Kamis, 14 Maret 2024

Cosmopolitan Whiteness - L. Ayu Saraswati

Iklan pemutih kulit mendominasi lanskap majalah di Indonesia. Seringkali, iklan pemutih itu tampak di bagian paling depan, seperti pada edisi Juni 2006 pada majalah wanita Cosmopolitan. Di sana nampak sosok Estee Lauder dengan konsep iklan "Cyber White"-nya. Mengikuti isu tersebut, pada Juli 2006, juga ada slogan "Skin of Innocence" yang menampakkan produk pemutih Kose Sekkisei di bagian sampul. Keduanya tidak menggunakan model Indonesia, dan menggunakan model dari perempuan yang berbeda ras, dengan fitur wajah yang juga berbeda.

Ini membuat Ayu bertanya: Putih yang seperti apa yang dipasarkan secara transnasional pada majalah wanita seperti Cosmopolitan Indonesia?

Studi yang berkaitan dengan fenomena kulit putih di berbagai negara berada di bawah asumsi putih yang berkaitan dengan etnis, ras, biologis, sosial, dan penanda visual. Misalnya ketika akademisi kajian budaya Radhika Parameswaran dan jurnalis Kavitha Cordoza menyatakan bahwa iklan pemutih dalam media kontemporer di India menyamakan "putih" dengan masyarakat ras Kaukasia. Term "posisi subjek yang memiliki privilese putih" juga menunjukkan asumsi yang sama, jika putih ini diasumsikan sama dengan putih rasial khas kaukasia. Studi penting lainnya dalam politik rasial kecantikan, menunjukkan pada putihnya ras Kaukasia sebagai bingkai utama.

Dalam jurnal ini, Ayu meneliti arti pemutih kulit dalam majalah Cosmopolitan yang terbit antara bulan Juni, Juli, dan Agustus (2006-2008). Dia berpendapat, di masa kontemporer sekarang ini apa yang disebut "putih kosmopolitan" tengah dipasarkan melalui iklan produk pemutih. Dia menunjukkan putih ketika merepresentasikan kualitas kosmopolitan berupa mobilitas transnasional. Iklan ini menggunakan afeksi untuk menunjukkan emosi, sekaligus memasukkan unsur sosialitas atau produktivitas sosial. Di sini, kualitas yang sifatnya afektif terkait kulit putih perempuan diproduksi, direpresentasikan, dan disirkulasikan.

Ayu dalam artikel ini memikirkan ulang konsep putih melebihi batas rasial dan etnis. Pendefinisian ulang konsep putih kosmopolitan juga membuatnya sadar adanya aspek yang tidak sering didiskusikan: virtualitas. Virtualitas ini menduduki ruang antara yang nyata dan tidak nyata: maya. Putih adalah kualitas virtual, tidak nyata.

"This article anchors the analysis of skin-whitening advertisements in affect theories and cultural studies of emotion; in doing so, it aims to advance our understanding of the ways in which race, gender, and skin color are not only socially and visually constructed but also affectively, virtually, and transnationally constructed.”

Dalam sesi selanjutnya, Ayu menjelaskan dua konteks esensial terkait studi ini. Pertama, menjelaskan sejarah singkat terkait kecantikan gender dan rasial di Indonesia. Kedua, mengenali politik sirkulasi transnasional majalah Cosmo dari Amerika Serikat ke Indonesia.

Di Indonesia, negara dengan 300 grup etnis yang kecantikannya secara rasional dibedakan dari warna kulit dan diskursus gender, secara historis mengalami transnasionalisasi. Ini bisa dilihat dari literatur seperti Ramayana, bagaimana perempuan dengan kulit cerah menjadi norma kecantikan. Ini menunjukkan jika cantik itu putih merupakan konstruksi gagasan yang transnasional, khususnya dari India ke Indonesia, bukan karena kolonialisme Eropa. Konstruksi transnasional ini juga berlanjut pada masa penjajahan Belanda dan Jepang hingga hari ini.

Standar cantik kulit putih meningkat melalui periode sejarah yang berbeda, sehingga tidak mengejutkan ketika produk pemutih kulit sangat populer di pasar kosmetik di Indonesia. Sampai-sampai BPOM turun tangan melarang bahan-bahan ilegal seperti merkuri dan hydroquinone, yang membuat iritasi kulit, hingga membuat kanker. BPOM juga pernah memusnahkan 1.002 produk pemutih yang mengandung bahan-bahan terlarang.

Budaya populer Amerika Serikat dari film, majalah, dll, menjadi salah satu konsumsi transnasional yang sampai ke Indonesia. Adaptasinya bahkan gila-gilaan. Salah satunya terjadi pada majalah Cosmopolitan, majalah wanita transnasional di Indonesia.

Majalah Cosmopolitan menjadi majalah transnasional populer dengan sirkulasi 139.000, dan ahli marketing Hermawan Kartajaya mengapresiasi prestasi majalah ini di tengah dominasi budaya maskulin. Majalah ini berisi berkisar 50 halaman dengan seleksi model pada sampulnya. Nama majalah ini sendiri merujuk pada konsep kosmopolitan, sebagaimana yang dijelaskan Bruce Robbins: "kata kosmopolitan. . . membangkitkan gambaran orang yang memiliki hak istimewa: seseorang yang dapat mengaku sebagai ‘warga dunia’ berdasarkan cara yang mandiri, selera yang mahal, dan gaya hidup yang menjelajahi dunia.”

Menurut pembacaan dekat yang dilakukan Ayu, iklan produk pemutih yang diterbitkan dari 2006-2008 bersifat transnasional dan kosmopolitan. Semua iklan pemutih merupakan brand transnasional (seperti Dior, SK-II, Laneige, SkinWhite, Nivea, Pond's), kecuali produk-produk lokal seperti Citra, Viva, dll. Modelnya pun juga non-Indonesia, seperti Choi Ji Woo, Sammi Cheng, Ploy Chermarn, dan menariknya, orang-orang Kaukasia malah tidak dimasukkan. Ini menunjukkan jika model putih Kaukasia tidak cocok dengan kualifikasi cantiknya Asia. Iklan juga menggunakan bahasa Inggris untuk labelnya, yang mana hal ini menunjukkan superioritas.

"Whiteness here is not simply coded as embodying specific biological features or originating from a specific place, let alone “race,” but also as involving feelings of cosmopolitanness."

Dalam jantung iklan, terbesit kebohongan budaya melalui narasi-narasi bahagia dengan mengonsumsi produk tertentu. Emosi memerankan peran signifikan dalam membantu konsumen membuat pilihannya. Dalam iklan produk pemutih, kebahagiaan ditawarkan melalui jalan praktik pemutihan. Termasuk konsep "Cyber White", "White Innocence", dan "Flawless". Padahal semua tidak nyata, terutama di zaman Photoshop, ketika warna hanya menjadi pilihan.

Selain itu, Ayu menekankan, “facialisasi” tidak hanya mengungkapkan bagaimana wajah diistimewakan dan diproduksi secara sosial untuk memproyeksikan berbagai hubungan sosial kekuatan di mana proses facialisasi ini terlibat, ia juga membentuk bagaimana perasaan kita terhadap wanita dengan wajah rasis dan “kulit berwarna” tertentu.

"I further argue that the freedom to move transnationally involves proximity to whiteness—and this is the essence of a non-essentialist, “virtual,” cosmopolitan whiteness."

ABSTRAK:

Popularitas kulit putih membuat banyak perempuan memiliki hasrat untuk menyamai atau melebihi ras kulit putih itu sendiri. Yang lainnya menganggap, praktik pemutihan sebagai cara kerja hirarki warna kulit yang dirasialisasikan dan merupakan bagian dari hegemoni Eropa/Eropa-Amerika baik dalam konteks lokal maupun global.

Artikel ini mematahkan pendapat teoritis mapan, bahwa hasrat untuk memutihkan tidak sama dengan hasrat putihnya orang-orang Kaukasia. Kemunculan iklan terkait produk pemutih kulit di Indonesia melalui majalah Cosmopolitan, dan produk penyamakan kulit di Amerika dalam versi Cosmopolitan, penulis menemukan konstruksi dari pemutihan kosmopolitan. Pemutihan tidak sesederhana soal rasialitas dan nasionalitas, tetapi transnasional. Pemutihan ditunjukkan sebagai "kosmopolitan", menyatu dengan mobilitas transnasional.

Saraswati, L. Ayu. "Cosmopolitan whiteness: The effects and affects of skin-whitening advertisements in a transnational women’s magazine in Indonesia." Meridians 19.S1 (2020): 363-388.

Link: https://read.dukeupress.edu/meridians/article-abstract/19/S1/363/167559/Cosmopolitan-WhitenessThe-Effects-and-Affects-of

PROFIL SCHOLAR:

L. Ayu Saraswati merupakan profesor di bidang studi perempuan, gender, dan seksualitas di Universitas Hawai`i, Manoa, USA. Gelar Ph.D diperolehnya dari Universitas Maryland. Dia juga menulis buku "Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia" (2017) dan "Scarred: A Feminist Journey Through Pain" (2013). Ayu ingin mengajak perempuan untuk lebih mencintai diri sendiri.  

#31daysofindonesianscholars #layusaraswati #skinwhitening #selflove #advertisement #women #magazine

Tidak ada komentar:

Posting Komentar