Saat mendarat di dermaga muara Buayan, tumpukan logam terbakar, tak salah lagi pecahan badan minivan menarik perhatian Pujo Semedi. Mobil penjual yang naas. Enam dari mereka dibunuh oleh orang Dayak di Lombok bulan lalu. Satu orang ditembak, satu lagi dipukuli sampai mati, mayatnya dimutilasi dan dimasukkan ke dalam minivan sebelum dibakar. Hal ini dijelaskan Kepala Dusun Doak dengan tenang. Di Enkadu, lebih jauh ke hulu, seorang penjual buku yang bepergian dari dusun ke dusun dengan sepeda motor menemui akhir tragis yang serupa.
Dia dipukul sangat keras, tubuhnya diseret di sebelah motor dan mati di rumah sakit Sanggau. Pembunuhan ini dinyalakan oleh rumor atau kabar angin "korek", penculik yang menjelajahi daerah pedalaman mencari korban untuk dibunuh, dalam rangka mengambil organ dalam mereka seperti hati, ginjal, dan jantung, untuk dijual keluar negeri.
Walaupun panas yang intens dari mentari katulistiwa melumuri tubuh saya, bagaimana bisa kegilaan ini terjadi di pedalaman yang kaya, di mana kehidupan terlihat indah dan menyenangkan? Jawabannya Pujo hubungannya dengan pengenalan terhadap kenaikan kelapa sawit ke daerah ini.
Pada awal 1990-an, masuklah perusahaan perkebunan ke area Sungai Buayan, anak sungai Kapuas di Kalimantan Barat. Awal-awal tahun yang begitu lambat, peningkatan mereka akhirnya membawa petani, orang-orang asli, dan imigran pada pendapatan tunai yang stabil dan berkelanjutan pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Berdasarkan refleksi para petani, kehidupan hari ini lebih baik, mereka telah tergantung kepada sumber pendapatan dan akses yang mudah terhadap pasar dan layanan publik di kota. Sepeda motor dengan brand yang baru dikendarai pemuda bawah umur ke jalan-jalan di dusun dan gang, armada truk dimiliki oleh pengusaha lokal, membelah jalan dengan debunya. Tak hanya itu, rumah-rumah bergaya urban dengan lantai keramik dan atap genteng sudah menjamur di setiap dusun. Tatanan ini mengubah gaya lama, gaya desa dengan rumah kayu yang berpanggung. Bergerak ke dalam, TV berlayar datar dan DVD player tengah dimainkan, rice cooker listrik, kulkas, juga telah menjadi standar dapur yang lebih baik.
Hampir setiap orang mulai meninggalkan HP model lama mereka, meskipun mereka menggunakan itu utamanya untuk mendengarkan musik dan menonton film. Selama beberapa dekade terakhir, semakin sedikit petani yang berpindah-pindah, pemberian uang tunai dari perkebunan kelapa sawit telah memudahkan masyarakat untuk mengakses pasar, cerita kelaparan hanya menjadi cerita di masa lalu. Tampaknya, ambisi Indonesia untuk menjadi produser kelapa sawit dunia telah membawa kemakmuran bagi petani-petani di Kalimantan Barat.
Dalam kondisi seperti itu, Pujo menanyakan, bagaimana bisa ancaman rumor terjadi pada para petani makmur tersebut? Selain itu, rumor tidak menyisakan rumor, tetapi ledakan pembunuhan yang gila. Rumor ini juga bukan yang baru di Indonesia, interpretasinya bervariasi. Richard Drake (1989) mengonseptualisasi rumah penculikan di Kalimantan sebagai "rumor dalam yang berulang kali terjadi" sejak akhir abad 19. Rumor ini menurut Drake, menggambarkan orang-orang Dayak sebagai korban dari kebutuhan pemerintah. Di sisi lain, menggunakan data dari Flores, misionaris Eropa malah bertanggungjawab terhadap bangunan nyata di pulau ini, sebagaimana yang dilakukan Maribeth Erb di konflik Manggarai.
Pujo dalam artikel jurnal ini tidak setuju dengan pandangan penggambaran petani sebagai korban, menurut data yang dimilikinya menunjukkan bahwa petani Indonesia telah diuntungkan dari program pembangunan. Mereka menerima sedikit keuntungan dari harapan mereka, mereka secara keras dikarakterisasi sebagai korban. Pemahaman petani sebagai korban juga mengabaikan inisiatif petani sendiri dan kemampuan mereka untuk memajukan kesejahteraan dengan eksploitasi kesempatan melalui tekanan pasar, agensi pembangunan, atau keduanya.
Pada awal 1990an, petani menerima pengenalan kelapa sawit dengan keprihatinan, jika tidak kebencian, karena panen yang sedikit dan harga jual yang murah selama berperiode.
sejak pertengahan 2000an, panen dan penjualan mencapai harga yang cukup stabil, dengan penambahan Rp350 dari hingga Rp 1.400 pada tahun 2011, atau Rp11.000 pada tahun 2011. Petani mulai termotivasi mengubah tanah terbengkalai ke dalam perkebunan kelapa sawit melalui inisiatif pribadi dan modal yang dimiliki.
Pujo memulai penelitiannya dengan pandangan yang negatif terhadap kenaikan kelapa sawit. Faktanya, mayoritas pertani menerima kelapa sawit sebagai sumber baru kekayaan mereka. Tanpa diragukan, sebagian besar petani menyatakan kelapa sawit baik. Pujo kaget, memasuki tahap produksi, industri kelapa sawit memproduksi kekayaan yang besar.
Sungai Buayan, jalur kelapa sawit memproduksi antara 20.000-30.000 ton buah segar tiap bulan, ini setara dengan 26-39 miliar rupiah tunai per bulan pada tahun 2010. Sebagian besar, 60 persennya lari ke petani yang mengerjakannya sehari-hari. Namun, kemajuan ekonomi ini bukan tanpa biaya. Para petani kehilangan kurang lebih 5.000 hektare tanah mereka kepada perkebunan dan transmigran. Sebagaimana kita tahu, tanah pertanian bukan hanya lapis tanah untuk meningkatkan pertanian, tapi juga hidup dan matinya petani. Fondasi bagi seluruh konstruks ekonomi petani. Ini adalah dasar fisik dari identitas sosial dan batas politis kelompok pentani berdiri.
"Losing farmlands is a loss that comes with heavy consequences for the farmer’s production activities, social relations and cultural codes."
Tentu, rumor penculikan organ tubuh yang beredar di antara petani kelapa sawit di Kalimantan adalah fantasi dalam fantasi. Salinan sebagian dari perdagangan organ manusia secara global disisipkan untuk membuat rumor yang tambah terpercaya dan masuk akal, karena menggunakan bahasa yang akrab, memberi efek interpersonal, dan sangat abstrak dalam tekanan sosial. Rumor panik penculikan (tidak nyata) di antara para petani di Sungai Buayan telah menjadi gejala bentrokan nyata antara pertumbuhan ekonomi melawan gaya hidup agraris dan struktural, yang tak terpisah dari pertumbuhan populasi pedesaan.
Secara metodologi, data penelitian ini utamanya diambil dari Sungai Buayan, Kecamatan Meliau, Kalimantan Barat, daerah yang bertransformasi secara cepat dari dusun pertanian yang berpindah menjadi tanah kelapa sawit sejak lebih dari dua dekade yang lalu. Kerja lapangan ini juga dirancang oleh mahasiswa yang tengah melakukan penelitian etnografis antara tahun 2010-2011, termasuk sekitar 50 mahasiswa tiap sesi. Mereka terdistribusi pada 25 dusun sepanjang Sungai Buayan, bertanya hingga mengumpulkan data setiap hari melalui pengamatan partisipatif.
Pada tahun 1920an, perkebunan karet swasta, NV Kapoewas Rubber Maatschappij didirikan. Hal ini mengakibatkan terjadinya komoditisasi tanah secara besar-besaran yang mengguncang sistem kepemilikan tanah tradisional di wilayah hilir Buayan.
Perusahaan ini berhasil mendapatkan sewa selama 75 tahun baik dari pemerintah kolonial atau Sultan Sanggau atas lahan seluas 12.257 hektar di kedua sisi Sungai Kapuas, 9.000 hektar di sisi Selatan dan 3.000 hektar di sisi Utara. Secara resmi, sewa tersebut merupakan lahan terlantar, tetapi kemungkinan besar merupakan lahan persewaan milik penduduk dusun Buayan dan Mayam, dan sama sekali bukan lahan terlantar. Ketika depresi ekonomi terjadi, perusahaan ini masih bisa jalan. Namun, kemudian pada bulan Desember 1975, perusahaan tersebut dinasionalisasi, dan mengalami kebangkrutan pada tahun 1970-an.
Perjumpaan langsung petani Sungai Buayan dengan kelapa sawit pertama kali terjadi pada awal tahun 1980an, ketika Perusahaan Perkebunan Negara XIII membuka lahan konsesi NV Kapoewas sebelumnya untuk ladang kelapa sawit. Perusahaan merekrut para petani dari dusun yang jauh dan transmigrasi dari Jawa untuk menjalankan kerja tersebut. Menurut pengalaman orang-orang kebun, terjadi penilaian yang bias, orang transmigran dianggap disiplin, mudah diorganisasikan, dan rajin, sedangkan para petani lokal tidak. Para transmigran ini juga mendapat gaji yang membuat anak-anak mereka bisa bersekolah hingga kuliah, mereka sesederhananya dianggap sebagai contoh petani dari keluarga yang maju dan makmur.
Lalu, pada tahun 1992, dua perusahaan swasta, PT Harapan Dharma dan perusahaan keluarganya PT Sinar Permata memperoleh izin dari pemerintah untuk mendirikan perkebunan kelapa sawit pada lahan seluas 39.000 hektar di bawah skema perkebunan inti. Namun karena ketidakadilan pembagian lahan bagi para petani, terjadi pula perlawanan.
Kelapa sawit telah membuat para petani di Sungai Buayan menjadi kaya, namun juga menimbulkan rasa kehilangan yang mendalam atas cita-cita kesetaraan sosial. Melalui kelapa sawit, para petani di Sungai Buayan secara umum telah menikmati kehidupan ekonomi yang baik. Pada tahun 2010, seluruh wilayah tersebut menerima pendapatan kotor sekitar Rp 21 miliar per bulan dari ladang kelapa sawit saja. Jika disalurkan ke 30 dusun, baik besar maupun kecil, berarti rata-rata tiap dusun menerima 700 juta rupiah per bulan.
Namun ada dua masalah utama hubungannya dengan kekayaan minyak sawit ini. Pertama, menyebabkan petani melakukan konsumsi berlebihan. Kedua, kekayaan tidak terdistribusikan secara merata ke seluruh kelompok sosial. Dusun kecil mereka diubah menjadi "Las Vegas kecil" setiap Sabtu malam di sepanjang Sungai Kapuas.
Pendapatan yang besar ini mengubah konsumsi para petani menjadi peminum alkohol. Petani ada yang minum tuak, yang dibuat dari fermentasi beras. Uang juga digunakan untuk berjudi, minum, dan dihabiskan di tempat-tempat prostitusi. Konsumsi yang sangat boros berhubungan dengan "kemudahan uang", mereka tidak punya cukup pengetahuan dan kesempatan menggunakannya. Kebanyakan menggunakannya untuk renovasi rumah, mengganti gadget dan mobil, yang dikira akan meningkatkan produktivitas. Mengirimkan anak-anak ke sekolah sebagai investasi manusia tidak dilihat sebagai gagasan baru bagi para petani. Bahkan beberapa gadis meninggalkan sekolah untuk menikah muda. Kelapa sawit menyediakan petani kesempatan besar untuk mengembangkan kualitas hidup, tetapi pada saat yang sama, mereka sadar bagaimana kesempatan itu lepas karena perjudian, arak, balap motor, dll.
Poin yang ingin ditekankan Pujo, peningkatan kekayaan karena kelapa sawit tidak menciptakan jarak sosial-ekonomi baru, bahkan membuat jarak itu semakin lebar dan menyakitkan. Di sisi lain, konflik antar transmigran dan orang asli Dayak juga membuat segregasi sosial terjadi.
Seperti yang sudah Pujo kemukakan, rumor kepanikan di kalangan petani Kalimantan Barat bisa saja muncul kapan saja. Naskah dari kepanikan ini sudah diketahui oleh para petani dalam bentuk cerita mengenai praktik pengayauan tradisional, dan yang diperlukan untuk memicu kepanikan tersebut hanyalah tekanan sosial kolektif di antara para petani. Selama peninjauan lapangan, tekanan muncul dari rasa kehilangan yang menyertai perluasan budidaya kelapa sawit. Secara simbolis, bukanlah suatu kebetulan bahwa kepanikan yang terjadi saat ini melibatkan cerita-cerita perdagangan organ untuk pasar eksternal.
Dalam konteks komunitas pertanian tradisional, tanah tidak kalah berharganya dengan organ internal petani, karena hilangnya salah satu organ tersebut akan berdampak buruk pada pijakan hidup seseorang. Pujo berargumentasi bahwa para petani di Sungai Buayan mempunyai beberapa masalah yang harus mereka hadapi, namun keliru jika menganggap mereka sebagai korban kebijakan pemerintah atau terjebak dalam kemiskinan. Sebaliknya, saya telah menyatakan bahwa mereka adalah para pemenang yang telah menemui kesulitan-kesulitan yang parah dan nyata dalam menangani hasil eksploitasi mereka sendiri. Para petani lokal telah membayar mahal atas kekayaan kelapa sawit yang baru mereka peroleh, yang diperoleh melalui hilangnya ribuan hektar lahan pertanian yang diambil alih oleh perkebunan.
ABSTRAK:
Ekspansi pengolahan kelapa sawit ke pedalaman Kalimantan Barat telah membawa kekayaan baru pada tingkat yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Namun akhir-akhir ini ditemani oleh perluasan kepanikan moral, khususnya pada Suku Dayak. Peribahasa lampau mengatakan, kemiskinan adalah teman terdekat iblis. Bagi orang Dayak, pertumbuhan kesejahteraan melalui perkebunan kelapa sawit diperoleh melalui proses penghilangan tanah tradisi yang sulit dan menyakitkan, kenaikan konsumerisme yang cepat, dan menyisakan perasaan termarjinalisasi dalam ekonomi baru. Janji kesejahteraan dari kelapa sawit mungkin telah terealisasi, tetapi beban lama masih tak terlupakan, yang membuat orang-orang meyakini bahwa mereka selalu mendapatkan pembagian kesejahteraan karena pengurangan akses masyarakat terhadapnya. Kesejahteraan yang besar juga dapat dicekokan ke masyarakat jika masyarakat tidak disaranai dengan saluran kesejahteraan yang tetap terhadap sistem produksi. Dikombinasikan dengan kenangan kolektif yang panjang terkait kekerasan yang nyata dan terbayangkan, masalah-masalah ini dapat menggiring pada kepanikan moral, salah satunya tampak pada bentuk lama, yang dimunculkan kembali oleh sebab-sebab yang baru.
Semedi, Pujo. "Palm oil wealth and rumour panics in West Kalimantan." Forum for Development Studies. Vol. 41. No. 2. Routledge, 2014.
Link: https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/08039410.2014.901240
PROFIL SCHOLAR:
Pujo Semedi Hargo Yuwono merupakan dosen di Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM). Pada 28 Februari 2023, dia dikukuhkan sebagai Guru Besar dengan pidato berjudul "Kontestasi Rasionalitas Substantif Ngasak di Jerman Selatan" (yang juga bisa teman-teman tonton di YouTube UGM). Judul ini diangkat dari pengalamannya sendiri ketika mengamati kegiatan "ngasak" (mengambil sisa-sisa bahan buangan). Pujo menyelesaikan S1 di UGM, S2 di Universitas Ateneo de Manila Filipina, dan S3 di Universitas Amsterdam Belanda. Pujo bersama Tania Li menulis buku "Hidup Bersama Raksasa“.
#31daysofindonesianscholars #palmoil #westkalimantan #noralpanics #rural #plantations #kalbar #indonesia
Selasa, 19 Maret 2024
Palm Oil Wealth and Rumour Panics in West Kalimantan - Pujo Semedi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar