Senin, 25 Maret 2024

The Visibility of A Pious Public - Rianne Kartikasari Subijanto

Di beberapa tahun belakangan, Indonesia selepas era Soeharto, diskursus terkait kesalehan Islam muncul di berbagai media: lagu rock, serial drama, film, juga majalah Islam untuk anak muda. Dari selebriti, elite politik, hingga bencana menggunakan kata-kata Islam. Saluran TV Islam juga diluncrkan, selebriti dengan gaya Islamnya yang berbeda juga muncul, toko Muslim menjamur.

Paper ini bertujuan untuk menyelidiki bagaimana budaya kesalehan populer membentuk dan dibentuk oleh publik. Paper ini fokus pada beberapa serial melodrama sebagai studi kasus. Serial ini memiliki berbagai episode, dengan berbagai bagian: awalan, tengah, dan akhir. Seperti serial Hidayah, yang mengandung berbagai bentuk cerita, di antaranya hukuman Tuhan kepada seorang perempuan tunasusila, atau perempuan cantik dengan hati busuk. Setiap cerita menjadi 1 episode, dan serial ini juga berhubungan dengan episode-episode yang berbeda ini.

Dengan melihat serial melodrama sebagai suatu produk budaya, Rianne menanyakan: Kesalehan Islam macam apa yang dipertunjukkan melalui serial drama tersebut? Bagaimana melodrama membentuk atau merancang kembali kesalehan Islam di publik? Dan tak kalah penting, apakah hal itu menunjukkan kepada kita tentang posisi budaya dan politik Indonesia hubungannya dengan modernitas, sekularisme, dan globalisasi? Rianne memulai diskusinya dengan gambaran singkat proliferasi budaya kesalehan ini berjalan. Kemudian mengkonseptualisasikannya dengan teori di dalam analisis.

Indonesia dengan jumlah Muslim terbesar di dunia, politik Islam tidak bisa dilepaskan dengan mudah. Selama masa Soeharto, gerakan Islam dan kelompoknya selalu dipolitisasi. Terkadang diberikan privilese, simbol Islam seperti kerudung menjadi memungkinkan adanya penghidupan kembali nilai-nilai Islam di Indonesia. Rianne membagi kebangkitan Islam ini ke dalam fase yang berbeda. Pada fase reformasi gerakan Islam ini muncul untuk menciptakan politik pluralis warga negara. Sehingga muncul kelompok, partai, dan media dengan agenda Islam (yang fokus pada pembangunan kenegaraan).

Fase berikutnya ada citra jihad dan kekerasan Islam, yang muncul dengan adanya konflik etnis di Maluku, antara kelompok Nasrani dan Muslim. Meskipun konflik antar-agama ini menjadi sub bagian saja, wajah Islam perlahan mulai berubah di tingkat yang lebih luas. Ini ditandai dengan populernya budaya kesalehan di media bahkan telah dimulai selama konflik terjadi. Ini juga berkaitan pula dengan tragedi 9/11 ini Amerika, perang antara Afganistan dan Irak, ditambah memburuknya konflik Israel dan Palestina menjadi sebab adanya solidaritas keagamaan. Ini muncul juga karena kondisi bencana seperti tsunai, gempa, longsor di berbagai daerah dengan diadakannya Dzikir Akbar akibat di beberapa saluran TV. Salah satu wacana yang berkembang, bencana ini ada karena negara ini dihukum karena korupsi. Sehingga muncul solusi bahwa masyarakat harus kembali kepada Tuhan.

Korporasi atau industri media pun mencium sesuatu yang menguntungkan dari munculnya budaya Islam populer ini. Televisi pun diisi dengan kesalehan selebritas, musisi rock memainkan sholawat, dan munculnya serial melodrama. Sebenarnya Rianne menghindari istilah Islam karena kata ini sendiri esensialis, mengundang interpretasi Qurani, dan dikhawatirkan seseorang terkekah dalam pemahaman yang normatif. Sehingga dia membuat istilah budaya kesalehan populer (popular piety culture), yang disulut oleh berbagai aspek kehidupan dari politik, budaya, ekonomi, tradisi, dan lingkungan.

Populer sendiri menandakan dalam jumlah besar sekaligus permintaan pasar. Di mana, sinetron religi menjadi ruang kontestasi bagi budaya kesalehan. Sinetron pertama ini ditandai dengan munculnya Rahasia Ilahi pada tahun 2005. Kemudian diikuti dengan menjamurnya tontonan serupa. Tayangan ini berhubungan dengan Tuhan dan manusia, akhirat dan dunia, juga unsur-unsur ibadah.

Secara umum, serial religi ini dibagi ke dalam lima tema:

1. Hukuman Tuhan kepada pendosa: Ini seperti terlihat pada serial "Hidayah", salah satu episodenya memperlihatkan perempuan dengan pakaian seksi yang dihukum oleh Tuhan dan sosial.

2. Tuhan mengganjar dia yang beriman: Ini seperti terlihat pada tayangan "Maha Kasih", salah satu kisahnya tentang pedagang kaki lima yang berubah nasib menjadi manager restoran, sabar dan iklhas menjadi simbol nilai yang diangkat.

3. Tuhan menerima manusia apa adanya: Seperti kisah Wahyu yang mencuri, tapi ditolong oleh seorang Haji yang membawanya ke jalan kebenaran, sebab Tuhan menerima hamba apa adanya jika dia mau bertaubat.

4. Kontestasi ajaran Islam: Seperti episode yang mengangkat terkait poligami dan pernikahan mut'ah. Juga tentang bagaimana seorang ibu memberi ceramah pada anaknya untuk menjadi saleh.

5. Penggunaan ajaran Islam sebagai sumber dari nilai moral: Ini tampak seperti pada acara "Kiamat Sudah Dekat", dengan Deddy Mizwar sebagai lakonnya. Kisah ini diambil dari kelas sosial rendah di Jakarta, bagaimana ayah/guru mereka mengajarkan nilai-nilai agama pada anaknya.

Paper ini mengkaji tentang tayangan religi di televisi Indonesia. Apa yang membuat sinetron religi ini menarik kemudian adalah caranya membuat diskursus perdebatan di media massa, bahkan hingga ke tingkat gosip warga dan ibu-ibu, hingga ke kelas-kelas, kantor, dan rumah makan. Berbagai kalangan membicarakannya, dengan nada-nada kritik dan cemoohan pula. Seperti bagaimana adegan dewasa tak boleh ditampilkan, atau busananya yang tidak Islami perlu diislamikan. Perempuan diharapkan memakai jilbab dan tampil sesaleh yang dia bisa.

"What does this debate show us about the public constituted by the circulation of this drama series/serial? First, it shows us that many of the critics, including the movement to counter the ‘bad series/serials’, are made within the conundrum of ‘true Islam’. Second, a public is a relation among strangers. The texts that circulate, interpellate their public and ignite their performativity by participating in the public that the texts create. Next, the public is constituted through the mere attention that it pays to the melodramas. This implies the agency of the members of the public. This is expressed in the ways people start adopting symbols and attributes of Islamic piety in public spaces."

“Apa yang ditunjukkan oleh perdebatan ini kepada kita tentang masyarakat yang dibentuk oleh beredarnya serial/serial drama ini? Pertama, hal ini menunjukkan kepada kita bahwa banyak kritik, termasuk gerakan untuk melawan 'serial/serial buruk', dibuat dalam teka-teki tersebut. Kedua, publik adalah relasi antar orang asing. Teks-teks yang beredar, menginterpelasi publiknya, dan menyulut performativitasnya dengan berpartisipasi dalam publik yang diciptakan oleh teks tersebut. Selanjutnya, publik terbentuk hanya melalui perhatian yang diberikan padanya. membayar untuk melodrama. Hal ini menyiratkan keagenan anggota masyarakat. Hal ini tercermin dalam cara orang mulai mengadopsi simbol dan atribut kesalehan Islam di ruang publik."

Ketika tayangan "Kiamat Sudah Dekat" ada, para penonton menyambutnya dengan antusias, termasuk tokoh agama dan pemimpin komunitas. Ini menjadi contoh yang baik bagaimana kesalehan Muslim dapat diterima dalam kehidupan sehari-hari. Juga ketika tayangan "Ayat-Ayat Cinta" hadir, film ini memperoleh tiga juta penonton hanya dalam seminggu, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya.

The title of this paper thus works metaphorically in three ways. First, it asserts the visibility of a pious public represented and contested through the religious melodramas. Second, it refers to the pious public created by the circulation of the series/serials that then (re-)constructs the episodes within the series as well as the concept of piety. Third, it accounts for the symbolic act of the president that affirms the existence of a pious public in Indonesia. In fact, it makes it a national identity that is rendered visible before the eyes of the national and international audience.

Judul makalah ini bekerja secara metaforis dalam tiga cara. Pertama, ia menegaskan visibilitas masyarakat saleh yang diwakili dan diperebutkan melalui melodrama keagamaan. Kedua, mengacu pada masyarakat alim yang tercipta dari beredarnya serial/serial tersebut yang kemudian (kembali) mengkonstruksi episode-episode dalam serial tersebut serta konsep kesalehan. Ketiga, tindakan simbolis presiden yang meneguhkan keberadaan masyarakat saleh di Indonesia. Bahkan menjadikannya sebagai identitas nasional yang ditampilkan di hadapan khalayak nasional dan internasional.

ABSTRAK:

Kejatuhan rezim Soeharto pada tahun 1998 ditandai dengan meningkatnya kemunculan kesalehan Islam dalam budaya populer. Kemunculan sinetron dengan genre baru di serial televisi, paper ini menganalisis diskursus kesalehan Islam di berbagai serial, selain itu juga tentang konstruksi dan implikasi yang lebih luas dari wacana tersebut terhadap posisi Islam secara budaya dan politik di Indonesia. Artikel ini berargumen bahwa serial melodrama keagamaan merupakan ajang kontestasi konsep kesalehan yang tidak koheren. Sebagai teks budaya, mereka menginterpelasi publik dan memungkinkan kita melihat bagaimana keberadaan wacana keagamaan di publik menjadi subjek negosiasi dan konfrontasi, sekaligus memicu politisasi kesalehan sebagai identitas nasional.

Subijanto, Rianne. "The visibility of a pious public." Islam, Culture and Women in Asia. Routledge, 2013. 73-86.

Link: https://www.taylorfrancis.com/chapters/edit/10.4324/9781315868479-6/visibility-pious-public-rianne-subijanto

#31daysofindonesianscholars #riannesubijanto #pious #public #popularculture #islam #sinetron #religi #melodrama

PROFIL SCHOLAR:

Rianne Kartikasari Subijanto merupakan Assistant Professor di Departemen Studi Komunikasi di Baruch College, City University of New York (CUNY). Mendapat gelar Sarjana Bahasa Inggris dari Universitas Indonesia; gelar Master di bidang Media, Budaya, dan Komunikasi dari Universitas New York; dan gelar Doktor di bidang komunikasi dari Universitas Colorado Boulder. Minat penelitian Rianne: komunikasi teknologi dan infrastruktur, gerakan sosial, keadilan lingkungan, serta sejarah kolonialisme dan kapitalisme di Indonesia dan Asia Tenggara. Buku pentingnya yang sedang diterbitkan Penerbit Universitas Cornell berjudul, "Communication Against Capital: Red Enlightment at the Dawn of Indonesia". Buku ini menceritakan proses yang dilalui oleh masyarakat awam dalam memobilisasi perlawanan komunis antikolonial terhadap pemerintahan Belanda melalui produksi komunikasi revolusioner pada tahun 1920-an.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar