Rabu, 20 Maret 2024

'This is Not a Trivialization of the Past' - Yatun Sastramidjaja

Seorang pemudi di awal usia 20-an berdiri dengan sangat bangga di depan Museum Sejarah Jakarta. Sehari-hari, dia merupakan mahasiswa metropolitan yang menggunakan kaos dan jeans, serta sering ke mal. Namun sekarang dia mengenakan pakaian tradisional batik dan kebaya, menjadi putri Jawa untuk memandu para peserta di kegiatan yang berbau warisan budaya.

Di sisi lain, malam turun di Taman Fatahillah, pusat Kuta Tua. Di dalam museum, terdapat berbagi aktivitas yang memperlihatkan situasi tempo doeloe. Kegiatan ini dikombinasikan dengan ceramah sejarah dalam bentuk film dan makanan di Kota Tua. Kegiatan ini menarik komunitas muda menjamuri Kota Tua. Merelokasi kesenangan ruang mereka dari mal ber-AC ke tempat-tempat bersejarah, diikuti dengan eksplorasi sejarah di masa lalu. Terkadang, karnaval busana berkostum putri Jawa juga menjadi karakter kegiatan ala Kota Tua.

Sejak tren ini melibatkan para pemuda kosmopolitan, yang dikenal dengan outfit trendi mereka, gadget terbaru, dengan kamera yang kekinian, mereka bersenang-senang dengan apa yang waktu dulu disebut sebagai penjajahan, membebaskan kritikannya dan menganggapnya sebagai hal yang iseng belaka. Namun, keisengan tersebut telah berlangsung selama lebih dari satu dekade dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan berlalu. Selain itu, hal ini bukanlah sebuah tren yang berdiri sendiri, melainkan sebuah tren yang sejalan dengan perkembangan yang lebih luas dalam penafsiran ulang warisan budaya di Indonesia.

Kegiatan menyenangkan ini bertepatan dengan upaya konservasionis dalam merawat Kota Tua dari kepunahan melalui restorasi maupun penggunaan kembali, juga sejalan dengan proyek pemerintah dalam mengembangkan kembali Kota Tua sebagai destinasi wisata. Ketika seseorang bisa mengalami romantisisme tempo doeloe, bersama-sama mereka mematahkan pola mengecewakan dari warisan kolonial di bawah rezim sebelumnya. Namun, mereka menggambarkan pendekatan yang berbeda terhadap warisan. Para penikmat sejarah dari generasi muda mengalami tantangan ini, dalam upayanya mengingat kembali sejarah-sejarah yang hilang, yang dimusnahkan oleh sejarah resmi.

Dalam artikel ini, Yatun membahas bagaimana sebuah distrik kolonial yang telah lama terabaikan, Kota Tua, telah menjadi tempat praktik warisan budaya yang berbeda. Dirinya mengkaji bagaimana peristiwa-peristiwa warisan budaya generasi muda saat ini mendobrak cara-cara konvensional dalam konservasi dan pemasaran warisan budaya, dan sejauh mana peristiwa-peristiwa tersebut mewakili modalitas memori baru yang menanggung narasi resmi sejarah nasional. Pertanyaan lanjutan, narasi alternatif apa yang dihasilkan oleh pendekatan kaum muda? Sebagaimana Yatun argumenkan, pendekatan kaum muda manandakan interpretasi masa lalu perkotaan yang lebih luas dan inklusif, yang membangun hubungan baru dari ingatan-ingatan yang terpendam, termasuk komunitas lokal dan etnis minoritas. Hal ini sebagai dasar bagi kesadaran kritis dan keterlibatan sosial dalam pembangunan perkotaan.

Tempo Doeloe di masa pascakolonial masa kini, sebelum masuk kesana, kita harus mengartikan dulu istilah tempo doeloe dalam budaya populer di Indonesia, yang juga ngetren untuk makanan, pakaian, fotografi, literatur, arsitektur, juga furniture. Meski tempo doeloe ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kekerasan sejarah masa penjajahan. Sebagaimana yang disampaikan Rosaldo (1989), nostalgia imperialis menimbulkan perasaan bersalah. Penolakan sejarah ini nampak tidak cocok dengan sensibilitas orang Indonesia.

Sayangnya, penolakan sejarah ini tidak familiar terhadap interpretasi kolonialisme. Dalam sejarah resmi Indonesia, penjajahan masa lalu merupakan episode kelam yang menggambarkan ingatan sejarah yang tak hendak diingat. Meskipun hari ini, pemasaran terkait warisan kolonial menurun. Dengan memfasilitasi penyangkalan sejarah di kedua sisi, tempo doeloe menyediakan wacana mnemonik yang 'jinak' untuk mengumpulkan kembali aspek-aspek romantis dari sebuah sejarah yang bermasalah, sebuah wacana yang 'polos (innocent)' untuk diadopsi oleh masyarakat Indonesia.

Menurut Samuel (1994), nostalgia kolonial dalam lingkungan pascakolonial sebagian dapat dijelaskan dalam kaitannya dengan tren nostalgia masa lampau yang lebih luas dalam konteks Barat sejak tahun 1980an dan kemudian menyebar menjadi tren global di belahan bumi yang lain.

Peralihan ingatan ini tampaknya merupakan respons terhadap perasaan tercerabut dari akar yang disebabkan oleh laju kehidupan modernitas global yang memusingkan dan fragmentasi pengalaman, sementara teknologi global juga memfasilitasi "globalisasi budaya ingatan" melalui reproduksi cepat bentuk-bentuk representasi memorial yang populer (Huyssen  1995).

Namun, kekhawatiran lain yaitu apa yang direproduksi sebenarnya hanya nostalgia dangkal yang dieksploitasi oleh "industri warisan".

Mengikuti argumen tersebut, tempoe doeloe terutama mewakili "nostalgia semua" bagi masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda Indonesia yang belum pernah merasakan penjajahan Hindia Belanda dan hanya mengonsumsi tempo doeloe sebagai item fashion semata.

Lebih banyak perhatian diperlukan untuk menemukan dimensi positif nostalgia, sebagai keinginan untuk tidak kembali, tetapi mengakui aspek masa lalu sebagai dasar pembaruan, keinginan untuk terlibat dalam perbedaan, beraspirasi dalam kritik, dan nostalgia menjadi sebuah tindakan alih-alih sikap.

Penting untuk diingat bahwa upaya yang sedang berlangsung untuk "menjual" dan "menyelamatkan" Kota Tua dimediasi kembali oleh generasi muda pecinta sejarah, karena dalam koleksi ulang tempo doeloe yang menyenangkan, mereka memperoleh makna baru yang penting.

Menengok sejarah, pada masa VOC, Batavia digunakan sebagai pusat komersial Belanda. Pendirian pelabuhan Sunda Kelapa di bibir Sungai Ciliwung, menyediakan jalur perdagangan sebelum Belanda tiba. Pelabuhan ini milik Kerajaan Pajajaran hingga penaklukan oleh Fatahillah tahun 1527. Tempat itu kemudian berubah nama menjadi Jayakarta atau yang berati kemenangan besar, tanggal 22 Juni juga menjadi tanggal ulang tahun Jakarta.

Pada masa Belanda, Batavia didesain menjadi sebuah kota, kerajaan, dengan citra Eropa di tengah-tengah Asia. Batavia menjadi magnet orang-orang asing dan perdagangan, ini membuat Batavia diilustrasikan dengan gaya "Ratu dari Timur" (Queen of the East), simbol dari masa kejayaan Belanda. Namun pada akhir abad 18, Batavia kehilangan perannya sebagai tempat penjualan maritim seperti halnya Surabaya di Jawa Timur. Korupsi yang terjadi di VOC membuat mereka bangkrut. Lebih ke arah modern, penghancuran bangunan tua terjadi untuk membuat infrastruktur yang lebih modern.

Namun, sejak tahun 1970, Kota Tua dijadikan sebagai tempat khusus bagi kesadaran urban. Pada masa Gubernur Ali Sadikin (1966-1977), Kota Tua didirikan sebagai kawasan konservasi, yang diikuti dengan studi sejarah, pendirian museum, yang dalam diskursus konservasionis, turisme menjadi motif utamanya. Ini sebagaimana terjadi di Bali dan Yogyakarta, di mana turisme menjadi bagian dari jualan budaya uang cukup menjanjikan.

Sejak masa Orba, manajemen warisan budaya dikontrol oleh pemerintah pusat. Setiap museum, monumen, atau warisan menjadi penggambaran narasi sejarah nasional Orde Baru. Selesainya Orba tidak serta merta mengubah narasi, meskipun kebijakan desentralisasi menyediakan pemerintah lokal kesempatan untuk disesuaikan dengan kepentingan lokal. Pada masa Gubernur Sutiyoso, Fauzi Bowo, Joko Widodo, masing-masing memiliki kebijakannya sendiri dalam upaya restorasi dan revitalisasi Kota Tua.

Salah satu program yang berkenang seperti pembentukan Program Ruang Publik Kreatif, sebuah proyek inisiasi urban oleh jaringan diaspora Indonesia, Liveable Cities Taskforce, berkolaborasi dengan Kemenparekraf. Juga biasanya melalui proyek seperti pendirian kanal, hingga kegiatan-kegiatan pemuda dari Sahabat Museum, Komunitas Historia Indonesia, hingga gerakan akar rumput Do-It-Yourself (DIY).

Tidak dapat dipungkiri bahwa gerakan ini sebagian besar terbatas pada kelas kosmopolitan muda yang melek budaya, yang dengan mudah berpindah antara ruang virtual dan tempat material, sehingga tidak termasuk mayoritas anak muda Indonesia yang tidak memiliki modal ekonomi, budaya, dan sosial untuk berpartisipasi. Selain itu, mesti ada upaya untuk menjadikan gerakan ini lebih inklusif terhadap generasi muda yang terpinggirkan, misalnya dengan mengadakan jalur warisan budaya untuk anak jalanan.

Pada masa Presiden Gus Dur, wajah Kota Tua juga berbeda ketika kelompok dari China-Indonesia diberi kesempatan untuk mengekspresikan identitas mereka dengan adanya budaya/pameran barongsai. Warisan Cina ini juga tampak di mal-mal ketika perayaan Imlek. Simbol estetika Cina ini cocok dengan hasrat konsumerisme dan kosmopolitanisme. Proses yang sama juga bekerja dalam pengenalan sejarah kolonial Belanda melalui pendekatan yang menyenangkan, yang sejalan dengan bentuk nostalgia kolonial.

"Nostalgia has to do with longing, but also, and more importantly, with belonging. By re-collecting the memories of their city and other localities in Indonesia, young history enthusiasts acknowledge that the city and the nation, with its multifaceted pasts, belongs to them. And what belongs to them is what they feel impelled to nurture for the future. It is in this sense that nostalgia can become a resource for critical awareness and social engagement."

ABSTRAK:

Artikel ini menyelidiki revitalisasi distrik kolonial masa lalu, Kota Tua, sebagai tempat berkunjungnya para turis. Setelah kekecewaan yang panjang karena diamnya masa poskolonial, metamorfosis Kota Tua sebagai tempat rekreasi memperlihatkan perkembangan tren tempo doeloe pada masa pos-Orba. Namun, Kota Tua juga sebagai lokus pertemuan ingatan. Ketika promosi turisme pemerintah memproduksi estetika penjajahan, generasi baru yang memiliki antusiasme pada sejarah mengintervensinya dengan praktik alternatif dan menyenangkan, yang menekan ingatkan penjajahan di masa lalu menjadi sumber kesadaran kritis.

Sastramidjaja, Yatun. "‘This is Not a Trivialization of the Past’: Youthful Re-Mediations of Colonial Memory in Jakarta." Bijdragen tot de taal-, land-en volkenkunde/Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia 170.4 (2014): 443-472.

Link: https://brill.com/view/journals/bki/170/4/article-p443_2.xml

PROFIL SCHOLAR:


Yatun Sastramidjaja merupakan Assistant Professor di Departemen Antropologi Universitas Amsterdam, Belanda, dan saat ini menjadi Visiting Fellow di ISEAS – Yusof Ishak Institute Singapura. Minat penelitian Yatun terkait etnografi digital, budaya digital global, antropologi politik, dan demokrasi di Asia Tenggara yang secara spesifik menggunakan perspektif aktivisme pemuda. Yatun menyelesaikan S3 di Universitas Amsterdam dengan disertasi berjudul “Playing Politics: Power, Memory, and Agency in the Making of The Indonesian Student Movement” (2014). Publikasi beliau lainnya, “Rhizome vs Regime: Southeast Asia's Digitally Mediated Youth Movements” (2023), “Indonesia's Covid-19 Infodemic: A Battle for Truth or Trust?” (2023), juga “Cyber Troops and Public Opinion Manipulation in Indonesia” (2022) yang ditulis bersama Wijayanto.

#31daysofindonesianscholars #yatunsastramidjaja #pemuda #jakarta #colonialnostalgia #localmemory #trendsetting #criticalawareness

Tidak ada komentar:

Posting Komentar