Senin, 16 November 2015

Efek Rumah Kaca & Payung Teduh Fragmen


-Adagio backsong-
 
Saya tidak tahu, tangan apa yang bisa membuat saya sampai ke tempat ini? Bagaimana mulanya, bagaimana kajian epistemologisnya? Saya hanya terharu bahwa sekarang saya masih hidup dan sebisa mungkin hidup saya bukan menyoal diri saya tapi menyoal orang lain. 

Pertemuan saya dengan Efek Rumah Kaca dan Payung Teduh, Sabtu (14 November 2015) kemarin mencoba mengajak saya akan refleksi hidup saya sendiri. Saya baru kenal dua band ini saat di Jogja, karena mungkin mereka tidak sering masuk TV— makanya dulu saya tidak tahu. Karena menyoal “musik” kebanyakan orang yang ditahu cuma yang ada di TV. Begitu sempit hidup.

Lagi-lagi, yang memperkenalkan saya dengan dua band alternatif ini adalah para elemen LPM Arena. Payung Teduh pertama kali saya mengenalnya di Vila Bella Plaza, Kaliurang. Tempat saya dan teman-teman di upgrading jadi anggota resmi Arena 2013. Pas di vila itu, Mas Jamal lagi nulis esay sambil memutar musik, saya tak tahu yang nyanyi siapa. Saya mendengarnya kok enak di telinga, ada instrument berbeda dari grup ini. Musiknya lembut dan sesuai dengan kepribadian saya yang melankolis. Saya hanya menghafal beberapa lirik lagunya yang menurut saya puitis dan mengena. Saya masih ingat pararara… pararara… aku ingin berjalan bersamamu di antara daun gugur… Singkat cerita berproses, saya mendengar lagu-lagu ini lagi di sekret, terjawab sudah yang nyanyi Payung Teduh. Yah, sesuai namanya, musiknya bikin teduh.

Efek Rumah Kaca (ERK) ini yang lebih unik. Saya kenal ERK dari sebuah kontradiksi. Belum lama ini, di tahun 2015, saat itu siang, di sekret Arena. Di Arena sedang lumayan ramai karena teman-teman Teater Eska kayak Mas Bedil main. Nah, Mas Sabiq entah siapa nyetel lagu dari komputer Arena yang diteruskan ke sound yang kondisinya sekarang angin-anginan (kadang bunyi, kadang enggak). Lagu yang menurut saya liriknya aneh, nyeleneh, edan, out box semacamnya. Masak saya dengar begini:

….jatuh cinta itu biasa saja…. (sebagai orang yang jatuh cinta, saya dengar lirik ini kayak di-knock out)
….gelap adalah teman yang setia…. (serasa hidup saya sekali, hha)

Saya langsung curious siapa ini yang nyanyi? Band aneh mana lagi ini? Mas Bedil, Mas Jamal, Mas Sabiq pada hafal lagi, kok asik ya. Ini baru terjawab agak lama, saat malam sepi di Arena. Seseorang, sebut Si James nyetel lagu dari komputer. Trus James pergi dan yang tersisa di Arena cuma saya. Lalu saya lihat komputer Arena musik siapa yang diputar: oh yang nyanyi Efek Rumah Kaca. 

Saya langsung semangat copas dan mendengarnya di kos. Brengsek! Seperti halnya saya kenal dengan Sisir Tanah, liriknya kritis, liyan, puitis, dan menggugah kesadaran. Saya kenal band yang "berisi" (versi saya) lagi. Yang liriknya saya banget dan tiap dengarin itu saya merasa punya teman. Di antara 24 lagu ERK yang saya punya, sekitar sebulan saya hampir menghafalnya semua. Bahkan ke-24 lirik lagunya, dalam rangka observasi proses kreatif buat puisi, saya catat, saya tulis ulang di buku. Semua lagu saya suka semuanya, tapi yang paling saya suka yang “Debu-debu Berterbangan” dan “Balerina”.

Jujur, saya tidak mencari hal-hal privasi dari ERK dan Payung Teduh. Bahkan saya tidak hafal semua personelnya. Yang saya ingat, vokalis ERK namanya Mas Cholil (personel lainnya saya tidak tahu). Kalau vokalis Payung Mas Is (ah, kok sama kayak panggilan saya, haha). Meski begitu saya khatam dengan lagu-lagu mereka. Saya mencintai mereka karena kontribusi mereka untuk orang lain, khususnya penikmat musik Indonesia. 

Musik ERK, bagi saya pribadi menyimpan semacam revolusi  bagi kaum marjinal. Seseorang yang disingkirkan dari lingkungannya kayak di lagu Sebelah Mata, Jalang, Di Udara, dan tentang eksistensi yang pudar dalam Tubuhmu Membiru Tragis. Atau lagu para kaum urban seperti di lagu Banyak Asap Di Sana dan Belanja Terus Sampai Mati . 

Banyak juga lirik-liriknya yang berkisah tentang malam, bahkan hampir semua menurut saya suasananya malam, tapi yang paling kentara ada dalam lagu Insomnia dan Melankolia. Atau tentang filosofi memaknai hidup dan bagaimana hidup itu berjalan dalam Balerina, Debu-debu Berterbangan, Desember, Kamar Gelap, Hujan Jangan Marah. 

Atau lagu kritik terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di sekitar kita seperti dalam lagu Mosi Tidak Percaya, Efek Rumah Kaca, Menjadi Indonesia, Kenakalan Remaja di Era Informatika. Juga yang paling dalam tentang cinta yang aneh, yang beda dari kebanyakan orang, cinta alternatif, kayak di lagu Jatuh Cinta Biasa Saja, Kau dan Aku Menuju Ruang Hampa, Lagu Kesepian, Lelaki Pemalu, atau lagu para LGB (Lesbi, Gay, Bisek) di Bukan Lawan Jenis.Yah, saya suka ERK.

Jika Payung Teduh, lagu-lagunya mengajarkan saya tentang perspektif cinta yang substil dan dewasa. Bukan lagu cinta pop yang denotatif. Payung Teduh itu bagi saya bersayap dan romantis, lihat saja dalam lagu Berdua Saja,  Untuk Perempuan yang sedang dalam Pelukan. Juga lagu tentang kekecewaan tapi masih ada harapan atau sesuatu yang menyentuh kenangan Resah, Angin Pujaan Hujan,  Cerita tentang Gunung dan Laut, Kucari Kamu, Tidurlah, atau dalam lagu Kita Adalah Sisa-sisa Keikhlasan yang Tak Diikhlaskan.

Dan Sabtu malam minggu (14/11), saya dan kamerad saya Anis pergi berdua ke konser Gelar Karya & Budaya Mechanical Project, mahasiswa-mahasiswa Teknik Mesin Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Konsernya diadakan di sportorium UMY. Kami duduk di kursi festival, karena tiketnya paling murah (30K). Kami diberi gelang kertas kayak naik kapal gitu atau mau masuk ke wahana rekreasi mana gitu. Saat itu saya juga bawa kamera Arena, dikenai pajak 15K yang itu bagi mahasiswa pas-pasan seperti saya mahal.

Acaranya dipandu oleh Selososelo. Ada tarian adat dan stand up comedy juga. Lalu yang dinanti-nanti tiba. Yeah, Payung Teduh membuka malam itu dengan lagu Kucari Kamu, pas lihat Mas Is, ah beda banget sama musiknya. Rambutnya gondrong, suaranya cetar, dan khas Is banget. 
Dilanjut lagu-lagunya yang lain yakni Perempuan yang Sedang dalam Pelukan, Angin Pujaan Hujan, Tidurlah, Kita Adalah Sisa-sisa Keikhlasan yang Tak Diikhlaskan, Resah, ditutup lagu yang liriknya Menuju Senja, Payung Teduh… harum mawar di taman, menusuk ke dalam sukma dan menjadi tumpuan rindu cinta bersama di sore itu menuju senja….
Lalu detik-detik yang saya tunggu, “Efek Rumah Kaca”! Allahu Akbar!!! Lagu pembukanya langsung Debu-debu Berterbangan… saya mendadak agamis dan ingat mati. 

“Demi masa, sungguh kita tersesat, membiaskan yang haram karena kita manusia
Demi masa, sungguh kita terhisap, ke dalam lubang hitam, karena kita manusia
Pada saatnya nanti, tak bisa bersembuyi
Kita pun menyesali kita merugi
Pada siapa mohon perlindungan
Debu-debu berterbangan…”

-Atomos. Al 'Ashr-

Pas ERK main, posisi saya sudah VVVIP (Very-very-very Important Person), di pertengahan Payung Teduh main saya sudah merangsek ke depan panggung sendirian bersama kamera saya bareng beberapa fotografer yang lain.

Sayangnya, di sana nggak ada kesempatan buat jingkrak-jingkrak karena model panggung dan penontonnya dibuat kursi-kursi bernomor dan berkelas gitu. Padahal lagu-lagunya ERK asik buat jingkrak-jingkrak. Nggak bisa rock and roll. 

 
Alhasil saya menggilanya sambil duduk badan gerak-gerak semua. Mas-mas fotografer di kiri kanan saya aneh juga kayaknya mandangin saya. Bodoh. Saya sedang bahagia melihat band yang saya sayangi nyanyi di depan. Salah satu mimpi saya nonton ERK terwujud. Dan di paling depan jelas banget nontonya, haha. 
 
Daftar lagu yang ERK nyanyikan: Debu-debu Berterbangan, Kau dan Aku Menuju Ruang Hampa, Sebelah Mata, Hujan Jangan Marah, Hujan Jangan Marah, Kamar Gelap, Pasar Bisa Diciptakan, Lelaki Pemalu, Jangan Bakar Bukumu (feat Is Payung Teduh), Di Udara, Putih, Jatuh Cinta Itu Biasa Saja, Lagu Kesepian, dan ditutup Desember.

….seperti pelangi setia, menunggu hujan reda.



IS, 2015 Nove 16