Kekacauan yang disebabkan karena serangan Al Qaeda dan kudeta Taliban, membuat publik Barat di negara-negara besar hampir tidak menyadari munculnya kelompok baru yang kuat, meskipun tidak selalu sukses, yaitu bentuk populisme Islam di beberapa negara Islam. Di satu sisi kemunculannya ini menjadi bagian dari fenomena umum dari respons populis terhadap kontradiksi yang ditimbulkan dari rezim kapitalisme global dan neoliberal beberapa dekade terakhir. Di satu sisi merupakan dampak dari konflik Perang dingin dan transformasi masyarakat Muslim sejak runtuhnya kerajaan kolonial dunia. Menekankan pada sokongan sosial terhadap populisme, Vedi berpendapat bahwa varian Islam baru menunjukkan naiknya ambisi, tumbuhnya frustrasi, dari kelas menengah urban di lintas negara Muslim di dunia, dengan bersandar pada politik liberalisme, kegelisahan populasi urban miskin, hilangnya tradisi ideologi kiri, dan juga kelompok borjuasi yang relatif terpinggirkan.
Dengan kemunculan koalisi lintas kelas, populisme Islam baru memperoleh kemenangan besar terhadap kekuasaan negara dan sumber daya material nyata untuk umat. Selain itu, umat dipahami mengalami kenaikan secara nasional, alih-alih menggunakan istilah Pan-Islamisme, karena Populisme Islam Baru telah secara dominasi berkembang melawan negara yang otoriter. Yang penting, tidak ada hal yang bersifat anti-kapitalis, terlepas dari retorika egaliter, atau anti-demokrasi dalam agenda yang dihasilkan. Semua ini ditunjukkan dalam artikel ini melalui diskusi tentang Indonesia, negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, dan dengan membandingkannya dengan Mesir dan Turki.
Selain merupakan negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, penting juga bagi ketiga negara tersebut untuk melakukan reformasi ekonomi neo-liberal yang hampir bersamaan di bawah pemerintahan otoriter Mesir di bawah pemerintahan Sadat dan Mubarak pada tahun 1970-80an, Turki di bawah pemerintahan Ozal (yang dimungkinkan oleh kudeta militer tahun 1980_, dan Indonesia di bawah Soeharto yang beralih ke industrialisasi yang berorientasi ekspor setelah berakhirnya booming minyak pada tahun 1980an.
Terlebih lagi, ketiga negara tersebut melakukan demokratisasi melalui proses-proses yang telah dilakukan dengan gejolak yang berbeda. Pada titik inilah organisasi-organisasi Islam masuk arena Pemilu, dengan agenda paling suksesnya mempromosikan agenda globalisasi yang pro-ekonomi dan menganut demokrasi. Di Turki, kemudian di Mesir, partai-partai politik yang mendukung agenda tersebut bahkan telah mencapai kesuksesan besar, meskipun hal ini tidak akan bertahan lama akhirnya. Namun di Indonesia, ceritanya adalah kegagalan terus menerus. Salah satu alasannya, seperti yang kita lihat, adalah karena liberalisasi ekonomi di Indonesia tidak membantu menciptakan borjuasi besar Muslim yang saleh seperti yang terjadi di Turki dan Mesir. Didukung oleh koalisi lintas kelas yang kurang kuat dibandingkan rekan-rekan mereka di Turki atau Mesir, partai politik Islam di Indonesia hanya bisa membuat terobosan yang relatif terbatas ke dalam kekuasaan negara.
Ada penekanan baru pada politik populis karena tanggapan baru-baru yang dilakukan atas nama "rakyat kecil" terhadap praktik dan dampak sosial dari perkembangan kapitalis dan integrasi global. Di Eropa, politik populis akhir-akhir ini diasosiasikan dengan kecenderungan anti imigrasi yang diwakili oleh politisi senior dan junior Le Pen di Prancis, Fotuyn dan Wilders di Belanda, serta kelompok sayap kanan Swedia. Semua pihak mendapat manfaat dari kekhawatiran mendalam mengenai masa depan, tidak terkecuali di kalangan kelas pekerja, akibat dimulainya perubahan sosial yang besar selama beberapa dekade terakhir. Di sisi lain, kemunculan para pemimpin seperti mendingan Chavez di Amerika Latin dan Ahmadinejad di Iran, yang sama-sama menganut retorika anti-imperialis dan pro-rakyat, merupakan salah satu penyebab utamanya munculnya perhatian baru.
Pada waktu yang sama, ada ledakan kepentingan baru dalam politik Islam. Meskipun kajian mengenai Islam dan politik sesudah ada sejak zaman kekaisaran kolonial, dan awal pascakolonialisme, banyak kontribusi baru-baru ini yang diwarnai oleh sempitnya hak prerogatif yang muncul setelah serangan 11 September 2001 terhadap Islam dan politik Amerika Serikat.
Hal ini seringkali membahas isu-isu yang berkaitan dengan ekspresi radikal identitas dan politik Islam, di Barat dan di dunia Islam. Seperti halnya populisme, ungkapan-ungkapan semacam itu digambarkan sebagai sesuatu yang tidak rasional, dan lebih jauh lagi, bersifat pra-modern, atau bahkan anti-modern, seperti yang diungkapkan oleh orientalis Bernard Lewis (1990).
Hubungan antara populisme dan politik Islam telah diteliti sebelumnya, meskipun ini bermanfaat untuk melihat ekspresi baru dari politik dan identitas Islam hubungannya dengan kemunculan populisme Islam baru di tengah-tengah kontradiksi perkembangan kapitalisme dan tekanan globalisasi.
Bentuk baru ini dapat dibedakan dari populisme Islam lama yang fokus utamanya pada perlindungan posisi kepemilikan urban miskin dan kepentingan pedesaan di tengah dominasi penjajahan barat. Selama beberapa dekade, kemunculan organisasi tradisi lama yang menjadi perwakilan dari umat di masa lalu hubungannya dengan negara sekuler, atau pun masa kolonial, pos-kolonial. Di Indonesia, beberapa dari organisasi tersebut masih tetap mengakar, yang paling menonjol adalah Muhammadiyah, yang merupakan kendaraan "reformis" para pedagang perkotaan dan pesaingnya, juga Nahdlatul Ulama, yang secara tradisional dipimpin oleh para ulama pemilik tanah di pedesaan dan para pengikutnya.
Di Mesir, contoh lainnya, adalah didirikannya Ikhwanul Muslimin yang didirikan pada tahun 1928 oleh Hasan al-Banna, putra seorang ulama, pemilik properti kecil dan tukang jam tangan. Pendiriannya berkaitan dengan meningkatkan ketidakpuasan di kalangan borjuis kecil terhadap nasibnya di bawah dominasi politik dan ekonomi Inggris, meskipun, seperti yang kita lihat, organisasi ini telah mengalami transformasi internal yang signifikan.
Berbeda dengan bentuk populisme Islam yang lebih tradisional dan lebih tua, populisme Islam yang lebih baru lebih bersifat lintas kelas dalam basis sosialnya. Mereka dengan kuat merangkul kelompok kelas menengah perkotaan dan kelompok miskin dan bahkan kelompok borjuasi besar yang relatif terpinggirkan, tak peduli betapa gagapnya hal tersebut.
Berbeda dengan bentuk yang lama, yang biasanya melihat gerakan-gerakan yang dipimpin oleh borjuis kecil dan memperoleh banyak pengikut, terutama di kalangan kaum tani, bentuk yang lebih baru cenderung dipimpin oleh para profesional terpelajar, dan ketika sukses, juga para pengusaha yang berkuasa. Karena komposisi dan kepemimpinannya, agenda Populisme Islam Baru sepenuhnya modern: untuk mengatur ulang kekuasaan dengan cara yang memihak pada umat yang semakin beragam dalam hal basis kelasnya. Hal ini mencakup upaya untuk menjamin akses dan kendali yang lebih besar terhadap negara dan sumber daya nyata, termasuk sumber daya yang tersedia melalui partisipasi intensif dalam globalisasi ekonomi.
Agenda seperti ini lebih sulit dibayangkan oleh perwakilan dominan dari bentuk populisme Islam lama, yang terdiri dari kaum borjuis kecil yang menghadapi kapitalisme melalui kolonialisme Barat. Meskipun terdapat kritik yang terus menerus terhadap dominasi global Barat, sebaliknya agen-agen sosial Populisme Islam Baru cukup nyaman berada dalam kapitalisme kontemporer. Lebih jauh lagi, meski menyerukan perubahan, mereka tidak memikirkan adanya perombakan sistem ekonomi kecuali melalui seruan terhadap moralitas Islam, sehingga memfasilitasi peningkatan politik dan ekonomi bagi orang-orang saleh. Memang benar, konsepsi umat terlah berkembang menyoroti kelompok "masyarakat biasa" yang terpinggirkan secara sosial dan ekonomi, namun lurus secara moral dan berbudi luhur, yang menentang kelompok elite yang rakus dan tidak bermoral. Konsepsi seperti ini merupakan ciri ideologi populis secara umum.
Dengan kata lain, Populisme Islam Baru membayangkan sebuah negara yang dipimpin oleh orang-orang saleh, yang akan memfasilitasi pasar yang beroperasi dengan cara yang menguntungkan umat. Namun hal ini tidak serta merta mengharuskan pembentukan Islam secara terang-terangan, meskipun seruan seperti itu seringkali dilakukan oleh mereka yang paling tidak mempunyai posisi untuk mencapai kemajuan melalui mekanisme politik formal.
Oleh karena itu, yang paling umum adalah perwakilan Populisme Islam Baru menginginkan negara dan masyarakat kapitalis yang akan melihat kekuasaan dan sumber daya didistribusikan kembali secara lebih “adil”.
Inilah salah satu alasan keberhasilan perjuangan Populisme Islam Baru di Turki berfokus pada isu-isu pemerintahan yang didasarkan pada moralitas Islam konservatif, dan bukan pada negara Islam.
Populisme Islam Baru di sini sebenarnya sangat menganut paham ini kebijakan ekonomi neo-liberal yang mengintensifkan keterlibatan perekonomian Turki dengan kapitalisme global.
Namun tujuannya tetap untuk menyerang benteng sekuler Kemalisme dengan memberikan peluang bagi kelompok borjuasi dan kelas menengah yang lebih berbudaya Muslim yang sebelumnya dipinggirkan oleh negara.
Beberapa perkembangan setelah Pemberontakan Arab juga memberikan indikator penting mengenai bagaimana agenda Populis Islam Baru dapat berkembang. Di Mesir, Ikhwanul Muslimin telah mengalami transformasi internal selama beberapa dekade; lebih dari sebelumnya, partai ini memimpin konstituen yang benar-benar lintas kelas. Pada gilirannya, hal ini merupakan hasil dari perubahan sosial yang besar, terutama sejak perekonomian Mesir dibuka secara bertahap pada tahun 1970an.
Ikhwanul Muslimin kurang menekankan pendirian negara Islam, menghindari kekerasan, dan menganut prinsip-prinsip ekonomi pasar kapitalis. Yang paling dramatis adalah perubahan dari aktivitas politik bawah tanah menjadi partisipasi dalam politik elektoral, meskipun pada awalnya hal ini harus dilakukan secara semi-tersembunyi di era Mubarak.
Penyusunan ulang strategi tersebut bukan sekedar masalah oportunisme atau internalisasi nilai-nilai yang terkait dengan globalisasi. Yang lebih mendasar, hal ini berkaitan dengan perubahan basis sosial populisme Islam akibat transformasi kapitalis dan kebutuhan untuk merespons urgensi baru yang ditimbulkan oleh perubahan lingkungan sosial, ekonomi, dan politik.
Oleh karena itu, terdapat tumpang tindih yang jelas antara populisme, dalam hal seruan terhadap gagasan “rakyat” yang tertindas secara universal dan ekspresi politik Islam terkini, dalam hal seruan terhadap umat yang terpinggirkan.
Namun, bagi negara-negara lain di Indonesia, akses terhadap kekuasaan yang memungkinkan reorganisasi perekonomian dengan cara yang memberikan keistimewaan bagi umat masih sangat jauh. Namun demikian, seperti halnya di Mesir dan Turki, tidak ada penolakan langsung terhadap ekonomi kapitalis, yang ada hanyalah dominasi pihak-pihak di luar umat, dalam hal ini khususnya bisnis yang dimiliki oleh etnis Tionghoa.
ABSTRAK:
Bentuk baru populisme Islam telah berkembang di berbagai bagian dunia Muslim. Kemunculannya merupakan fenomena umum dari respons populis terhadap kontradiksi dari kapitalisme global. Ini juga sebagai dampak dari konflik sosial era Perang-Dingin dan transformasi struktur sosial dalam masyarakat Muslim abad ini. Khususnya hal berkaitan dengan meningkatnya ambisi dan tumbuhnya frustrasi dari kelas menengah urban Muslim dunia. Kegelisahan populasi urban miskin yang tumbuh dan bagian yang relatif terpinggirkan dari borjuis. Hal ini menunjukkan koalisi lintas kelas, Populisme Islam Baru bertujuan untuk menyediakan akses terhadap kekuasaan dan sumber daya yang nyata terhadap umat yang dianggap tertindas dan homogen, meskipun kenyataannya semakin terdiferensiasi. Hal ini ditunjukkan melalui diskusi antara Indonesia, Mesir, dan Turki. Artikel ini mencoba menyediakan analisis alternatif yang menekankan pada transisi gagasan radikal yang terancam melalui tatanan global yang sekuler dan kemudian memberikan hubungan yang kuat antara moderasi politis dan praktik demokratik, tetapi cenderung mengabaikan landasan struktural Islam politik.
Hadiz, Vedi R. "A new Islamic populism and the contradictions of development." Journal of Contemporary Asia 44.1 (2014): 125-143.
PROFIL SCHOLAR:
Vedi R. Hadiz merupakan akademikus dengan spesialisasi sosiologi politik kelahiran 1964. Profesor dan Driektur Kajian Asia di Institut Asia, Universitas Melbourne, Australia. Menyelesaikan S1 di FISIP UI dan S3 di Universitas Murdoch. Karya tulis ilmiahnya terbit di berbagai jurnal, seperti Prisma, Development and Change, New Political Economy, Democratization, Third World Quarterly, Pacific Review, Journal of Contemporary Asia, Critical Asian Studies, Historical Materialism, dan lain-lain. Pernah menjadi peneliti tamu di School for Advanced Studies in the Social Sciences (EHESS) di Prancis, International Institute of Social Studies di Belanda, Centre of Southeast Asian Studies di Universitas Kyoto, dan Departemen Sosiologi UI. Beberapa karya beliau yang penting untuk dibaca: "Islamic Populism in Indonesia and the Middle East" (Cambridge University Press, 2016), "Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia Perspective" (Stanford University Press, 2010), dan "Workers and the State in New Order Indonesia" (Routledge, 1997).
Link: https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00472336.2013.832790
#31daysofindonesianscholar #islam #islamic #populism #politics #indonesia #turki #egypt #development #journal #conteporaryasia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar