencoba keluar dan pergi jauh meninggalkan kampung halamannya di Idaho. 

Dia punya niat tinggi akan pendidikan. Meski dia tak ada ijazah SMA, dia berani daftar ke Universitas. Sebab di USA sendiri tak mewajibkan itu asal ada alasan telah menempuh home schooling yang itu bisa disiasati. Lalu kariernya menanjak dapat beasiswa S2 ke Cambridge, fellowship di Harvard, dan menyelesaikan S3-nya di Cambridge sampai dia memperoleh gelar Dr. Westover. 

Keputusan yang bertentangan dengan keluarga ini membuatnya dikeluarkan dari keluarga. Orangtua Tara tak setuju dengan keputusannya, mengganggap Tara dirasuki iblis dan berbahaya. Namun dia tetap teguh dengan pendiriannya, jalan hidup yang harus dibayar mahal. Seperti yang dikatakan Tara, "Jarak bukanlah hal yang sulit untuk energi kehidupan." Tara memilih rumahnya sendiri dibandingkan rumah yang diberikan kepadanya. Jika Tara memilih untuk kalah, dia tak hanya kehilangan argumen, tetapi juga hak asuh atas pikirannya sendiri.

Tara sempat mengalami fase-fase gila saat menyelesaikan studi Ph.D-nya di Cambridge. Masalah terbesarnya adalah masalah dengan keluarga, terutama orangtua, terutama ayah. Ayahnya sempat datang ke asrama Tara dalam rangka "mensucikan" anaknya dari pengaruh "iblis-iblis". Tiap kali berhadapan dengan orangtua, Tara merasa mengalami pertentangan yang luar biasa, mengatakan kata-kata yang ingin didengarkan oleh orangtuanya atau mengungkapkan kejujuran dari kedalamannya sendiri.

Pergolakan mental dan psikologi Tara digambarkan dengan insentif melebihi judul bukunya terkait pendidikan di altar universitas. Apalagi dia perempuan, dia mengalami tekanan ganda. Dari enam saudaranya yang lain, hanya dua yang membela. Sisanya berpihak pada sang ayah. Apalagi Tara juga mengalami perundangan oleh saudara kandungnya sendiri yang berkarakter psikopat. Tara dari latar belakang sepeti itu, dia lebih "terdidik" secara lingkungan.

Porco Rosso (1992): Babi Merah dengan Semangat Bebas

Tentu aneh bukan membayangkan babi bisa terbang? Tentu cerita-cerita seperti ini bisa kita temukan dalam buku seperti Animal Farms karya George Orwell. Tak seberat novel karya Orwell, di film Porco Rosso, studio Ghibli menawarkan "dunia kutukan" lain yang menimpa si tokoh utama Porco Rosso (Michael Keaton), seorang manusia yang dikutuk menjadi babi merah karena kesalahan yang dia lakukan di masa lalu. 

Dia menjadi seorang penjahat dan pirates yang menyerang orang-orang yang ditugaskan padanya. Hingga suatu kali, dia mengalami kecelakaan pesawat (lebih tepatnya flying boat sih, macam perpaduan pesawat dan kapal) yang diperbaiki di sebuah bengkel yang isi pekerjanya semua adalah perempuan. Bengkel itu milik sahabat Porco, sahabatnya itu memiliki cucu yang cantik dan pemberani bernama Fio Piccolo (Akemi Okamura). Fio juga anak yang cerdas, dia mau menemani Porco untuk menghadapi perkelahian dengan seorang pirate lainnya bernama Curtis (Cary Elwes).

Perkelahian dan pertandingan antara Porco vs Curtis berawal dari Madame Gina, seorang pilot perempuan juga, yang memiliki suara indah serta cantik, mengisi sebuah acara di bar. Madame Gina menyukai Porco karena sebagai manusia dulunya dia tampan. Sayangnya, Porco tidak menyukai Gina. Sementara Curtin menyukai Gina, tapi Gina tak suka pada Curtis. Ya, ada semacam cinta segitiga yang tidak pernah bertemu. 

Kemudian, pertandingan itu dibuat dengan imbalan, jika Curtis menang, maka dia mendapatkan Fio sebagai kekasih dan akan menikahinya. Jika Porco menang, maka Curtis akan membiayai perbaikan pesawat Proco sekaligus memberikan kekayaan untuknya. Pertandingan itu kemudian berakhir dengan pelik. Di atas berbagai manusia yang banyak. Pertandingan ini bagiku lebih ditekankan pada pertandingan psikologi dibanding adu taktik dan strategi. Porco tak membiarkan Fio jatuh ke Curtis.

Sementara, Fio sendiri jika melihat karakter di sepanjang film menunjukkan dirinya menyukai Porco. Entah apa alasannya, tetapi Fio kagum dengan Porco. Bagiku juga hal ini cukup aneh, karena Porco lebih cocok menjadi ayah bagi Fio. Film yang diadaptasi dari buku manga ‘The Age of the Flying Boat’ karya Hayao Miyazaki itu mengingatkanku pada kawan yang punya karakter seperti Porco, yang aku menilainya sebagai manusia yang memiliki free spirit dan naturalis khas didikan alam. Tentu aku serupa Gina atau Fio, tapi kemudian aku sadar, orang-orang seperti Porco memang tak bisa dimiliki.

Howl's Moving Castle (2004): Ada Petualangan di Balik Kutukan

Menonton film ini seperti terbawa ke sebuah dunia yang aku idamkan lainnya. Sophie Hatter (Chieko Baisho), gadis usia 18 tahun yang tahu apa yang diinginkannya: Menjadi pengrajin topi di tokonya yang sederhana. Dia tak terpengaruh oleh kakaknya yang populer dan cantik, yang bekerja di sebuah bar. Sophie merasa dirinya tak cantik dan keahliannya hanya bersih-bersih. Kondisi yang tenang ini pun masih diirikan oleh yang lain, seorang penyihir yang membuatnya menjadi tua berumur 90 tahun. 

Dari film ini jadi tahu terkait kekurangan dari orang-orang yang berusia tua: tak banyak terkejut dengan banyak hal, mengetahui lebih banyak, dan sedikit menginginkan sesuatu. Kelapangan hidup lain, Sophie menerima kutukan itu dengan hati terbuka, dan dia tak mengeluh meski awalnya sedih, dan itu kesedihan yang wajar karena ketidaksiapan. Sophie sadar, kutukan itu akan membawanya pada petualang-petualangan baru. Apa yang diyakininya kemudian benar adanya.

Sebelum dikutuk menjadi nenek-nenek, Sophie pernah diselamatkan oleh seorang pangeran dari negeri penyihir bernama Howl (Takuya Kimura). Seorang pria yang berdandan seperti perempuan, meski tetap memiliki watak maskulin. Keunikan penampilan Howl sekaligus mengingatkanku pada orang-orang di dunia nyata yang mempunyai penampilan serupa, mereka sangat jarang tapi mereka juga tak boleh seenaknya dihakimi karena penampilan. Setelah kutukan itu, Sophie merantau dari rumah. Dia bertemu orang-orangan sawah bernama Turnip yang mengantarkannya ke sebuah rumah besar magic yang bisa bergerak. Banyak elemen yang unik, seperti mempunyai kaki seperti burung, besi, wajah, dlsb. 

Rumah ini dimiliki oleh Howl yang di dalamnya hidup makhluk lain, si api yang bisa hidup bernama Calcifer (Tatsuya Gashuin) dan Markl (Ryunosuke Kamiki), seorang anak laki-laki lucu yang menemani Howl hidup. Kini keluarga itu kemudian ditambah Sophie, yang bisa memasak dan membersihkan rumah. Sihir Sophie juga bisa hilang ketika dia tidur atau merasa bahagia. Sihirnya juga pelan-pelan hilang seiring waktu.

Petualangan pun terjadi. Howl ternyata punya banyak rahasia, dia seperti burung besar, entah itu burung apa aku tak yakin. Dia menghadapi penyihir buangan yang telah mengkutuk Sophie. Dulunya Howl suka dengan Witch of The Waste ini, tapi seiring dengan Howl mengetahui sifat aslinya, Howl pun mundur. Pergantian dan transformasi karakter menjadi hal menarik untuk dipelajari dan diamati kemudian. Si penyihir ini awet muda karena memakan hati manusia, dan dia menginginkan hati Howl agar terus awet muda. Tak hanya si penyihir buangan, seorang perempuan pemilik kerajaan bernama Madame Suliman (Haruko Kato) juga menginginkan Howl kembali ke kerajaannya, karena dia murid yang pintar dan potensial. Namun Howl menolak, sehingga pertempuran terjadi. 

Berbagai propaganda, perang, bom, dll, yang dalam dunia nyata terinspirasi dari Perang Irak ditampilkan di sini. Sophie bersama kawan-kawannya, termasuk Heen, anjing yang dia temui ketika hendak masuk kerajaan Suliman menghadapi berbagai tantangan bersama. Hingga akhirnya, perjuangan itu berbuah kemenangan, dan semua sihir yang menyelingkupi para tokoh pun menunjukkan wajah aslinya. Secara imajinasi, aku menyukai film yang idenya diadaptasi dari buku Diana Wynne Jones ini. Sejenis film yang membuatku bisa kembali, dan kembali.

Jumat, 15 September 2023

Hitman (2007): Agent 47 yang Fokus dengan Pekerjaannya

Nonton film ini atas rekomendasi kawan baik yang sedang kuliah di Makassar. Konteksnya, aku mau buat paspor liburan ke kantor imigrasi Jakarta Pusat, rencananya mau pergi ke Singapura, dan dia merekomendasikanku untuk nonton film Hitman. Sebab ternyata film ini memiliki banyak versi, akhirnya dia kasih link yang versi tahun 2007. Meski setelah kutonton dengan bahasa Inggrisnya langsung, karena tak ada subtittle, tak kutemukan ada latar Singapura di film ini. Kemudian aku searching lagi, dan kutemukan latar Singapura di film Hitman di versi yang berbeda. 

Di film itu menunjukkan si tokoh berada di Gardens By The Bay, sebuah taman raksasa menggantung, dengan banyak tanaman dan pohon. Terlepas dari semua hal itu, film Hitman (2007) ini memang begitu menantang adrenalin kita. Isinya kebanyakan action bunuh membunuh dengan pistol dan senapan. Entah baik atau buruk, penonton akan dibuat respect oleh si tokoh utama yang diperankan oleh Timothy Olyphant, bahkan di film ini dia tak diberi nama, hanya dipanggil dengan sebutan Agent 47. Kerjaannya sebagai pembuh bayaran, dan kliennya adalah orang-orang berduit dan memiliki kekuasaan.

Si Agent 47 ini punya tato yang aneh berbentu barcode yang ditaruh di belakang kepala pas, masih di wilayah sebelum otak. Ini ngeri prosesnya kalau dirasain. Suatu hari ketika klieannya meminta membunuh salah seorang presiden Rusia, Udre Belicoff (Henry Ian Cusick), karier pembunuhan dia perlahan terungkap. Dia kemudian dicari oleh agen intel dari berbagai negara terutama Rusia. Salah seorang saksi, seorang perempuan yang memiliki tato naga di pelipis wajah membuat si Agent 47 seolah memiliki teman. 

Nama perempuan ini Nika Boronina (Olga Kurylenko). Perempuan yang juga telah melalui berbagai kehidupan berat dan penyiksaan yang tak manusiawi oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan. Nika dan Agent 47 seperti sepaket, Nika perlahan suka dengan Agent 47, tapi lawannya malah menunjukkan karakter yang dingin, meski si Agent 47 ada pula ketertarikan. Pembunuhan orang penting itu akhirnya terungkap, Agent 47 menjadi buronan di berbagai tempat oleh para intel, polisi, dan tentara.

Film yang disutradarai oleh Xavier Gens dengan naskah dari Skip Woods ini menggambarkan bagaimana kejahatan kelas elite bekerja. Agent 47 tentu bukan orang sembarangan, kekuatan fokus dia dalam pekerjaan di film ini bagiku luar biasa. Yang mengejutkan, ternyata Nika adalah perempuan selingkuhan Belicoff, dan Belicoff belum mati karena diceritakan memiliki kembaran.

The Wind Rises (2013): Selagi Angin Berhembus, Bergeraklah Wujudkan Mimpi

Tokoh utama film Ghibli ini bernama Jiro Horikoshi (Hideaki Anno), dan kolega kantorku menamai anaknya dengan nama Jiro. Nama itu katanya diambil dari sebuah film Jepang dan kupikir adalah film ini. Cerita film ini sederhana sebagaimana pernah kusebut di dalam film-film Ghibli lainnya. Ada anak desa yang tidak bisa jadi pilot karena keterbatasan matanya, dia selalu memakai kacamata tebal. Namun, Jiro memiliki mimpi bisa menjadi pembuat pesawat yang hebat sebagaimana tokoh orang Italia yang dibacanya di sebuah majalah, Giovanni Battista Caproni (Mansai Nomura).

Lalu Jiro belajar sangat keras, saking kerasnya, dia bermigrasi kesana dan kemari. Belajar dari orang satu ke orang lain. Masa-masa itu di tengah kondisi negara Jepang saat perang, saat negara yang ringkih dengan bencana alam baik tsunami maupun gempa bumi mengalami masa-masa gelapnya. Di salah satu scene, aku merasa negara kecil Jepang itu memang telah mengalami berbagai ingatan massal yang panjang akan penderitaan, tak heran jika mereka menjadi bangsa yang kuat hingga sekarang ini.

Di tengah perjalanannya menjadi seorang insinyur, di sebuah kereta, Jiro yang saat itu mungkin lulusan SMA, dia bertemu dengan seorang perempuan yang sepertinya masih SMP awal bernama Nahoko Satomi (Miori Takimoto), pertemuan keduanya romantis, saat topi mereka diterbangkan angin, salah satunya menyelamatkan. Lalu saat terjadi tsunami dan kota terbakar, Jiro menyelamatkan perawat yang menjaga Nahoko, seorang gadis yang juga ringkih karena mewarisi penyakit TBC dari ibunya. Suatu masa, kedua orang ini dipertemukan saat Jiro ditugaskan di sebuah kota dan ternyata dia menginap di hotel milik orangtua Nahoko. 

Perjalanan cinta yang cepat tapi sesungguhnya panjang itu kemudian dipersatukan. Mereka kemudian memutuskan untuk menikah, atau dinikahkan dengan cara yang unik, hanya dihadiri oleh dua orang, Kurokawa dan istrinya, yang juga kolega kantor Jiro. Kurokawa yang menikahkan keduanya, dengan upacara yang juga sangat minim dan sederhana. Aku berpikir, ada ya pernikahan seperti itu. Kalau di Islam kan minimal ada dua orang saksi dan yang menikahkan, mungkin konteks adat di sana seperti itu.

Namun, lama kelamaan penyakit Nahoko tak bisa ditahan-tahan. Meski adik Jiro yang juga memilih sekolah kedokteran mengunjungi kakak dan iparnya, Kayo Horikoshi (Mirai Shida) tak bisa melakukan apa-apa. Namun, kerja keras Jiro dibayar lunas dan tuntas. Mimpinya untuk membuat pesawat terbang akhirnya terwujud meski hidupnya dipenuhi dengan berbagai hambatan-hambatan. Akhir Nahoko yang tidak jelas, apakah dia meninggal atau bagaimana, tetapi mimpi Jiro terwujud. 

Pesawat yang diimpi-impikan tersebut akhirnya jadi juga. Sebuah pesawat dengan desain yang tidak biasa, dan bisa menampung banyak penumpang terwujud. Filosofi Jiro pun unik, selagi angin masih berhemus, maka bergeraklah untuk mewujudkan mimpi. Membaca bacaan di Google, film ini berasal dari sebuah cerita pendek dari karya Tatsuo Hori. Kalau jeli lagi, kisah "The Wind Rises" ini mayan mirip dengan kisahnya Presiden Habibi.

Selasa, 12 September 2023

Seni Rupa Sebagai Monumen Ingatan Kolektif Kemanusiaan

Tulisan ini sebagai catatan dari diskusi yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dalam diskusi bertema "Peran Seni Rupa dalam Ingatan Kolektif Bangsa Tentang Kemanusiaan". Diskusi dilaksanakan di Teater Wahyu Sihombing, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa, 12 September 2023. Diskusi menghadirkan narasumber Asikin Hasan (Kurator Seni Rupa Salihara), Dolorosa Sinaga (Perupa, Pengajar di IKJ), Irwan Ahmett (Seniman), dan dimoderatori oleh Sarah Monica dari AWCPH UI.

Asikin Hasan menjelaskan pada para peminat diskusi, terkait berbagai seniman yang konsisten membangun monumen ingatan. Panitia mengajukan tiga pertanyaan di orba, bagaimana propaganda di bidang senin. Di antaranya, benarkah Orba menggunakan seni sebagai propaganda? Apa buktinya?

Dia mengambil pembanding tiga negara:

  1. Jerman, dengan nazi, semua karya menunjukkan kekuatan dan kegagahan. Dalam bentuk patung dan bangunan.
  2. Italia, dengan fasisme.
  3. Rusia, dengan realisme sosialis, dipompa sehabis-habisnya. Di Hermitage, St. Petersbug Ruisa, bekas kerajaan Catherine. Di sana karya tak ada bandingnya. Hanya mengarah ke satu pokok soal: memperlihatkan figur-figur yang penuh perlawanan. Di sana kita melihat sesuatu secara masif.

Asikin menjelaskan, Orba tak menggunakan seni rupa sebagaimana tiga negara tadi. Rezim Soeharto tak sampai kesitu, menggunakan seni rupa sebagai pelanggeng kekuasaan. Orba tak melihat penting seni. Bagi orba, seni rupa hanya hiasan di dinding, atau benda kerajinan untuk mempercantik rumah. Misal ke Istana Presiden, lukisan yang dikoleksi gambar-gambar pemandangan yang kalah mooi indie dengan Bung Karno. Orba gemar ngoleksi patung tradisional dari Bali dan Irian khususnya.

Asikin pernah datang ke TMII, di situ banyak karya Lampard, disimpan di gudang dan tak terurus. Begitu pun di istana, di Orba, barang-barang yang banyak disimpan ukiran Jepara, Kudus, dan Bali. Asikin tak yakin itu hal yang ideologis. Kita tak menemukan narasi dan imajinasi. Kita sulit membayangkan bagaimana seni bisa jadi instrumen ideologis.

Juga patung-patung monumen di ruang publik. Patung Bu Rita di Slipi, yang kemudian dibongkar. Ada juga patung tonggak samudra karya G. Sidharta di Tanjung Priuk, karya ini dipindahkan. Juga monumen proklamasi oleh Nyoman Nuarta dkk. Juga Arjuna Wijaya di Jalan Thamrin. Karya-karya ini hanya masalah estetik, bukan politik. Dia hanya sebagai hiasan kota. Beda ketika melihat ini di Orla, Edhi Sunarso.

Dulu di Orla, Soekarno sebagai dirijen. Dia menentukan lukisan istana, bentuk relief (Sarinah, Hotel Bali Beach, dan Ambarukmo). Semua tak lepas dari gagasan dan konsultasi dengan Bung Karno, dia menggunakan seni sebagai instrumen. Di situ ada dialog antara Seniman dan pemimpin. Edhi Sunarso dkk rutin ketemu dengan Bung Karno untuk membicarakan seni. Misal patung selamat datang itu patung logam pertama di Indonesia. Edhi awalnya tak sanggup, ditantang olek Bung Karno, dia akan panggil Seniman dari Rusia. Lalu Edi ketemu Seniman di Jogja, Pak Gardono, ahli pengecoran logam. Mereka masih coba-coba, sampai patung selamat datang itu jadi. Itu terlalu berani, dengan pengalaman yang masih nol.

Kita bisa bandingkan patung selamat datang dengan patung pemuda. Itu aspek dasar seni patung, anatomi itu sempurna. Ini tak menggambarkan manusia, tapi beyond man. Realisme sosialis membangun kesempurnaan karya dengan karya itu sendiri.

Di patung HI, bisa memperdebatkan patungnya, tapi lebih kuat adalah ekspresinya. Ketika dikitari 360 derajat, ada semangat dan ekspresi yang kuat. Patung yang besar pasti mengalami distorsi. Bagian mana yang lebih besar, mana yang lebih kecil. Begitu juga patung pembebasan Irian dan patung Dirgantara. Bagaimana Marhaenisme yang didengungkan Bung Karno tergambar. Itu bisa dikatakan seni rupa yang terpimpin. Hal seperti itu penting, bagaimana imajinasi Soekarno dalam seni. Bagaimana keberpihakan pada Marhaenisme. Ketika melihat relief, itu dalam tanda kutip orang kecil. Tangannya selalu bersentuhan dengan tanah. Gambar yang mewakili apa yang digambarkan oleh Bung Karno. Ini yang tak kita lihat di Orla.

Patung di masa Orla yang punya aspek politis itu Monumen Jogja Kembali atau Monumen Pancasila Sakti. Hanya itu. Selain seni rupa yang tak begitu dimanfaatkan secara maksimal, Orla sadar, bukan seni rupa yang mereka tuju, tapi media massa. Media massa baik cetak, suara, audiovisual, itu dimanfaatkan secara masif sebagai alat propaganda. Misal Kelompok Ponpencapir, TVRI secara masif jadi alat propaganda untuk nunjukin keberhasilan pangan Orla. Orla juga buat Yayasan Amal Bakti Pancasila yang mengambil dana dari PNS, TNI/Polri. Ada 999 masjid muslim Pancasila. Media massa yang tak sejalan dibredel dan tak terbit lagi. Bagaimana kebenaran dimonopoli oleh Orba.

Selain media, yaitu film, misal Pengkhianatan G30 PKI. Itu jelas propaganda. Media massa dan film, itu ynag dipompa habis-habisan di Orba.Juga tentang kehadiran seni rupa baru. Ini blunder pembangunan. Misal TIM pada masa Ali Sadikin, di masa itu, teater muncul dengan besar-besaran. Pertunjukan Rendra dianggap berbahaya, juga Hardi di gerakan seni rupa baru. Di masa itu, TIM banyak melahirkan Seniman hebat di banyak bidang, isinya kritik. Aspek kritis saat itu di masyarakat habis. Yang dianggap mengganggu akan dihabisi. Gerakan seni rupa baru itu gerakan  tua vs muda. Ada dominasi dari persagi, ada jiwa ketok, menghasilkan apa yang konkrit. Ada lima mahasiswa di ASRI, mengkritik dewan juri TIM, ini asal-usul biennale. Hal berharga yang mereka sumbang, menghadirkan seni yang konkrit. Seperti video art, performance art.

Irwan Ahmett menjelaskan tentang karya 2015-2018. Keempat karya yang dijelaskan Iwang terkait situasi politik di Asia Tenggara hingga perang Vietnam. Dia merenungi terkait nilai-nilai kemanusiaan. Ada kontrol di berbagai aspek, yang berkolaborasi dengan rezim. Dia menyoroti terkait sejarah dan kekerasan. Bagaimana spasialitas sejarah memengaruhi individu, apa itu kebenaran, bagaimana pelabuhan kebenaran?

Karya pertama, Spatial History, 11 Maret 2015, di Teater Kecil Jakarta sebagai respons terhadap Supersemar. Keberadaan surat ini antara ada dan tiada. Yang nampak, sebuah wacana fiktif, narasi Orba, yang sulit menerima kebenaran, karena sulit ditemukan. Dihilangkan oleh pelaku yang tak ingin diungkapkan. Apalagi ketika melihat arsip, hanya 20 arsip yang mampu kita lihat, 80 persen tidak, dan itu sumber daya imajinasi. Orba membuat monumen yang buruk. Terkait diorama di monas.

Lalu Monumen Pancasila Sakti. Kenapa Pancasila disaktikan lagi. Juga Monumen Sekarang Umum 1 Maret. Monumen tak lagi menarik. Juga monumen di Makassar sepi, lebih asik main di Pantai Losari. Monumen tak tampak dan menjadi angin lalu. Memang benar, Iwang melihat monumen.

Karya kedua, autopsy history, 30 September 2016, YLBHI Jakarta. Ini terinspirasi dari buah surgawi. Dari otopsi delapan jam, 65, setelah 75 jam. Dokumen otopsi disembunyikan, dan ditemukan oleh Ben Anderson. 

Ketiga, Permanent Shadows, 30 September 2017, Gedung Pusat Film Negara.

Dia menjelaskan sekilas, film favorit Soeharto, Si Manis Jembatan Ancol. Bisa dibayangkan seleranya. Konsepsi sejarah yang dibangun oleh Nugroho Notosusanto. Film pemberontakan dibuat. Ada drama heroisme. Iwang menayangkan terkait berbagai film di Gedung Pusat Film Negara, 22 Januari 2017.

Keempat, Constellation of Violence, 1 Oktober 2018 dini hari, Bioskop Grand Senen, Jakarta, TPAM Yokohama Jepang.

Karya ini berkembang, mengajak Iwang bereksperimen terhadap investigasi akar kekerasan. "Juga bagaimana insting membunuh ada pada saya." Situs kematian itu ditutup oleh arsitektur Jawa. Sifat-sifat ingatan dan kekerasan. Iwang ada di medan, dia ada di pusat primata. Apa kita dikutuk hidup berdampingan dengan kekerasan? 

Kemudian Dolorasa Sinaga menuampaikan, ada dua hal yang disampaikan Iwang: satu monumen, kedua bagaimana monumen bisa kita lihat dalam konteks banyak hal. Monumen adalah ingatan yang dibuat atau diwujudkan dalam bentuk, dalam objek. Objek ini bisa kita mengerti. Peristiwa itu monumen, cincin kawin itu monumen. Value dia adalah ingatan.

Coba pergi ke prasejarah, bagaimana masyarakat tribal meyakini sense of survival itu dengan membunuh binatang dan berhubungan dengan leluhurnya. Dan biasanya itu diwujudkan dalam bentuk. Value lain yaitu penghormatan pada peristiwa, sosok-sosok yang berjasa, serta ingatan/pengetahuan.

Mengingat PP presiden terkait membangun monumen, kita bisa ingat ulang peristiwa 65. Presiden mengatakan penyesalan dan menyatakan negara akan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran berat HAM.

Salah satu yang disampaikan ke publik, ada penyelesaian non-yudisial dengan memberi kesejahteraan pada korban. Kalau menyimak, banyak pertanyaan, apa berhenti pada pemberian bantuan atau bagaimana?
Pelanggaran HAM pasti dilakukan oleh negara, kalau ada tawaran non-yudisial, akan mengebalkan pihak tertentu. Monumenisasi bukan saja merawat ingatan tapi juga pengakuan publik. Kasus 65 harus diselesaikan. Historical justice harus dilaksanakan.

Korban 65 punya empat pilar: (1) kebenaran bagaimana, hak atas to know the truth, (2) hak keadilan, (3) hak reparasi, (4) hak tidak terjadi lagi, (5) hak monumenisasi.

Misal pemerintah Jerman membangun monumen Holocaust di tengah kota. Peristiwa 65 banyak scholars yang nulis, tapi mengapa negara tak mampu menyelesaikan.

Aktivisme tak berhenti pada bentuk, tapi juga mengolah, seperti yang dilakukan Iwang juga tempat yang lain. Orba tak hanya media dan film, tapi juga monumen. Mengatakan pada kita itu kebenaran. Dolo setuju ketika monumen dibuat benar sehingga masyarakat cerdas.

Diskusi ini mendapat tanggapan dari John Muhammad, sebagai pihak panitia pendirian Monumen Trisakti. Di tahun 2015, dia bikin riset, Orba seninya cupu, tapi paling banyak memproduksi moseum. Bahkan Reformasi, masih banyak Orba untuk museum khususnya di Jakarta. Monumen daya sebarnya luar biasa. Monas dibangun Soekarno, tapi diorama udah Soeharto.

Kalau di Monumen Trisakti, dia jadi mahasiswa, ketua Debra Yatim, hasilnya empat bilah logam, ada bongkahan batu. Tapi itu terburu secara desain jika dilihat dari ilmu arsitektur. Pemenang satu dan dua berkolaborasi.

Otokritiknya terlalu cepat. Ada piagamnya itu saya yang bikin. Hal itu tak bisa buru-buru, tapi yang penting manfaatnya. BEM Trisakti mensakralisasi tempat itu. Upaya civitas academica tak hanya museum tapi juga halte.

Apapun karyanya, selama itu ada, itu isunya ada. Beda sama universitas lain, mengingatkan publik dengan memakai ruang publik. Harus tarung dan merebut. Kamil Muhammad diminta bikin museum terkait peristiwa Tanjung Priuk. Ruang publik harus tetap diintervensi.

Dengan situasi yang sekarang, kok menyamakan saja karyanya? Dengan Orba saja tak bisa? Apa yang dibutuhkan, apa aktor, kebijakan, atau lainnya?

Tanggapan berikutnya dari Aditya Utama, alumni Atmajaya, membangun monumen Semanggi:

Dalam pembangunan itu dibangun tak lama setelah peristiwa terjadi. Misal monumen selamat datang untuk peristiwa Ganefo, dll. Beda dengan Kampus Atmajaya, itu 25 tahun baru dibuat. Ini ada beberapa mahasiswa, Atmajaya ini kampus Reformasi, itu pentingnya monumen kolektif. Di mana ya peristiwa, Wawan jatuh di mana. Butuh artefak. Pihaknya berinisiatif membangun ini sebagai ingatan kolektif, dan ini belum selesai. Dengan monumen, ini udah selesai belum ya? Pembangunan ingatan kolektif seperti itu.
Monumen sebagai material untuk cari ingatan kolektif. Apakah monumen ini masih worth it?

Lalu juga mendapat tanggapan dari anggota KontraS: Rumah Gedung di Aceh dihancurkan. Hari ini 39 tahun tragedi Priuk, menagih janji. Sampai sekarang, Trisakti dan Atmajaya sudah bangun, Priuk belum. Bagaimana menghidupkan aktivisme dalam seni? Apa itu jadi gerakan seni rupa modern? Apa itu relevan?

Juga pertanyaan dari Nirwan: Rencana pembuatan di IKN seperti apa? Banyak sekali tema kemanusiaan? Pengulangan sejarah yang telah ada.

Lalu Bu Dolorasa menjawab: Harus berikrar, bagaimana merawat ingatan kita terhadap 65.
Kalau mau bangun memorialisasi pasti berhadapan dengan institusi power. Banyak yang bisa kita kerjakan. Sama Kamil menata peristiwa ini dari awal. Kita bikin petanya. Kita juga bisa membangun museum maya, virtual. Kegiatan berkesenian tak hanya berhenti di value ekonomi dan intelektual, tapi juga ada nilai resitensi, juga kesadaran sospol, untuk mewujudkan perubahan

Lalu Irwan Ahmett memberi tanggapan: Ari-ari besi, saya buat monumen di situ, di IKN. "Saya lihat itu gimmick nasionalisme, mirip marketing perumahan. Saya udah buat peripih di IKN. Pola-pola menjual kapling perumahan. Saya khawatir, Pulau Jawa dibuat monumen tak akan cukup, masalah semua itu. Banyak wajah superfisial, estetika kita masih seperti itu. Gagasan memorialisasi itu penting. Kita gampang lupa, bertempur dengan peristiwa berbeda. Monumen itu bisa jadi jangkar. Kita ditantang mencari cara yang baru. Juga di WTC Tower, ada hal yang berpikir sangat dalam. Bagaimana kekuatan seni memunculkan hal yang tak bisa kita pikirkan. Dengan kreativitas ada banyak hal yang bisa dilakukan dengan baik."

Asikin menambahkan: Monumen kalau diartikan tiga dimensi itu akan banyak dan akan muncul terus. Sebagai usulan, selain sesuatu yang monumental, juga unmonumental, seperti museum Holocaust, apa yang dihadirkan di situ narasi, foto, sendal, unmonumental, itu artefak-artefak yang kuat. Hampir tak ada yang monumental, sehingga kita merenung. Buku itu juga monumen. Bagaimana membangun narasi sehingga banyak orang mempelajari. Monumen kita miskin narasi. Aspek yang monumental justru memberi impresi yang kuat! Eureka! Kalau melihat peristiwa Trisakti dan Semanggi, bagaimana arsip dibangun dalam bentuk narasi. Bisa dengan media baru yang ditampilkan. 

Kata Penutup:

Soal monumen IKN, ini apa? Ini semacam konvensi, ini tradisi yang berubah. Monumen tandingan yang unmonumental. Itu narasi yang lebih penting. Bangunan bisa roboh, tapi narasi enggak. Kita harus selalu merawat ingatan, terhadap sesuatu yang melukai kemanusiaan. Itu tak harus fisik, tapi juga unmonumental. Merawat ingatan itu penting. (Asikin)

Konsep keadilan itu bukan hanya manusia, tapi monyet juga punya. Tanpa keadilan, dia ada tapi tak bermakna. Terlalu banyak arsitektur, saya menahan diri untuk tak menghujat, tapi landasan kemanusiaan yang bekeadilan. (Irwan Ahmett)

Untuk rezim baru, DKJ kalian akan menghadapi luar biasa dan komitmen kuat dan besar, karena tak tahu siapa yang jadi presiden. Dengan membuka dialog publik, ini langkah yang luar biasa. Kalian peduli, dengan menghadapi institusi power harus lebih cerdas lagi. Kalian harus jadi penutan. (Dolorosa Sinaga)