Kamis pagi pada tanggal 11 Juni 2015, tersiar kabar bahwa seorang pria telah menikam istri dan adik iparnya di Pengadilan Agama Kota Batam. Rahmat, pria yang dimaksud, lalu menusuk dirinya sendiri. Adik iparnya Umi Khoirah tewas seketika, Rahmat meninggal dua hari kemudian di rumah sakit daerah, dan istrinya Sri Astuti bisa bertahan hidup. Berbagai kabar berita melaporkan bahwa pasangan itu berada di pengadilan untuk menghadiri sidang kedua proses perceraian mereka, yang mencakup mediasi.
Rahmat diduga kesal dengan keinginannya istrinya yang tak tergoyahkan untuk menceraikannya, padahal ia sudah meminta maaf atas kesalahannya di masa lalu. Ia sempat memohon kepada istrinya untuk mencabut permohonan cerainya, namun sia-sia. Dia bersikukuh bahwa perceraian di Pengadilan Agama adalah satu-satunya jalan keluar dari hubungan kekerasan mereka.
Pernikahan dan perceraian bagi pasangan Muslim di Indonesia diatur dalam UU Perkawinan No. 1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam 1991, dan ditentukan di Pengadilan Agama. Baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak yang sama untuk mengajukan cerai ke pengadilan. Cerai bisa terjadi karena kekerasan, perzinahan, perjudian, penyalahgunaan obat, perbuatan menyakiti tubuh, adanya perselisihan berkepanjangan, pelanggaran janji nikah oleh suami (taklik talak), atau salah satu pihak meninggalkan keyakinan agama.
Kasus yang dialami Sri Astuti ini menjadi contoh bagaimana pengajuan cerai dari perempuan dapat memicu kekerasan dari suami. Juga menunjukkan betapa seriusnya kekerasan rumah tangga, serta persimpangan antara bidang peradilan perdata dan pidana. Memperlihatkan pula bagaimana kekerasan rumah tangga di Indonesia menjadi alasan perceraian di Peradilan Agama dibandingkan dijadikan alasan penuntutan terhadap suami yang melakukan pelanggaran.
Pemerintah yang mengenalkan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) Nomor 23/2004, merupakan respons peradilan pidana pemerintah Indonesia terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Pasal-pasalnya berfokus pada kekerasan rumah tangga, kekerasan terhadap perempuan/istri. Setelah sepuluh tahun diperkenalkan, kekerasan rumah tangga terhadap perempuan sebagai tindak pidana kriminal masih kurang dilaporkan. Ini seperti disebutkan oleh data Komnas Perempuan.
Dari total kasus kekerasan dalam rumah tangga yang teridentifikasi dari sumber resmi, sekitar 96% dari 293.220 kasus pada tahun 2014 berasal dari proses perceraian di Pengadilan Agama, di mana sejumlah bentuk kekerasan disebut-sebut sebagai pemicu perceraian. Hanya sekitar 4% dari kasus yang dilaporkan didasarkan pada pengaduan yang disampaikan kepada 191 organisasi perempuan mitra Komnas Perempuan.
Artikel ini membahas kerja sebuah organisasi perempuan dalam memobilisasi sumber dayanya untuk melakukan intervensi atas nama, memfasilitasi perubahan, dan menanggapi kebutuhan perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga.
Fokus kerja organisasi perempuan ini muncul karena undang-undang menetapkan bahwa baik pemerintah maupun masyarakat, termasuk lembaga non-pemerintah, mempunyai kewajiban untuk mencegah dan menghapuskan kekerasan dalam rumah tangga, dan memberikan perlindungan kepada perempuan. Artikel ini menyajikan studi kasus mengenai kinerja salah satu organisasi perempuan lokal di provinsi Sulawesi Selatan, yaitu Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) di Makassar.
Studi kasus ini menantang beberapa perspektif mengenai kerja organisasi non-pemerintah, khususnya kekhawatiran bahwa agenda internasional dapat mendistorsi respons lokal terhadap modernisasi. Penelitian terhadap organisasi perempuan di provinsi Aceh menemukan bahwa LSM perempuan setempat mampu mengekspresikan dan memajukan kepentingan perempuan, jika tidak maka mereka tidak mampu bersuara di depan umum.
Pengamatan awal artikel ini antara lain berasal dari kajian putusan pengadilan di sejumlah Pengadilan Agama tingkat pertama. Pengamatan ini menunjukkan bahwa alasan perempuan melakukan perceraian antara lain karena ditelantarkan secara fisik, psikologis, dan ekonomi, yang semuanya termasuk dalam kategori ini, termasuk dalam kategori kekerasan dalam rumah tangga. Pekerjaan LBH APIK Makassar membentuk sebuah studi kasus, dengan bukti-bukti yang dikumpulkan melalui beberapa kunjungan dari tahun 2013 hingga 2015, di mana wawancara dilakukan dengan paralegalnya.
Cendekiawan Muslim perempuan Lily Zakiya Munir (2005:5) menganggap UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini bersifat progresif, karena mencerminkan prinsip-prinsip dasar 'perlindungan dan penegakan hak asasi manusia, peningkatan kesetaraan gender, keadilan, dan hubungan sosial yang adil serta perlindungan hak-hak korban’.
Meskipun undang-undang tersebut memperlakukan kekerasan dalam rumah tangga sebagai tindak pidana, tampaknya banyak korban yang tidak mengikuti prosedur peradilan pidana. Hal ini menyulitkan perolehan data akurat untuk menentukan berapa banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dibawa ke pengadilan sebagai tindak pidana.
Penelitian yang dilakukan di Kabupaten Banyumas, menunjukkan bahwa laporan yang dibuat oleh perempuan mengenai pengalaman kekerasan yang mereka alami tidak dianggap sebagai laporan kejahatan oleh polisi, melainkan menyebabkan petugas menyarankan suatu bentuk mediasi, di mana perempuan dan pelaku kekerasan diminta untuk kembali. rumah dan mencoba untuk menyelaraskan hubungan mereka.
Salah satu pencapaian besar UU Anti-KDRT adalah mengakui kekerasan seksual dalam perkawinan dan perkosaan dalam perkawinan sebagai tindak pidana. Ini mengklasifikasikan kekerasan seksual sebagai bentuk tindak pidana dan mendefinisikan kekerasan seksual.
Dalam sebagian besar kasus, viktimisasi, marginalisasi, dan diskriminasi terhadap perempuan bersifat sistematis dan dilakukan tidak hanya oleh individu namun juga oleh kelompok, termasuk negara. Oleh karena itu, agensi sering kali muncul, bukan sebagai tindakan individu, namun dalam konteks kelompok, di mana ia menolak subordinasi dan penindasan, dan diwujudkan melalui tindakan kolektif yang diarahkan pada target budaya dan politik, serta individu.
Dalam konteks Indonesia, perempuan mengartikulasikan keprihatinan individu mengenai status mereka, pengalaman diskriminasi, dan penindasan dengan mengorganisir diri mereka ke dalam organisasi-organisasi perempuan dan dengan berbicara langsung kepada partai-partai, dan pemerintah, dengan cara yang lebih berkelanjutan dan terorganisir dibandingkan jika dilakukan secara individu.
LBH APIK adalah salah satu organisasi perempuan yang aktif berkampanye melawan kekerasan gender, mulai dari mendorong reformasi kebijakan hingga menyediakan tempat penampungan, konseling, dan bantuan hukum. LBH APIK berpendapat bahwa kekerasan gender disebabkan oleh sejumlah faktor, yang sebagian besar berasal dari ideologi gender negara. Salah satu pendiri LBH APIK, Nursyahbani Katjasungkana, berpendapat bahwa ajaran agama dan budaya patriarki merupakan hambatan terbesar dalam mengatasi kekerasan gender dan dalam penerapan UU Anti KDRT (Katjasungkana 2013:170).
Didirikan pada tahun 1995 oleh sekelompok tujuh pengacara wanita di Jakarta, kini menjadi organisasi perempuan terkemuka yang memberikan bantuan, konseling, dan bantuan hukum, dan bekerja dengan perempuan korban kekerasan, termasuk kekerasan negara, bersama dengan organisasi perempuan lainnya seperti Kalyanamitra, Rifka Annisa, dan Solidaritas Perempuan
Konsep yang disebut ‘bantuan hukum transformatif gender’, yang bertujuan untuk mentransformasi masyarakat dengan ‘mengoreksi hubungan gender yang tidak adil melalui pengalaman perempuan dalam berurusan dengan sistem hukum’. Pendekatan berbasis bukti ini melegitimasi kerja organisasi dalam advokasi kebijakan, kampanye kesadaran kesetaraan, dan reformasi peraturan pemerintah dan kebijakan sosial. Organisasi ini juga telah mengadopsi konsep ‘segitiga pemberdayaan’, yang mempromosikan peran masyarakat sipil, parlemen, dan pemerintah yang setara dan penting dalam merancang advokasi kebijakan dan mereformasi kebijakan pemerintah.
Beberapa paralegal sendiri merupakan mantan korban kekerasan dalam rumah tangga, yang pernah mendapatkan konseling dan pendampingan hukum dari LBH APIK. Saat menjalani konseling, sebagian korban bergabung dengan ‘kelompok swadaya’ yang difasilitasi oleh LBH APIK. Forum semacam ini memungkinkan para korban untuk saling mendukung berdasarkan pengalaman mereka. Beberapa dari mereka akhirnya tertarik menjadi paralegal, sehingga mengikuti pelatihan hukum seperti yang disebutkan sebelumnya.
LBH APIK dan paralegalnya memahami bahwa relasi gender di komunitasnya sangat dipengaruhi oleh budaya patriarki dan interpretasi ajaran Islam yang konservatif. Hal ini menunjukkan bahwa organisasi perempuan tetap menjadi representasi penting isu gender dalam praktik pembangunan, termasuk di Indonesia.
Pekerjaan paralegal di LBH APIK sangatlah penting karena pemerintah, yang mempunyai kewajiban utama dalam penegakan hukum dan pemberian layanan, belum melaksanakan tanggung jawabnya secara efektif. Paralegal di APIK tidak hanya berhasil membangun kesadaran di kalangan perempuan, namun juga dalam memobilisasi mereka dan secara kolektif mengatasi praktik budaya yang diskriminatif. Walaupun para pengkritik terhadap organisasi perempuan seringkali fokus pada kenyataan bahwa pekerjaan mereka bergantung pada dana yang diterima dari donor, kasus aktivis dan paralegal desa di Makassar menunjukkan kemampuan aktivis lokal untuk tetap waspada dan proaktif bahkan ketika dana tidak ada.
ABSTRAK:
Pada tahun 2004, pemerintah memperkenalkan Undang-Undang (UU) Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dalam Rumah Tangga sebagai respons peradilan pidana terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Setelah lebih dari satu dekade, hal ini menyisakan ketidakjelasan seberapa efektifkan UU berjalan. Lemahnya penegakan hukum, perbedaan persepsi masyarakat, hambatan struktural, dan kurangnya akses terhadap layanan dukungan dan intervensi yang efektif merupakan beberapa tantangan di balik rendahnya pelaporan kekerasan dalam rumah tangga.
Artikel ini membahas kerja organisasi-organisasi perempuan di tingkat lokal dalam menangani kekerasan dalam rumah tangga, karena UU itu sendiri mengatur peran pemerintah dan organisasi non-pemerintah. Studi kasus organisasi bantuan hukum perempuan di Sulawesi, LBH APIK Makassar, mengungkapkan bagaimana aktivitas lokal membantu perempuan menggunakan hak pilihan mereka dan mengambil tindakan untuk mencapai keadilan sosial dan hukum dengan bekerja bersama perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
Afrianty, Dina. "Agents for change: Local women’s organizations and domestic violence in Indonesia." Bijdragen tot de taal-, land-en volkenkunde/Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia 174.1 (2018): 24-46.
Link: https://brill.com/view/journals/bki/174/1/article-p24_2.xml
#31daysofindonesianscholars #dinaafrianty #women #agency #localactivism #divorce #domesticviolence
PROFIL SCHOLAR:
Dina Afrianty, merupakan akademikus Indonesia dengan spesialisasi hak perempuan, hak disabilitas, gender, dan Islam. Memperoleh gelar S1 dari Universitas Padjajaran, S2 dari Universitas Melbourne, dan S3 dari Melbourne Law School, Universitas Melbourne (2011). Dia juga merupakan peneliti di Institute for Religion, Politics, and Society (IRPS) Australian Catholic University. Pendiri Australia-Indonesia Disability Research and Advocacy Network (AIDRAN), forum penelitian terkait riset dan advokasi disabilitas. Menulis buku "Women and Sharia Law in Northern Indonesia: Local Women's NGOs and the Reform of Islamic Law in Aceh" (Routledge, 2014).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar