Sabtu, 16 Maret 2024

Discourse of Cultural Identity in Indonesia During The 1997-1998 Monetary Crisis - Melani Budianta

Banjirnya barang, orang, gambar, teknologi, dan informasi yang sifatnya global dari seluruh dunia terutama negara-negara besar, menciptakan batasan bayangan dari suatu negara, meski batas itu semakin mudah ditembus dibanding sebelumnya. Sebagaimana ditunjukkan dari krisis ekonomi di Asia akhir-akhir ini, aktivitas ekspansi ekonomi global berkembang secara signifikan, tetapi memberi dampak yang berbeda di dalam kondisi internal suatu negara. Ini tergantung pada rezim politik yang memerintah negara itu, terutama ketika menghadapi krisis. Dalam konteks Indonesia, krisis finansial yang terjadi pada rentang 1997-98 menggiring pada jatuhnya rezim Soeharto. Krisis ini diikuti oleh perpanjangan kerusuhan sosial yang mengancam kesatuan nasional.

Selain itu, krisis ekonomi menyebabkan pula pada krisis identitas budaya yang serius. Sebagaimana konsep "komunitas terbayangkan" (imagined community) dari suatu negara bangsa dari kekuatan global eksternal, serta kohesi internal dari komunitas etnis dan regional majemuk yang membentuk negara bangsa, kondisinya sedang mengalami disintegrasi (keruntuhan).

Di dalam diskursus publik, isu globalisasi lawan nasionalisme, dan nasionalisme lawan etnis dan komunitas daerah bermunculan, khususnya sebagai bangsa yang dimasuki konflik kelompok seksionis.

Untuk memahami relasi kompleks dari global-nasional-lokal pada krisis dewasa ini, kita membutuhkan bingkai konseptual bahwa posisi (bangsa)-negara sebagai agen ganda yang memediasi dampak dari arus global secara internal. Paper ini menganalisa diskursus publik terpilih dalam identitas budaya dan globalisasi yang terjadi di Indonesia selama krisis finansial 1997-98.

Fenomena ini digambarkan dengan bagaimana politik budaya Orde Baru menginformasikan pengelolaannya secara global dan peralihannya di tingkat lokal, dan bagaimana politik budaya serta kesalahan pengelolaan pertukaran global-lokal mengakibatkan krisis identitas dan budaya. Melalui analisis diskursus publik, paper ini menyoroti interogasi terhadap komunitas terbayang di Indonesia selama krisis ekonomi, dan membayangkan apa yang memungkin terjadi di masa depan.

Paper ini dimulai dengan konteks krisis moneter dan posisi rezim Orde Baru berhadapan dengan tatanan keuangan global. Kemudian mendiskusikan terkait kampanye seni dan budaya di dalam koran Indonesia pada sepertiga bagian, dan memberi contoh bagaimana kebijakan budaya Orde Baru mengikuti logika kapitalisme yang menjadikan budaya sebagai komoditas atau sebagai tanda nilai-nilai tradisional yang tidak berubah (yang dalam waktu yang sama mengolah fitur yang ideologis dan politis). Represi atau pengolahan ideologi berorientasi pada kebijakan budaya, yang memusatkan Jawa dan meminggirkan lainnya, menjadi benih dari masalah etnis dan rasial. Sebagaimana negara otoriter, krisis perekonomian dimulai dari keruntuhan budaya, yang dipelihara dan ditekan secara bersamaan oleh rezim. Kemudian meledak tak terkendali, dan negara menyebut kekuatan global sebagai ancaman terhadap martabat bangsa.

Paper ini menyimpulkan, naiknya sektarianisme di Indonesia berhubungan dekat dengan politik budaya dan ras dari Orde Baru, yang menyediakan globalisasi ekonomi untuk pencapaian tujuan. Krisis budaya menjadi titik berangkat masyarakat Indonesia, apakah dia akan kehilangan gambaran esensialis terkait identitas nasional atau membangun konsep nationhood yang lebih inklusif dan terbuka terhadap heterogenitas.

"Some of the discourses analysed in this paper are of the nature of propaganda. Its very strategy is to convert the reader unconsciously, by constructing imagined objects that mask its ideological, political, economic or cultural messages or purposes."

Tahun 1998 merupakan waktu yang krusial dalam sejarah negara-bangsa Indonesia. Dibuktikan dengan jatuhnya rezim yang berkuasa selama 32 tahun, kejatuhan itu menunjukkan relasi yang aneh dengan adanya tekanan globalisasi ekonomi, bagaimana sesuatu itu diuangkan (termasuk budaya), dan dengan cara apa. Ini menjadi serangkaian krisis ekonomi di Asia sejak depresi besar.

Di masa Orba, janji ekonomi dibuat secara berbeda dibanding Orla. Jika Soekarno mempunyai obsesi kemandirian, anti penjajahan, dan lebih kurang membangun relasi yang bersifat antagonis dengan Barat, Soeharto membuka pintu seluas-luasnya bagi investasi asing. Pada tahun 1967, perusahaan multinasional Amerika, Freeport McMoran Copper and Gold Inc mendapatkan izin penambangan emas dan tembaga di hutan perawan Papua, dengan nama Tembagapura. Soeharto yang juga anti-komunis memenangkan dukungan secara internasional melalui agensi funding, seperti World Bank dan IMF.

Zaman otoriter Orba membuat ketergantungan pada investasi transnasional dengan menggunakan peluang ekonomi dan jaringan global menciptakan apa yang disebut "kapitalisme kroni" di bawah kata pembangunanisme. Di masa Soeharto, pembangunan adalah sapi perah. Sawah diubah menjadi real estate dan lapangan golf, hutan jujan diubah menjadi kawasan perkebunan sawit untuk menambah pendapatan negara, sementara perairan diubah menjadi resort--semua didanai dari hutang luar negeri. Selama 32 tahun, surga budaya yang konsumeristik dengan pusat-pusat belanja yang gigantik dibuat. Lalu menyisakan gap sosial yang besar antara yang kaya dan yang miskin.

Kompleksnya interaksi global dan lokal terkait kekuatan ekonomi dan politik, menjadi dasar ekonomi Indonesia lebih dari 30 tahun terakhir ini. Meskipun orang awam tidak familiar dengan istilah ekonomi, jelas bahwa investasi di masa Orba dalam pasar global telah menjadi sumber yang menguntungkan tidak hanya bagi pendapatan nasional, tetapi juga mengisi dompet para pendukung resminya. Industri bank meningkat, partisipasi bisnis elite juga demikian, beberapa di antaranya terdiri dari para veteran militer dan orang kaya keturunan Cina. Kondisi ini juga menguntungkan partai dengan monopoli Golkar kala itu. Anak-anak presiden terlibat di hampir banyak hal yang berhubungan dengan ekonomi besar, di sisi lain, suara-suara kritis dibungkam.

Pembangunanisme di masa Orde Baru membuat Soeharto dikenal secara internasional. Citra positif ini digunakan pula oleh negara untuk mengerek rasa kebanggaan nasional. Dalam diskursus keajaiban Asia, Indonesia bahkan menjadi negara dengan ekonomi paling menjanjikan di kawasan Pasifik. Pancasila juga menjadi resep kesuksesan untuk harmonisasi dan kedamaian negara yang terdiri dari lebih dari 30.000 bahasa dan kelompok etnis ini.

Citra bagus ini dipotret oleh kantor pemerintahan dalam pamerisasi kesuksesan pembangunan. Apa yang terjadi secara internal dalam satu tahun dimulai pada Juni 1997-98, ketika dollar US ke rupah meroket 8 kali lipat. Perasaan inferior nasional pada waktu kritis sering menjadi ekspresi yang menghantui, disusul dengan tekanan lain karena adanya korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Yang terjadi pula pada tahun 1998, telah diresmikannya deklarasi tahun seni dan budaya. Seperti pada awal bulan 19998, Kompas mengampanyekan desain "Kompas Year of Arts and Culture", dengan penggambaran ikon budaya populer di satu sisi, dan di sisi lain ikon budaya tradisi/warisan. Dalam iklan layanan masyarakat itu mengkritik antara yang lokal dan yang global, pernyataan pancingannya itu seperti, "Dia (Michael Jackson), kaya secara gaya hidup. Kami (wayang kulit), kaya akan budaya."

Keberadaan Amerika di Indonesia tidak hanya dibuktikan dengan budaya populer industri seperti musik, film, televisi, dan serial tontonan, tetapi juga merebaknya industri makanan cepat saji dan ritel seperti McD, KFC, Pizza Hut, Tops, Sears, Seven-Eleven, dlsb. Popularitas berbagai hal yang berbau Amerika pada generasi muda meningkat. Juga rantainya dijumpai pada kafe-kafe atau tongkrongan semacam Hard Rock Cafe dan Planet Hollywood di Jakarta. Masuknya pengaruh Barat ini semakin bertambah dan ditoleransi. Di dalam konsumerisme global, terlebih saat krisis, masyarakat mulai merasakan dampak negatif dari pasar global.

Pola iklan kedua dari Kompas pada tahun seni dan budaya lebih bersifat verbal. Terdiri dari penampakan kekayaan budaya Indonesia, bahasa lokal, sastra, musik, dan tarian sebagai latar belakang dari budaya lokal ini. Salah satunya dengan penggambaran wayang orang, protagonis Gatotkaca ditampilkan dan diberi caption semangat, "Suatu saat wajah budaya kita bisa menyelamatkan kehormatan bangsa." Pernyataan ini menjelaskan bahwa tekanan globalisasi dan kompetisi bisnis semakin bertambah, dampaknya krisis moneter yang memberatkan rakyat. Menggarisbawahi iklan ini secara pasti mengkonseptualisasikan tentang seni dan budaya sebagai diskursus Orba.

Dalam realita budaya, Soeharto juga mengelola penciptaan satuan idiom dan simbol dari budaya Jawa yang memperkuat kekuasaan dan status quo-nya. Memburuknya krisis, membuat media massa menjadi lebih berani dan jujur. Pada Maret 1997, majalah D&R yang memperkerjakan pada jurnalis dari pembredelan majalan Tempo, tampak dengan sampul yang menggambarkan Presiden Soeharto dalam kartu King of Spade. Di mana huruf K diganti P untuk Presiden. Peristiwa ini mengundang kemarahan dari pihak dalam Istana, yang menggambarkan bagaimana patriarkisme Jawa dijadikan senjata oleh Orba.

Kontrasnya, ada perbedaan gestur simbolik dari Sultan Muda Yogyakarta kala itu, figur penting dari Jawa feodal. Dia menawarkan keratonnya sebagai tempat untuk unjuk rasa damai yang menuntut reformasi politik total pada 20 Mei 1998, sebelum Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya. Bahkan Sultan sendiri yang memimpin rapat umum tersebut. Tindakan Sultan ini dianggap merugikan Presiden yang selama ini sakit hati karena dikenal ingin memberikan loyal memberikan kepada Soeharto segala bentuk koneksi garis keturunan kerajaan.

Era pos-Soeharto menjadi saksi naiknya kembali berbagai kelompok identitas etnis, agama, ideologi, dan kelompok kepentingan. Sehari setelah Soeharto lengser, sekelompok mahasiswa beridentitaskan Muslim melakukan konfrontasi menempati gedung MPR, mereka menolak Habibie sebagai presiden baru. Habibie sendiri merupakan mantan wakil presiden dan pimpinan ICMI, konfrontasi ini menyebabkan konflik.

Kerusuhan Mei juga menjadi serial dari kekerasan massa yang secara terus menerus menggalakkan reformasi Indonesia setelah kejatuhan Soeharto. Di berbagai daerah terjadi konflik berdarah, termasuk di Jakarta. Salah satu yang menjadi korban adalah etnis Cina, di mana toko mereka dijadikan target sasaran. Selain penjarahan, juga pemerkosaan, penganiayaan, pembunuhan, kekerasan para perempuan dan gadis Cina.

Diskursus dari pemukulan etnis Cina ini tidak hanya sebagai contoh dari psikologi kambing hitam di masa krisis, tetapi juga masalahnya berakar dari praktik penjajahan yang menggunakan Cina sebagai pengepul pajak dan penyangga penjajahan. Untuk mencegah kemungkinan kembalinya situasi politik seperti itu, Cina tidak memberanikan diri masuk ke dalam politik, militer, dan institusi negara. Mereka lebih memiliki berkonsentrasi pada sektor bisnis. Sementara, praktik kolusi oleh pemerintahan dan militer dari Cina difasilitasi oleh perlindungan, administrasi, dan perlakukan khusus.

Salah satu foto di Kompas pada Januari 1998, juga menunjukkan bagaimana Soeharto menandatangani perjanjian dengan IMF dan disaksikan oleh Managing Director IMF Michel Camdessus dengan gestur berkacak pinggang. Ilmuwan politik Dewi Fortuna Anwar dalam kutipannya di New York Times mengatakan, "Bagaimana bisa presiden kita dipermalukan seperti itu? Indonesia adalah negara terhormat. Kita lebih memilih lapar dari pada menyerah pada tekanan dari luar."

IMF merupakan sejenis uluran bantuan untuk mengatasi krisis ekonomi. Seminggu setelah sejarah penandatanganan persetujuan dengan IMF pertama kali, Kompas menerbitkan Iklan Layanan Masyarakat mendukung adanya badan penguatan ekonomi dan keamanan finansial. Iklan ini membandingkan kehidupan dengan medan pertempuran, dalam adegan itu digambarkan Indonesia sedang berjuang melawan badai krisis moneter dengan bantuan IMF dan teman-teman Indonesia.

Menurut ekonom anti-IMF, Didi Rachbini, IMF merupakan masalah kedua Indonesia.

"The discourse of Indonesian cultural identity in this particular time of crisis evokes not only an interrogation of the boundary between what is inside and outside, but also the repressed feelings against the most sensitive, problematic sides of the national self: the Chinese, the New Order version of national identity, the military, the racial-ethnic-religious-gender configurations."

Islamisasi McD pada kerusuhan Mei 1998 juga menceritakan jalinan antara yang global dan lokal. Tampak bagaimana McD yang berbasis di Jakarta berusaha diakuisisi oleh sekelompok komunitas Muslim dengan mengatakan jika toko itu dimiliki oleh Muslim dan pribumi.

Budianta, Melani. "Discourse of cultural identity in Indonesia during the 1997–1998 monetary crisis." The Inter-Asia Cultural Studies Reader. Routledge, 2015. 507-522.

Link: https://www.taylorfrancis.com/chapters/edit/10.4324/9780203960981-31/discourse-cultural-identity-indonesia-1997%E2%80%931998-monetary-crisis-melani-budianta

PROFIL SCHOLAR:

Melani Budianta (Tan Tjiok Sien) merupakan akademikus Indonesia kelahiran Malang, 16 Mei 1954. Dia merupakan pengajar di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia (UI). Melani memperoleh gelar Sarjana dari Fakultas Sastra UI (1979), lalu Master di bidang Kajian Amerika dari Universitas Southern California (1981). Kemudian mendapat gelar Ph.D dari jurusan Sastra Inggris, Universitas Cornell (1992). Minat penelitiannya terkait teori poskolonial, gender, dan kajian budaya. Berbagai penelitiannya terkait tema tersebut telah diterbitkan di jurnal Indonesia maupun internasional.

#31daysofindonesianscholars #melanibudianta #culturalidentity #indonesia #monetarycrisis #soeharto #1998

Tidak ada komentar:

Posting Komentar