Senin, 18 Maret 2024

Muslim Women and Education in Indonesia: The Pondok Pesantren Experience - Eka Srimulyani

Secara bahasa, pesantren berasal dari kata santri, yang digunakan secara khusus untuk merujuk siswa-siswi pesantren. Pesantren berarti tempat santri belajar Al-Qur'an. Kata lainnya seperti pondok pesantren diturunkan dari kata Arab, funduq, yang berarti tempat tinggal. Istilah pondok ini populer digunakan di pusat pendidikan pesantren di Jawa dan Madura sebelum tahun 1960-an.
 
Santri memulai kehidupan dalam pendidikan yang kompleks, untuk menunjang pendidikan dasar mereka. Ada dua kategori santri: santri kalong (yang tidak menetap) dan santri mukim (santri yang menetap). Mereka yang menetap, 24 jam menghabiskan waktunya di pesantren. Kegiatan itu seperti solat bersama, membaca Qur'an, ngaji kitab kuning, dan berbagai kegiatan ekstra-kurikuler. Dalam hal ini, tidak ada begitu perbedaan antara pesantren perempuan dan laki-laki, misalnya terjadi di Pesantren Tebuireng di Jombang.

Hampir semua pesantren merupakan pesantren untuk laki-laki. Hingga awal abad 20, tidak ada program pendidikan pesantren yang dirancang bagi siswi putri. Seiring dengan perubahan sosial, seperti kemunculan madrasah, muncul kebutuhan bagi perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang sama. Menurut penelitian Dhofier (1982), kemajuan pesantren untuk perempuan sejak 1910 telah menunjukkan kesadaran bagi para kiai dan pemimpin agama untuk memberikan pendidikan yang lebih tinggi pada perempuan Muslim.

Pesantren pertama perempuan ditemukan di Denanyar tahun 1930. Ini menjadi embrio sejarah pesantren, termasuk sesi pendidikan informal yang dilakukan pada sekelompok perempuan muda yang dimulai pada tahun 1919. Upaya Pesantren Denanyar ini diikuti oleh pesantren lain, seperti Pesantren Seblak yang berdiri tahun 1939, juga untuk perempuan. Juga Pesantren Tambak Beras, dengan pendirian al-Fatimiyyah tahun 1948, dan Walisongo Cukir tahun 1957. Statistik santri putri juga semakin meningkat menyamai jumlah laki-laki. Meskipun secara sistem pendidikan, perempuan masih menghadapi berbagai tantangan yang signifikan, hubungannya dengan konsep ideologis gender di tengah nilai patriarki yang ada di struktur kepemimpinan pesantren itu sendiri.

Penelitian Srimulyani ini didasarkan pada penelitian lapangan terkait pesantren di Jombang, Jawa Timur, yang juga dikenal sebagai kota santri. Di Jombang ada berbagai pesantren terkenal berlatar belakang orang asli maupun non-asli. Di kota ini pula, Pesantren Tebuireng berlokasi. Jombang pula menjadi tempat Srimulyani menghabiskan studi doktoral dalam penelitian "Negotiating Public Space: Women and Pesantren in Jombang East Java". Dia berfokus pada bagaimana perempuan di dalam pendidikan kepemimpinan membuat kontribusi yang penting bagi pendidikan pesantren dan melampauinya. Dia meneliti beberapa figur perempuan dari berbagai pesantren di Jombang dengan wawancara mendalam. Dia juga berkunjung ke tempat ibadah komunal selama Ramadan yang dipimpin oleh seorang nyai, atau menghadiri kelas kitab kuning atau kitab jawi.

Karakter umum dari pendidikan pesantren adalah sistem pendidikan yang satu jenis kelamin, atau pemisahan antara laki-laki dan perempuan sebagaimana nilai ajaran Islam. Azyumardi Azra (2003) juga mencatat bagaimana periode awal Islam, pemisahan pendidikan ini diaplikasikan di dalam komunitas Muslim. Salah satu asumsi mengapa terjadi pemisahan ini karena dikhawatirkan akan memberikan dampak yang negatif. Nilai moral ini juga menjadi dasar pesantren dalam mengadopsi pemisahan pendidikan. Tak hanya pendidikan, tapi juga kelas, masjid, pondok, dan fasilitas publik lainnya. Meskipun fleksibilitasnya tergantung pada pemimpin atau kiai masing-masing.

Di kalangan Muslim, pendidikan pesantren terkenal kuat dengan penekanan nilai agama dan moral. Santri perempuan khususnya mendapat perlakukan yang berbeda karena nilai moral pesantren yang diturunkan dari aspek religi dan sosial-budaya dalam masyarakat lokal. Secara moral mereka juga dididik menjadi istri dan ibu yang baik bagi generasi di masa depan. Cita-cita ini dianggap mulia, pandangan ini juga diadopsi oleh mayoritas masyarakat di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Ini tak lepas dari "kodrat" perempuan yang didukung oleh program rezim Orde baru. Di mana perempuan bekerja sebagai istri dan ibu.

Pesantren juga menciptakan peraturan yang dihormati dan dipatuhi oleh semua santri. Setiap pesantren mempunyai peraturannya masing-masing, semisal ada yang mengizinkan santri perempuan mengenakan celana, ada yang tidak. Para santri ini juga bersenang-senang dengan saling membagikan ketertarikan mereka pada idola yang sama, atau majalah remaja seperti Hidayah, Annida, dan Aneka Yes. Meski ada peraturan: tak satu pun santri perempuan yang diizinkan pergi ke bioskop dan kencan.

Selama penelitiannya, Srimulyani berkesempatan untuk mewawancara para santriwati secara informal. Semisal kisah dari Sakinah yang ingin menjadi perempuan karier tapi tidak meninggalkan kewajibannya di rumah. Sebab kata nyai: jika kamu telah menyelesaikan tanggung jawab dan tugas utamamu di rumah, mengapa tidak mengambil aktivitas di luar rumah. Sakinah juga memimpikan memiliki suami yang bisa mendukung dan memahami kariernya. Sakinah memiliki mimpi bekerja di perusahaan multinasional, mempunyai NGO tersendiri yang menangani anak-anak nakal, pengguna narkoba, dll, karena banyak anak-anak seperti itu di desanya.

Sementara untuk kisah dari Jamilah, dia tidak menempuh pendidikan formal, pendidikannya semua berbasis salaf di pesantren. Fokusnya adalah menghafal Al-Qur'an. Ayahnya tidak ada pemahaman terkait isu gender, dan ibunya menekankan jika hal terpenting dalam hidup adalah menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain (anfa'uhum li al-nas).  Cita-citanya sederhana dan tidak muluk-muluk, cukup tidak menjadi beban bagi orang lain. Di pesantren dia juga mengalami pelarangan membaca novel, padahal menurutnya itu bagus untuk meningkatkan budaya membaca.

Lalu, kisah dari Maryam, awalnya dia bercita-cita menjadi seorang dokter. Meski lingkungan tak mendukung, Maryam mempunyai keyakinan, "Kalau kita dengerin omongan orang melulu, kita tidak akan maju."

Ngaji kitab kuning menjadi karakter utama dalam pembelajaran di pesantren. Di tengah tantangan menghadirkan perspektif gender di kalangan pesantren, diskursus ini terus berlanjut dalam kajian ini. Semisal terkait gagasan patriarki di dalam teksbuk pesantren  seperti Uqud al-Lujjayn yang menyebut suami diizinkan memukul istri karena berbagai alasan.

Ada pula pembelajaran terkait Qurratul Uyun dan Adab al-Muasharah. Dalam kitab-kitab ini, relasi gender membuat dikotomi yang sederhana yang merefleksikan figur orangtua, seperti ayah bekerja di luar dan ibu di rumah, bergelut pada urusan domestik.

Terlepas dari itu, pesantren juga memiliki koneksi dengan berbagai organisasi seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muslimat/Fatayat NU khususnya. Bahkan ada pula Yayasan Kesejahteraan Fatayat yang berkonsentrasi pada kesehatan reproduksi perempuan dalam konteks pembelajaran Islam. Juga memberikan pelatihan insentif untuk kiai dan nyai junior.

"The existence of pesantren for girls will allow more women to get an education. To make education for women more productive and empowering, a pesantren should consider how the whole framework of pesantren education can support this move. Pesantren should not disregard the criticisms addressed at them. They have to make a response, even making changes, within their particular philosophical framework."

ABSTRAK:

Pendidikan pondok pesantren merupakan bentuk pendidikan tradisional Muslim di Indonesia. Sistem pendidikan ini dapat dilacak kembali sejak abad 18 dan setelahnya. Meskipun, pada masa itu, hingga 1930 pesantren secara resmi mengakui santri perempuan. Dimulai dari Pesantren Denanyar di Jombang. Diterimanya santri perempuan di pesantren merupakan terobosan signifikan di dalam konteks Islam Indonesia. Ini menggiring pada persetujuan yang unik dalam pendidikan Muslin yang dipisahkan secara gender, meskipun keketatannya bergantung pada fleksibilitas pemimpin pesantren. Paper ini memberikan cara pandang kualitatif sosio-sejarah terbaru dari pendidikan pesantren putri di Indonesia. Juga tantangan yang dihadapi kaitannya dengan persamaan gender. Didiskusikan dalam posisi, santri perempuan menghadapi akses yang terbatas terhadap ruang publik, sebagaimana harapan sosial terhadap mereka yang masih memusatkan laki-laki sebagai inti dari otoritas institusi. Kontribusi pesantren yang dijelaskan dalam paper ini mendorong santri putri untuk mengenali lebih dalam lagi tekanan internal yang dihadapi untuk mengembangkan kualitas pendidikan bagi perempuan.

Srimulyani, Eka. "Muslim Women and Education in Indonesia: The pondok pesantren experience." Asia Pacific journal of education 27.1 (2007): 85-99.

Link: https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/02188790601145564

#31daysofindonesianscholars #pesantren #women #education #indonesia #santri #islam

PROFIL SCHOLAR:

Eka Srimulyani merupakan Guru Besar di Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh yang lahir di Latong, 19 Februari 1977. Memperoleh gelar master terkait Studi Islam dari Universitas Leiden, Belanda, dan gelar doktor di bidang studi internasional (Asia-Pasifik) dari Universitas Teknologi Sydney, Australia. Menulis buku "Berjuang untuk Seimbang" sebuah buku autoetnografi terkait cita-cita dan perjuangan perempuan dalam karier - pendidikan. Publikasi lainnya, "Pesantren Seblak of Jombang East Java: Women’s Educational Leadership”, “Negotiating Public Space: Three Nyai Generations in a Jombang Pesantren”, hingga “Inspired by History” (yang terbit di Inside Indonesia).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar