Rabu, 03 Oktober 2018

Kaya

Miskin diri gak boleh dipelihara lama.

Urip Ora Majas

Malam itu sangat lelah. Pukul 22.00 lebih, saya berniat makan terlalu malam. Akhir-akhir ini karena kebutuhan sayuran kurang, akhirnya saya beli capcay—karena memang penggemar capcay, banyak titik penjual capcay di Jogja yang pernah saya datangi dan saya bisa membedakan rasa hingga tekstur dari penjual capcay A hingga penjual capcay  M.

Salah satu penjual yang pernah saya datangi dan masakannya enak, ada di daerah Brimob, depan masjid Brimob kalau mau ke arah Stadion Mandala Krida. Dekatnya ada burjo. Saya suka datang ke sana karena selain rasanya enak tadi, juga masakan di sana tak pakai garam dan micin. Rasa asin didapat dari minyak ikan. Sebab kebanyakan garam kata Bapak penjual yang saya belum sempat menanyakan namanya akan menyumbat pembuluh darah dan kalau micin Anda tahu sendiri risikonya. Ditambah, Bapak penjualnya sangat sopan dan ramah. Warung buka sekitar habis magrib hingga pukul 1 atau dua pagi. Satu porsi sekitar Rp15.000 (lumayan mahal untuk ukuran Jogja, apalagi freelancer kere seperti saya).

1 Oktober 2018, Bapak itu mengajari saya banyak hal terkait hidup. Beliau korban gempa tahun 2006. Rumahnya di belakang warung, karena rumah asli telah porak poranda. Beliau menderita komplikasi syaraf terjepit di bagian tangan dan leher, stroke di kepala bagian kiri, dan penyakit yang diakibatkan karena kesalahan fisioterapi. Beliau sering berobat di RS Bethesda dengan menggunakan BPJS. BPJS kata beliau juga sekarang rumit karena beda penggolongan. Tapi sangat membantu karena sekali berobat bisa habis 1-2 juta, apalagi ditambah obat sing ora majas banyaknya. Beliau bukan alergi obat, tapi kebanyakan obat tidak baik untuk tubuh. Di tengah umur beliau yang tak lagi muda, untuk urusan makan dia sangat selektif. Apalagi urusan hidup. Beliau lebih mementingkan EQ daripada IQ.

Kami membahas Jogja pula yang saat ini dipenuhi banyak hotel. Hotel yang sejatinya tidak disukai oleh masyarakat dan investor lokal. Sebab investinya terlalu tinggi dan masa balik modal (break down) lama, hingga 50-an tahun. Sedang investor lokal tak kuat dengan semua itu. Hotel yang sudah berbintang dan banyak lantai, pasti sudah bisa dipastikan itu ada investor asing di dalamnya. Di level menengahnya, tumbuhnya kos dan penginapan menerapkan kebijakan yang lebih fleksibel. Dulu yang awalnya kos minimal setahun atau bulanan, sekarang harian pun bisa. Apalagi di musim-musim wisuda ketika banyak keluarga hadir. Didukung oleh ekosistem Jogja sebagai gudangnya universitas di Indonesia. Sehari Rp200.000 sudah menjadi angka yang lumayan.

Hidup sejatinya adalah “menunggu/antri mati”. Untuk menempuh hidup dan mati, butuh namanya “sangu” (bekal)—sangu urip karo sangu mati. Hidup hari ini adalah sebab dan akibat dari kemarin. Apa yang disebut karma adalah apa yang kita tanam. Kalau yang kita tanam baik, niscaya karma juga akan baik. Kalau nanam hal yang tidak benar, tukulnya juga akan seperti itu. Hakikat kebahagiaan menurut beliau adalah “merasa bersyukur” (urip sing sumeleh, andhap ashor). Tak perlu minder dengan keadaan semisal (si Bapak menunjuk saya) sudah sarjana kok kerja masih pakai sepeda.

Nilai utama hidup adalah “kejujuran”. Tanpa kejujuran orang tak akan dipercaya. Apalagi pada orang yang suka senggol sana dan senggol sini, wis ora ono ajine. Beliau mengajari nilai kejujuran pada anaknya ini pada umur yang masih sangat kecil. Anak kalau mengambil uang Bapaknya tanpa bilang sekecil apa pun itu, pasti Bapak akan marah. Tapi kalau bilang dan lagi ada uang pasti diberi banyak. Sebelum saya datang, Bapak itu juga kedatangan pembeli dari India. Sempat curhat juga terkait kejujuran pekerja India itu di McMohan, Jalan Solo.

Semakin banyak diberi titipan maka tanggung jawabnya juga semakin besar. Entah titipan harta, kecerdasan, dan lain-lain. Cara mengungkapkannya dengan berbagi. Beliau mengisahkan ada seorang pengemis di Prancis yang suatu hari mendapat hadiah lotre yang sangat besar. Uang itu tak dia gunakan sendiri, tapi sekitar 20%-nya diamanatkan untuk diberikan pada sekaumnya. Karena dia sadar uang itu tak sepenuhnya menjadi hak dia. Beliau juga menyinggung Bill Gates yang kayanya minta ampun tapi uangnya juga digunakan untuk kegiatan sosial.


Jogja, 1 Oktober 2018