Kamis, 27 Juli 2023

Belajar Bahasa

Pondasi belajar bahasa itu cuma dua: kata (vocabulary) dan tata bahasa (grammar). Kalau udah bisa jungkir balik sama dua ini bakal satset-satset, wasweswos. Selebihnya cuma kepekaan indra aja yang perlu dilatih, misal listening ya telinga yang dilatih, speaking mulut dan lidah, writing tangan, reading ya mata yang dilatih. Bahasa itu juga kayak orang belajar naik sepeda, gak bakal bisa kalau gak praktik.

Sabtu, 15 Juli 2023

Money and Finance - Jim Kincaid

Diskusi Grup Simulakra hari ini bahas tulisan dosen kebijakan sosial di Universitas Bradford, Inggris, bernama Jim Kincaid yang berjudul "Money and Finance". Berada di Bab 1 subbab 6 dalam buku The SAGE Handbook of Marxism.

Membaca judulnya, sebenarnya agak rendundant, kenapa gak "Money" aja gitu? Meski setelah membaca lebih lanjut "finance" di sini lebih nunjukkin turunan-turunan dari nilai uang dalam sisten bank, kredit, saham, dll.

Sifa yang bertindak sebagai moderator memaparkan pembacaannya atas tulisan Kincaid. Dia menjelaskan, ketika produksi komoditas menjadi bagian keseharian, uang menjadi "sarana nilai" untuk memonopoli nilai lain, atau membeli apapun. Dia setidaknya membagi ke dalam tiga poin penting dalam tulisan Kincaid: 1. Bank dan kredit; 2. Fictitious Capital (Kapital Fiktif); 3. Financialization (finansialisasi).

Pembicaraan terkait uang dan keuangan oleh Marx dimulai jauh saat sebelum dia menulis Capital I, mungkin sekitar tahun 1849. Dalam perkembangan kapitalisme, peran uang ini menjadi sentral karena menjadi ukuran nilai. Yang menurut Suzanne de Brunhoff, "fungsi uang fundamental dalam bertukaran nilai karena berhubungan dengan kerja-kerja buruh yang abstrak."

Tapi pembacaan Marx akan uang ini dinilai usang, karena dia menggunakan emas sebagai contohnya. Emas ini mahal karena prosesnya hingga menjadi emas. Padahal ini gak berlaku pada emas aja, tapi juga kertas yang dikeluarkan oleh negara seperti cek hingga kartu kredit yang disediakan oleh bank.

Fungsi uang ini dalam ekonomi kapitalis dalam partikel ini ada lima:
1. Uang sebagai ukuran nilai, dan bisa menurunkan nilai lain
2. Uang sebagai alat tukar: untuk menjual dan membeli komoditas
3. Uang sebagai penyimpan nilai: uang sebagai cadangan kas
4. Uang sebagai alat pembayaran
5. Uang dunia: internasionalisasi uang sebagai nilai untuk berinvestasi, pembayaran, dll

Sistem keuangan mengizinkan industri kapital untuk menambah laba mereka dengan mengakselerasi sejumlah uang yang diambil oleh pebisnis dalam periode tertentu. Sistem bank memungkinkan pengembangan fungsi krusial dalam akselerasi ini. Kenapa bank? Bank sebagai institusi dalam sistem kapitalis, karena bank dapat memperbesar dirinya sendiri dibanding sumber daya/batas nilai yang mereka punya.

"Capitalism abhors idle capital as much as idle employees, and by centralising the cash reserves of firms, the banking system can reduce to a minimum the proportion of total reserves which individual companies need to keep available in liquid form to meet their working requirements." 

Hal lain yang disoroti adalah kredit. Marx memberikan catatan bahwa kredit/pinjaman/utang menjadi elemen penting di dalam sirkuit kapital produktif. Kredit merupakan sirkuit kapital yang menjadi modal ketika diputarkan ke dalam nilai yang lebih besar lagi nilainya.

Penggelembungan value bisa dilihat pula dengan adanya sistem fiktif. Sistem ini ditandai dengan penciptaan tanggung jawab yang telah ditetapkan di awal menjadi bisa diganti atau diubah di kemudian hari. Saham dan trading menjadi bentuk fictious capital tingkat lanjut. Saham bekerja secara spekulatif, meski secara forecasting bisa dikalkulasi.

"Fictitious capital is created as companies raise capital by issuing shares or by giving bonds in exchange for money borrowed."

Kita juga bicara terkait finansialisasi, yang diartikan sebagai cara untuk mempertahankan sebuah rantai rasio antara utang dan piutang. Rasio ini mesti diseimbangkan untuk mencegah terjadinya krisis.

Diskusi ini menyimpulkan, instrumen uang dan keuangan mampu memberikan efek akselerasi yang spekulatif, karena berbasis trust, proyeksi yang belum terjadi, yang menggerakkan ekonomi.

Materi terkait uang ini secara personal mengingatkan saya dengan skripsi yang saya tulis sekitar 6 tahun yang lalu. Sudah banyak lupanya, tapi saya ingat, bank melalui sisten Fractional Reserve Banking (FRB) telah menciptakan imajinasi "uang seolah ada" tapi "tak ada". Tulisan "Saya Menginginkan Seluruh Dunia-Plus 5%" (https://laolao-papua.com/2020/11/28/saya-menginginkan-seluruh-dunia-plus-5/) terkait kisah Fabian ini bisa menjadi renungan menarik.

Bacaan tambahan:

https://www.versobooks.com/en-gb/products/320-fictitious-capital

https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/13563467.2022.2130221?scroll=top&needAccess=true&role=tab

#jimkincaid #money #finance #uang #nilai #value #bank #credit

Kamis, 13 Juli 2023

I am Full of Self-love

Ya, semacam omong kosong bisa mencintai diri sendiri dengan penuh. Tapi ya mari diusahakan, yang penting gak usah jadi bebek-bebek yang ikut-ikut orang. Gak perlu ikut circle-circle yang malah membuatmu mantap untuk menyabotase diri sendiri. Atau yang lebih tolol, mengemis perasaan dari orang lain yang membuatmu sakit sendiri. Kamu paham, tiap orang punya issue mereka sendiri, karena itu, pinter-pinter aja ngasi batas. Lalu, gak semua hal yang kamu tertariki kamu beri respons. Biasa aja.

Rabu, 12 Juli 2023

Membaca Adalah Bagian dari Menulis, Bukan Sebaliknya

 Aku ingin membagikan obrolan reflektif dari teman:



Ilmu Itu Mahal dan Perasaan Terkucilkan

Sebulan ini bakal capek banget dengan jadwal yang kubuat sendiri. Gak ada yang mudah buat tujuan yang susah. Pengen banget dapat harta karun kayak Monte Cristo, gak habis digunakan sampai mati. Atau ekspedisi kemana gitu kek, yang hidup isinya main doang atau lihat konser kesukaan doang. Tapi ya bagaimana lagi, di dunia ini hanya halu ku saja yang tanpa hambatan. Selebihnya kenyataan.

Aku merasa kemarin keadaan seperti mengkondisikan diriku bahwa ilmu itu mahal, ilmu jangan mudah disebar, mereka harus bayar buat dapat ilmu, dan aku jadi ingat sama salah seorang penulis di Semarang yang kuanggap sebagai salah satu guruku, dia bilang ilmu itu kemringet. Itu di satu sisi, tapi di sisi lain pikiran dan hatiku menolaknya. Di dunia yang sudah materialistik dan mahal ini, mengapa hal serupa "ilmu" juga harus diberi harga berapa dan berapa? Entahlah, sebagai pecinta ilmu, rasanya aku ingin menangis.

Konteks yang kuceritakan ini adalah ketika aku ikut sebuah kelas keterampilan yang kusukai. Lumayan aku membayarnya.Selama di Jakarta, banyak hal yang kurasakan sangat transaksional. Entah berapa kelas, konser, pameran, dan kesenangan yang kuikuti membayar. Ya, aku tak mempermasalahkan pembayaran yang sepatutnya, karena itu sudah semestinya. Namun aku merasa sudah "cukup" dengan aneka tai kucing bisnis yang sebenarnya tak kubutuhkan, tapi malah secara tak sadar alam bawahku tercuri, kemudian mengikutinya.

Aku paham, sebenarnya di kelas keterampilan terakhir terkait tulis menulis itu aku tak butuh-butuh amat, karena hampir semua bisa kupelajari sendiri. Belum lagi di media sosial, ketika melihat status, per satu atau per dua lihat IG story pasti diselingi iklan, gak cuman satu tapi dua. Bayangkan, satu banding satu. Aku makin malas saja untuk bermedia sosial sekarang.

Kemarin juga aku seperti dikondisikan untuk membenci orang lain karena perilaku yang seolah aku didiskriminasikan. Padal aku ada tapi dianggap gak ada. Tapi, untuk diriku yang ada problem dengan penolakan, hal itu terasa 1.000 kali lebih menyakitkan. Itu membuatku jadi membenci orang lain secara spesifik, meski kemudian aku menerimanya juga ketika hati menasihatiku untuk jangan seperti itu dan kembali memaafkan. 

Menjalarnya lebih bodoh lagi, aku merasa bahkan idolaku juga mendiskriminasiku, khususnya saat aku memilih lari kepadanya. Kenapa ketika fans lain dikomentari, aku sendiri yang tidak? Lalu perasaan-perasaan seperti terkucilkan muncul lagi. Beberapa waktu aku jadi membenci idolaku, karena pesanku yang tak pernah dibalas, karena diabaikan. Aku berubah jadi kekanakan lagi, tapi perasaan ini masih valid, aku tak menyangkalnya. 

Tapi kalau gini mainnya, aku sama kek yang lain, sesuai nilai lebih, nilai fungsi dan guna, kalau gak guna, gak dipertahanin. Semua relasi kemudian hanya dinilai atas dasar transaksional belaka, jika kau tak menguntungkan untukku, pergi. Aku membencimu.

Tapi keberhasilanku kemarin adalah, aku berhasil bilang "tidak" pada orang lain, yang aku merasa, harusnya kamu juga bisa tanpa meminta tolong padaku soal itu. Aku yang sulit-sulit, lalu dia tinggal pakai gitu? Oh, tidak. "No, thanks!"

Ya, mungkin aku harus membiasakan diri dengan penolakan-penolakan, sehingga aku terbiasa juga untuk melakukan penolakan-penolakan. Haha, aku menangis lagi.

Lalu tulisan akan "bhakti" ini memberiku jawaban, dan ingin ini kujadikan prinsipku sekarang.

Sebab pandangan ini pula, aku ingin membenarkan prinsip hiduku, bukan "nalar karya wangi budi" (nalar yang terkesan transaksional) tetapi "bhakti karya wangi budi" (kesetiaan terhadap nilai-nilai Ketuhanan).

Minggu, 09 Juli 2023

Majalah Basis Mendendeng Celeng

Saya rindu menulis seperti Sindhunata. Bahannya sederhana dan sangat dia kenal: terkait karya-karya lukisan Djokopekik yang kebanyakan ada celengnya. Dia menulis dengan lancar dan tanpa beban sekelumit riwayat teman senimannya itu: saat dia miskin hingga dikenal, alasan prinsipil mengapa memilih celeng, ajaran hidup atas kesederhanaan dan keapadaan, tanpa lepas dari budaya Jawa "mudhar warananing gaib, kang nutupi sasmita sakehing kaanan" (menyingkap tirai yang tak kasat mata, yang menutupi isyarat-isyarat keadaan). 

Meski tema utama Basis kali ini terkait dengan seksualitas terutama di ranah gereja Katolik, Rm. Magnis juga menulis dengan apik kritiknya akan seks dan intimitas yang dikerdilkan sekadar hubungan daging. Rm. Magnis menjelaskan, intimitas memiliki 3 hal utama: kesetaraan, komitmen, dan kesalingan (resiprokal). Dari tiga ini lahir komunikasi, penghormatan, penerimaan, afirmasi, berbagi luka, dan pengampunan.

Saya menunggu Basis edisi 05-06 tahun ke-72 (2023) ini cukup lama, yang harusnya terbit di Mei-Juni, baru muncul di bulan Juli. Entah kendalanya apa bisa molor mayan lama juga. Tiap pulang les, beberapa kali saya sengaja menyempatkan diri untuk lewat di Periplus (PI), melihat pajangan bagian majalah dan berharap edisi baru Basis datang. Saya selalu penasaran dengan tema-tema yang dihadirkan oleh Basis setiap bulannya, meski seperempat dari penulisnya kadang bisa saya tebak/kenal. Yang membedakan majalah ini dengan majalah lainnya adalah caranya mengupas persoalan yang kadang gak pernah saya duga. Panjang umur ya, Basis!

Sabtu, 08 Juli 2023

Value - Tommaso Redolfi Riva

 

Hari ini kami membahas tema kelima dari buku The SAGE Handbook of Marxism, dengan bahasan terkait "Value" yang ditulis oleh Tommaso Redolfi Riva (Ph.D dalam Sejarah Pemikiran Ekonomi). Diskusi kali ini menarik karena sudah tak ada lagi pemantik, dengan dibantu moderator Sulkhan, kawan-kawan yang ikut bisa langsung memaparkan hasil pembacaannya.

Riva secara umum menjabarkan terkait "nilai" dalam konsepsi Das Capital, dan dia mengkritik di masa modern ini persoalan nilai tidak dianggap serius, terutama penganut mazhab klasik ala Smith dan Ricardo. "Nilai" ini kehilangan eksistensinya karena cenderung dikaburkan atau dianggap sebagai sekadar rasio pertukaran dan harga. Padahal nilai ini tak lepas dari transformasi nilai-buruh ke dalam harga produksi hingga eksploitasi.

Nilai dianggap inheren (menempel) pada sesuatu karena proses produksinya yang dilakukan oleh buruh. Penggebungan nilai ada di proses valorisasi, kalau suatu barang (katakan) digunakan dia jadi nilai guna, kalau dipertukarkan jadi nilai tukar, kalau dipekerjakan jadi nilai surplus.

Dalam konsepnya, menurut penjelasan Aziz dan Dipa, nilai itu ada sebelum berubah jadi komoditas. Misal rumput liar, secara hukum alam dia spesies, sebelum diapa-apain, pas disabit kemudian si pekerja mengubah rumput liar menjadi tidak liar, jadi makanan ternak dan jadi nilai guna. Atau apel tetap jadi apel kalau gak diapa-apain. Harus melalui labor dulu. Rumput itu pun bisa jadi nilai kultural, rumput dari Jakarta, akan beda dengan rumput dari New Zealand.

Di esainya Riva bongkar, Marx mengkritisi tentang ekonomi klasik yang gagal melihat nilai secara lebih dalam dan cenderung terumuskan. Misal terkait invisible hand, pasar udah dirumusin, tapi menurut Marx “gak bisa begitu”. Ada variabel-variabel lain seperti: waktu kerja, relasi sosial, nilai budaya, dan hal abstrak lain. Atau konkritnya, kenapa buruh rata-rata dibayar per jam daripada berapa jumlah produk yang dihasilkan dalam satu jam? Sebab keterampilan di sini juga berperan dalam penciptaan value. Buruh yang terampil sejam bisa bikin banyak, makanya hitungannya per jam karena bisa dibayar murah.

Kritik Riva pula, scholars masih gagal dalam memahami proses perwujudan nilai dalam nilai guna komoditi dalam bentuk yang setara. Setiap komoditas mengungkapkan nilainya dalam semua komoditas lain, tetapi tidak ada ekspresi nilai yang umum: 'satu-satunya bentuk ekuivalen yang ada adalah yang terbatas, dan masing-masing dari mereka mengecualikan semua yang lain' (Marx, 1873: 157)

Setiap rantai yang ada di dalam produksi yang ber-nilai, semua bisa diintervensi, tapi siapa yang intervensi itu penting. Kalau kapitalis, pasti mana yang lebih efisien? Karena kapitalisme hidup dari situ. Negara di sini menurut Dipa punya peran besar, misal di Scandinavia, welfare state, intervensinya dengan pajak tinggi tapi juga proteksi yang besar. Rakyat bisa kerja 4 jam sehari tapi masih bisa produktif.

Studi kasusnya dari Sifa, terus bagaimana ngitung nilai misal dari produk-produk kebudayaan yang tak terlihat seperti desain atau lukisan? Salah satu jawaban, nilainya itu ditentukan bagaimana pekerja kebudayaan mengungkapkan value yang dimilikinya melalui otonomi dia sebagai pekerja kebudayaan.

"Marx clearly states that in order to produce a commodity the producer ‘must not only produce use-values, but use-values for others, social use-values […] Finally nothing can be a value without being an object of utility."

Diskusi ini meninggalkan pertanyaan lanjutan, di kapitalisme tingkat lanjut, bagaimana perhitungan nilai guna, nilai tukar, nilai surplus? Value dari labor sekarang lebih susah dihitung daripada dulu. Seperti kasus kapitalisme digital seperti sekarang, mengapa kita bisa membeli makan dengan hanya menggunakan nilai tukar digital yang bahkan bentuknya gak nampak?

Tulisan Riva terkait "value" memang seperti hasil diskusi hari ini: mengabstrakkan yang konkret, mengkonkretkan yang abstrak. Satu prinsipnya: "Nilai tak akan berubah kalau belum dibentuk."

Banyak studi kasus sehari-hari yang diungkap oleh kawan-kawan dengan apik, dan itu rasanya sangat berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Di situ kritik Riva dan Marx jadi kerasa relevan.

Misal terkait komoditas namanya mobil listrik. Selain sebagai nilai guna dia bisa nganteri kita, mobil listrik itu punya nilai kultural, karena dianggap yang punya peduli lingkungan.

Kasus lain, orang yang beli sepatu karena hobi akan punya nilai yang beda dengan orang yang beli sepatu karena kebutuhan untuk sekolah. Contoh yang kedua berkaitan dengan nilai guna, yang pertama kita bisa bilang itu mungkin nilai kepuasan, kultural, atau apalah.

Nah, nilai-nilai tadi, di ekonomi klasik tuh jatuhnya kayak sama aja, tapi Marx bilang gak gitu bro.

Atau studi kasus menarik lain, terkait kerja-kerja abstrak yang dalam jokesnya Graeber disebut sebagai bullshit jobs, seperti label "performance marketing specialist" atau kerja ngedesain atau penulis konten.

Nah, kita punya tendensi untuk mengantagonisasi sebuah kerja itu gampang. Padahal kan gak gitu, lalu di medsos orang-orang ribut dengan saling mempersalahkan antar-divisi atau antar-pekerjaan. Kapitalisme itu menciptakan kontradiksi, semakin bisa mengantagonisasi, kapitalisme akan semakin berjalan.

#value #tommasoredolfiriva #nilai #nilaitukar #nilaisurplus #nilaiguna #marx #kiriretro

8 Juli 2023

Finding your own sparks joy, feeling when you can say "cling!"

--Marie Kondo

Sabtu, 01 Juli 2023

RENT - Stefano Dughera dan Carlo Vercellone

Pembacaan saya terhadap artikel dari Stefano Dughera and Carlo Vercellone ini sebenarnya tak jauh berbeda dengan pembacaan @ofekahonk.

Jujur artikel ini susah buat saya pahami, agak muter kemana-mana. Mungkin karena istilah "rent" sendiri yang dianggap problematik sejak di awal. Padanannya pun banyak: leasing, rental, charter, dll.

Padahal, misal kita lihat dan kembalikan ke kenyataan sehari-hari, rent atau orang sering mengartikan sebagai "sewa" itu nyata adanya.

Jenis sewa menyewa ini jumlahnya banyak, dari sewa rumah, sewa tanah, sewa kendaraan (motor/mobil), sampai yang gak umum sewa bayi atau sewa pacar.

Intinya, rent ini merupakan pendapatan yang dimiliki oleh orang tertentu dalam jumlah yang terbatas. (Ingat, rent pasti punya jangka waktu tertentu.)

Selain itu, rent juga mencegah adanya sistem kepemilikan. Sistem didesain agar apa yang kamu sewa memang tak bisa kamu miliki. 

Artikel ini jelasin, dalam hubungan produksi kapitalis itu ada tiga kategori utama darimana pendapatan itu berasal: upah (wage), laba (profit), dan sewa (rent). Rent merupakan kategori utama dari distribusi produksi kapitalis. Rent ini artinya sering kabur jika dibandingkan dengan upah  (wage) dan laba (profit). Kapitalisme efisien menggambarkan kebebasan sewa. 

Rent dalam sejarahnya adalah proses pencabutan hak milik (disposisi) yang berjalan secara simultan. "Sewa adalah apa yang tersisa setelah mereka yang berkontribusi pada produksi dibayar." Dari pengertian ini, siapa yang berkontribusi pada produksi menjadi krusial.

Kekuasaan secara monopoli menjadi kondisi yang dibutuhkan dalam eksistensi rent ini, yang membuat para rentier meningkatkan harga karena nilai dari barang atau biaya produksi.

“Becoming rent” menjadi sejenis transformasi kekinian dalam manajemen inovasi dan penenuan rezim hak kekayaan intelektual. Dalam KBE, waktu buruh ini menjadi tidak relevan dibandingkan dengan waktu sosial, untuk mengembangkannya dibutuhkan mekanisme institusional uang membatasi penawaran.

Salah satu contohnya adalah dalam hak kekayaan intelektual, yang menjadi kredit instrumen bagi pemilik untuk membagikan nilai lebihnya tanpa memerankan peran dalam organisasi produksi. Transisi dari industri kapitalisme dikarakterisasi oleh hegemoni dari profit kapitalisme kognitif, yang dikarakterisasi oleh logika rent. Dalam perkembangannya bisa ditemui dalam konspe Knowledge-Based Economy (KBE). Copyright dilawan pula dengan copyleft yang menunjukkan kontradiksi organisasi hirarkis.

Ekonom klasik menggunakan pemahaman profit sebagai remunerasi (balas jasa) dari modal yang diinvestasikan dalam produksi. Nah dalam konsep ini laba tidak berhubungan dengan apa yang dilakukan pada departemen supervisi dan manajemen. Jadi tidak mungkin membedakan profit dari rent dan kapitalis dari rentiers.

Rent ini merupakan pendapatan yang diperoleh oleh pemilik barang karena jumlahnya yang terbatas dan hanya dimiliki oleh pihak tertentu. Dalam rent, barang sengaja dibuat langka. Sebab dengan membatasi, mereka mendapat keuntungan.

Atau dengan kata lain, rent merupakan suatu sistem kepemilikan yang memungkinkan pemiliknya mendapatkan surplus value, tanpa ikut kerja-kerja yang berhubungan dengan produksi.

Ini seperti tampak pada kapitalisme lanjut berupa Knowledge Based Economy (KBE) dan Intellectual Property Rights (IPR).

Seperti logika membuat konten, netizen dipaksa merasa harus produktif terus untuk mendapatkan view, like, dlsb, sedangkan di satu sisi, dari produktivitas para pengkonten itu, pemiliki platform menjadi diperkaya.

Kawan-kawan berdiskusi, mekanisme pengawasan (surveillance) seperti dalam "rent" yang kadang gak disadari dan secara gak sadar juga, orang melakukannya dengan senang hati. Contoh lain, di platform Spotify, orang yang menyewa dalam waktu tertentu telah diberikan limitasi sedemikian rupa berdasarkan tingkat premium atau tidaknya. Atau pertanyaan menggelitik, logo Nike atau Adidas yang terus-terus dipakai itu gimana sistem rent-nya ya? Apakah yang buat tetap dapat royalti sampai sekarang, atau gimana?

Quote:

"Rent appears in the history of capitalism each and every time the historical transformations of the CMP come to threaten the stability of its structures, since ‘if capitalism is the exterior limit of all societies, this is because capitalism for its part has no exterior limit, but only an interior limit that is capital itself and that it does not encounter, but reproduces by always displacing it’ (Deleuze and Guattari, 1983: 230–31)."

#rent #sewa #stefanodughera #carlovercellone #hakcipta #profit #wage #capitalism #fordism