Rabu, 30 September 2020

Membedakan Kebutuhan dan Keinginan, Serta Efeknya Pada Moral

Artikel ini saya review karena kemarin ke-trigger dengan sebuah kalimat: “You’ll find it when you need it most.” Lewat tulisan filsuf Richard Wollheim bertarikh 1974 ini saya ingin menyibaknya lebih jauh.  

Kebutuhan dan keinginan memiliki pertalian yang jelas. Wollheim pengen membedakan dua hal ini dan apa implikasinya bagi moral. Untuk memahami tentang kebutuhan, mari kita simak pada fenomena yang sederhana. Misal kita mau menanam tanaman, hal yang paling dibutuhkan selain tanaman itu sendiri adalah tanah dan air. Tanpa dua hal ini tanaman akan sakit bahkan bisa mati.

Hal yang paling dibutuhkan akan paling diperhatikan. Terma ‘kekurangan’ dan ‘mempunyai’ bisa digunakan untuk kerangka pengertian kata tersebut. Objek kebutuhan dikarakterisasi sebagai sesuatu yang jika itu dipunyai akan memulihkan, dan jika kekurangan akan menyebabkan kesakitan.

Wollheim kemudian membawa fenomena kebutuhan ini pada sesuatu yang lebih kompleks. Seperti, binatang membutuhkan air dan aktivitas seksual. Apakah binatang butuh untuk memahami kebutuhan tanaman misalnya? Beberapa filsuf menjawab tidak. Kebutuhan tanaman tidak mensyaratkan kebutuhan binatang.

Misal lagi, seekor anjing jantan yang membutuhkan aktivitas seksual tengah tertidur. Di sisi lain seekor anjing betina melintas di jalan terancam tertabrak mobil. Di sini tidur adalah kasus lain, teror juga kasus lain. Kasus ini jelas tak bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan si anjing.

Sebab itu lingkaran perilaku (behavior-cycle) ini penting. Lingkaran perilaku ini menentukan apakah kebutuhan itu akan diinterferensi, diinterupsi, bahkan dilarang. Lingkaran perilaku ini mesti diketahui kriteria dari identitasnya seperti apa. Kriteria ini harus melihat ke belakang daripada ke depan.

Atau kasus lain, ketika seseorang pergi ke dokter karena kondisinya kurang baik. Dokter memeriksa dan memberikan resep obat. Kemudian orang itu pergi ke apotik untuk membeli apa yang dia butuhkan seperti vitamin dll, kemudian orang itu sembuh. Dokter pun puas akan pemulihannya dan orang itu juga senang. Ini membuktikan suatu perilaku yang berhubungan dengan kebutuhan manusia. Atau kasus lain seseorang butuh air dan pergi kemanapun untuk mencarinya.

Faktor lain yang membuat itu menjadi kebutuhan adalah percaya. Seseorang pergi ke suatu tempat untuk mencari air karena dia percaya bahwa dia butuh air. Ini kemudian masuk dalam lingkaran psikologis (psychological cycle) yang berhubungan dengan pertimbangan budaya (cultural consideration) dan norma. Dan harus disadari: kepercayaan akan kebutuhan kita datang pula karena norma.

Garis merahnya: Yang membedakan antara kebutuhan dan hasrat (keinginan) adalah, jika seseorang butuh X, dia akan kekurangan X dan sakit jika tidak ada X. Jika seseorang ingin X, dia tidak harus kekuarangan X atau tidak harus sakit karena kekurangan  X. Jika seseorang butuh X, maka seseorang ketika kebutuhan ini terpenuhi dia akan pulih. Beda dengan keinginan yang ketika terpenuhi, belum tentu ia akan pulih atau dia tidak harus pulih.

Jika kebutuhan dan keinginan ini ditaruh dalam suatu konteks situasi, dia akan berhadapan dengan norma. Dan ketika kebutuhan ini dikalahkan oleh keinginan, di sana terjadi kejahatan moral, perbuatan tercela (moral turpitude). Sebab bisa jadi kita tidak mencintai apa yang kita butuhkan padahal itu yang lebih penting. Moral kebutuhan dan keinginan inilah yang harus diwaspadai. Atau kita menuruti keinginan kita yang menjadi kebutuhan orang lain. Bukan hak kita.

Wollheim, R. (1974). Needs, Desires and Moral Turpitude. Royal Institute of Philosophy Lectures, 8, 162-179.

Selengkapnya: http://journals.cambridge.org/abstract_S0080443600001229

Selasa, 29 September 2020

Reproduksi Sosial Kelas Pekerja - Tithi Bhattacharya

Semenjak pembentukannya, khususnya sejak akhir abad 20, kelas pekerja global menghadapi tantangan yang serius: bagaimana mengatasai semua pembagian divisi yang muncul dalam keadaan rapi, penuh bentuk perlawanan untuk merobohkan kapitalisme. Setelah perjuangan kelas pekerja global gagal mengatasi tantangan ini, kelas pekerja sendiri menjadi objek penghukuman teoritik dan praktik yang lebih luas.

Sebagian besar, penghukuman ini mengambil bentuk deklarasi atau prediksi tentang kematian kelas pekerja atau argumen bahwa kelas pekerja bukan lagi agen perubahan yang valid. Calon-calon lainnya (perempuan, rasial/etnik minoritas, gerakan sosial baru, orang-orang tak berbentuk tapi pemberontak, atau beberapa komunitas) semua memberikan kemungkinan alternatif untuk perkiraan hampir mati ini, atau kategori ekonomistik dan maskulinis dalam kelas pekerja.

Yang membuat penghukuman ini umum adalah ketidakpahaman terkait sejarah kelas yang diungkapkan oleh teori Marxis. Yang memperlihatkan suatu pandangan kekuatan kelas pekerja pemberontak dalam melampaui sekat-sekat kategori. Hari ini kritik bersandar pada visi yang dangkal terkait kelas pekerja di mana pekerja adalah orang yang memilki pekerjaan tertentu yang spesifik.

Dalam esai ini Tithi ingin menolak konsepsi tersebut dengan mengaktifkan kembali pandangan fundamental Marxis tentang pembentukan kelas yang telah digelapkan oleh 4 dekade neoliberalisme dan banyak menaklukan kelas pekerja global. Tithi akan menjelaskan kerangka kerjanya menggunakan konsep reproduksi sosial.

Berpikir tentang kelas pekerja ini penting untuk mengakui bahwa pekerja memliki eksistensi di luar tempat kerjanya. Tantangan teoritis sebelumnya bersandar pada pemahaman hubungan antara eksistensi dan kehidupan produktif mereka di bawah dominasi langsung kapitalis. Hubungan antara bidang ini akan membantu kita mengambil arah strategis untuk perjuangan kelas.

Sebelum sampai kesana, Tithi menjelaskan konsep awal, dari kritik ekonomi politik Karl Marx. Sebab akar dari konsepsi terbatas hari ini terkait kelas pekerja merupakan bagian yang lebih luas dari suatu pemahaman terbatas yang sama dari ekonomi itu sendiri. Seperti membaca ekonomi sebagai tekanan pasar netral yang menentukan takdir manusia karena kesempatan, atau birokrat serikat dagang yang memahami bahwa pekerja dibatasi (bahkan dilarang) untuk perolehan upah.

Kritik Marx terhadap pembatasan ini tidak sesederhana poinnya terhadap basis materialis-historis, pertama-tama, materialis-histroris harus dipahami bahwa kenyataan tidak sebagaimana kelihatannya. Pun ekonomi tampak pada kita tidak sesederhana kita bekerja dan digaji karenanya. Beberapa upah bisa jadi lebih rendah atau lebih tinggi.

Namun prinsip dari struktur ekonomi ini adalah kapitalis dan pekerja adalah makhluk setara yang terlibat dalam transaksi yang setara. Berdasarkan Marx dalam lingkup ini “faktanya seseorang yang sangat Surga, sangat halus haknya; ada peraturan sendiri terkait kebebasan, kesetaraan, kepemilikan... Ini menjadi keyakinan fundamental terkait  hak-hak hukum kita. Dan hak atas hukum ini bukan sesuatu yang fiktif, tapi ada dalam relasi pasar.Transaksi antara pekerja dan kapitalis adalah setara. Marx berpendapat bahwa tidak ada hak-hak yuridis ini, bahwa mereka (kapitalis) menyembunyikan realitas penindasan.

Jika kita hanya memahami eknomi secara sederhana, apakah rahasia kapital telah mengelola kita untuk menyembunyikan hal itu dari kita? Bahwa kekuatan yang bernyawa ini adalah buruh manusia. Bahwa buruh adalah sumber daya nilai di bawah kapitalisme dan proses ekonomi berlangsung secara kotor, morat-marit, rasis, bias gender, dan komponennya tak patuh.

Ekonomi Sebagai Relasi Sosial

Kenyataan konkret dari ekonomi yang bersifat permukaan ini adalah kenyataan untuk menggelapkan dua proses yang saling berhubungan: (1) Pemisahan antara politik dan ekonomi yang unik dalam kapitalisme, (2) Proses aktual dominasi dan pengambilan alih bahwa peristiwa melampui lingkungan pertukaran yang setara.

Yang pertama, proses itu akan meyakinkan kita bahwa aksi pemberian/derma kapitalis tampak menyelubungi pakaian ekonomi, tidak dapat dipisahkan oleh proses produksi itu sendiri. Sebab proses ini membuat (memungkinkannya) tindakan eksploitasi ‘kesetaraan’ dengan negosisasi, alih-alih mempertanyakan terkait bentuk upah. Proses kedua tak kehilatan bahwa bentuk-bentuk poros kehidupan sosial, menyembunyikan keadaan produksi.

Marx tengah mengundang kita untuk melihat ekonomi sebagai suatu hubungan sosial: bahwa seseorang terlibat dalam dominasi dan pemaksaan. Bahkan jika bentuk-bentuk yuridis dan institusi politik mencari cara untuk menghalanginya.

Ada tiga klaim fundamental terkait ekonomi sejauh ini: (1) Ekonomi berdasarkan apa yang kita lihat, adalah tampilan permukaan. (2) Tampilan itu dipenuhi benci oleh retorika kesetaraan dan kebebasan, menghilangkan fakta tersembunyi terkait dominasi dan paksaan, bentuk relasi poros kapitalisme. (3) Ekonomi juga adalah hubungan sosial, di mana kekuasaan berkebutuhan untuk menggelapkannya, untuk membuat pekerja berada dalam mode dominasi, ini juga berguna bagi kekuatan politik.

Inti dari paksaan dan dominasi kapitalis adalah untuk membuat pekerja memproduksi lebih daripada nilai kekuatan buruh mereka (the value of labour-power). Nilai lebih yang diproduksi selama bekerja ini oleh kapital disebut sebagai nilai surplus. Bentuk upah tak berarti apa-apa tapi nilai kebutuhan untuk mereproduksi kekuatan pekerja.

Untuk menjelaskan bagaimana pencurian ini terjadi setiap hari. Marx memperkenalkan konsep waktu kebutuhan buruh dan waktu surplus buruh. Di mana waktu kebutuhan buruh adalah prosi kerja yang setara antara kebutuhan produksi dan reproduksinya Waktu surplus buruh adalah waktu tambahan nilai yang dilakukan pekerja untuk kapital. Konsep secara umum dikenal sebagai teori nilai pekerja. Ada dua hal pokok: kekuatan buruh sendiri (komposisi, reproduksi, dll) dan ruang kerja (buruh pada poin produksi).

Kekuatan Buruh Sebagai Komoditas Unik dan Reproduksi sosialnya

Marx mengenalkan konsep kekuatan buruh dengan semangat pembebasan yang hebat. Kekuatan buruh dalam pengertian Marx adalah kapasitas pekerja. Yakni keseluruhan kapabilitas mental dan fisik yang ada dalam bentuk dan kehidupan nyata, yang secara personal ada sebagai manusia, kapabilitas yang bergerak ketika memproduksi nilai guna dari sesuatu hal.

Di bawah kapitalisme, bentuk komoditas umum ini adalah kapasitas manusia. Kita bisa menyebut itu sebagai kekuatan pekerja ketika pekerja menggunakan kapasitasnya itu, ketika direalitaskan, dan diekspresikan oleh buruh.

Pertanyaannya, bagaimana kekuatan buruh ini dikembalikan? Marx tidak cukup penjelasan terkait poin ini. Konsep pengembalikan ini berkaitan dengan reproduksi sosial. Para teoritis reproduksi sosial mengembangkan apa yang tak diuji dan dibuktikan oleh Marx. Yakni dampak kekuatan buruh di luar sirkuit komoditas produksi.

Secara historis, reporduksi kekuatan buruh ini bersadar pada apa yang kita sebut keluarga. Yang memerankan peran kunci reproduksi biologis yang meneruskan kelas pekerja. Dalam lingkup ini reproduksi pekerja seperti makan, tempat tinggal, perawatan, dll, untuk bekerja di hari berikutnya dilakukan.

Fungsi-fungsi ini tak sebanding dengan apa yang terjadi pada perempuan di bawah kapitalisme dan menjadi sumber eksploitasi sistem. Dimensi reproduksi sosial ini kemudian menjadi sangat luas jika dikaitkan dengan kapiler-kapiler lainnya tak hanya rumah dan tempat kerja, tapi juga sekolah, rumah sakit, ruang publik, dll.

Produksi dan Reproduksi

Ada dua perbedaan dalam produksi dan reproduksi: ruang produksi nilai dan ruang reproduksi kekuatan pekerja. Kedua ruang ini bisa beroperasi dalam ruang dan operasional yang sama. Namun, proses reproduksi sosial yang tak dibayar terjadi di rumah. Atau reproduksi sosial ini sering dipahai sebagai dua proses yang berbeda: ekonomi yang terjadi di tempat kerja dan sosial yang terjadi di rumah.

Reproduksi sosial dalam sistem kapitalis, tidak tentang pembagian antara lingkup non-ekonomi dan ekonomi, tapi tentang bagaimana ekonomi menggerakkan kondisi produksi kapitalis yang konon kita sebut non-ekonomi. Marx mengatakan, setiap proses produksi pada waktu yang sama juga adalah proses reproduksi.

Untuk proses reproduksi ini Michael Lebowitz menyebutnya sebagai ‘momen kedua’ yang berbeda dengan proses produksi kapital tapi masuk dalam sirkuit kapital, sirkuit upah pekerja. Dan kita perlu merevisi anggapan umum bahwa kapital melepaskan seluruh kontrolnya pada pekerja ketika dia meninggalkan tempat kerjanya.

Lalu skema hubungan buruh-kapital ini dapat dikatakan dalam dua hal: (1) Pekerja dipaksa masuk dalam relasi ini karena dia seagai manausia butuh mereproduksi hidupnya, tapi tidak bisa menjadi dirinya sendiri, karena dia dipisahkan dari sarana produksinya oleh kapital. (2) Dia masuk ke dalam relasi upah untuk kebutuhan subsistens, yang dikatakan sebagai kebutuhan untuk hidup tadi memiliki koneksi integral dalam kenyataan kerja/eksploitasi.

Tithi Bhattacharya. “How Not to Skip Class: Social Reproduction of Labor and the Global,” dalam Tithi Bhattacharya (ed), Social Reproduction Theory (London: Pluto Press, 2017).

Selengkapnya: http://www.jstor.org/stable/j.ctt1vz494j.8

Senin, 28 September 2020

Romo Mangun

Nggak tahu, tiba-tiba pengen bahas Rm. Mangun aja. Tadi pagi saya baca kumpulan cerpennya “Rumah Bambu” yang rasanya begitu dekat dengan keseharian, nggak muluk-muluk, sederhana, tapi dalam dan bisa numbuhi banyak analekta di kepala. Artikel yang ditulis oleh Jennifer Lindsay di jurnal Indonesia ini semacam obituari, saat Rm. Mangun meninggal pada 1999 lalu.

Nama lengkapnya Yusuf Bilyarta Mangunwijaya. Romo lahir di wilayah para pastor masa depan Indonesia lahir, Ambarawa, 6 Mei 1929. Anak tertua dari 12 bersaudara, ayahnya lulusan SD dan ibunya kindergarten (TK). Nama Bilyarta didapat karena ayahnya tengah bermain billiard saat Rm. Mangun lahir. Blio pernah sekolah Arsitektur di ITB pada tahun pertama dan kemudian lima tahun belajar di Jerman, sekolah teknik di Aachen (1966). Romo dikenal dengan banyak julukan: arsitek, aktivis, novelis, pekerja sosial, intelektual, esais, pastor, dan tentu tokoh Katolik terkemuka.

Romo pernah bekerja sebagai pengajar arsitektur di UGM juga yang utama menjadi pastor di Muntilan. Pada 1981, Rm. Mangun pergi ke Kali Code, suatu wilayah yang dulu sangat kompleks kondisi masyarakatnya. Ada yang bekerja sebagai copet, prostitusi, penjahat, hingga pengumpul pasir. Rm. Mangun membuat suatu program transformasi baru bersama mayarakat. Serta pada 1994 blio membuat sekolah dasar juga untuk anak-anak miskin. Sangat mementingkan arti pendidikan dan budaya membaca.

Beliau terkenal sebagai sosok yang sederhana, baik di ranah sosial ataupun dalam tulisan-tulisannya. Menulis di banyak subjek dan lebih menampilkan komitmen pribadinya daripada afiliasi. Memiliki keberanian yang besar, menempatkan diri pada risiko, dan menyanggah otoritas Orde Baru yang mempabrikasi pahlawan khususnya Soeharto. Dia juga berbicara terkait pemalsuan sejarah, serta topik-topik yang tabu pada saat itu: kemerdekaan Timor Timur, reformasi konstitusi, kebutuhan Indonesia federal, dan iklim politik yang kondusif. Esai-esainya untuk media berbahaya, tajam, pintar jenakan, menimbulkan kesadaran, jarang repetitif dan menggurui.

Romo meninggal di Jakarta, 10 Februari 1999 pada usia 69 tahun. Bahkan saat kematiannya Romo ingin mendonasikan tubuhnya untuk kemanusiaan. Meski keinginanya ini dilarang oleh kepala uskup. Sebagaimana pastor yang baik, mengikuti sabda pimpinan yang lebih tinggi adalah khaulnya. Sebelum kematiannya pula, Romo masih sempat mengirim surat ke Presiden Habibie saat itu, memuji kebijakan Habibie soal Tmor Timur dan meminta penghentian campur tangan ABRI yang pro-integrasi.

Saat kematiannya, upacara berkabung digelar di katedral Jakarta, dan pemakamannya dilakukan pada tanggal 12 Februari 1999 di Yogyakarta. Misa rekuim dilakukan di Gereja Kidul Loji, dihadiri oleh gelombang pelayat dari berbagai daerah. Dari intelektual, seniman, orang-orang dari berbagai agama, warga Kalicode, hingga petani dari Kedung Ombo yang dibela oleh Rm. Mangun. Requiem aetarnam.

Romo menulis berbagai esai, cerpen-cerpen; dan delapan novel: Burung-burung Manyar (1981), Romo Rahadi (1982), Ikan-ikan hiu, Ido dan Homa (1983); trilogi: Roromendut, Genduk Duku, Lusi Lindri (1983-86), Durga Umayi (1991) dan Burung- burung Rantau (1992).

Lindsay, J. (1999). Y. B. Mangunwijaya: 1929-1999. Indonesia, 67, 201-203.

Selengkapnya: http://www.jstor.org/stable/3351386

Minggu, 27 September 2020

Pengalaman Benedict R O’G Anderson, Musim Berat Menjadi Scholar Indonesia

Pada musim gugur 1985, Benedict R O'G Anderson diundang ke dalam sebuah konferensi di Washington untuk suatu topik: hubungan antara sarjana (scholar) dan pemerintah. Ben dengan wajah skeptisnya bercerita pengalaman pribadinya. Ceritanya meliputi, terdapat hubungan yang sulit antara Cornell Modern Indonesia Project (CMIP) dengan pemerintah AS dan Indonesia di masa Orde Baru. Satu yang pasti sebagaimana yang ia pendam dalam hati, sedikit orang yang tahu tentang "Indonesia"; apalagi sejarahnya.

Dia mengingat betul sejarah awal republik baru ini berdiri. Ketika pada 1 Oktober 1965 ada 6 jenderal berpengaruh dibunuh oleh pasukan istana Presiden Soekarno, Resimen Tjakrabirawa. Lalu dilanjutkan dengan gerakan kontrev yang dilakukan oleh Jenderal Suharto yang mengatakan jika penyerangan itu diotaki oleh orang-orang PKI. Kemudian Soeharto mengeluarkan serangkan sistematisnya melalui partai. Pada pertengahan Oktober 1965 dan pertengahan Januari 1966, genosida terjadi dan melibatkan sekitar 500 ribu-1 juta orang. Ratusan orang dipenjara dan lebih banyak lagi yang mengalami siksaan.

Tidak puas dengan klaim tentara terkait kejadian yang sungguh terjadi sebelum dan pada 1 Oktober 1965, peneliti di CMIP yang terdiri dari Ruth McVey, Frederick Bunnel, dan Benedicst R. O'G. Anderson (dua yang terakhir ini masih murid pascasarjana) mencoba merekonstruksi kemungkinan klaim militer. Basis data bersumber pada Perpustakaan Universitas Cornell (Echols Collecstion) tentang Asia Tenggara.

Pada 10 Januari 1966, para murid progresif ini telah menyelesaiakan 162 halaman laporan berjudul "A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia" (Sebuah Analisis Awal tentang Serangan 1 Oktober 1965 di Indonesia). Dokumen ini menanyakan dengan serius apakah benar PKI menjadi otak serangan? Di sisi lain ada konflik dalam internal-TNI. Saat itu Ben dan teman-teman takut karena masih banyak orang yang dipenjara dan dibunuh, mereka takut apa yang telah dilakukan diketahui oleh TNI. Atau yang menakutkan juga ketika pembalasan dilakukan kepada semua orang Indonesia yang belajar di Cornell atau teman dekat mereka yang bekerja secara bersama.

Lalu pada 27 Januari 1966, Kepala CMIP, Prof. George Kahin memberikan kesaksian, ungkapan skeptis tentang klaim tentara Indonesia bahwa serangan didukung oleh Peking, dan menganggap itu cenderung berasal dari tekanan internal-TNI. Bulan selanjutnya, Kahin meminta Ruth McVey untuk memberi penjelasan singkat terkait serangan itu pada kolumnis Joseph Kraft. kemudian dengan ketakutan besar, Kraft mempublikasikan tulisan di Washington Post yang meringkas terkait Analisis Awal (Preliminary Analysis) dari Ben dkk, yang kemudian Analisis Awal itu terkenal dengan nama "Cornell Paper". Dari kolom Kraft tersebut, publik jadi sadar akan apa yang terjadi. Secara dia-diam dibuat salinannya, 2 lembar dikirim ke Departemen Negara dan disalurkan ke otoritas militer di Jakarta.

Di waktu yang sama, sejumlah koran dan artikel akademik mulai menyuarakan isu tersebut. Meski dengan nada dan perspektif berbeda. Semua penulis menerima dokumen aslinya. Pada 19 Januari 1966, Prof. W. F. Wertheim mempublikasikan artikel juga terkait isu itu di minggunan liberal Belanda, De Groene Amsterdammer. Belum lagi Ph.D. Cornell, Porf. Daniel Lev yang menerbitkan tulisan berjudul "Indonesia 1965: The Year of The Coup" pada Februari 1966 di Asian Survey. Lalu juga Prof. Philippe Devillers yang menulis di mingguan Paris Le Nouvel Obstervateur pada awal Maret. Juga intelektual Inggris, Lucien Rey yang mempublikasikan, "Dossier of the Indonesian Drama" pada Maret-April 1966 yang terbit di New Left Review, diedit oleh saudara laki-laki Ben bernama Perry Anderson.

Juga Ph.D. Cornell, Professor Herbert Feith yang mengajar di Monash University, Australia menulis artikel tentang tahanan Indonesia pada 30 Mei 1966 di Current Affairs Bulletin, ada pula Frederick Bunnell menerbitkan "Indonesia's Quasi-Military Regime" di Current History pada Januari 1967. Poin yang menarik adalah, tak satupun dari artikel-artikel ini dimohonkan oleh Ben dkk, tapi semata karena integritas dan posisi mereka sebagai seorang sarjana (scholar). Melalui berbagai artikel tersebut, militer Indonesia mendapat sorotan internasional. Pertumpahan darah yang luar biasa kemungkinan tidak dibenarkan sebagai plot dari Komunis.

Juga tulisan-tulisan dari penulis di Asia Tenggara dan Indonesia membahas terkait serangan dan Gestapu tersebut. Terbit di berbagai tempat dan media. Seperti Nugroho Notosusanto yang menerbitkan buku "40 Hari Kegagalan "G. 30. S."". Lalu ada pula buku berjudul "The Coup Attempt of the 'September 30 Movement' in Indonesia" di Jakarta pada 1968. Jurnalis Arnold Brackman menulis juga "The Communist Collapse in Indonesia" pada 1969 yang mendukung klaim tentara dan secara ekstrim memusuhi kritisisme. Sampai untuk mengontrolnya, Ruslan Abdulgani dari Partai Nasionalis Indonesia mengunjungi Cornell untuk berbicara dengan Ben dkk.

Sementara Ben tengah menyelesaikan disertasinya tentang Revolusi Indonesia yang sukses dipertahankan pada Maret 1967; Ben berencana mengunjungki Indonesia untuk menambahkan material penelitiannya. Ben mengajukan visa tapi ditolak dan dicegah; ini atas perintah Ruslan Abdulgani pada tentara dan petugas visa. Pemerintah AS sendiri marah terhadap Cornell Paper sebagaimana para pemimpin tentara Indonesia.

Lalu Ben pergi ke London pada April 1967. Ben mewawancari Ibrahim Adjie lawan Presiden Soeharto yang menjadi Duta Besar Indonesia di Pengadilan St. James. Dia kemudian memberikan visa yang Ben minta. Ben kemudian banyak mewawancarai para petinggi TNI, hingga pemimpin PKI seperti Sadisman yang dikabarkan telah mati.

Kejadian yang tak mengenakan juga terjadi ketika koran Pikiran Rakjat pada 29 Februari 1968 menulis sarjana Barat tanpa nama yang memberikan simpati tidak logisnya pada komunisme di negara berkembang. Pada genosida 1965-66, tidak hanya pelarangan PKI saja tapi komunisme dan publikasi Marxist juga dilarang di Indonesia. Kemudian, data-data yang didapat menunjukkan, klaim tentara secara logika dan bukti tidak bisa dipertahankan.

Lalu Ben mengajukan proposal risetnya pula pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk meminta persetujuan mereka. Sehingga Ben memperoleh visa dari keduataan Indonesia di Washington selama lima minggu. Lalu pihak imigrasi memperpanjang visa Ben hingga 23 Juli 1972. Waktu-waktu itu bersamaan dengan terbitnya majalah Chas yang menjadi corong Bakin (Intelligence Coordinating Agency), menerbitkan halaman depan yang sangat tajam terkait Cornellian dengan headline, "Cornell Scholar: Useful [to Communists] Idiots" (Sarjana Cornell: Berguna [untuk Komunis] Idiot). Ditulis oleh koresponden US secara anonim. Menuduh Cornell Paper menyebarkan propaganda subversif, meracuni pikiran pemuda Indonesia dengan dogma Kiri Baru, dan melindungi PKI. Tegas bahwa tulisan ini pengecut sebagaimana Robin Hoods, tapi dengan hangat disambut oleh para sisa PKI dan pergerakan komunis internasional secara umum.

Ben pun dipanggil secara kasar oleh pihak kepolisian yang mempertanyakan tentang riset-risetnya. Polisi meminta bukti karya terbaru. Ben pun bisa menunjukkan karya bukunya "Java in a Time of Revolution" dan "Culuture and Politics in Indonesia". Lalu Chas kembali menyerang Ben secara personal dengan headline-nya: "Benedict R. O'G. Anderson, Nasibnya Akan Seperti Adamson! Gerilya Politik Pro-PKI yang Mengekspolitasi Karya Akademik! Cornell Paper Membuktikan Pemalsuan Sejarah!". Artikel ini sendiri menyerang Ben untuk menodai para sarjana di bawah nama Cornell, dianggap simpati Kiri Baru yang kekanak-kanakan, dan menyebar propaganda subversif.

Akhirnya Ben mendapat bantuan dari orang AS kepercayaan para tentara Indonesia bernama Kolonel George Benson untuk Ben melanjutkan riset. Sayang jauh panggang dari api, Ben terancam dideportasi. Atas saran Benson, Ben meninggalkan Jakarta dan pergi ke Jawa Timur selama tiga hari. Kemudian Benson setelah berdiskusi dengan para petinggi tentara mengatakan pada Ben untuk kembali ke Jakarta. Meski nasib deporasi dialami Ben pada akhirnya. Visanya dibatalkan. Namun Ben berkomitmen untuk meninggalkan Indonesia tanpa percekcokan.

Ben pun menjadi daftar hitam orang yang bisa masuk Indonesia hingga dia mau menyangkal Cornell Paper dan menyetujui klaim tentara terkait serangan. Blacklist juga dialami oleh Herberth Feith dan Daniel Lev, juga George Kahin dan istrinya Audrey Kahin. Buku Ben berjudul "Culture and Politics in Indonesia" kemudian dilarang oleh otoritas di Jakarta. Ben merasa tidak begitu jelas siapa yang bertanggung jawab atas pengusirannya.

Lalu grup kekuatan baru yang dipimpin oleh Ali Murtopo, ketua intelegensi serangan 1 Oktober 1965 dan ketua Operasi Khusus (Opsus), dengan mantan ajudannya Lenonardus Benjamin "Benny" Murdani, dipanggil dari pos tugasnya untuk tugas lain yang lebih strategis. Murdani melakukan kontrol lewat agen intelejennya. Murtopo menyebar agen provokator, di samping manipulasi politik, dan memperalat politisi, pengusaha, dan akademikus berpengaruh. Satu ciptaan Opsus yang penting adalah berdirinya lembaga think tank Center for Strategic and International Studies (CSIS). Otak CSIS ada dua keruturan china-indonesia: Harry Tjan Silalahi dan Liem Bian Kie (Jusuf Wanandi). CSIS (i.e. Opsus) memainkan peran Bakin dalam menyaring sarjana yang boleh dan tidak meneliti Indonesia dengan akses utama visa yang sukses atau diblok.

Tim Murtopo-Murdani-Than Liem ini pendekatannya lebih canggih daripada para pendahulunya. Mereka banyak akal dengan membangun hubungan dengan US, Eropa Barat, dan Jepang. Murtopo juga pergi ke Ithaca menemui Kahin untuk membicarakan ulang Cornell Paper. Di sisi lain, pada 1977-79 terjadi perlawanan dan aneksasi di Timor Timur. Ini membuat hubungan antara otoritas Indonesia, CMIP, dan sistem politik Amerika berubah secara signifikan. Terlebih dengan kematian besar-besaran di Timor Timur.

CSIS dengan timnya menulis pada Kahin akan mengirim dokumen material yang diperlukan dan dicari sekian lama. Pada 28 Oktober, Kahin menerima surat dari kantor di Jakarta mengabarkan secara mengejutkan bahwa dalam perbincangan dengan alumnus Indonesia yang terkenal dari Cornell, Genderal Ali Murtopo telah sukarela mengakui bahwa Cornell Paper secara dasar benar,  kekurangannya haya beberapa tambahan fakta dan dokumentasi. Proses pemberian dokumen ini dibawah pimpinan Brigjen. Datuk Mulja. Kelompok rival ini berada di Ithaca selama dua hari, dan memberikan 200 kilogram bundel dokumen, terutama rekaman stenografi pengadilan Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa). Pada 27 Desember 1976, Liem Bian Kie menulis pada Kahin akan ungkapan kegembirannya terhadap misi tim Mulja. Dia berharap hubungan baik ini terus berkembang ke depan.

Lalu CSIS telah meninggalkan usahanya untuk datang dengan rencana-rencananya bersama Cornel dan teralihkan perhatiannya pada bidang lain, salah satunya soal Timor Timur—Ben said: reminding them that although CSIS attempted to pass itself off as an academic institution, it was in fact an arm of Opsus (mengingatkan mereka bahwa meskipun CSIS berusaha untuk menyamar sebagai institusi akademis, sebenarnya CSIS adalah tangan dari Opsus). Liem Bian Kie juga berusaha memperluas pengaruh CSIS dengan masuk ke Indonesian Studies Summer Institute (ISSI), program musim panas di bidang bahasa, budaya, sejarah, dan politik Indonesia. Namun kezaliman dan perang yang tidak adil masih terjadi di Timor Timur. Kelaparan dan kematian terjadi di mana-mana. Murtopo-Mudani-Liem dianggap Ben memerankan peran sentran dalam penentuan kebijakan Indonesia di Timor Timur.

Anderson, B. R. O. (1996). Scholarship on Indonesia and Raison d’Etat Personal Experience. Indonesia, 62, 1-18.

Selengkapnya: http://www.jstor.org/stable/3351389

Sabtu, 26 September 2020

Menguji Konsep Prekariat Guy Standing Melalui Pekerja Rentan Jakarta

Guy Standing dalam bukunya The Precariat (2011) membuat klaim bahwa prekariat merupakan kelas “bahaya” baru. Prekariat global tengah diciptakan melalui perubahan cara kerja yang diorganisasikan dan masyarakat dipekerjakan. Perubahan ini menambah ketidakamanan, ketidakstabilan, dan tak bisa diramalkan. Artikel dari Yasih ini menguji klaim Standing tersebut dalam konteks urban anak muda Jakarta: apakah benar pekerja prekariat di Jakarta merupakan kelas bahaya baru?

Menurut Standing, awal 1980-an merupakan masa di mana neoliberalisme secara global memunculkan kebijakan buruh fleksibel. Membongkar welfare state dan mengurangi berbagai akses layanan sosial terhadap orang-orang miskin di seluruh dunia. Bagi Stading, prekariat adalah kelas sosial baru yang memisahkan diri dari kelas pekerja, meskipun kelas tersebut merupakan kelas-dalam-pembuatan karena anggotanya terbagi secara internal. Kondisi mereka ada karena tekanan struktural.

Standing mengidentifikasi ada tiga karakteristik kelas prekariat: 1. Prekariat memilki relasi produksi yang khas, relasi perburuhan yang tidak aman, berdasar kontrak sosial, loyalitas ditukar untuk keamanan kerja. 2. Prekariat memiliki relasi ditribusi yang khas. Anggotanya tidak menerima hak dan keuntungan dari perusahaan untuk tambahan penghasilan mereka, murni dari upah uang tanpa ada pensiun atau asuransi kesehatan. 3. Memiliki hubungan yang khas dengan negara, yang memiliki sedikit hak sipil, budaya, politik, dan ekonomi dibandingkan kebanyakan warga negara lainnya.

Standing jelas mengatakan bahwa prekariat bukan kelompok yang homogen, dan memiliki berbagai atribusi. Dari migran, etnis minoritas, hingga pemuda berpendidikan tinggi yang gagal untuk kerja dengan stabil. Pekerja menghadapi tujuh bentuk tumpang tindik relasi kerja yang tidak aman: labour market insecurity, employment insecurity, job insecurity, work insecurity, skill reproduction insecurity, income insecurity, and representation insecurity. Kondisi mereka ada karena faktor struktural dan bukan karena kegagalan personal.

Alih-alih membuat solidaritas tertentu untuk memperkuat, prekariat sering dimanfaatkan oleh gerakan populis dan politisi karena prekariat ini gagal menemukan jaringan yang bisa mengungkapkan aspirasi mereka. Mereka juga merasa anomi karena gagal menemukan kerja yang berarti dan merasa gelisah selama jangka waktu yang panjang bekerja di kerja-kerja yang tidak stabil dan hidup dalam ketidakamanan. Mereka juga merasa teralienasi karena gagal menemukan tujuan sosial dan harus mengalami hukuman sosial.

Yasih dalam artikel ini juga menampilkan kritik-kritik yang signifikasn dari Seymour (2012), Bailey (2012), Breman (2013), Munck (2013) and Allen (2014) melalui pendekatan Marxis terkait konseptualisasi Standing tentang prekariat. Dari beberapa analisis ini, prekariat dikatakan bukanlah kelas baru karena tidak memberikan terma yang anyar dari hubungan sosial produksi dan reproduksi.

Sedang Standing kukuh prekariat sebagai kelas baru karena adannya relasi produksi, relasi produksi, dan hubungan dengan negara yang khas. Meski kelas tidak didefinisikan dari stabilitas pekerjaan, pendapatan, atau relasinya dengan negara. Namun kelas didefinisikan oleh lokasi yang sama dari anggotanya dalam relasi produksi dan reproduksi sosial. Dalam perspektif ini, prekariat masuk dalam kelas pekerja. Di mana prekariat adalah buruhnya, dan pemilik kerja adalah kapitalisnya.

Konsep prekariat ini juga eropasentris, karena definisi ini didapat dengan mengkontaskan prekariat dengan pekerja yang stabil. Di Jerman, terma prekariat digunakan merujuk pada mereka yang tak punya kerja, dan tak punya harapan dalam suatu sosial tertentu. Prekariat juga menjadi konsep ideal kapitalisme yang konon disebut sebagai Jaman Keemasan.

Sedangkan menurut perspektif Marx dalam Capital, dia mengidentifikasi kelas pekerja sebagai mereka yang masuk dalam pekerja tidak tetap. Meski Standing (2014) memperkuat pendapatnya juga jika prekariat muncul dari perubahan relasi kerja, pola kerja, sistem perlindungan sosial, regulasi dan redistribusi di bawah kapitalisme global.

Kritik untuk Standing juga merujuk pada konsep lumpenproletariat yang dijelaskan oleh Marx sebagai mereka yang berada pada masyarakat marjinal. Yang subsisten, gelandangan, penipu, perayu, pemalas, tukang copet, begal, (a hither and thither person), dll.

Ditarik dari sejarahnya, lumpenproletariat ini berasal dari sistem kelas yang tua. Lumpenproletariat dan prekariat dimanfaatkan oleh gerakan populisme dan fasisme di mana mereka memiliki hakikat politisnya sendiri. Marx dan Engels mengatakan jika lumpenproletariat sebagai massa yang secara pasif mengalami pembusukan dan menjadi alat suap-tipu daya yang reaksioner.

Munck (2013) menyatakan jika lumpenproletariat bukanlah struktur kelas yang integral atau terdefinisi oleh relasi produksi. Mereka memainkan peran yang kecil dalam sejarah, dan sejarah adalah sejarah dari produksi dan masyarakat dibentuk oleh relasi produksi.

Yasih menjelaskan konteks prekariat di Indonesia dengan menyelidiki elemen konseptual Standing terkait: lokasi kelas mereka; apakah mereka berbahaya; serta kesadaran kelas dan hubungan mereka dengan kelas pekerja sisa. Penelitian dilakukan dari Februari-Oktober 2015; 4 individu dan 5 komunitas. Fokus penelitian inii menyasar orang berusia 22-39 dan terlibat dalam kerja-kerja rentan di Jakarta. Data-data dari koran, laporan, data statistik, dan demografi digunakan pula dalam penelitian terkait komunitas vigilante di Indonesia.

Mereka bergabung dalam kelompok-kelompok vigilante yang cenderung terkenal karena tindak kekerasan dan pemaksaan. Terlibat pula dalam politik dan elit sosial tertentu. Mereka memiliki peran yang besar dalam strategi politis dan mobilisasi masyarakat saat pemilu. Kebutuhan pragmatis dan relasi-buruh yang tidak aman menggiring pekerja untuk bergabung dalam kelompok vigilante ini.

Proporsi pemuda terbesar di Indonesia bisa ditemukan di Jawa (55,7%). Di Jakarta sendiri angka pekerja sangat tinggi mencapai 90,16% (2014) dan yang bekerja di sektor informal 28,3% (2014) cenderung kecil memang jika dibandingkan data ILO terkait presentasi kerja informal secara nasional sebesar 53,5% (2013). Proses informalisasi terjadi juga melalui 3 cara: produksi kecil-kecilan dengan penghasilan rendah, adanya kontraktor dan pekerja lepas, serta menggunakan buruh-buruh yang ilegal. Mayoritas besar bekerja di sektor manufaktur dan konstruksi.

Para pekerja muda ini juga sebagian mengikuti kelompok paramiliter, seperti Forum Betawi Rempug (FBR). FBR merupakan kelompok dan gangster politik yang berhubungan dengan aksi kekerasan dan pemaksaan. Mereka merekrut lebih dari 10 ribu pemuda pria bahkan lintas Jakarta.

Hasil menunjukkan mereka bisa menjadi bahaya karena anggoata disatukan oleh kemarahan, anomi, kegelisahan, alienasi, dan cenderung dimobilisasi oleh para ekstrimis politik. Hingga saat ini masih sedikit studi empiris dan etnografis terkait pengujian klaim Standing terkait kelas berbahaya ini.

Para pemuda pekerja yang ikut dalam kelompok vigilante ini tidak memiliki sarana produksi yang memadai, pendidikan rendah, dan memiliki keterampilan yang terbatas. Mereka mengambil kerja apapun yang tersedia. Sering pindah kerja. Para informan dalam penelitian ini juga memahami ikatan sosial mereka dapat mengatasi ketidakamanan dalam hubungan-kerja.

FBR merepresentasikan suara-suara dari populasi miskin di Jakarta. Mereka yang bergaji rendah dari tukang parkir, body guard, sampai pengangguran. Yang memberi dukungan moral, solidaritas, dan kesempatan penghidupan. Para anggotanya juga berkesempatan untuk berhubungan dengan anggota dan kelompok yang lebih luas. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa pekerja rentan yang masuk dalam kelompok vigilante didorong oleh etnsi dan konservatisme agama. Watak politik mereka terpengaruh oleh pragmatisme, agama, dan identitas etnis.

Yasih, Diatyka Widya Permata. (2016). Jakarta’s Precarious Workers: Are they a “New Dangerous Class”? Journal of Contemporary Asia, 27-45.

Selengkapnya: http://dx.doi.org/10.1080/00472336.2016.1197959

Jumat, 25 September 2020

Produksi-Reproduksi yang Tidak Manusiawi

Lingkungan reproduksi hari ini memperlihatkan semua dosa dari mode produksi kapitalis. Reproduksi di sini dilihat dalam ruang lingkup dunia. Kita semua hidup dalam planet ekonomi dan akumulasi kapitalis masih menarik darahnya untuk memulihkan harga lanjutan dari buruh yang digaji maupun tidak digaji.Semua masuk dalam sosial reproduksi lanjutan dalam negara Dunia Ketiga. Marx menganggap tujuan dari ekonomi politik adalah kita akan menemukan penderitaan sosial dan ketidakbahagiaan, yang saat ini tengah terjadi di mana-mana

Reproduksi misal hari ini tengah banjir karena hukum akumulasi kapitalis: perampasan progresif dan terus menerus, dari perampasan primitif terhadap tanah sebagai basis produksi; hingga perampasan modern berupa perampasan jaminan hak individu dan kolektif untuk subsisten. Pebagian terus menerus terhadap masyarakat ke dalam hirarki konfliktual (kelas, jenis kelamin, ras, kebangsaan, dan pekerja yang tak dibayar). Produksi secara konstan ketidaksetaraan dan ketidakpastian. Produksi kemiskinan secara lebih luas.

Dalam Capital, Marx menulis: "Akhirnya hukun yang selalu memegang produksi surplus relatif atau tentara cadangan industri dalam keseteraan dengan perluasan dan energi akumulasi memaku pekerja pada kapital secara kuat dibanding cengkeraman Hephastus terhadap Prometheus terhadap batu karang. Ini membuat akumulasi penderitaan adalah suatu kebutuhan, berhubungan dengan akumulasi kekayaan. Akumulasi kekayaan ini satu kutub saja, kutub lainnya adalah akumulasi penderitaan yang menyiksa buruh: perbudakan, ketidakpedulian, brutalisasi, dan degradasi moral; sebagai sisi dari kelas yang memproduksi produknya sendiri sebagai kapital."

Kondisi yang dikatakan Marx ini relevan di abad ke-19 di era Revolusi Industri. Akumulasi kapital berlangsung melalui pabrik, perkebunan, bendungan, pertambangan, dan bahka produksi karpet yang tak jarang melibatkan anak-anak dalam perbudakan. Sungguh akumulasi kapitalis meluas ke seluruh dunia melalui memeras produksi dan reproduksi pekerja dalam stratifikasi yang berakhir dengan perbudakan. Ratusan juta orang hidup dalam sistem perbudakan ini.

Kekuatan ekonomi tersebut mendukung kekuatan politik, yang membentang selama periode akumulasi primitif di Eropa dengan tujuan merusak nilai-nilai individu terhadap hubungan dengan komunitasnya. Untuk membuat mereka "terpisah" dan menjadi individu tanpa nilai. Perbudakan ini menjadi fase awal ke abad selanjutnya dengan pertumbuhan pekerja rentan. Untuk menebus semua itu dibuatlah kemudian Negara Sejahtera (Welfare State). Saat ini tugas tersebut telah diatur langsung oleh agen-agen keuangan utama seperti IMF dan World Bank yang ada di negara-negara berkembang.

Hari ini, surplus (menghasilkan populasi planet yang dibasmi melalui kematian oleh dingin dan lapar di Eropa Timur, Afrika, Amerika Latin, dll. Juga kematian akibat perang, genosida, militer, represi, hingga bunuh diri karena tidak ada kemungkinan untuk bertahan hidup.

Hingga yang terbaru adalah kasus pemusnahan dengan penjualan organ-organ tubuh manusia. Penjualan organ ini dihias dengan penculikan manusia dan kongkalikong dengan klinik. Di sisi lain yang terjadi di Inggris, di mana ada gelandangan, tuan feodal, kekerasan, pemerasan ilegal terhadap tanah, yang jika meereka tidak bekerja dikutuk sebagai pemalas. Terkait perbudakan pula, pekerja dibuat bekerja dalam kondisi terkurung pada berbagai sektor. Seperti perempuan yang bekerja dalam industri seks.

Menciptakan pula tenaga kerja perempuan untuk produksi dan reproduksi tapi mereka tak dibayar. Perempuan kemudian menghadapi dua kemungkinan untuk bertahan hidup: menikah dan prostitusi. Prostitusi semisal tumbuh di bawah label "sexual tourism" di destinasi-destinasi eksotik. Atau tanggungjawab dalam kerja-kerja ruah tangga membuatnya lemah.

Poin utamanya adalah: perkembangan kapitalis selalu tidak berkelanjutan karena dampak manusia yang ditimbulkannya. Untuk memahami ini, lihat berapa banyak mereka yang terbunuh karenanya, perbudakan, kekerasan, teror, serta produksi kelaparan dan penderitaan.

Terlebih pula dari sudut pandang perempuan, perkembangan kapitalis benar-benar tidak berkelanjutan karena menempatkan perempuan dalam suatu kontradiksi dengan menjadi pekerja yang tak diupah dalam ekonomi yang menuntut upah, serta menghilangkan hak-hak eksistensi mereka. Ekonomi yang subsisten yang layak adalah dengan tidak mencabut perempuan dari tanah dan air sebagai basis produksi yang fundametal dalam keberlanjutan seluruh komunitas.

Jika ini dilanggar maka berbagai bencana lingkungan akan terjadi pada ekosistem. Bumi sebagai kekuatan reproduksi pun dirampas dan dijadikan komoditas. Sebab itu dibutuhkan berbagai perlawanan dan gerakan anti-kapitalis secara global. Bukan dengan memberikan prioritas pada satu hal dan mengabaikan hal lainnya; sebab ini akan menciptakan logika yang sama dengan jiwa kapitalis.

Reproduksi dicapai dengan intensifikasi buruh secara umum, oleh jam kerja yang lebih, dengan tenaga kerja yang bisa dipotong seenaknya dan kurang upah, sehingga menciptakan stres dan pekerjaan ilegal. Perempuan terlebih berada dalam kondisi yang tidak beruntung, mereka mencari kemandirian keuangan dengan bekerja di luar rumah; di sisi lain mereka juga menjadi tenaga kerja produksi dan reproduksi yang semua itu menimbulkan ketidakstabilan.

Bukan bermaksud untuk memmbela adanya gaji, pelayanan, uang, atau lainnya; tapi lebih ke hal-hal pembelaan yang lebih mendasar seperti tanah, air, hutan, hingga waktu yang terus subsisten. Konsep kesejatehraan tidaklah cukup.  Kebutuhan lain adalah untuk secara sosial/kolektif melawan terpisahnya individu dalam tubuh masyarakat dan kehidupan alam secara keseluruhan. Juga adanya ruang publik untuk melawan privatisasi.

Akarnya apa? Rigoberta Menchu barangkali telah menjawab: “We started to reflect on the roots of the problem, and we came to the conclusion  that  its roots lay in possession of the land. We did not have the best land, the landowners did. And every  time we clear new land, they try to take it from us  or to steal it in some way."

Costa, M. D. (1996). Capitalism and reproduction. Capitalism Nature Socialism, 7(4), 111121.

Selengkapnya: http://dx.doi.org/10.1080/10455759609358712

Kamis, 24 September 2020

Gotong Royong Petani

Mukadimah: Saya mengangkat jurnal betarikh lama ini karena saya menganggap jika aksi kolektif antar petani masih relevan hingga sekarang. Di mana budaya gotong royong antar petani mulai luntur di bawah sistem yang hanya mengandalkan modal dan kapital. Selamat Hari Tani.

--

Pada masyarakat Asia, khususnya di daerah marjinal, komunitas menjadi sesuatu yang sentral. Terlebih di kalangan petani yang menanam untuk konsumsi rumah tangga mereka sendiri; meski menjadi petani yang murni subsisten untuk rumah tangga sendiri dan tidak terikat oleh pasar sangat susah ditemukan sekarang ini. Sekalipun di pedesaan, petani (gurem) tetap terhubung dengan pasar.

Aksi-aksi kolektif antar petani pun dilakukan. Semisal koordinasi distribusi, irigasi air, keamanan anggota bersama, dll. Komunitas tidak hanya menjadi tempat anggota hidup, tapi juga penyediaan sistem produksi yang saling melibatkan. Paper Kawagoe, et al. ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik dari organisasi dan aktivitas kelompok di tingkat desa. Serta menyelidiki faktor-faktor utama yang membentuk partisipasi petani dalam kegiatan kelompok.

Studi dibuat berdasarkan survei lapangan Jawa Barat, Indonesia. Lalu meringkas pula kondisi sosial, ekonomi, dan agroekonomi; struktur dan fungsi berbagai organisasi dan kelompok di pedesaan' menyelidiki budaya gotong royong; dan menyelidiki hakikat jenis aksi kolektif di komunitas desa.

Penelitian dilakukan di Majalengka, Jawa Barat (penghubung Bandung dan Cirebon). Secara umum wilayah tanahnya berombak hingga terasiring. Ada tiga kampung yang diteliti di sini. Mayoritas masyarakatnya Sunda dan Muslim. Populasinya pada 1988 sebanyak 1.710 orang dalam 403 keluarga. Pekerjaan utama mereka adalah petani sebanyak 90% dan 10% berdagang, guru, bekerja di pemerintahan, dll.

Di desa ini juga ada warganya melakukan migrasi, saat itu pertumbuhan penduduknya relatif kecil. Sedangkan kaum mudanya lebih memilih bekerja di wilayah sektor informal urban seperti di kota Bandung dan Jakarta. Ada sekitar 290 hektare tanah yang layak tanam. Padi ditanam sekali tiap tahun, selain padi petani juga memanam kedelai, jagung, singkong, dan sayuran.

Di kampung-kampung ini, kegiatan ekonomi desa tak hanya dilakukan oleh individu saja, tapi juga secara kolektif oleh masyarakat desa yang disebut gotong royong (mutual help). Gotong royong bisa diartikan kegiatan saling membantu antar tetangga. Kegiatannya bisa bermacam-macam, tak hanya di masalah pertanian tapi juga membangun jalan, masjid, jembatan, di bawah aksi kolektif ini.

Di sini para penulis paper menjelaskan 3 institusi utama aktivitas kolektif (2 formal, 1 informal): 1. Kelompok Tani, 2. Kelompok Perempuan (PKK), 3. Arisan; di sisi lain ada juga komunitas Karang Taruna dan Koperasi Unit Desa (KUD), Lembaga Masyarakat Desa (LMD), pengajian, pencak silat, dll, sesuai tujuan dan fungsinya masing-masing. Komunitas ini selain menyediakan pelayanan publik juga untuk mencapai tujuan kebijakan nasional.

Keuntungan kelompok bisa dicapai bersama melalui kerja-kerja kolektif daripada kerja terpisah. Kerja kolektif ini lebih memberi keuntungan besar unutuk setiap anggota. Seperti yang ada pada KUD yang yang membantu distribusi, bibit, pupuk, dll, lebih untung ketika dibeli di KUD daripada  dibeli secara privat. Juga terjadi pada Kelompok Tani yang pertama kali diperkenalkan pada 1968. Ada hirarki tersendiri dalam kelompok ini, semisal tani maju (progressive farmers) beranggotakan beberapa petani biasa. Lalu ada kegiatan penyuluhan, pemberian informasi, pengembangan teknologi, dll.

Untuk ibu-ibu PKK, diperuntukkan bagi perempuan yang berusia di atas 17 tahun, telah menikah, ketua PKK biasanya diketuai oleh istri ketua RT. Mereka memiliki kegiatan rutin tiap bulan atau waktu tertentu lainnya. Programnya berhubungan dengan kerja kesejahteraan anak, ibu, dan bayi. Pemeriksaan medis, pelatihan rumah tangga, arisan, hingga simpan pinjam.

Untuk arisan (rotating credit associations), biasanya menjadi sandaran warga desa untuk jaga-jaga tabungan mereka. Tiap anggota membayar uang pokok dan akan diundi dalam tempo waktu tertentu. Yang menarik dalam penelitian ini ada yang namanya arisan padi yang diundi tiap panen tiba setahun sekali dan hasilnya dibagikan pada anggota. Arisan ini berbeda dengan arisan uang.

"... arisan in the village as a credit institution is so elemental that it cannot be compared with sophisticated modern banking systems, the arisan with its local popular appeal is one solution for easing financial constraints on villagers in rural communities where the formal financial market remains underdeveloped."

Di dalam kolektif, selain diisi oleh orang-orang yang satu tujuan; ada pula yang namanya free rider, mereka yang mengambil keuntungan dari kolektif orang lain untuk dirinya sendiri dengan sedikit atau tanpa memberikan sumbangsih. Jika perilaku oportunistik seperti ini bertahan akan membahayakan ketahanan kelompok itu sendiri.

Toshihiko Kawagoe, et al. (1992). Collective Actions and Rural Organizations in a Peasant Economy in Indonesia. The Developing Economies, XXX-3, 215-235.

Selengkapnya: https://doi.org/10.1111/j.1746-1049.1992.tb00014.x

Rabu, 23 September 2020

Menulis Tanpa Label - Bell Hooks

Saat Bell Hooks masih kecil, dia ingin sekali jadi penulis. Dia terpengaruh oleh William Wordsworth, Gerard Manley Hopkins, dan Emily Dickinson. Dickinson-lah penulis yang bisa menyentuh jiwa Hooks. Mencapai hal yang paling dalam dari dirinya yang tak dikenal dan tak dicintai. Hooks terkesan dengan cara Dickinson menggambarkan bagaimana dunia rasial aparteid bisa berpengaruh dalam keseharian Hooks: "the colored-only section at the movie theater."

Karya Dickinson memiliki misi kontemplasi metafisik, agama, dan alam tertentu yang berasal dari pengalaman serta direfeleksikan mendalam. Di lain kesempatan dia membaca penulis lain juga, tapi tak berbicara apa-apa padanya.

Menulis adalah cara Hooks keluar dari dunia yang sakit dan fana. Dia hidup dalam imajinasi. Keadaan emosilah yang menjadi harta imajinasi, bukan pengalaman konkret. Dia melihat kata-kata yang tertulis di kertas adalah sesuatu yang magis. Meski dia paham, untuk mengerjakan karya yang sungguh-sungguh butuh mimpi, kontemplasi, berbicara dengan jiwa, dan ruang tersendiri untuk kita menulis.Hooks hanya menulis isu yang besar dan konsentrasi universal akan hidup: kematian, cinta, duka cita, dan bahagia.

Saat Hooks di SMA, dia membaca soneta dari Countee Cullen, Claude McKay, dan Doughlas Johnson. Bagi Hooks diskursus tentang ras, gender, dominasi kelas, identitas, dan semacamnya tidak lebih dari label. Dan kenapa seseorang begitu susah keluar dari label? Jika begitu logikanya, maka orang kulit hitam akan selalu ingin menyerang  orang kulit putih. Bagi Hooks, pelabelan terkait ras dan rasisme dengan senang hati ia abaikan atau hilangkan sebagai sesuatu yang tak relevan. Sebab pilihan ini menghalangi dan menghilangkan imajinasi kreatif.

Sebagaimana penulis Jean Toomer yang melampaui identitas rasial; William Faulkner, profesor sastra Amerika memahami bagaimana perspektif akan fiksi Selatan, secara tegas dibentuk oleh ras, gender, dan kelas. Identifikasi ini adalah masalah label; faktanya mereka tak bermasalah secara mutlak.

Label ini bermasalah karena menghalangi imajinasi penulis. Sebagaimana penulis Jeanette Winterson yang terluka karena diberi label "penulis lesbian". Sebab komitmen penulis pada karya melebihi label apapun, termasuk identitas seksual. Winterson menulis karena dia mencintai perempuan, bukan karena dia lesbi yang menulis. Beberapa penulis berusaha menolak karya mereka semata-mata refleksi dari satu aspek yang ada pada diri mereka.

Mengutip Winterson: “Art must resist autobiography if it hopes to cross boundaries of class, culture…and…sexuality. Literature is not a lecture delivered to a special interest group, it is a force that unites its audience. The sub-groups are broken down.”

Kadang untuk menghilangkan persona label, beberapa penulis memiliki strategi menggunakan nama samaran (pseudonym), seperti yang dilakukan Doris Lessing. Jika Lessing menulis dengan buruk dan nggak mutu, orang tidak akan tahu jika itu adalah tulisan dia.

Intinya Hooks ingin mengatakan, jangan hakimi penulis dengan label-label tertentu yang menyudutkan. Namun lihatlah karyanya dengan kacamata yang lebih luas, dan dari kualitas karya itu sendiri bukan identitasnya. Baginya tidak ada sastra kulit hitam, hanya sastra yang ingin menyampaikan pengalaman kulit hitam. Juga tidak ada penulis feminis, yang ada penulis yang menulis dari perspektif feminis.

Selengkapnya:  https://doi.org/10.1353/aph.2015.0076