Kamis, 06 Juli 2017

Pataba dan Idiosinkretisme Soesilo Toer


Rabu, 5 Juli 2017 09.50

Kau tak akan percaya. Pria itu berdiri di depan rumah. Rumah gaya Jawa dari kayu yang mungkin sama tuanya dengan usia pria itu. Di depan rumah banyak rongsokan, sambil ada seorang pria yang sedang membantu. Ada pula dua kambing kecil warna hitam dan beberapa ayam. Pakainnya kaos kampanye calon presiden berwarna putih dan celana kain warna coklat muda yang sudah lusuh. Wajahnya memperhatikan saya dan adik saya yang sedang geleng-geleng linglung mencari sebuah alamat: Perpustakaan Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa (Pataba) di Jalan Pramoedya Ananta Toer No. 40 Jetis, Blora.
PATABA
“Masak itu tempatnya?” tanya adik saya tak percaya. Sepertinya tempat itu tak sesuai dengan apa yang dia ekspektasikan sebelumnya. Menganggap perpustakaan ini besar dan banyak pengunjungnya, dengan beberapa gelintir penjaga. Perpustakaan itu sangat sederhana.

“Iya,” kata saya yakin. Sebab ada mural gambar foto Pramoedya di dinding kayu rumah itu. Lalu saya turun dari motor dan menemui pria berjenggot, berbrewok putih, dan berambut putih tersebut. Pria itu masih tersenyum pada saya. Pas sampai dekat, saya bertanya:

“Maaf bapak, ini Pataba?” tanya saya.
“Iya,” jawabnya. Saya refleks langsung mengulurkan tangan.
“Isma.”
“Soesilo.”
“Soesilo Toer?”
“Iya.” Betapa bahagianya saya saat itu, dan kalau saya bahagia, saya tak ingin apa-apa lagi.
“Lagi sibuk apa Pak?”
“Sibuk jadi rektor,” jawabnya sambil tertawa.
“….” Saya membalas senyumnya agak bingung.
“Rektor, orek-orek perkakas kotor. Hehehe.” Beliau tersenyum lagi. Ia langsung mengajak saya masuk ke perpustakaan PATABA.
Ruang utama Pataba
Pak Soesilo membukakan pintu. Foto, lukisan, dan karikatur bergambar wajah Pram langsung menyambut mata saya. Diselingi pula foto-foto pemikir dunia seperti Sigmund Freud, Dostoevsky, Multatuli, dan lain-lain. Ruang utamanya berukuran sekitar lima kali empat meter, dan di sampingnya ada kamar kecil yang menjadi kamar Pram dulu. 
Kamar Pram
Buku-buku di Kamar Pram
Di ruang utama ada beberapa rak dan meja yang diisi buku-buku. Bukunya beragam tema dan bahasa, dari bahasa Rusia, Belanda, Jerman, Inggris, Indonesia, sampai buku-buku dari Penerbit Pataba. Pak Soesilo mempersilahkan kami duduk, saling berhadapan.

Soesilo Toer
Pak Soes sangat ramah. Ketika bertanya dimana saya kuliah? Saya bilang Jogja. Beliau lalu cerita tentang tempat di Jogja yang ternyata tempat asal istri ketiga Pak Soes. Selisih usia pasutri ini 30 tahun. Ia memiliki satu putra bernama Benee Santoso. Nama Ben sendiri katanya tidak jauh dari kedekatan Pak Soes dengan Benedict Anderson yang meninggal di Malang tahun 2015 lalu. Ia dan Ben sering kirim mengirim surat. Pak Soes lalu menceritakan saya tentang banyak hal, dan saya sangat bingung menulisnya darimana.

Saya akan memulai dari kisah tentang titik balik kenapa Pak Soes menjadi cerdas berikut rahasianya. Pas kecil, Pak Soes sebelas dua belas sama kakek Pram bodohnya. Dari SD sampai SMP nilai-nilainya selalu di bawah lima. Nah, pas SMA semua berubah. Pas lulus SMA, nilai ujian Matematika dan IPA-nya 10, dan bahasa Inggrisnya sembilan. Jadi lulusan terbaik yang diterima di UI tanpa tes, tapi karena tak ada biaya, tidak beliau ambil. Ia masuk di Akademi Keuangan di Bogor (yang sekarang jadi BPK), hingga di lembaga itu beliau kuliah sampai di Uni Soviet (sekarang Rusia), di Universitas Patrick Lumumba (S2) dan Universitas Plekhanov (S3) mengambil jurusan ekonomi.

Lulus dari Akademi Keuangan Bogor, ia menunggu jatah untuk sekolah ke Rusia hingga tahun ketiga. Tahun pertama jatah Pak Koesalah Toer, tahun kedua kuota penuh. Tahun satu dan dua ini tak ada tes, dan apesnya di tahun ketiga ada tesnya. Data yang saya ingat, dari 9000 pendaftar, orang yang terpilih hanya 90, dan dia salah satunya. Pas masuk di universitas itupun beliau sudah telat, Harusnya pertengahan September sudah mulai, ia baru sampai Rusia akhir Oktober. 

Ia pun mengejar ketertinggalannya. Beliau bisa menguasai Bahasa Rusia dalam waktu 6 bulan. Tiga bulan pertama untuk belajar kosa kata. 3000 kata dalam tiga bulan, 6000 kata enam bulan. Diksi yang dipelajari diksi yang sering dipakai sehari-hari. Belajarnya dari jam 11 siang sampai jam setengah dua belas malam. Di samping itu di Rusia, beliau juga menjadi editor dan kontributor di media-media Rusia, dan bayarannya lumayan banyak. Dia juga menjadi lulusan tercepat. Menempuh S3 hanya dalam 1,5 tahun. Saat temannya belum tahu judul apa yang mau digarap, beliau sudah selesai.

Sedihnya, disertasi Pak Soes yang telah dibukukan berjudul Republik Jalan Ketiga dituduh menjiplak karya Antoni Giddens yang berjudul Jalan Ketiga (The Third Way).  Buku Pak Soes itu mengkritik tentang kapitalisme dan sosialisme, mencari jalan lain dari keduanya. Tuduhan dilakukan oleh intelektual-intelektual Indonesia yang kebarat-baratan, yang menganggap barat lebih tinggi dan meragukan kemampuan anak bangsa sendiri. Padahal, Pak Soes menulis buku itu tahun 1967, sedangkan Giddens menerbitkan buku itu pertama kali tahun 1998. Tanggapan Pak Soes pun membuat saya geli: “Gak papa, saya malah bangga. Karya saya bisa menjadi inspirasi Giddens nulis itu.” 

Kembali ke titik balik kecerdasan Pak Soes yang terjadi ketika ia diminta seseorang untuk mengantarkan seorang perempuan pulang naik kereta. Di kereta itu beliau membawa buku matematika dan hanya membukanya, tak mempelajarinya. Pak Soes remaja sibuk memperhatikan perempuan yang di antarnya itu, sebab perempuan itu menarik.  Lalu, jiwa mudanya tumbuh, beliau pacaran. Kata beliau:

“Pacaran menyeimbangkan otak kanan dan otak kiri. Ketika dua otak itu berjalan, orang akan menjadi cerdas,” teorinya. Saya pun skeptis dengan narasi soal cinta.
“Tapi, kalau lihat pola pacaran anak sekarang, lebih ke perasaan. Jadi gak semakin cerdas, malah semakin bodoh, Pak,” saya tak setuju.
“Kuncinya jangan berlebihan. Semua yang berlebihan tidak baik. Dan jangan terlalu dibawa perasaan. Kau tahu Pram pernah bilang apa soal cinta?”
Saya geleng-geleng kepala, habis pikir.
“Cinta itu seperti aku kentut. Kawin itu seperti aku berak.” Saya tertawa kecil.
“Saya tidak pernah bilang cinta sama istri saya. Pram pun ketika menulis surat cinta untuk orang yang dikasihinya saya sensor dulu. Dia nyuruh saya yang sensor, lalu saya ubah beberapa.”

Lalu beliau flashback tentang masa lalunya dengan pacar-pacanya yang ada di Rusia. Kisah semuanya bisa juga kawan baca di novel Soesilo Toer berjudul “Anak Bungsu”. Cerita singkat beliau begini: pas beliau di Rusia ada seorang perempuan yang menjadi rebutan tiga pria mapan, tapi malah perempuan cantik itu milih Pak Soes. “Perempuan memiliki seleranya sendiri dalam milih pria. Pria juga. Nah, selera perempuan yang mencintai saya ternyata apa? Karena saya brewokan dan dua teman saya klimis-klimis,” ceritanya tertawa mengenang.

Menjadi Pemulung Adalah Jalan Hidup
 
Hantamassa Credit
Ini yang membuat saya antara percaya dan tidak percaya. Memulung semacam menjadi panggilan jiwa Pak Soes. Dia semacam punya radar yang kuat akan karir profesionalnya ini. Kisah memulung itu dimulai saat dia kecil bersama kawan-kawannya. Pas kecil dia dan dua kawanya janjian untuk jadi pemulung kertas perak di rokok-rokok, kertas itu dijadikan semacam tempelan (filateli).

Nah, di sebuah jalan ketika ia dan dua kawannya janjian mulung, ternyata ada benda semacam barang serupa rokok yang jatuh dari sebuah mobil—yang ternyata itu adalah dompet. Pak Soes dan kawannya saling rebutan dompet itu dengan berlari.

Lalu uang itu dihitung bersama-sama, dan isinya banyak. Para kawan itu menggunakan uang tersebut untuk membeli lontong tahu di pasar selama beberapa hari. Kisah lainnya tentang kebiasaan penjual di pasar (saya lupa pedagang apa) yang meletakkan uang di kayu-kayu. Kadang uang mereka ketinggalan dan ia dan kawan-kawannya sering memulung uang-uang itu. 

Pas tinggal di Bekasi, sampai di Jogja, dan di Blora kisahnya pun tak kalah banyak tentang pengalamannya menjadi pemulung. Anehnya, beliau semacam mendapat wangsit, ada seseorang yang membisiknya ketika ingin memulung. Dan firasat itu benar. Seperti kisah anaknya yang sakit amandel dan badannya panas di jam empat pagi minta kue cur (kalau di Jogja semacam pukis). Di Bekasi ada mainan anak-anak suka geret-geret dompet, dompet dikejar, pas sudah sampai ditarik lagi. Pak Soes berprasangka itu permainan anak-anak, ternyata bukan. Ia injak dompet itu dan ada isinya. 

Banyak keberuntungan yang beliau dapatkan, karena bisikan-bisikan itu. Kadang dapat baju baru, dapat sampo, sabun dan seperangkatnya, dll. Di Bekasi pula, waktu yang paling beliau sukai ketika memulung adalah sehabis hujan dan di jalan raya. Kadang pula beliau mulungi uang 50 perak yang dibuang oleh petugas yang suka ngatur jalan di belokan jalan raya. 

Bakat memulung itu juga diwariskan pada anak dan istri. Awalnya mereka malu, tapi lama-lama malah senang. Suka mengajak Ben memulung juga. Menurut cerita Pak Soes, anaknya Ben tidak mau kuliah dan Pak Soes tak meminta atau melarangnya juga untuk kuliah. Watak Pak Soes, juga mirip seperti Pram dalam mendidik anak. 

“Kalau dia mau sekolah, saya tidak mau bayari. Biar dia cari sendiri. Dan saya tak mempersoalkan dia mau kuliah atau tidak. Pram itu hanya lulusan SD, Susi (Menteri Kelautan) itu cuma lulusan SMP, tapi dia sukses. Saya menilai sesuatu dari kemampuan, bukan pendidikan,” ujarnya mantap. 

Anak beliau pernah kursus komputer di Cepu dan dia tidak malu jadi pencuci piring membantu orang jualan di taman seribu lampu. Dia sekarang kerja di Astra dan membantu salah satu keluarga Pak Soes juga. Mengirimi uang 1 juta/bulan, tapi jadi 500 ribu/bulan tapi teratur. “Biar tidak kaget,” kata Pak Soes ketika tiba-tiba saudaranya itu tidak dikirim lagi.

Namun tak jarang, pekerjaan memulung ini menjadi salah sangka bagi orang-orang yang melihatnya. Ada yang mencaci, ada yang membantu. Sampai-sampai pagi itu Pak Soes menunjukkan uang 20 ribu ke saya pemberian orang yang memberi ia sedekah. Padahal, uang dari anak dan penerbitan buku sudah cukup untuk menghidupi beliau. “Banyak orang yang salah sasaran,” tuturnya. Pak Soes memilih menjadi pemulung pula karena menjadi pemulung itu bebas. Bisa pergi kemana saja dengan sesuka hati, tanpa bos / majikan. Waktunya bisa kapan saja.

Balik ke semacam wangsit yang Pak Soes miliki. Beliau ini sepertinya punya indra keenam. Ucapannya malati. Dia pernah difitnah pas jadi backpacker di Rusia, dan Pak Soes bilang “awas.. awas..” Eh, orang yang memfitnah dia itu mati kena jantung sampai membusuk di flatnya. Ada pula orang klan China yang mengganti jamnya yang bagus dengan merk Seiko yang sering rusak, katanya diberi servis gratis tiap kali rusak. Ternyata, jam itu meski sudah diservis, seringkali mati.

Pertama - kedua gratis, tapi setelahnya pedagang itu kesel, dia bilang “ya gratisnya jangan terus.” Pak Soes sakit hati dan cuma bilang “awas.. awas..” Selang beberapa waktu, pedagang itu mati ketabrak. “Kadang saya takut kalau sudah bilang begitu. Kalau ada yang menyakiti saya dari hati, saya takut ngomong seperti itu lagi,” lirihnya.
Are you bless me sir?
Oya, mitos lainnya ketika kamu pergi ke Pataba dan melihat lukisan Pram di ruang utama yang bersanding dengan Anelis itu bergoyang, berarti Pram memberkatimu. Tiba-tiba saya berharap lukisan Pram itu bergoyang. Ah, lalu saya jadi ingat dosa-dosa saya. Inferior saya kambuh lagi. 

“Di kamar itu ada arwahnya Pram.” Saya tiba-tiba merinding sendiri.  

Metode Menulis dan Soal Dekadensi Sastra

Meski umurnya telah mencapai 80 tahun (kelahiran 17 Februari 1937), beliau masih aktif menulis. Gairah hidupnya meletup-letup dan jiwa mudanya masih terlihat di fisik dan senyumnya—meski beliau menderita prostat. Ada sekitar 40-an buku yang beliau hasilkan, sampai ia lupa judul-judulnya. Draft terakhir tulisan yang sedang beliau kerjakan berjudul “Srigala”. 
Penjelajah Siberia.
Pak Soes menulis masih suka memakai kertas dan pena, lalu meminta anaknya Ben untuk mengetik ulang di komputer. Selain mengurus perpustakaan Pataba, ia juga mengurusi penerbitan Pataba (Pataba Press). Salah satu penerbit indie yang tumbuh di tengah hegemoni Gramedia. Penerbit tersebut cukup kembang kempis, tapi omsetnya lumayan. Ia juga dibantu beberapa seniman dalam membuat cover-cover terbitan Pataba, seperti Andre Tanama. Anaknya pun ikut membantu manajerialnya.

Tentang menulis, pengalaman menjadi dasar yang sangat penting. Kata Pak Soes: “Pengalaman adalah basis pengetahuan, dan pengetahuan adala basis kapasitas, kata Einstein. Jadi seorang penulis kalau tidak punya pengalaman, dia akan bingung mau nulis apa. Kalau yang banyak pengalaman beda. Bukan karena kurang ide, tapi kurang waktu.” 

Jika mampu, mengutip pepatah Jerman yang ia ucapkan dengan bahasa Jerman, beliau bilang carilah ilmu sampai kemanapun. Dan jangan takut salah, karena menyadur dari pepatah Jerman pula: Berbuat salah adalah hal wajar yang sering dilakukan manusia.

Beliau juga menceritakan resep dari beberapa penulis nobel. Seperti William Faulkner yang menyarankan mulailah dari satu huruf yang bermakna, lalu satu kata bermakna, dan satu kalimat bermakna. Satu kalimat itu harus bisa melahirkan dua kalimat lagi yang bermakna dan seterusnya. Diimbangi dengan banyak membaca.

“Kalau baca buku jangan seperti habis makan kerupuk. Selesai baca udah hilang entah kemana, tapi dipahami, jangan dilupakan, ditubuhkan. Salah satu caranya dengan menandai kalimat-kalimat penting dan menarik dari buku. Saya sering baca buku di Rusia sering saya oret-oret dan kasi garis. Tidak peduli itu buku negara, kawan saya sampai negur: ‘itu buku negara, jangan dicoret-coret’. Saya bodoh amat.” Selain mencoret kalimat yang penting, beliau juga menulis ulang kalimat yang penting.

Pak Soes juga bilang dia hanya membaca karya-karya yang menurut ia menarik. Kalau menurutnya tidak menarik, ia tak mau baca, meski orang lain menganggap menarik. Penulis-penulis yang menginspirasinya kebanyakan penulis-penulis Rusia, seperti Ostrovsky (Bagaimana Baja Ditempa), Maxim Gorky (Ibunda), Dostoevsky, Alexander Pushkin, Leo Tolstoy, Nikolai Gogol, Boris Pasternak, Chekov, Chinghiz Aitmatov, dan lain-lain. Kakak Pak Soes, Koesalah Subagyo Toer juga merupakan penerjemah buku-buku Rusia ke Indonesia terbanyak. Pak Soes saat ini juga membantu beberapa penerbit Indonesia untuk jadi editor terjemahan Rusia.

Membahas sastra sekarang, penulis yang dipuji Pram dewasa ini adalah Eka Kurniawan, khususnya untuk Cantik Itu Luka. Tapi Pak Soes punya komentarnya sendiri terhadap karya Eka tersebut. Intinya: Cantik Itu Luka bahasanya jorok. Baru kali itu Pak Soes menemukan bahasa yang sebegitu joroknya dipaparkan dalam sebuah buku, dan gaya Eka itu diikuti oleh penulis-penulis lain. Baginya, itu bukan perkembangan, tapi malah mengalami dekadensi.

Saya lalu merefleksikan ucapan Pak Soes pada status-status media sosial yang sering saya jumpai. Yang jujur itu membuat saya risih. Para netizen kadang memakai diksi-diksi jorok, kotor, bahasa-bahasa selangkangan, untuk mengekspresikan kekesalan mereka. Kalau umpatan biasa atau ungkapan binatang saya bisa terima (meski binatang tidak akan terima), tapi kalau larinya sudah ke tubuh dan borok perempuan, kadang juga vital laki-laki, saya sangat risih. Bagi saya itu menjijikkan. 

Akhirnya, tidak terasa, tiga jam sudah Pak Soes ngancani saya. Di LPM Arena, saya sering dituduh kawan-kawan, kalau saya cucunya Pram, saya juga ingin mengaku(aku) Pak Soes juga kakek saya. (But, Pram is Pram, Soes is Soes). Pak Soes akan selalu membuat saya rindu untuk berkunjung ke Blora lagi. Mendengar cerita ‘Kang Gareng Blora’ yang tak pernah habis lagi.
Be shine, Kung.

Cepu, 6 Juli 2017 │ 15.33